Sekarang setelah jadi istri Mas Arif dan harus merangkap menjadi pelayan suami dan mertua, juga adik ipar, bobot badanku memang naik drastis dari yang dulu sebab aku jadi tak punya waktu untuk olah raga. Dan wajah yang dulu full perawatan sekarang jadi full minyak dan komedo karena hampir tak punya waktu luang dan uang untuk pergi ke salon.
Ya, keputusan salah memang menikah dan menjadi istri Mas Arif, laki laki yang aku anggap baik dan bertanggung jawab, tetapi ternyata tidak. Mas Arif justru sangat mengecewakan sebagai seorang suami.
[Ya, gimana? Terima nggak tawaran ini? Kalau iya besok kamu kirim surat lamaran dan CV ya. Biar aku teruskan ke bagian personalia. Cuma formalitas aja ini mah, soalnya aku tadi udah bicara langsung sama Pak Arga dan beliau menerima.] tulis Sinta lagi di ujung ponsel.
Aku pun buru buru mengiyakan dan tak lupa mengucapkan terima kasih banyak atas pertolongannya sebab sudah bersedia meluangkan waktu untuk mencarikan aku lowongan pekerjaan sampai sampai menghadap sendiri ke bos yang memang cukup dekat dengan Sinta karena lamanya sudah sahabatku itu bekerja di perusahaan milik Pak Arga.
Mendapati jawaban dariku, Sinta kemudian mengingatkan untuk secepatnya aku menyiapkan surat lamaran dan CV lalu menyerahkan padanya sebab dialah yang akan langsung mengurus lamaran kerjaku itu pada bagian personalia dan Pak Arga yang katanya sangat senang akhirnya aku kembali lagi ke perusahaan.
*****
"Ngapain kamu ngambil piring? Mau makan? Lapar? Ha ha ha! Bisa ngerasain lapar juga kamu setelah seharian nggak keluar kamar?"
"Tapi jangan harap ada makanan lagi buat kamu walau pun cuma sisanya ya, Alya, karena Ibu nggak akan memberi kamu makanan lagi mulai hari ini! Dengar!"
"Makan tuh malas! Biar kamu tahu rasa dan sadar kalau di dunia ini nggak ada sesuatu yang bisa didapatkan dengan gratis! Kalau kamu mau yang gratis, ngemis sana di luar!"
"Baru disuruh cuci baju Yuni aja dah ngeles minta ampun! Gitu masih ngarep dapat sisa makanan! Jangan harap, Alya! Mimpi kamu!" bentak ibu mertua tiba tiba dari sekat ruangan tengah menuju ke dapur saat aku tengah mengambil piring untuk menuangkan makanan yang baru saja aku terima dari Abang Go-Jek.
Makanan kiriman dari Sinta setelah aku jujur terus terang pada sahabatku itu kalau aku sudah seharian tak makan sementara uang aku tak punya sebab semua gaji Mas Arif sejak pertama kali kami menikah hingga sekarang ini diserahkan semuanya pada mertua dan aku tak yakin ibu mertua yang super baik hati itu bersedia menyisakan makanan untuk ibu menyusui ini setelah seharian aku memilih untuk tak keluar kamar.
Aku sebagai istri memang tak pernah mendapatkan apa apa dari suami karena alasan Mas Arif aku toh cukup makan dan kebutuhan di rumah ini, jadi tak perlu pegang uang lagi karena percuma. Sebuah alasan yang membuatku dari awal menikah, tak yakin rumah tangga ini akan langgeng selamanya.
Ya, andai aku tak kadung hamil dan sekarang ini habis melahirkan, mungkin sudah kulayangkan gugatan perceraian pada suamiku itu dari kemarin.
"Iya, enak aja keluar keluar terus mau makan! Syukurin! Tahu rasa kamu, Mbak! Enak lapar? Makanya malas jangan dituruti banget banget! Nggak enak kan akibatnya? Pilih nggak mau nyuciin bajuku dari pada tetep bisa makan kenyang! Makan tuh lapar! Dasar kakak ipar pemalas!" hardik Yuni pula yang muncul di belakang punggung ibu mertua dan ikut ikutan mengataiku.
Mendengar hardikan ke dua orang itu, aku hanya bisa menghela nafas panjang yang terasa menyesak di kerongkongan.
Saat ini perutku rasanya keroncongan bukan main setelah hampir seharian hanya minum air putih yang ada di dalam kamar, sementara aku harus terus menyusui Kayla.
Beruntung Sinta berkenan memesankan dan membayari sekalian nasi Padang, kue kue basah dan minuman dingin yang barusan diantar oleh ojek online ke rumah ini yang barusan sudah aku terima tanpa sepengetahuan ibu mertua dan adik ipar serta saat ini sudah aku simpan di dalam kamar. Kalau tidak, mungkin aku bisa pingsan karena tak secuil pun nasi dan makanan masuk ke dalam perutku sedari pagi tadi.
Tapi dengan tak ada perasaan sedikit pun, ibu mertua dan adik ipar malah tega mem-bully dan mengajak bertengkar hanya karena aku teguh untuk tak ingin diperbudak lagi oleh mereka. Benar benar menyedihkan sekaligus mengesalkan.
Tak ingin memperpanjang pertengkaran, aku pun memilih diam dan meninggalkan meja makan untuk kembali menuju ke kamar sambil tetap membawa piring dan sendok di tanganku.
Tapi baru saja hendak melangkahkan kaki, ibu mertua sudah kembali mengejekku.
"Ngapain bawa bawa piring segala? Mau makan beling kamu kayak pemain kuda lumping? Makanya jadi perempuan jangan malas! Sudahlah makan terus tiap hari gak ngerem ngerem, tambah lagi disuruh mertua susahnya minta ampun! Sana makan tuh piring! Kalau perlu batu sekalian kamu makan, biar Ibu nggak capek beli beras lagi buat kamu!" tandas ibu mertua lagi dengan nada kasar.
Aku berusaha menahan sabar dengan terus saja melangkahkan kaki, tapi tiba di depan kamar, tiba tiba Yuni mengejarku dan lantas membuka pintu kamarku lebar lebar.
Sudut matanya pun langsung menangkap makanan dan minuman kiriman Sinta yang aku letakkan di atas meja di dekat ranjang, yang seketika membuat gadis itu melotot lebar dan berdecak sebal penuh iri hati dan kemarahan.
"Bu, lihat! Ternyata Mbak Alya habis beli makanan di luar! Duit dari mana coba, Bu? Bukannya kata Ibu, Mas Arif gak pernah ngasih duit Mbak Alya? Kok bisa sih Mbak Alya beli makanan enak sebanyak ini?"
"Lihat tuh, Bu, ada rendang, jus alpukat, kue brownies. Enak enak semuanya. Apa jangan jangan Mbak Alya habis nyuri uang kita, Bu? Pantesan, soalnya akhir akhir ini aku sering banget kehilangan uang! Jangan jangan Mbak Alya yang ngambil!"
"Kurang ajar! Ayo, Bu! Kita ambil saja makanan yang barusan dia beli supaya dia nggak jadi makan dan kelaparan! Dasar maling! Ngaku kamu, Mbak kalau kamu habis maling duitku makanya bisa beli makanan sebanyak ini. Iya kan?" sergah Yuni sambil mengajak ibu mertua masuk ke dalam kamarku hendak mengambil makanan pemberian Sinta barusan.
Namun, mendapati hal itu, aku pun buru buru menghalangi dengan menarik lengan pakaian yang dikenakan oleh Yuni dan mendahului ibu masuk ke dalam kamar, lalu menahan pintu kuat kuat dengan seluruh tenaga yang aku punya.
Beruntung memang punya tubuh sedikit gemuk sehingga tubuh Yuni dan ibu yang relatif lebih kurus dan kecil dariku bisa kutahan dan kalah saat harus adu tenaga denganku.
Aku pun kemudian membuka mulut sambil melempar nota pembelian dari ojek online yang barusan aku terima pada Yuni dan ibu mertua.
"Maling duit kamu? Jangan ngarang kamu, Yun! Kamu pikir di dunia ini cuma kamu saja yang punya uang? Dengar ... semua makanan ini kiriman dari teman Mbak yang membelikannya buat Mbak! Ini kuitansi pembayarannya. Jadi nggak usah fitnah yang nggak nggak ya! Bilang aja kalau kamu pengen ikut nyicip! Tapi maaf, Ibu menyusui lagi lapar banget jadi kayak nya gak bakalan bisa nyisain buat kamu!"
"Kalau kamu banyak uang, beli aja sendiri ya! Jangan ngarep sisaan orang karena Mbak lagi laper banget! Oke ... !" ujarku sambil menutup pintu dengan kasar yang membuat adik ipar dan ibu mertuaku sontak membelalakkan matanya dan berdecak sebal mendengar jawaban dariku.
Setelah percakapannya dengan Bu Dewi yang membuat hatinya panas, Anggi melangkah keluar dari butik dengan wajah muram. Pikirannya terus memutar ucapan Bu Dewi tentang Alya, calon menantu sederhana yang telah merebut hati Arga. Tidak mungkin dia membiarkan perempuan seperti itu memenangkan segalanya.Sambil masuk ke mobilnya, Anggi mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu anak buah kepercayaan papanya yang sering dia minta jasanya untuk membantunya menyelesaikan berbagai urusan pribadinya."Hallo, Pak Rendi. Bisa bantu saya dengan sesuatu?" ujar Anggi dengan nada dingin namun penuh maksud."Tentu, Nona Anggi. Ada yang bisa saya lakukan?" balas suara pria paruh baya di seberang."Saya ingin Anda menyelidiki seseorang. Namanya Alya. Katanya dia bekerja sebagai pengelola butik Bu Dewi, ibunya Arga. Saya butuh semua informasi tentang dia. Masa lalunya, keluarganya, apa pun yang bisa Anda temukan. Secepatnya," perintah Anggi tegas."Baik, Nona. Saya akan segera mencari informasinya,"
POV Author"Tante, Apa kabar?" tanya Anggi sembari melangkahkan kakinya dengan jumawa mendekati sosok Bu Dewi yang tengah mengecek persediaan barang di butik miliknya tersebut.Mendengar suara seseorang bertanya kabarnya, sontak Bu Dewi pun membalikkan badannya dan terkejut saat mendapati sosok putri sahabatnya yang dulu dia ketahui sebagai teman dekat Arga meski Bu Dewi tak tahu persis sebatas mana hubungan mereka itu, tengah memandang ke arahnya sembari menyunggingkan senyum manis."Ang-Anggi? Kamu Anggi, kan? Putrinya Herman?""Kapan kamu pulang dari Australia, Sayang? Alhamdulillah kabar Tante baik. Kabar kamu sendiri gimana?" sambut Bu Dewi ramah sembari balas tersenyum pada sosok gadis cantik di depannya itu."Kabar aku baik baik aja, Tante. Oh ya, ini butik Tante ya? Makin gede dan maju aja, Tan. Mau dong Anggi kerja sama Tante, soalnya Anggi belum ada kerjaan nih setelah lulus kuliah kemarin, Tan," ucap Anggi pura pura ingin melamar pekerjaan di butik milik Bu Dewi padahal dal
POV AuthorUsai mengantarkan ibunya kembali ke kantor pusat, Arga pun kembali menuju ke kantornya sendiri. Namun, baru saja membuka pintu ruangan kerjanya, netranya sudah disuguhkan pemandangan yang membuatnya tak suka. Seorang perempuan muda berwajah cantik namun berpakaian kurang bahan, telah menunggunya di sofa ruang tamu.Melihat kedatangannya, wanita itu reflek bangun dari tempat duduknya lalu berjalan dengan langkah kaki gemulai dan bibir menyunggingkan senyum menggoda mendekati sosok Arga yang memandang dengan rahang mengeras karena tak mengira perempuan yang barusan meneleponnya tadi dan tidak dia angkat itu ternyata sudah menunggunya di ruang tamu ruangan kerjanya. Benar benar tak paham dengan penolakan yang dia berikan barusan."Mas Arga? Kamu dari mana? Kok telpon dariku nggak kamu angkat? Kenapa sih? Kamu sibuk banget ya sampai sampai nggak sempat angkat telepon dari aku?" tanya Anggi dengan suara manja sembari tanpa malu malu lagi langsung melingkarkan kedua tangannya di
Pov Alya"Gimana, Al? Arif masih gangguin kamu dan Kayla?" tanya Pak Arga saat siang ini mengantar Bu Dewi mengecek butik cabang yang sekarang aku kelola karena konon mobil Bu Dewi sedang masuk bengkel karena ada sedikit kerusakan.Aku menggelengkan kepala lalu tersenyum lega."Alhamdulillah enggak, Pak. Mas Arif nggak ganggu lagi. Semoga selamanya begitu ya, Pak. Aamiin," jawabku lega karena sejak pindah ke rumah baru, Mas Arif memang tak lagi bisa menggangguku.Setelah pindah ke rumah baru, aku memang memperkerjakan dua orang satpam yang bertugas menjaga rumahku selama dua puluh empat j setiap hari agar mantan suamiku itu tak bisa lagi mendekatiku atau pun Kayla, sehingga sejauh ini kami pun aman dari gangguannya."Lho ... kok manggilnya Bapak sih, Al? Mas dong. Kan kalian sebentar lagi mau menikah. Masak masih manggil bapak ke Arga?" sela Bu Dewi tiba tiba sambil menatapku.Mendengar perkataan ibunya tersebut, Pak Arga juga refleks menatap ke arahku dengan pandangan bertanya, semen
POV Arif"Gimana ini, Rif? Alya kayaknya beneran nggak balik balik lagi ke rumah ini. Jangan jangan dia udah nggak tinggal di sini lagi? Nggak mungkin soalnya dia mau lama lama di rumah sakit kalau pun Kayla sakit. Ini sudah hampir dua mingguan soalnya. Nggak mungkin demam biasa seperti Kayla itu mau dirawat lama lama di rumah sakit, Rif.""Jangan jangan Alya memang nggak tinggal di sini lagi, Rif. Kalau iya, tinggal di mana ya? Apa pindah kontrakan ke tempat lain? Terus kalau gitu gimana? Kita datangi aja ke butiknya atau gimana?" tanya Mbak Maya saat keesokan paginya kami kembali ke kediaman Alya dan lagi lagi menemukan rumah itu kosong tanpa terdengar keberadaan Kayla dan pengasuhnya sama sekali di rumah itu.Aku menghembuskan nafas mendengar perkataan Mbak Maya itu."Iya, Mbak. Kayaknya sih dia pindah kontrakan. Tapi kenapa ya? Apa karena kemarin Kayla kita culik terus jadinya dia pindah kontrakan supaya kita nggak bisa culik dia lagi gitu? Ha ha ha, kecele dia kalau begitu! Dia p
POV ArifDengan nekad dan berusaha mengumpulkan keberanian, aku, Mbak Maya dan Yuni pun kemudian mengendap endap mendekati rumah kontrakan Alya dan mengetuk pintunya dengan cukup keras saat sudah sampai di depan teras. Berharap Alya yang keluar supaya bisa langsung kami eksekusi.Namun, dari dalam tak terdengar suara siapa siapa sehingga kami pun hanya bisa saling pandang dengan ekspresi bingung. Jangan jangan benar, saat ini Alya tengah berada di rumah sakit karena kondisi Kayla yang mungkin sakit beneran akibat aku culik kemarin sehingga Alya harus menginap di sana?Berpikir begitu aku pun membuka mulutku."Gimana ini, Mbak? Kayaknya di dalam emang nggak ada siapa siapa. Mungkin bener Kayla dirawat di rumah sakit, Mbak. Sekarang gimana? Apa kita datang lagi aja besok, mana tahu Alya udah pulang dan bisa kita culik, Mbak?" kataku.Mbak Maya pun menganggukkan kepalanya tanda setuju."Iya, gitu aja deh! Besok kita ke sini lagi aja. Soalnya kalau ke tempat kerjanya kan jauh. Lagi pula