Kami saling tatap untuk beberapa saat. Gadis itu menatapku dalam, seolah keinginannya untuk tahu tentangku sangat besar. Di saat yang sama otakku berputar mencari cara agar Yumna tak menanyakan ini.
Hingga kutemukan jawaban untuk mengalihkan perhatiannya."Hemh. Kamu terlalu banyak nonton drama, Nona!" Aku menyeringai. Melakukannya seolah pertanyaan konyolnya itu membuatku geli."Apa pertanyaan itu muncul karena aku tak tertarik padamu?" Yes! Kata-kata ini sangat keren. Selain bisa menutup mulutnya, sekaligus aku bisa menyerang pribadi wanita tersebut."Apa!?" Yumna seolah terkejut. Meski pun itu benar, pasti akan sulit mengakuinya."Oh, bukannya saya kecewa, itu bukan masalah buat saya, Tuan. Lagi pula saya tidak menginginkan itu. Yah, sebenarnya banyak pria normal di luar sana yang mati-matian mengejar saya. Dan normalnya, seorang pria kalau sudah pernah begituan, dia tidak mungkin berpuasa terus-terusan." Dia jadi bicara melebar ke mana-mana."Ck. Kamu ngomong apa, sih?" Kusibak selimut yang menutupi tubuh sambil mendecak kesal. "Awas minggir!"Aku berdiri dan menyenggol tubuh Yumna hingga oleng ranjang. Penampilan saja polos, tapi yang dibahas hal sensitif. Apa dia tidak malu. Huh! Aku saja malu. Sekali pun belum bisa menaklukkan seorang wanita.Hal ini refleks mengingatkanku pada Bianca. Di mana perempuan cantik itu tiba-tiba melepaskan tubuhnya dan mendorongku di saat suasana sedang panas-panasnya. Mengajak pindah ke hotel, dan malah menghilang di sana. Sejak saat itu aku merana tiap malam, merindukan kehadiran Bianca.Untunglah kedua orang tuaku tidak tahu, aku bisa menyimpan rapat-rapat karena saat resepsi keduanya tidak bisa berhadir sebab Papa sambungku harus operasi jantung mendadak di Inggris. Aku pun beralibi dengan beberapa pegawainya tentang kenyataan yang tengah kuhadapi."Hiss. Apa Anda seorang psikopat?!" Kesal, Yumna mendesis, meneriakiku yang sudah berjalan masuk ke kamar mandi. Rasakan itu! Dasar gadis Omes!_______________Di kamar mandi aku terus kepikiran ucapan Yumna. Huft."Dasar perempuan gak waras!" Aku yang mengenakan kaos oblong dan celana boxer menggerutu di sela aktifitas menggosok gigi."Apa dia gak bisa bedakan pria normal dan tidak normal?!" ucapku kesal, sebelum air memenuhi mulut untuk kumur-kumur dan menghempaskan cairan berbusa ke wastafel.Melihat deretan gigi-gigiku yang sudah putih dan bersih, kubuka kaos hingga bisa melihat perut sixpack di kaca."Apa aku terlalu gemulai?" Yumna benar-benar! Sampai aku mempertanyakan karakterku sendiri."Terlalu tampan?" Aku tersenyum sinis. Melihat wajah setampan itu di kaca. Jelas penuh keyakinan, bahwa kepergian Bianca memiliki alasan kuat. Mana mungkin dia pergi meninggalkan pria setampan Devian."Masa otot sebesar ini dibilang gak normal?" Bahkan saat memiringkan badan tampak otot-otot di tangan dan perut, aku berbolak-balik seperti binaragawan."Apa aku harus membuktikan pada perempuan itu? Tapi bagaimana caranya? Tidak mungkin lah bilang aku belum tidur dengan Bianca. Bisa hilang kegagahanku. Hemh." Aku terus berpikir. Ini menyangkut harga diri sebagai seorang lelaki.Harga diri yang pernah tercabik-cabik karena ketololanku sendiri. Aku harus berkali kembali mengingat tentang hari di mana Bianca pergi, itu sangat memuakkan. Wanita itu pergi bahkan sebelum kaki kami menjejak di lobi hotel.Aku pun keluar kamar mandi. Begitu mata ini menatap cahaya dari sebuah ponsel, aku pun mendekatinya."Hem? Kenapa ponselku menyala? Hangat."Apa ada yang membukanya?__________Begitu selesai dan berpakaian rapi, aku pun bergegas ke ruang makan. Namun, saat mendengar Yumna bicara tentangku dengan para pelayan, aku pun kembali menarik diri bersembunyi. Agar tahu apa yang dibincangkan sebenarnya tentangku.Yumna meletakkan piring dan beberapa mangkuk yang berisi sayur ke atas meja makan bersama dengan beberapa pelayan."Bi, apa Tuan Devian tidak pernah sholat?""Sholat?" Pelayan itu tampak berpikir sejenak. Pelayan mengosongkan tangan dari makanan lalu mengangkat tangan dan meletakkan keduanya di dada. "Apa yang seperti ini, Non?"Yumna tertawa kecil. "Betul, Bi.""Oh, ya. Tuan Devian itu muslim yang taat, Non. Tiap kali lebaran pasti sholat begitu di masjid." Pelayan menjawab sambil memegang piring kembali.Bagus, dia memujiku. Yah, memang seperti itulah aku. Seorang muslim yang taat. Bedanya aku tak sombong seperti Yumna."Lebaran? Cuma pas lebaran, Bi?!" Mata jelinya membulat. Ada apa dengan ekspresi itu. Apa dia terkejut?"Heh." Gadis itu tersenyum sinis.Lihatlah senyumnya yang meremehkan itu. Ingin sekali aku memarahinya. Apa yang salah dengan itu coba? Bukannya masih mending daripada gak sholat sama sekali. Si Raka contohnya.Huft! Sabar, Dev. Sabar.Apa dia kepikiran soal tadi pagi, saat bangun dia merasa tak nyaman melihatku masih lelap sedang dirinya sholat subuh. Mau bagaimana lagi. Aku sangat lelah.Tapi kalau dipikir dia memang sangat rajin mengerjakan sholat. Untuk satu hal ini, aku salut padanya bisa konsisten dalam beribadah.Setelah makanan 90% telah siap, Mama dan Papa datang."Dev, sedang apa kamu di sini?"Terang saja aku gelagapan karena itu. Yumna bahkan sampai menoleh. Sial. Apa dia kini sedang berpikir aku menguping?Tapi jangan sebut namaku Devian kalau tak bisa cari-cari alasan."Em, ini Ma. Lagi meriksa dinding. Kayaknya Dev perlu mengganti interiornya." Aku tersenyum. Untuk menghilangkan kecanggungan."Wah, Papa suka kamu memperhatikan hal detail itu, Dev.""Makasih, Pa.""Apa kamu mau pergi bareng Papa, memilih langsung interior yang cocok?""Apa?" Mulutku terbuka. Kenapa Papa mengajak untuk hal sesepele itu? Apa dia tidak berniat pulang ke Inggris dalam waktu dekat?"Tap, tapi Papa kan harus ke Inggris. Biar Devian saja, Pa. Ini soal kecil." Aku beralasan."Ayolah, ada banyak hal yang harus kuselesaikan di Indonesia. Di sela itu kita bisa me time bareng." Papa tersenyum menatap ke arah Mama yang juga tengah tersenyum pada pria tua itu."Ah, ya sudahlah. Kita makan saja." Aku pun mengalihkan perhatian.Tak mau terus membahas dan seolah mendukung kedua orang tuaku untuk berlama-lama di sini. Takut jika tiba-tiba Bianca datang dan mereka akan melakukan sesuatu padanya karena mengganggap sebagai pengganggu rumah tanggaku dengan Yumna. Padahal dia lah ratuku sesungguhnya.Mereka menyapa Yumna dengan ramah. Saat tatapanku bertemu dengan Yunna. aku sangat ingin menampakkan wajah dingin dan kesal padanya karena telah menggosipkanku di belakang, tapi keberadaan orang tuaku membuatku harus tersenyum manis untuk perempuan itu.Ketika acara makan berlangsung, seorang tamu datang. Semua orang memelankan kunyahan di mulut mereka. Termasuk aku."Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" tanya Mama heran."Oh, itu pesanan saya, Ma. Maaf biar Yumna lihat," ucap Yumna. Dahiku mengerut. Apa yang dipesan pagi-pagi begini?Tanpa basa-basi ia berdiri menuju pintu depan."Yumna?" panggilku refleks. Yumna menoleh, mata wanita itu menyipit."Hemh?!" Setelah berpikir aku baru sadar, bahwa aku mengenalkan nama istriku sebagai Bianca."Ehm, itu nama julukannya, Ma. Hehehe," kilahku. Duh, lah. Kenapa pula aku ini keceplosan?Di depan pintu, Yumna segera membuka isi amplop dan melihatnya."Subhanallah!"Aku yang terus mengamatinya dari kejauhan ikut menyipitkan mata. Apa yang sebenarnya diterima perempuan itu? Kenapa dia tampak syok dan melihatku dengan tatapan kebencian?BersambungAmpuni hamba Tuhan. Setelah menyentuh sekretarisku, Alina, hamba janji akan bertobat. _______Ponselku bergetar saat di mobil. Dari Alina.[Apa sudah Tuan terima? Saya jadi tak sabar menunggu pekerjaan hari ini selesai Tuan.]"Hem, apa maksud Alina?" Aneh sekali gadis itu. Apa dia sedang membicarakan liburan di Bali? Hemm, jadi malam ini aku harus pamit kerja lembur? Heh. Tapi apa maksud sekretarisku, tentang aku sudah menerima apa belum? Apa dia mengirim sesuatu?Aku pun berniat menanyakan untuk memperjelas maksud Alina? Namun, panggilan dari nomor lain membuatku urung melakukannya."Yumna?" Ish, apa yang ia perlukan sekarang? Pasti tentang ibunya."Hallo?" sapaku."Hallo, Tuan. Saya sedang berada di minimarket mencari sayuran. Saya hanya ingin bertanya masakan yang Nyonya Adiwijaya suka?"Dugaanku salah. Kenapa dia terdengar ceria? Dia juga perhatian pada orangtuaku.Aku segera menggeleng. Tak boleh lengah oleh sikapnya yang baik di depan, tapi menusuk di belakangku seperti tadi
Tanganku refleks terkepal, di atas meja ruang kerja keluarga Adiwijaya. Kesal. Tak menyangka jika Alina kecolongan untuk hal yang harusnya menjadi rahasia antara dirinya dan aku saja. Perselingkuhan adalah hal yang menjijikkan untuk Mama. Melihat bagaimana dia bertindak tegas untuk hal-hal semacam itu sejak lama. Wanita itu seperti memiliki trauma.Ah, ini sangat memalukan."Kamu sangat ceroboh Nona Alina. Bagaimana bisa kamu mengirim tiket ke rumah? Padahal kamu tau orang tuaku tiba kemarin," omelku dengan gaya elegan, bagaimana seorang bos bicara pada bawahannya. Perasaan dan debar-debar sebab ingin mereguk sebuah kenikmatan darinya hilang dalam sekejap. Kini hanya menyisakan sebuah kekesalan.Ah, ini bukan salah Alina sebenarnya. Tapi Yumna, yang berpura-pura jadi Devian dan meminta Alina mengirim benda laknat yang membuat gaduh itu ke rumah."Sa-saya minta maaf, Tu-tu-an. Tapi Nyonya Yumna ...." Suara di ujung telepon bergetar. Jelas saja. Tak usah dia beritahu bahwa itu kelaku
What! Ke Bali dengan Yumna?Duh, kenapa semua jadi serba kebetulan gini? Atau memang Yumna mengaturnya? Ah, tidak mungkin. Dia bahkan mencintai pria lain dan terkejut begitu."Bukannya Devian sudah memberitahumu? Dia yang bilang waktu aku memergoki tiket bulan madu kalian tadi." Mama berucap.Lho, lho. Kok jadi aku? Gimana, sih? Aku cuma iseng bilang itu tiket bulan madu ke Bali. Tapi tak bilang mau bulan madu dengan Yumna. Dalam waktu dekat pula. Lagian mana bisa aku beralibi sepintar perempuan itu?"Ohya, Mas Devian sudah bilang di telepon tadi. Tapi saya tidak begitu jelas. Hehe." Yumna menyahut. Aku tentu saja melotot padanya. Apa iya aku mengatakan itu? Aku hanya memintanya pulang. Atau aku yang tak sadar mengatakan itu.Duh, jadi sebenarnya Yumna yang pikun atau aku yang terlalu banyak pikiran sampai tak sadar mengucapkan sesuatu yang penting?Mama mertuanya itu tersenyum, terlihat lebih tulus dari sebelumnya. Sepertinya Yumna benar-benar berhasil merebut hati Mama. "Kaku sekali
Skip buat -16 (Tulisan Saru) "Siapa?" tanya Raga penasaran. Aku tersenyum pada pria itu sekilas lalu kembali melihat pesan Alina."Menurutmu?""Kalau wajah lo kebelet pipis gitu, biasanya dari Bianca.""Njir! Kebelet pipis?" Kugeleng-gelengkan kepala, mendengar umpatan sahabatku tersebut. Sungguh ceplas-ceplos, yang meski ada benarnya. Hal itu tak patut diucapkan pada CEO tampan dan berwibawa sepertiku."Ini ... sekretaris gue yang cantik. Yah, lo tau lah. Dia sedang ngehibur gue.""Hemh. Tapi sejak kapan lo perlu dihibur?""Sejak gue sadar, ingin dicintai.""Ck. Memangnya lo pria kesepian? Lo udah punya dua istri, Bro!" Raga menyulut rokok dan menghisapnya. Hal yang ia lakukan saat santai begini. Karena di kantor jarang sekali pria itu bisa melakukan kegemarannya tersebut, mungkin saat di luar seperti inilah kesempatan Raga memuaskan hobbynya itu."Gue cuma pria menyedihkan, mencintai Bianca dan doi memilih pergi. Menikah lagi dengan perempuan bernama Yumna, dan gadis itu terlihat
"Yumna, katakan padaku bagaimana caramu membuatkan banyak anak untuk orangtuaku?""Apa?" Yumna terkejut. Tanpa babibu aku bertanya hal aneh yang aku sendiri bahkan tidak menganggapnya serius.Yumna tertegun beberapa saat. Tampaknya ia gugup, sampai bingung memilih kata-kata. Sebagai orang dewasa tentu saja aku tahu bagaimana cara manusia berkembang biak dan proses terbentuknya seorang anak. Hanya saja sekarang aku merasa perlu bersikap bodoh, dan menggodanya.Mengingat dia mengatakan padaku tadi pagi, bahwa Devian seorang pria yang tak normal. Heh! Yumna tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?Apa perlu aku membuktikan padanya sekarang?Aku senang memanfaatkan sebuah kejadian. Sejak kejadian di mobil tadi membuatnya kembali canggung di depanku."Em, em, e ... i-itu, Tuan ...." Bibir mungil Yumna tergagap. Ucapannya belum selesai, karena ponselku tiba-tiba saja bergetar.Argh! Sial! Mengganggu saja!Di saat yang sama, wanita yang mengenakan kerudung sedada itu mendesah, ia selamat dar
Apa yang Yumna lakukan? Kenapa dia mengikutiku? Kudorong tubuh Alina agar ada jeda lebih di antara kami. Yumna pasti salah paham sekarang.Baru akan menjauh, menyusul Yumna, suara tamparan keras terdengar dari arah Alina.Melihat pegawaiku ditampar, aku menoleh melihat siapa pelakunya. "Ma, ada apa?!" tanyaku heran. "Dasar jalang tidak tau malu! Beraninya kamu menggoda suami orang dengan bermesraan di tempat seperti ini!" maki Nyonya Adiwijaya mengacung-acungkan telunjuk pada sekretaris CEO yang meringis menahan sakit dan tampak malu.Semua di luar ekspektasi, mungkin niat Alina sejak awal ingin membuat Yumna marah, cemburu. Tapi upayanya justru kepergok Mama dan menimbulkan masalah lebih baginya. Bukan hanya hati, kini jasadnya merasai sakit karena tamparan keras itu. "Kamu!" Pandangan Nyonya besar beralih padaku. "Bagaimana bisa kamu berciuman dengan pegawaimu?! Di depan istrimu!" Wanita yang tengah dikuasai amarah itu mengarahkan telunjuk ke arah kamar di mana Yumna berada, hin
Obrolan Alina dan Bianca berlanjut dengan chat. Tak cukup hanya bicara. Karena yang mereka obrolkan bukanlah hal kecil. Sesampainya di kamar, Alina tidak membuang kesempatan menumpahkan kekesalan pada partnernya itu. Mengingat istri Devian tersebut jarang menyalakan ponsel. Maka, ketika ponsel wanita itu menyala seperti sekarang, Alina harus benar-benar memanfaatkannya.[Jujur saja! Kamu pasti sudah tidur dengan Devian bukan?!!! 😠] Alina mengirim pesan. Ia sangat marah. Merasa dibohongi oleh Bianca. Jika memang keduanya belum pernah tidur bersama, harusnya Devian bisa menerimanya.Tak lama, Bianca membalasnya pesan yang menurutnya aneh dari Alina.[Ayolah, emot apa itu? 🙄Itu tidak mungkin. Kamu tau siapa aku. Sudah 10 tahun kita bersama.]Alina mengirim chat balasan kembali.[Lalu kenapa dia tidur dengan Yumna dan mengabaikanku?][Sudahlah! Tenangkan dirimu. Aku akan mematikan ponsel sekarang.] Bianca yang nyatanya lebih bersikap dewasa, memilih mengakhiri percakapan mereka. Tidak
Kunaikkan sebelah bibir. Menatap pantulan bayangan pria tampan dalam cermin hotel yang besar. Bayanganku sendiri. Lalu mencuri pandang beberapa kali pada Yumna. Tampaknya dia tengah pura-pura tak melihat. Malu barangkali, membayangkan apa yang terjadi sebelumnya di kamar mandi.Di sini, aku sengaja memasang dasi dengan sangat lama, Yumna yang berada di depan cermin riasnya menyisir rambutnya yang mulai mengering. Berharap wanita itu menoleh dan memberiku perhatian. Entah kenapa aku jadi ingin dimanja begini. Ck."Huft. Pasti akan menyenangkan jika ada istri yang memasangkan dasi," racauku sambil meniup berat. Harusnya dia peka. Karena tak ada respon darinya, aku yang aslinya tak suka merepotkan orang lain dalam hal kecil, kali ini terpaksa menyindirnya.Saat melirik dari ekor mata, pergerakan tangan Yumna melambat, menoleh pada suaminya ini. Tampaknya dia paham, nyatanya perempuan yang tak lagi segan melepas kerudung di hadapanku itu, segera menyelesaikan kesibukannya lalu meletakkan