Share

Aku Suka Menggodamu

Di dalam mobil yang dilajukan sedang oleh sopir kami, Yumna sekali pun tak menatap ke arahku. Aku tahu dia masih marah karena ciuman pertamanya yang kurenggut semalam. Ditambah kejadian di rumah sakit saat ia terpaksa ikut denganku meninggalkan ibunya.

"Jadi harusnya kamu sudah sadar, bahwa iman yang kamu bangga-banggakan itu, tak berguna di saat-saat seperti ini," ucapku dingin.

Sontak saja perempuan itu menoleh, menatap nyalang padaku.

"Kenapa? Kamu mau protes? Heh!" Aku tersenyum sinis. Muak saja rasanya, melihat gadis tersebut saat terlalu percaya diri hanya dengan modal imannya.

Apa dia pikir, aku bukan lelaki beriman? Hanya saja aku tak suka riya', eh iya bukan, sih, namanya riya'? Ah, entahlah pokoknya itu. Aku pria beriman yang tidak bersikap sok dan menyombongkan imanku di depan orang lain.

Buktinya aku masih perjaka sampai sekarang. Bahkan demi ingin tidur dengan Bianca aku pun menikahinya. Apa lagi kalau bukan karena iman?

Yumna tak bicara, tapi dia hanya geleng-geleng. Lalu memutar malas bola mata. Dengan mata berkaca-kaca tentunya. Dari sana aku tahu, meski meremehkan sekali sikapnya dia merasa tak bisa berbuat apapun lantaran tidak punya pilihan.

"Ah, sudahlah. Terserah!"

Apa peduliku? Pernikahan ini hanya sebuah transaksi yang harusnya sama-sama menguntungkan. Aku tak ingin melewati batas, mengurusi pribadinya hingga memberinya peluang melewati batasnya juga. Itu akan sangat mengganggu.

Mobil terus melaju. Suasana hening kembali menyelimuti kami. Sementara Yumna hanya terus memandang ke luar kaca jendela, aku sibuk membuka gadged. Melihat status dari akun-akun milik Bianca.

Ya, itu lah yang kulakukan selama ini demi mengobati kerinduanku padanya. Karena nomornya tak pernah bisa dihubungi. Aku terjebak dalam cintanya, hingga dia Bianca bisa berbuat semaunya sendiri. Menghubungi sesuka hati lalu mematikan ponselnya. Ah, aku lah lelaki terbodoh di dunia ini.

Meski kenyataannya hanya ada foto-foto lama tanpa ada update terbaru di akun Bianca. Mataku tetap saja ingin melihatnya. Ke mana kamu, Bi? Kenapa tak bilang agar aku bisa menyusulmu?

Huft! Aku meniup berat. Puas menscroll akun-akunya, perhatianku beralih ke file yang dikirimkan Alina dan manajer sekaligus. Memeriksanya sebagai bahan untuk menjelaskan pada klien kami yang sudah menunggu.

Sampai di sebuah hotel, mobil kami berbelok. Begitu turun dari mobil, Alina dan Pak Jim menyambut kami.

Sebagai pria yang tak mau wibawanya jatuh, kusodorkan tangan kanan. Bersandiwara di depan semua orang, selain Devian adalah pria hangat dan perhatian, bahwa kami adalah sepasang pengantin yang sangat bahagia.

Aku memicingkan mata sambil tersenyum ke arah Yumna yang melongo menatapku. Ish, dia benar-benar gadis tak peka! Awas saja kalau sampai menepis tanganku dan tak meraihnya!

Yumna celingukan, memperhatikan sekitar. Detik kemudian mendesah, lalu tampak dengan terpaksa meletakkan tangannya di atas tanganku. Kutarik perlahan.

Namun, sepertinya gamisnya yang serupa gaun menyulitkan Yumna bergerak, hingga dia kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke arahku. Untung saja aku lekas menangkapnya hingga posisi perempuan itu menempel terbaring di lenganku.

"Hati-hati, Sayang," ucapku sambil tersenyum manis. Dia pasti tahu bahwa aku sedang berakting.

Ya ... aku sangat muak padanya. Kalau saja tidak di depan banyak orang sudah kubiarkan tubuhnya lolos, jatuh dan berbenturan dengan lantai. Itu pasti menyenangkan. Heh!

"Oh, so sweet." Suara seseorang dari kejauhan terdengar samar memuji kami.

Melihat kejadian ini, pasti akan banyak wanita yang iri dan ingin berada di posisi Yumna. Aku yakin itu.

Yumna mendesis. Tersenyum masam sebentar ke arahku. Lalu menggantinya dengan senyum manis begitu ia telah kembali berdiri dalam posisi yang kokoh.

"Mari Tuan Devian, Presdir sudah menunggu," ucap utusan klienku.

"Mari Nyonya Bianca, biar saya temani." Alina mengucap hormat pada Yumna. Namun, aku menyergahnya.

"Tidak perlu Alina, biar aku sendiri yang membawanya."

"Ehm. Ya." Mendadak wajah sekretarisku berubah. Ada apa dengannya? Ala dia kesal pada perintahku?

Kulirik ke arah Yumna, yang ternyata sudah menatapku. Kunaikkan satu sudut bibir.

Kami pun berjalan ke dalam hotel, tak lupa menggenggam tangan Yumna. Aku suka menyiksanya sekarang, dengan melakukan hal-hal yang tak ia sukai. Mencium, memeluk, menggenggam, entah apalagi nanti. Yang jelas ekspresinya ketika marah membuatku merasa puas!

Jika dia merasa menang atas sikapnya yang bisa merendahkanku, dan membuatku marah, dia salah memilih lawan. Karena aku bisa membalasnya lebih dari yang dia bayangkan.

Saat akan mencapai lift, tiba-tiba saja langkah Yumna terhenti. Ponselnya berdering rupanya. Tak lama perempuan itu segera mengangkatnya, dan aku harus bersabar berdiri menunggu.

"Apa?!" Mata bulat Yumna melebar. Dia tampak syok dengan berita yang diterima dari orang di ujung telepon. Apa yang terjadi?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status