"Pulanglah Yumna!" titah mama mertua. Yumna lemas dan terduduk, ia melebarkan mata mendengar perintah itu. Yang ditakutkan terjadi, Nyonya Adiwijaya akan memisahkannya dengan Devian. Tidak menjawab, ia menggeleng. Mencoba bertahan. Tidak ingin saat Devian bangun, dirinya tak berada di sisi suami. Nyonya Adiwijaya tersenyum miring. "Dasar bodoh. Aku tau sejak awal kamu gadis bandel! Itu kenapa aku memilihmu."Yumna yang bergeming sontak mendongak melihat pada mertua, matanya yang basah menyipit. Mencoba menerka apa yang dimaksud sang mama. "Ah, lupakan! Aku suka melantur saat kalut seperti ini."Nyonya Adiwijaya menyeka airmata lalu duduk di samping Yumna. Ia yang tengah bersikap kasar melirik pada seorang wanita yang tak jauh dari tempatnya.Satu sudut bibir Nyonya besar itu terangkat. Wanita itu memang tengah sedih dan terluka karena anak semata wayangnya terbaring di ruang ICU, tapi sebagai wanita yang punya posisi penting, istri Adiwijaya itu tidak boleh lengah dan tetap mendahu
"Tu-tuan sudah sadar?" Mata yang basah dibanjiri lelehan bening itu membulat. Ia terkejut sekaligus sangat senang, Devian bangun. Ingin sekali ia memeluk, tapi enggan. Tidak menjawab, CEO itu menepuk dadanya dengan sedikit tersenyum. Memberi isyarat agar Yumna meletakkan kepala di sana. Tidak berpikir panjang Yumna memeluknya erat, meletakkan kepala yang terbalut khimar dengan pasrah. Tangisnya kembali pecah. Devian membiarkannya sampai wanita itu merasa puas, hal yang sama saat pertama kali ia memeluknya. Waktu terjeda beberapa saat hingga Devian memecahnya. "Teruskan sampai kamu puas, siapa tau kita bisa mengulang apa yang kita lalui kemarin lusa." Devian mengucap pelan. Mendengar itu Yumna sontak mendongak menarik kepalanya duduk ke posisi semula. "Apa?""Hemh." Devian tersenyum menggoda. "Kamu suka sekali menangis, Yumna. Akhir-akhir ini kamu terus menangis. Meski aku bisa memanfaatkan kesempatan saat kamu menangis di pelukanku, tapi aku lebih suka kamu judes dan tertawa lepa
Yumna yang memegangi ranjang tempat Devian, takjub dengan pemandangan di hadapan mereka. "Apa ini legal Tuan?""Hemh, kamu memanggilku tuan lagi." Devian tersenyum masam. Namun, Yumna tak menoleh sedikit pun ke arahnya. "Hei!" seru pria itu. Yumna tersentak karenanya. "Ayo, sampai kapan kita di sini? Bahan bakar sekarang mahal," sambung Devian lagi, meminta Yumna agar segera mendorongnya mendekat pada benda yang akan membawa mereka. Saat keduanya berhasil masuk dengan dibantu beberapa anak buah Devian, dan bersiap untuk menutup pintu kabin, seseorang datang mengejutkan mereka. "Mas Dev!" Seorang wanita berteriak memanggil, rambut panjangnya yang ikal berhamburan ke sana ke mari karena terpaan angin di atas gedung. Devian sangat syok dengan kedatangan wanita itu. "Bianca?"Begitu pun Yumna ia melihat sosok istri pertama Devian dengan tak percaya.Tatkala mata Bianca menangkap sosok Yumna yang tengah duduk begitu dekat dengan Devian, senyumnya seketika hilang.'What?! Bukannya Al
Yumna menyeka air matanya sebelum ada yang melihat, meski ia masih ingin terus menangis meluahkan semua sesak di dada. Ini terlalu perih baginya, ia baru tahu bagaimana cemburu bisa semenyakitkan sekarang. Namun, bukankah setiap pilihan memiliki resiko? Berbagi waktu dan perhatian suami adalah hal mutlak bagi pelaku poligami. Dan Yumna sudah memutuskan secara matang menempuh jalan ini.Dilangkahkan kaki menuju kamar sang ibu dirawat. Sesampai di ruangan berukuran lima kali sepuluh di mana seorang wanita tua terbaring dengan berbagai alat tersambung di tubuhnya, wanita berparas ayu itu segera meletakkan tas jinjing dan menghambur ke arah sang ibu setelah mengucap salam, tanpa basa-basi dengan wanita yang telah membukakan pintu untuknya. Wanita lain yang menjadi penjaga pasien hanya diam melihat kedatangan orang yang mempekerjakannya. Anak mana yang tidak rindu setelah meninggalkan orang tuanya lebih dari seminggu dalam keadaan sakit? "Assalamualaikum, Bu." Yumna mencium tangan yang m
Yumna tampak menyeka air mata sesaat sebelum meninggalkan ruangan. Kalau saja tak ada se siapa, ia pasti masih ingin terus menangis meluahkan semua sesak di dada.Hati ini ikut perih menatapnya, membiarkannya menghadapi cemburu. Bahkan Yumnalah yang tengah merasakan kecemburuan itu, tapi aku ikut merasai hal semenyakitkan sekarang. Ternyata begini, melihat orang yang kucintai terluka karenaku.Maafkan aku Yumna ....Namun, bukankah setiap pilihan memiliki resiko? Berbagi waktu dan perhatian suami adalah hal mutlak bagi pelaku poligami. Dan Yumna sudah memutuskan secara matang menempuh jalan ini sejak awal. Dia memilihnya, dan tak boleh menyesali.Lalu Bianca? Dia juga menekuk wajahnya di depanku berkali-kali. Betapa pun wanita itu tampak lebih tegar dan menyembunyikannya dariku. Namun, setidaknya itu membuatku puas. Belum pernah aku melihat Bianca ekspresinya seperti sekarang? Atau hanya aku saja yang terlalu percaya diri? Sebenarnya dia hanya pura-pura cemburu agar aku merasa bersa
Manajer berdiri di depan kaca kantor besar perusahaan Angkasa Group, dari tempatnya berdiri ia bisa menatap banyaknya bangunan tinggi menjulang di sekitar tempatnya sekarang. Angkasa Group bukan sembarang perusahaan. Dari sini, lelaki itu sadar, punya kestabilan jabatan untuk menjaga ekonominya. Dia juga memegang peran penting perusahaaan sebab menjadi orang kepercayaan Nyonya Adiwijaya. “Bagaimana? Apa kamu sudah menyiapkan jawaban manis untukku?” tanyanya pada orang di ujung telepon. “Maaf tadinya aku berpikir, akan memberi tau siapa orang itu. Tapi, setelah kami tau betapa jahatnya Nyonya Adiwijaya pada menantunya, aku mengurungkan niat. Ah, rasanya senang memegang kartu orang besar.” Kepala gangster menjawab enteng dari ujung telepon. Bicara dengan nada mengancam adalah salah satu bakat yang dimiliki selain dedikasi pada kliennya.“Hemh. Kamu mengancam? Seorang Adiwijaya? Hahaha. Kamu pikir dengan kekuatan mereka, kalian bisa memberikan bukti pada pihak berwajib?” Manajer bicar
Nadia berjalan dengan perasaan tak nyaman. Seolah ada yang terus mengawasi gerak-geriknya yang sudah menjauh dari rumah sakit. "Ayolah, Nadia. Kamu sudah ada di Bandung sekarang." Ia bermonolog. Seolah perlu bicara sendiri. Perempuan itu terus berusaha menenangkan diri di sela langkah. Meski kenyataannya gagal. Perasaan gelisah menghantui. Nadia tengok kanan dan kiri. Benar saja tanpa ia tahu, dua pasang mata mengintai gadis itu dari dalam mobil yang terparkir di lorong jalan tempat tinggalnya yang baru. "Sekarang kita habisi dia?" Seorang pria bertanya pada rekannya yang duduk di kursi kendali. Tak sabar rasanya menyelesaikan pekerjaan dan pulang dengan lega. "Tunggu perintah, Bos. Sejauh ini dia hanya ingin tahu di mana gadis itu berada," jawab rekannya yang duduk di sampingnya. "Hem. Baiklah," sahutnya lagi. Sembari menyesap kopi dalam cup yang dibeli saat perjalanan tadi. Sudah dua hari ini mereka bekerja mencari sosok yang menjadi ancaman Nyonya Adiwijaya. Dan baru sekaran
"Jangan hubungi aku!" Bianca berbalik dan meninggalkan Devian dengan kebingungan. 'Aku pasti sudah gila! Sekarang aku benar-benar jatuh cinta padanya!' Pria itu tak bisa mencegah Bianca pergi. Ia merasa bersalah telah melukai hati Bianca, namun hanya sebatas itu. Yah, rasa bersalah. Tak mengerti cinta menggebu-nggebu untuk Bianca dulu pergi ke mana? Selepas kepergian sang istri, Devian meraih ponsel menghubungi seseorang. "Kamu ikuti Bianca, dan cari apa pun yang oa kerjakan!" perintahnya pada orang di ujung telepon. Pria itu kembali menatap langit-langit. Apa yang ia lakukan memang sangat keterlaluan. Ia berpikir, selama ini sama sepertinya, Bianca pun tulus mencintai. Di saat wanita itu meminta waktu untuk bisa kembali, dengan egoisnya ia memilih menikah lagi, hanya untuk membuat Bianca cemburu dan kembali ke pelukannya. Namun, semua berbanding terbalik. Bianca tak juga kembali hingga ia pun jatuh hati pada istrinya yang baru. Ia teringat bagaimana kali pertama, bertemu dengan