Airin berlari ke arah Bella yang yang tergeletak tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka."Bella! Bella!" Airin menggoncang tubuh Bella yang tidak bergerak. "Apa yang terjadi padanya?""Warga menemukan pasien dalam kondisi tak sadarkan diri di tepi jurang," jawab salah satu petugas."Maaf, Nona. Pasien sedang dalam kondisi sangat kritis. Kami harus segera memberi pertolongan darurat padanya," ucap petugas ambulan sambil mendorong tandu memasuki gedung rumah sakit.Airin ikut berlari mengikuti para petugas yang langsung menuju ruang IGD. Beberapa orang dokter langsung menyusul ke sana."Dokter, tolong selamatkan dia! Tolong selamatkan dia, Dokter!" ucap Airin pada para Dokter itu."Kami akan berusaha sebaik mungkin," jawab salah satu Dokter sebelum masuk ke dalam ruangan besar yang langsung tertutup rapat itu.Airin menunggu di luar ruangan sambil mondar-mandir karena panik. Rifki berjalan perlahan mendekati Airin."Tenanglah, Bella pasti selamat," ucapnya mencoba menghibur Airin."
"Handoko?" mata Airin membulat lebar ketika mendengar nama itu.Bella perlahan mengangguk."Bukankah kau bilang Handoko itu rekan bisnis yang dekat sekali dengan Papa?" tanya Airin lagi. "Ada dendam apa dia pada keluarga kami?""Entahlah, aku hanya tahu dia yang menyuruh orang untuk membakar rumah kalian."Bella menarik napas panjang, lalu mulai bercerita tentang apa yang dia temukan selama dia menghilang.(Flash back)Bella terus melakukan penyelidikan tentang uang asuransi itu. Dia harus bertindak cepat, sebelum semua uang asuransi itu jatuh ke tangan Irfan sepenuhnya.Dia mengambil jaketnya, dan bergegas melakukan penyelidikan. Jika Airin tidak pernah menandatangani apapun selain surat persyaratan nikahnya, maka dia harus mencari tahu tentang pernikahan itu.Bella menaiki mobilnya, dan langsung menuju kota tempat tinggal Airin yang lama. Sudah lama sekali dia tidak pernah mengunjungi kota itu. Terakhir kali dia ke sana adalah saat pemakaman orang tua Airin. Bella tidak bisa menghad
Airin memacu mobilnya dengan perasaan bimbang. Berulang kali diliriknya buku yang dia letakkan di jok sebelahnya.Handoko dan Mamanya saling mengenal sebelumnya, apa mungkin itu alasan Handoko tega membakar dan membunuh orang tuanya? Dendam apa sebenarnya yang dimiliki Handoko pada keluarganya?Airin akhirnya menghentikan mobilnya di pinggir jalan, di tepi sebuah danau dengan rerumputan yang membentang luas. Airin menarik napas panjang, lalu perlahan mengambil buku itu.Dibukanya sekali lagi lembar pertama, lalu dilihatnya lagi foto Mamanya bersama Handoko. Ada rasa takut menyusupi hati Airin ketika membuka lembar berikutnya, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan segalanya.Mamanya memang seorang penulis terkenal yang sudah menerbitkan ratusan buku, tapi dia belum pernah melihat catatan ini sebelumnya. Dari tempatnya ditemukan, buku itu tidak ditaruh bersama jajaran buku-buku yang lain, melainkan disembunyikan di balik lipatan rak buku.Dengan hati berdebar Airin membacanya kata demi k
"Tidak! Papa saya tidak bersalah!" Amel berlari ke atas panggung, menghalangi polisi untuk menangkap Handoko."Tolong menyingkir, Nona. Kami sedang menjalankan tugas," ucap polisi sambil memborgol tangan Handoko.Irfan menarik tangan Amel menjauh dari pak polisi, mencoba untuk menenangkannya."Mas, Tolong Papa, Mas! Jangan biarkan Papa dibawa pergi oleh mereka, Mas!" raung Amel."Kamu tenanglah dulu," ucap Irfan pada istrinya itu."Tenang apanya? Papaku akan masuk ke penjara!"Kedua polisi itu menggiring Handoko menuruni panggung, lalu membawanya menerobos kerumunan para tamu undangan. Amel dengan penuh emosi mendekati Airin."Jahat kamu Airin!" hardiknya. "Berani sekali kamu memasukkan Papaku ke penjara!""Sudah, sudah, Sayang," Irfan masih berusaha menenangkan Amel.Airin hanya menatap dingin pada mereka berdua."Apa itu sebanding dengan nyawa orang tuaku yang melayang karena perbuatannya?" tanyanya dingin."Papaku bukan pembunuh!" tangan Amel terangkat, bersiap menampar Airin.Tapi
Masa Lalu( Flash back kisah Handoko )"Maafkan aku, Mas. Aku harus memenuhi keinginan orang tuaku."Ucapan Widya itu bagaikan sebilah pedang yang menghujam jantungnya. Betapa teganya wanita yang dia tunggu selama ini ternyata membuatnya kecewa. Pikiran Handoko melayang jauh saat pertama kali mereka bertemu.Hujan gerimis menghiasi malam yang sudah mulai sepi itu. Handoko mengendarai sepeda ontelnya menyusuri jalan basah karena hujan. Dia mengusap wajahnya berulang kali karena basah. Tubuhnya juga mulai menggigil. Sesampainya di tepi jembatan, dia menghentikan sepedanya.Dadanya sedikit berdebar karena melihat sosok wanita berjalan terseok dari seberang jembatan. Handoko mengusap matanya? Apa yang dia lihat itu benar-benar manusia? Atau ....Wanita itu berhenti melangkah. Dia berdiri di tepi jembatan itu dengan pandangan kosong. Handoko masih terus memperhatikannya dari kejauhan. Tiba-tiba matanya terbelalak. Refleks dia membanting sepedanya dan berlari ke arah wanita yang mulai berni
Bos BaruAirin menunggu sampai Handoko bisa menenangkan dirinya dari cerita masalalunya yang rumit. Sebenarnya hati Airin ikut perih mendengarkan ceritanya. Tapi setidaknya, dia sudah berusaha memaafkan pria angkuh yang ada di depannya itu."Mungkin dengan mengembalikan semuanya, Widya bisa memaafkanku," ucap Handoko lirih.Airin mengulurkan map berisi surat kuasa pada Handoko. Handoko termenung sambil memandangi map itu."Aku tidak memaksamu untuk menanda tanganinya. Aku masih bisa menggunakan cara lain," ucap Airin pelan.Handoko memandangi map yang ada di depannya. Dia diam sambil memegangi pulpen di tangannya."Aku akan menanda tangani ini," jawab Handoko kemudian. "Tapi aku ingin meminta satu hal saja."Airin diam sebentar, lalu menatap Handoko."Apa?" tanyanya."Jangan menjebloskan Irfan ke dalam penjara. Bagaimanapun, sekarang dia sudah menjadi suami dari putriku," jawab Handoko."Bukankah tadi kau bilang tidak akan menghalangiku?" tanya Airin lagi."Putriku tidak punya siapa-s
Hutang yang harus dibayarAmel berjalan dengan penuh percaya diri memasuki toko barang-barang branded langganannya yang berada di dalam Mall terbesar di kota itu."Selamat datang, Nona Amel," sambut para pegawai toko begitu Amel masuk, beserta manager mereka."Keluarkan semua pakaian model terbaru kalian," ucap Amel pada mereka.Semua pegawai langsung menutup toko, kebiasaan yang selalu mereka lakukan ketika Amel mengunjungi toko mereka. Beberapa pegawai langsung menunjukkan berbagai macam model pakaian terbaru mereka.Amel berulang kali keluar masuk ruang ganti untuk mencoba semua pakaian-pakaian itu, hingga tampak tumpukan semua pakaian yang sudah dicobanya. Bagi pegawai toko, semua itu bukan masalah, karena biasanya Amel akan memborong semuanya.Setelah puas mencoba pakaian, kini giliran dia berburu tas dan sepatu. Semua yang ada di sana dia coba satu-persatu. Setelah itu dia memilih mana saja yang akan dia beli.Para pegawai toko dengan sigap mengemas semua barang-barang yang Am
Tak Berhati"Mama! Mama!" Irfan menggoncang tubuh Mamanya yang tak sadarkan diri."Bagaimana ini, Mas?" tanya Amel pada Irfan. "Rumah ini punya Mas, kan? Jangan biarkan mereka mengambilnya!""Mamaku pingsan! Kamu malah memikirkan masalah rumah!" bentak Irfan pada istrinya itu."Aku gak peduli, Mas! Pokoknya aku gak mau rumah ini sampai diambil oleh mereka!"Irfan masih menggoncang tubuh Mamanya itu. Airin membuang napas, lalu menatap Rifki."Rifki, tolong panggilkan ambulans," pintanya.Rifki mengangguk, lalu mengambil gawainya dan memanggil ambulan seperti yang Airin perintahkan."Aku beri waktu untuk kalian sampai satu minggu, bayar hutang kalian atau rumah ini kami sita," ucap Airin sambil berdiri dan beranjak pergi."Kamu gak punya hati, Airin!" ucap Amel.Airin menghentikan langkah, lalu menoleh pada Amel."Tidak punya hati?" tanyanya sambil tersenyum miring."Pak Notaris, tolong berikan surat itu padanya." lanjutnya.Petugas Notaris itu memberikan sebuah map kepada Amel. Amel se