Di dalam mobil yang dilajukan sedang oleh sopir kami, Yumna sekali pun tak menatap ke arahku. Aku tahu dia masih marah karena ciuman pertamanya yang kurenggut semalam. Ditambah kejadian di rumah sakit saat ia terpaksa ikut denganku meninggalkan ibunya. "Jadi harusnya kamu sudah sadar, bahwa iman yang kamu bangga-banggakan itu, tak berguna di saat-saat seperti ini," ucapku dingin.Sontak saja perempuan itu menoleh, menatap nyalang padaku. "Kenapa? Kamu mau protes? Heh!" Aku tersenyum sinis. Muak saja rasanya, melihat gadis tersebut saat terlalu percaya diri hanya dengan modal imannya. Apa dia pikir, aku bukan lelaki beriman? Hanya saja aku tak suka riya', eh iya bukan, sih, namanya riya'? Ah, entahlah pokoknya itu. Aku pria beriman yang tidak bersikap sok dan menyombongkan imanku di depan orang lain. Buktinya aku masih perjaka sampai sekarang. Bahkan demi ingin tidur dengan Bianca aku pun menikahinya. Apa lagi kalau bukan karena iman?Yumna tak bicara, tapi dia hanya geleng-gelen
l"Ada masalah?" tanyaku pada wanita yang tampak anggun di depanku."Tuan, izinkan saya kembali ke rumah sakit. Ibu saya pingsan.""Apa?!" "Saya mohon, Tuan.""Hanya pingsan bukan? Coba kemarikan ponselnya." Kusodorkan tangan meminta benda pipih yang jadi penghubung Yumna dengan orang di ujung telepon.Perempuan yang memakai pakaian syar'i itu memberikannya dengan ragu sampai aku harus menggerakkan tapak tangan.Ini adalah acara penting mana bisa kubiarkan dia pergi, bahkan jika bumi terbelah."Hallo.""Ya, hallo." Suara seorang perempuan terdengar di ujung telepon."Siapa dia?" tanyaku pada Yumna, dengan menjauhkan ponsel sejenak."Penjaga ibu saya.""Eum." Aku manggut-manggut tanda mengerti."Bagaimana keadaan Ibunya Yumna?""Beliau pingsan Tuan, em tadi tetangganya menjenguk dan bilang Mbak Yumna terpaksa menjadi istri kedua demi pengobatan ibunya," terang orang di seberang sana."Apa?" tanyaku sambil mengurut pelipis. Ah, ini dilema. Kenapa di saat mati-matian Yumna menyembunyikan
Melirik sekilas jam yang menempel di dinding kantor. Rupanya jam kantor telah berakhir.Tak lama, tatapanku beralih ke suara yang berasal dari arah pintu. Rupanya Alina yang mengetuk."Ya, masuklah.""Tuan belum pulang?" tanyanya sembari meletakkan sebuah kotak makanan."Ya, sebentar lagi," jawabku sambil meregangkan tubuh. "Ini apa?" tanyaku melihat sesuatu yang ditaruh di atas meja."Makanan Tuan. Saya lihat, Anda hanya makan siang sedikit tadi.""Hem? Kamu melihatnya?""Ahm, ya kebetulan saya tadi juga makan siang di sana. Hanya saja tidak berani mengganggu." Perempuan itu bicara dengan sopan."Ouh." Aku manggut-manggut. "Oya, soal surat yang kamu serahkan." Kuambil surat milik Alina yang sudah kusimpan dalam laci dan menaruhnya di atas meja."Ya Tuan?" Dia tampak heran."Maaf, aku mencintai istriku. Kamu tau kan aku sudah beristri.""Istri yang mana Tuan?" Alina tampaknya sangat penasaran, dari dua alisnya yang terangkat saat menatapku."Hah?" Ah ya, aku baru sadar, bahwa istriku
Sebelum ke Bandara, aku mengatakan pada pelayan agar memindahkan semua barang Yuma ke kamarku. Entah, bagaimana reaksinya nanti. Aku tak peduli!Di sini aku suaminya dan dia istriku, jadi apapun itu, Yumna harus menurut.Dua puluh menit menunggu, aku mulai gelisah. Kedudukan sebagai orang nomor satu di perusahaan tidak memberi ruang untuk berleha-leha, atau membuang waktu. Sederet kegiatan sudah menunggu untuk dipenuhi di daftar skedulku.Aku berusaha duduk santai di kursi tunggu Bandara, sambil membuka-buka ponsel. Menunggu kedatangan orang tua. Di internet, aku mencari tahu bagaimana Yumna selama ini hidup dari akun-akun media sosialnya.Entah, sikapnya membuatku penasaran. Jangan salah, ini bukan penasaran karena jatuh cinta padanya. Mana mungkin seorang Devian jatuh cinta pada gadis yang sok alim, dengan pakaian tertutupnya. Sama sekali tak cantik. Yah, walau kadang tampak cantik juga sih.Dan hal yang membuatku tak bisa jatuh cinta pada Yumna karena keduanya sangat berbeda. Bianc
Untuk mempertahankan harga diri, akhirnya Yumna menarik kain penutup yang terbalut rapi pada kepalanya. Persis di hadapanku. Apa ini? Dia sengaja menggoda?***Kelakuan gadis itu sungguh di luar ekspektasi, ia bisa merasa sesenang sekarang setelah mengerjaiku. Namun, aku tak boleh lupa diri dan kembali fokus pada tujuan awal. Membuat Mama bisa menerima Yumna sebagai Bianca untuk sementara waktu. Sabar Dev, sabar. Hadapi Yumna dengan kepala dingin. Coba berdamai dengannya agar bisa mengatur rencana secara matang. Yah, kami adalah tim sekarang. Apa jadinya kalau karena kekesalanku padanya, terbawa perasaan dan menjadikan semua berantakan. Perlahan tanpa komando dariku, perempuan yang masih mengenakan gamis rapi sepulang dari kampus itu mendekat pada Mama."Assalamualaikum, Ma," ucapnya sembari meraih tangan Nyonya besar yang ekspresinya terlihat dingin, untuk mencium punggungnya disusul Papa yang berdiri di sampingnya. Papa tersenyum, beliau ini memang lebih kalem ketimbang Mama."
Kami saling tatap untuk beberapa saat. Gadis itu menatapku dalam, seolah keinginannya untuk tahu tentangku sangat besar. Di saat yang sama otakku berputar mencari cara agar Yumna tak menanyakan ini.Hingga kutemukan jawaban untuk mengalihkan perhatiannya."Hemh. Kamu terlalu banyak nonton drama, Nona!" Aku menyeringai. Melakukannya seolah pertanyaan konyolnya itu membuatku geli. "Apa pertanyaan itu muncul karena aku tak tertarik padamu?" Yes! Kata-kata ini sangat keren. Selain bisa menutup mulutnya, sekaligus aku bisa menyerang pribadi wanita tersebut."Apa!?" Yumna seolah terkejut. Meski pun itu benar, pasti akan sulit mengakuinya."Oh, bukannya saya kecewa, itu bukan masalah buat saya, Tuan. Lagi pula saya tidak menginginkan itu. Yah, sebenarnya banyak pria normal di luar sana yang mati-matian mengejar saya. Dan normalnya, seorang pria kalau sudah pernah begituan, dia tidak mungkin berpuasa terus-terusan." Dia jadi bicara melebar ke mana-mana."Ck. Kamu ngomong apa, sih?" Kusibak s
Ampuni hamba Tuhan. Setelah menyentuh sekretarisku, Alina, hamba janji akan bertobat. _______Ponselku bergetar saat di mobil. Dari Alina.[Apa sudah Tuan terima? Saya jadi tak sabar menunggu pekerjaan hari ini selesai Tuan.]"Hem, apa maksud Alina?" Aneh sekali gadis itu. Apa dia sedang membicarakan liburan di Bali? Hemm, jadi malam ini aku harus pamit kerja lembur? Heh. Tapi apa maksud sekretarisku, tentang aku sudah menerima apa belum? Apa dia mengirim sesuatu?Aku pun berniat menanyakan untuk memperjelas maksud Alina? Namun, panggilan dari nomor lain membuatku urung melakukannya."Yumna?" Ish, apa yang ia perlukan sekarang? Pasti tentang ibunya."Hallo?" sapaku."Hallo, Tuan. Saya sedang berada di minimarket mencari sayuran. Saya hanya ingin bertanya masakan yang Nyonya Adiwijaya suka?"Dugaanku salah. Kenapa dia terdengar ceria? Dia juga perhatian pada orangtuaku.Aku segera menggeleng. Tak boleh lengah oleh sikapnya yang baik di depan, tapi menusuk di belakangku seperti tadi
Tanganku refleks terkepal, di atas meja ruang kerja keluarga Adiwijaya. Kesal. Tak menyangka jika Alina kecolongan untuk hal yang harusnya menjadi rahasia antara dirinya dan aku saja. Perselingkuhan adalah hal yang menjijikkan untuk Mama. Melihat bagaimana dia bertindak tegas untuk hal-hal semacam itu sejak lama. Wanita itu seperti memiliki trauma.Ah, ini sangat memalukan."Kamu sangat ceroboh Nona Alina. Bagaimana bisa kamu mengirim tiket ke rumah? Padahal kamu tau orang tuaku tiba kemarin," omelku dengan gaya elegan, bagaimana seorang bos bicara pada bawahannya. Perasaan dan debar-debar sebab ingin mereguk sebuah kenikmatan darinya hilang dalam sekejap. Kini hanya menyisakan sebuah kekesalan.Ah, ini bukan salah Alina sebenarnya. Tapi Yumna, yang berpura-pura jadi Devian dan meminta Alina mengirim benda laknat yang membuat gaduh itu ke rumah."Sa-saya minta maaf, Tu-tu-an. Tapi Nyonya Yumna ...." Suara di ujung telepon bergetar. Jelas saja. Tak usah dia beritahu bahwa itu kelaku