"Assalamualaikum ..." Eka dan Dika mengucap salam berbarengan, seiring dengan langkah keduanya yang memasuki ruangan. "Waalaikumsalam," jawab mereka sembari menoleh serentak. "Kakek!" teriak Eka manja sambil berlari kecil, membentangkan tangan, kemudian memeluk pria paruh baya itu, seperti anak kecil yang sedang menyambut kedatangan ayahnya. Tingkahnya sangat antusias.Pria paruh baya itu, menyambutnya tidak kalah antuasiasnya. Memeluk cucuk menantu kesayangannya. Iya. Status Eka, adalah menantu Keluarga Wijaya."Kakek ada di sini juga?" tanya Dika, langsung mengenali sosok pria paruh baya, yang duduk bersebelahan dengan Teguh Saputra."Iya, Arkana yang mengundang, Kakek," jawab Bambang Wijaya, sembari melempar senyuman ke arah Arkana di sana."Aku kangen banget sama, Kakek," ungkap Eka bernada manja, sembari bergelayut manja di lengan pria paruh baya itu."Kakek juga sangat merindukan cucuk kesayangan Kakek, yang paling cerewet dan bawel ini." Bambang balik menggoda Eka sambil mena
Malam harinya. Eka pun memasuki kamar, di sana Dika sedang duduk di pinggir ranjang. Ibu jarinya asyik menggerakkan layar ponselnya. Mimik wajahnya begitu serius saat menatap benda pipih itu. "Om, lagi ngapain, serius banget?" selidik Eka sambil berjalan menghampiri sang suami.Saking penasarannya, Eka pun duduk tepat di samping Dika. Wajahnya sengaja didekatkan, sepasang mata itu melirik ke dalam layar ponsel yang sedang Mahardika mainkan."Saya lagi cari universitas yang cocok untuk kamu, Dek," jawab Dika santai. Dia menunjukkan layar ponselnya yang terpampang gedung-gedung universitas, seperti yang dipaparkannya.Eka menjauhkan pandangannya dari layar ponsel itu. Mulutnya membentuk huruf O besar dan mengeluarkan suara gumaman, "ouhhh.""Sebenarnya, aku punya pilihan sendiri untuk universitas-nya," tambahnya pelan. Dika mematikan layar ponselnya. Kini posisi duduknya sedikit serong, menghadap ke arah Eka, yang sedang menggigit bibir bawahnya. Terlihat sedikit gelisah. "Apa itu? K
Hari berikutnya. Semua orang berkumpul di depan meja makan dan duduk di tempat masing-masing. Sepasang pengantin baru itu, tampak sangat bahagia. Dika begitu sumringah ketika memandang wajah sang istri."Apaan si, Om. Lihat-lihat kayak gitu," gerutu Eka protes lantaran terus menerus diberi tatatapn menggoda dari sang suami, membuatnya sedikit tidak nyaman."Memangnya kenapa, Dek, kalau saya terus memandangi wajah kamu?" tanya Dika santai."Enggak enak dilihatin Ayah sama Kak Ar." Eka melirik Arkana dan Teguh, yang tampak saling berbisik."Lalu, apa ngaruhnya? Ya, biarin aja kalau Ayah sama Kak Ar memperhatikan kita. Toh, kita tidak sedang melakukan dosa. Benarkan, Ayah?"Teguh Saputra mengangguk, tanpa berkata. Namun, senyuman itu mengartikan banyak hal."Bukan itu, maksudnya, Om!" erang Eka, saking gemasnya dia sampai mencubit pinggang sang suami.Dika sedikit menggerakkan pinggulnya. Cubitan gemas sang istri, "jangan cubit-cubit, Dek. Nanti ada yang ..." Dia menjeda kalimatnya, kem
Satu hari sebelum Eka masuk universitas. Dika masih berada di kantor dan baru saja menyelesaikan rapatnya.[Dek, kamu siap-siap ya. Saya mau jemput kamu.] Tulis Dika pada aplikasi chat.Eka tidak lantas menjawab. Terlihat dia belum online sejak pukul 09.00. Dika terus memperhatikan layar ponselnya dan bertanya-tanya kemana kah istrinya itu? Biasanya dia selalu cepat balas chat. Sepuluh menit berselang, chat masih belum dijawab. Dika yang tidak sabaran menggerutu kesal. Akhirnya dia memilih menelpon juga.Sambungan telponnya langsung terhubung. Tak berselang lama terdengar suara dari ujung sana.[Assalamualaikum.] Suara wanita, yang sangat pamiliar di telinga Dika.[Waalaikumsalam, Bunda?] Dika sedikit terkejut, lantaran yang mengangkat telponnya bukanlah Eka, melainkan sang Bunda tercinta.[Tumben banget telpon. Ada apa? Kangen Eka ya?] Dijatuhi pertanyaan itu, Dika pun bergumam. [Heum, Eka mana, Bunda? Dia lagi sama Bunda?][Iya, Eka lagi sama, Bunda. Bunda ajak dia ke salon. Besok
"Ayo, Bunda iku! Kita makan siang bareng," ajak Eka sedikit merengek, sambil menarik-narik tangan Annata.Mimik wajahnya sengaja dibuat memelas, supaya Annata menuruti kemauannya untuk makan siang bersama.Berhubung sudah masuk jam makan siang, Dika berniat untuk mengajak Eka ke restoran yang biasa mereka datangi. Kebetulan ada Annata, Eka pun ingin ibu mertuanya itu ikut serta. "Kalian aja. Bunda enggak mau ganggu kebersamaan kalian. Bunda harus balik ke butik juga. Ada yang harus Bunda urus," tolak Annata halus, sekaligus memberi penjelasan. Namun, menantunya itu seolah enggan mengerti.Sudah menjadi tabiat Eka seperti itu, tapi baik Annata maupun Mahardika, tidak mempermasalahkan hal tersebut secara serius. Malah mereka seolah dibuat lebih berwarna dengan tingkah laku Eka."Heum, Bunda mah. Aku kan pengen banget makan siang bareng Bunda. Udah lama kita enggak makan bareng," rengek Eka kian manja. Annata sama sekali tidak marah. Dia menghadapinya santai dan tenang. Dika yang mempe
Sesampainya di restoran yang biasa datangi. Sepasang pengantin baru itu, segera menunju meja yang kosong, di dekat jendela.Eka sengaja memilih meja itu, sebab bisa melihat pemandangan jalan raya dan pertokoan sekitar.Tak berselang lama, pelayan pun datang. Ia menyapa dengan sangat ramah dan kemudian menyodorkan buku menu kepada Eka dan Dika."Kamu mau makan apa, Dek?" tanya Dika lembut, sambil melihat-lihat daftar menu yang ada di restoran tersebut."Biasa, Om. Ayam bakar pedes. Hari ini aku pengen banget makan yang pedes-pedes." "Mba, aku pesan ini ya. Satu porsi," lapor Eka pada pelayan itu sambil menunjuk salah satu gambar pada buku menu tersebut.Pelayan itu mengangguk paham, segera ia mencatat pesanan yang Eka inginkan. Kemudian dia menatap kembali sepasang suami itu. "Om mau makan apa? Om jangan makan yang pedes ya," tambah Eka memberi peringatan kepada Mahadirga, yang memang dilarang untuk makan masakan pedas.Dika mengerutkan keningnya. Ada raut kekesalan di wajah tampanny
"Ada apa dengan kalian?" tanya Ar dengan raut wajah keheranan, menatap dan menggerakkan jari telunjuknya ke arah Dika serta Eka bergantian.Bukan Ar saja, tapi Eka pun juga menjatuhkan tatapan penuh keheranan kepada Dika."Kalian kenapa melihat saya seperti itu? Apa ada yang salah dengan saya?" Dia bertanya seolah tidak memahami situasi."Seharusnya aku yang tanya. Kenapa Om, enggak mau nonton film? Biasanya, Om seneng banget ajak aku ke bioskop buat nonton film?" Eka menjawab cepat. Dia membeberkan sedikit hal yang menjadi kesenangan Mahardika. Sementara sang aktor utama memilih untuk tak langsung menjawab.Pikirannya sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menyusun kalimat jawabannya."Dika lagi cemburu tuh, Dek," celetuk Ar, sebelum Dika selesai berpikir.Pemuda dua puluh lima tahun itu, seolah bisa membaca pikiran dari sang adik ipar. Dika tidak terlalu terkejut karena yang dikatakan Ar benar adanya."Cemburu?" Eka mengerutkan keningnya. Semula dia menatap Ar, kini telah memali
"Dek, bangun. Udah subuh," ucap Dika lembut, sambil mengelus pipi chubby istrinya.Sentuhan lembut pria tiga puluh tahun itu, membuat Eka menggeliat manja layaknya putri malu yang ketika disentuh, maka akan terkantup."Heummmmmm .... entar lagi, Om. Aku masih ngantuk," erang Eka bernada manja seperti anak kucing yang malah bangun dan matanya masih terpejam erat, walaupun Dika sudah berusaha membangunkannya sedari tadi. Dika menghela napas panjang. Kembali ia melihat jam dinding yang berada di sudut ruangan. "Dek, udah jam lima. Kapan kamu mau bangun? Seharusnya hari ini kamu ke kampus kan?" Pria tiga puluh tahun itu, masih berusaha untuk membangunkan sang istri. Kalimat demi kalimat coba Dika ucapkan. Namun, Eka masih enggan tersadar dari mimpinya."Ya sudah kalau kamu masih pengen tidur. Hari ini kita enggak jadi ke kampus. Kamunya aja malas bangun," sambungnya, yang kali ini nada suaranya sedikit ditinggikan.Tiba-tiba Eka membuka matanya, seolah kalimat yang baru saja terucap l