Share

Jangan Tuan!

"Maaf." Yumna memegangi pakaian bagian atas seolah takut teelihat olehku.

"Ahya."

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Bianca ingin bicara denganmu. Boleh akun masuk?"

"Ya, tentu saja. Saya ini istri, Tuan."

"Apa?" Apa maksudnya sekarang? Apa dia aku memperlakukannya seperti Istriku? Yang benar saja.

"Maaf." Gadis itu meraih ponsel di tanganku dan bergeser memberi jalan untukku masuk.

"Hai!" sapa Bianca.

"Assalamualaikum." Yumna membalas dengan salam.

"Waalaikumsalam. Wah, Yumna ... ternyata benar kamu gadis alim," puji Bianca kemudian.

"Makasih ya sudah mau menikah dengan Mas Dev. Tolong jaga dia."

"Ehm. Baik, Nyonya. Eh. Mbak."

"Ish panggil Bianca saja."

"Baik." Yumna tersenyum tipis. Dia kini pasti bingung luar biasa. Barangkali dia pikir aku lelaki yang menikah lagi karena pengkhianat.

Tapi... Bianca malah mengapresiasinya. Mana ada istri sah baik sama pelakor? Yang ada malah diracun.

Tak lama obrolan pun selesai. Kini, aku kembali menatap dalam -dalam pada Yumna. "Sekarang kamu tahu kan bahwa aku tak pernah berkhianat pada Bianca. Aku bahkan sangat mencintainya," ucapku tak peduli dia paham apa tidak.

Sebelum terjadi yang tidak-tidak aku pun berpamitan keluar. Jujur saja aku ini pria normal, mana kuat berduaan dengan perempuan di kamar, mana Yumna sangat mirip dengan Bianca dan dia tengah memakai pakain terbuka.

"Tuan, tunggu!" Yumna menghentikanku.

"Ya?"

"Apa saya boleh minta sesuatu?"

"Minta sesuatu?" Aku meneleng memikirkan maksud perkataannya. "Apa kamu kekurangan?"

"Em, bukan begitu. Saya meminta hal lain selain harta."

"Ya?"

"Maukah Tuan jadi imam sholat saya malam ini, dan mendoakan saya sebagai pengantin baru?"

"Apa? Apa kamu sangat ingin tidur denganku?" Mataku melotot. Siapa yang menyangka, gadis tertutup sepertinya malah menuntut lebih dulu pada suaminya.

_______

Saat mengobrol dengan klien-klien, Yumna datang bersama sekretarisku, Alina.

Gadis itu didandani dengan pakaian yang terlihat elegant meski menutup auratnya sempurna. Tentu saja harus elegan, karena dia menemui klien-klien perusahaan. Mereka adalah orang-orang dari kalangan atas.

"Hai, Sayang," sapaku menghambur ke arahnya. Kuberi ciuman cepat, membuktikan bahwa rumor Devian adalah suami pengkhianat adalah salah, istriku cuma satu dan dia adalah Bianca yang diganti sosoknya oleh Yumna.

Mata gadis itu melebar. Terkejut pasti. Bahkan tangannya terkepal meremas gamis yang dikenakan, sampai kugenggam agar dia paham posisiku.

"Oh so sweettt." Istri Mr. Karl memuji sikap romantisku pada Yumna.

"Kenalkan, ini Bianca, istri saya." Kuperkenalkan Yumna sebagai Bianca pada semua orang.

Yumna pasrah. Memperlihatkan senyumnya. Walau aku tahu senyum itu adalah sebuah keterpkasaan.

_______________

Saat aku, Yumna dan Liana berada di lift dan tak ada orang lain, Yumna mulai berani menampakkan kemarahan dan mengomel.

"Jangan menciumku!" Diremas bibirnya seolah menghilangkan bekas bibirku. Konyol sekali!

"Kenapa?" Aku tersenyum sinis malas menanggapi.

"Apa kamu tak tahu malu?!" teriaknya kemudian, karena merasa diremehkan karena responku.

"Apa?! Aku tak tahu malu? Yang benar saja," ucapku dingin.

"Aku sudah membayarmu, jadi kamu adalah milikku. Mau aku menciummu ataupun berbuat lebih dari itu, kamu tak berhak menolaknya," tekanku pada Yumna yang wajahnya tampak merah padam.

Alina hanya diam, berdiri di pojok lift dengan menatap ke arah lain. Ya, dia selalu tahu diri bagaimana harus bersikap.

"Ya aku tahu! Apa perlu Anda mengulangnya lagi dan lagi?!" Dia masih terus bicara.

Merasa muak, aku mendekat dan kembali mendaratkan ciuman untuk menutup mulutnya.

Sementara Alina jadi salah tingkah dan membalik badan melihat kami.

________

Dalam beberapa detik waktu menjeda, akhirnya Yumna mendorong tubuhku.

"Plak!"

Tamparan keras mendarat, hingga menyisakan rasa sakit menjalar di pipi. Alina bahkan sampai terlihat takut.

Kurang ajar! Gadis sombong itu berani memukul wajahku. Wajah tampan yang membuat banyak orang tertunduk dan hormat.

Rahangku mengeras, kutajamkan tatapan dengan tangan terkepal siap membalasnya. Namun, di saat yang sama pintu lift terbuka. Terakhir kali kulihat wajahnya masih merah padam. Sinis. Sebelum akhirnya suara yang berasal dari sepatunya terdengar ketika ia melangkah pergi meninggalkanku dengan kebencian.

Moodku ambyar. Ingin mencari pelampiasan atas rasa sakit hati ini. Namun, aku harus menjaga wibawa di depan semua orang terutama para pegawai. Benar-benar dilema.

_______

Sejak kejadian kemarin, aku terus saja dongkol pada Yumna. Ketertarikan yang sempat hadir karena kemiripannya dengan Bianca, lenyap seketika. Perempuan sombong itu tak pantas mendapatkan perlakuan baik dari seorang Devian apalagi perasaannya.

"Nak, kamu nggak papa kan?" Ibu Yumna memegangi tangan puterinya.

Setelah sekian waktu wanita itu akhirnya sadar juga, dan mulai menginterogasi kehidupan perempuan yang kunikahi. Aku belum menyentuhnya, dan ia masih gadis sampai detik ini. Mana bisa aku menyentuhnya selagi hatiku milik istri pertamaku, Bianca.

Yumna mengangguk menjawab pertanyaan ibunya. Seolah tak terjadi apapun dalam hidup yang dijalani. Padahal hari itu dia bilang menderita atas pernikahan kami, tapi ... kenapa di depan ibunya bilang bahwa dia baik-baik saja?

Apa karena dia berubah pikiran atas pernyataan sombongnya padaku, bahwa sumber kebahagiaan itu bukan harta. Melainkan keimanan yang disematkan dalam dada.

Bullshit!

Coba saja dia hidup dengan iman dan tanpa uang? Mana bisa? Nyatanya dia mau jadi jongos yang mau menikah dan jadi istri keduaku. Dia hidup dengan menjilat ludah sendiri. Dan saat semua itu aku katakan pada Yumna, dia terdiam.

Seseorang yang hidup dalam mimpi, kadang perlu disadarkan dengan kenyataan. Sok bijak dan banyak bicara. Tapi fakta mengatakan nasehat-nasehat indah dan surga tak bisa menghidupinya.

"Iya, Bu. Yumna nggak papa. Alhamdulillah Ibu akhirnya sadar." Perempuan berusia 21 tahun itu bicara sambil menangis.

Huft?! Kutatap arloji di pergelangan tangan kiri. Kenapa pula aku harus menyaksikan drama ini? Waktuku habis, aku harus bertemu clien di jam makan siang.

"Ehem." Aku berdehem memberi kode pada wanita yang telah kubeli itu.

Yumna terhenyak. Menatap sekilas padaku dan kembali bicara pada ibunya.

"Ohya, Bu. Ini suami Yumna. Namanya Mas Devian." Dia bangkit dan menunjuk padaku.

Aku tersenyum samar. Lebih pada senyum yang dipaksakan. Tak peduli reaksi wanita itu padaku.

"MaasyaAllah, dia suamimu?" Mata tua itu berkaca-kaca, yang kemudian dijawab anggukan kecil oleh Yumna.

Wanita itu memperhatikan dengan tersenyum yang makin lama semakin memudar. Seolah tak suka padaku. Ada apa? Apa ada yang salah dengan wajah tampan ini?

"Tapi ... kamu masih kuliah, Yumna. Kenapa menikah dengannya?" Matanya melebar. Menampakkan rasa tak sukanya pada keputusan Yumna.

Heuh. Kalau saja ibu tua itu tahu, bahwa tanpa menikah denganku, bisa jadi sekarang tubuhnya sudah beristirahat tenang di kuburan.

Ya, pernikahanku dan Yumna adalah pernikahan kontrak, sampai aku mendapatkan istri pertamaku kembali.

Yumna harus menurut semua kemauanku, karena tubuhnya adalah milikku. Aku membelinya dan dia bisa membayar biaya sakit ibunya.

Kalau kalian pikir, aku memaksa Yumna dan berkhianat pada istri pertamaku, kalian salah besar.

Aku menikahi Yumna bukan karena terobsesi hubungan ranjang, tapi semua terpaksa kulakukan demi permintaan Bianca. Dia memintaku menikahi Yumna dan memanfaatkan keadaan ibunya.

"Yumna bisa nyambi, Bu." Gadis itu coba memberi pengertian ibunya.

"Maaf kita harus pergi," ocehku mengingatkan pada Yumna agar meninggalkan ibunya.

Aku ada pertemuan dengan Presdir Handoko, dan lelaki itu memintaku membawa istri untuk menemani istrinya. Demi, tender Yumna harus ikut, tak peduli jika dia sangat merindukan ibunya sekarang.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status