Share

Apa Tuan Masih Perjaka?

Untuk mempertahankan harga diri, akhirnya Yumna menarik kain penutup yang terbalut rapi pada kepalanya. Persis di hadapanku. Apa ini? Dia sengaja menggoda?

***

Kelakuan gadis itu sungguh di luar ekspektasi, ia bisa merasa sesenang sekarang setelah mengerjaiku.

Namun, aku tak boleh lupa diri dan kembali fokus pada tujuan awal. Membuat Mama bisa menerima Yumna sebagai Bianca untuk sementara waktu.

Sabar Dev, sabar. Hadapi Yumna dengan kepala dingin. Coba berdamai dengannya agar bisa mengatur rencana secara matang.

Yah, kami adalah tim sekarang. Apa jadinya kalau karena kekesalanku padanya, terbawa perasaan dan menjadikan semua berantakan.

Perlahan tanpa komando dariku, perempuan yang masih mengenakan gamis rapi sepulang dari kampus itu mendekat pada Mama.

"Assalamualaikum, Ma," ucapnya sembari meraih tangan Nyonya besar yang ekspresinya terlihat dingin, untuk mencium punggungnya disusul Papa yang berdiri di sampingnya.

Papa tersenyum, beliau ini memang lebih kalem ketimbang Mama.

"Waalaikumsalam." Bibir yang nampak sedikit berkerut itu menjawab pelan. "Kamu tidak pernah bilang kalau istrimu kerudungan, Dev!" seru Mama lagi, seolah Yumna tidak sedang di hadapannya.

Ah, kuharap Yumna punya mental sekuat baja.

Mata Yumna melebar, seperti tengah syok menatap ke arahku. Mahasiswi jurusan pendidikan Islam itu terhentak. Kepalanya urung mendongak. Inscure barang kali atas pertanyaan Mama?

"Em, iya Ma. Dev lupa." Aku menjawab enteng. Tak ingin memperlihatkan padanya bahwa ini masalah besar bagiku.

"Kamu selalu melupakan hal sepenting itu! Padahal kamu harus perhatian pada wanita yang kamu cintai!" Wanita itu mengomel. Hal yang biasa dilakukan padaku. Ya, saking terbiasa aku cuma diam, kalau ditanggapi yang ada malah ribut. Masa iya pria baik sepertiku ribut dengan orang tuanya?

"Atau jangan-jangan kamu juga dipaksa menikah olehnya?" Kini tatapan Nyonya Adiwijaya kembali pada Yumna.

"Ya?!" Yumna menatap heran. Mulut mungilnya seketika nyengir saat memahami maksud wanita di hadapannya.

"Iya, itu kan karena Mama yang gak sabar!" Aku menyahut dengan suara menekan sambil senyum-senyum.

"Ah, baguslah. Kamu memang harus dapat yang baik untuk kehidupan yang baik, Dev." Kali ini Nyonya besar itu memegang pundak Yumna. "Kamu lebih manis dari yang kubayangkan."

What!? Manis? Mama aja yang gak tahu gimana kasar dan sombongnya gadis itu.

Yumna kembali menatap tak percaya apa yang baru saja wanita itu katakan. Ia terkejut, tapi juga tampak lega. Benar kata orang, seburuk apa pun gaya hidup seseorang, termasuk keluarga Adiwijaya, mereka ingin memiliki keluarga baru yang baik.

"Tolong bersabar ya, Devian memang terkadang kekanak-kanakan. Itu karena dia anak tunggal."

Yumna mengangguk, tapi di belakangnya ada aku yang protes. Enak saja, lagi-lagi aku harus merasa ada di bawah perempuan itu.

"Aku lebih tua sembilan tahun darinya, Ma. Jadi tidak mungkin bersikap seperti anak kecil," ucapku keras-keras.

"Yang ada bukan dia yang harus bersabar, Ma. Tapi akulah yang kudu banyak sabar menghadapinya," sambungku mendecak lirih. Karena memang pernyataan itu aku tujukan untuk Yumna. Sementara Mama harus memandangnya sebagai menantu yang baik agar aku tak kena masalah.

Yumna menoleh sebentar dengan senyum meremehkan padaku. Sial!

Mama tertawa diikuti tawa kecil menantu barunya di keluarga Adiwijaya. Sementara Papa hanya tersenyum ke arahku.

"Sudah, Dev. Sebaiknya kita minum teh, berikan waktu untuk mereka bicara. Papa juga akan membahas beberapa pekerjaan untukmu." Kepala keluarga Adiwijaya itu mengajakku pergi ke tempat lain.

Tidak banyak memang waktu orang tuaku berada di Indonesia. Semakin cepat dimulai maka akan semakin cepat selesai dan mereka bisa segera kembali ke Inggris. Yah, mereka harus segera kembali ke Inggris. Tak kuat rasanya dekat-dekat dengan wanita semenjengkelkan Yumna.

_______

Memasuki kamar yang tak kalah megah dari kamar Yumna sebelumnya, perempuan itu tampak enggan melangkah hingga tubuhnya kudorong dari belakang.

"Heh." Aku tersenyum sinis melihat wajah yang syok. Dia pasti tengah membayangkan yang tidak-tidak.

Baguslah, rasakan neraka pertamamu.

"Apa memang harus begini?" Ada sesuatu yang terasa berat untuknya, pasti lagi-lagi pikiran buruk tentangku terus bermunculan di kepala.

"Yah. Karena mereka menginginkan penerus dengan segera." Aku menjawab enteng sambil senagaja menyunggingkan senyum ke arahnya.

"Jadi mereka pikir kita akan ... dan saya hanya mesin pembuat anak? Lalu Nyonya Bianca? Apa dia tidak mau memberi Tuan keturunan."

Kan dia mulai bawel ketika panik seperti ini.

"Sudahlah, jangan membahas itu. Apa kamu tidak capek? Lagipula itu kan konsekuensi sebuah pernikahan. Apa kamu tidak tahu itu?" Aku melepas dasi dan menggulung kemeja, bersiap membersihkan diri sebelum tidur.

"Oh benar. Tapi saya pikir Tuan menikahi saya hanya untuk mengganti status Tuan di depan mereka. Sedang seorang anak hanya akan Tuan tanam di rahim Nyonya Bianca. Betul pasti begitu, makanya Tuan bilang tidak akan menyentuh saya. Tapi walau begitu tetap saja harusnya Tuan tidak mencium saya seperti kemarin." Yumna bicara panjang lebar.

Namun, kali ini aku malas meresponnya. Tapi karena dia sendiri masih syok melihat kamar ini, dia pun tak peduli.

"Tunggu sebentar! Kita harus bicara," sambungku sembari meninggalkannya ke kamar mandi yang ada di kamar, mengabaikan ucapan perempuan itu.

"Aku 'kan sedang bicara, kenapa malah ditinggal pergi?" lirihnya kesal. Dia mulai sadar rupanya. Wanita itu memanyunkan bibir.

Saat keluar kamar mandi, tampak Yumna memandangi setiap sudut kamar.

Wanita itu sepertinya juga risih tatkala melihat laci-laci besar. Pakaian dalamnya disusun rapi berdampingan dengan pakain dalam milikku. Entah, apa yang di pikirannya sekarang. Yang jelas dia bergidik dengan ekspresi yang menggelikan.

"Ya Allah, kenapa begini?" Cepat Yumna mengambil benda-benda kecil berbentuk kacamata dan segitiga, lalu menyimpannya asal di dalam lemari besar belakang tumpukan pakaian miliknya.

Aku hanya menarik satu sudut bibir. Menatap sinis ke arahnya. Perempuan yang tengah duduk gelisah di sofa, memandang ranjang king size di hadapannya. Seketika ia menoleh ke arahku begitu aku mendekat. Mungkin karena aroma maskulin dari parfum yang kusemprot di kamar mandi tadi.

"Ada apa? Apa kamu memikirkan hal aneh?" tanyaku yang memegang handuk kecil dan kugesek di rambut yang basah.

Yumna menggeleng cepat. Tentu saja dia akan berkilah. Mana mau seorang wanita sombong mengakui kalau dia punya pikiran mesum ketika melihat ranjang?

"Jangan khawatir, aku sudah bilang tidak akan menyentuhmu. Lagi pula, kamu bukan tipeku."

Aku mengucap enteng, mata ini menjelajahi penampilan Yumna dari kepala hingga ujung kaki. Menatap heran sebentar, hingga wanita itu juga melihat pada pakaiannya. Lagian kenapa dia jadi se-percaya diri itu aku akan menyentuhnya? Apa terlalu berlebihan menggodanya?

"Oyah?" Yumna menumpuk kaki. Menunjukkan bahwa ucapanku tidak akan mengintimidasinya.

"Huft. Tiba-tiba gerah." Kedua tapak tangannya mengibas, lalu menarik kerudung yang ia kenakan. Hingga mataku membesar melihat kelakuannya.

Apa yang dia lakukan sekarang?

Apa wanita itu merasa terhina mendengar ucapanku yang mengatakan bahwa ia bukan tipeku?

Apa wanita berhijab itu ingin menunjukkan kalau dia memiliki pesona?

"Kamu sedang apa sekarang?" protesku atas tindakannya.

"Ada apa denganmu? Akhirnya kamu melepas jilbabmu."

"Ini bukan jilbab, ini kerudung." Ucapan Yumna itu membuat keningku sedikit mengerut.

"Yah, saya hanya kepanasan." Ia masih mengibas tangan. "Lihat saja, dibanding wanita di luar sana yang terbiasa mengumbar auratnya, wanita berhijab juga bisa menarik hati," lirihnya. Sampai aku memicingkan mata menajamkan pendengaran. Barangkali salah dengar.

Cih ... narsis sekali!

"Ada apa, Tuan. Jangan melihatku seolah aku ini penjahat. Lagi pula sekarang kita adalah pasangan halal, bukan masalah bukan jika aku membuka penutup kepala atau bahkan penutup ...." Ucapannya tergantung. Dia lalu menggigit bibir seolah telah keceplosan.

"Penutup?" Aku penasaran saja, apa dia berani mengucap membuka penutup tubuhnya di depanku?

"Ah, sudahlah. Lupakan itu Tuan. Bukankah Tuan bilang kita perlu bicara."

"Ah, benar." Ya sudahlah. Tutup saja membicarakan masalah tak penting ini. Ada banyak hal yang harus aku dan Yumna lakukan.

"Bisa jadi mama dan papa akan ada di sini selama seminggu. Selain kunjungan, ada bisnis yang papa harus urus di beberapa kota," ucapku kemudian.

Yumna memperhatikanku bicara. Entah, kenapa dia tengah gagal fokus sekarang. Apa dia memikirkan hal lain?

"Lalu?" tanya Yumna dengan mata sedikit menggoda. Sepertinya dia sengaja melakukan itu. Namun, aku? Yah, aku harus terlihat tidak tertarik sedikitpun padanya.

"Tentu saja ada banyak dialog yang harus kamu hapal," sentakku yang membuat mencebik kesal karena membuatnya kaget.

"Oh, ayolah. Kenapa kita tidak membuatnya berjalan alami saja?" jawabnya kemudian.

"Jadi kamu mau yang alami? Seperti saat di kantor? Kamu yakin tidak akan menamparku lagi?" tanyaku sedikit mendekatkan kepala. Yumna kembali terkesiap. Ia berkedip-kedip dan seperti mengingat sesuatu.

"Oh, tidak Tuan!" Wanita bermata bulat dengan irish hitam pekat itu menggeleng cepat. Ia meraih kerudungnya kembali dan menyangkutkannya asal di atas kepala

Hahaha. Lucu sekali. Sampai aku menahan tawa geli. Yang menggoda pun takut digoda.

____________

"Bisa kah matikan AC-nya, Tuan? Saya tidak terbiasa. Musim ini terlampau dingin, bahkan lebih buruk dari pada kutub utara." Perempuan bawel itu semakin berani bicara dengan nada tinggi padaku.

"Kamu pernah ke kutub utara?" tanyaku mengejek wanita yang menurutku kelewat cerewet itu.

"Ya, tentu saja belum. Lagi pula dari mana saya dapatkan uang yang cukup untuk pergi ke sana? Tapi tubuh saya sensitif terhadap dingin."

Aku tersenyum masam. "Itu bukan karena sensitif dingin. Tapi kamu menginginkan sentuhan dari pria."

"Apa?!?" Suaranya terdengar seperti orang kaget.

"Sentuhan pria." Aku mengulang kata-kataku, sambil menggoyang tubuh dan tangan menggoda sekaligus mengejek untuk ke sekian kalinya. Aku tak peduli dia menganggapku aneh.

Ah, bahkan aku tak pernah berlaku sekonyol ini di depan Bianca.

Yumna mengangkat sebelah bibir. Dengan terpaksa aku berdiri mengatur temperatur ruangannya. Bukan karena kasihan padanya, tapi malas mendengar dia mengeluh.

"Apa kita perlu menyalakan penghangat?" tanyaku kemudian.

"Tidak perlu." Yumna menarik selimutnya. Menutupi hingga ke leher.

Dia memang harusnya sudah menyiapkan untuk hari ini, di mana akan sekamar berdua denganku. Tapi kenapa malah dia terlihat sangat takut aku menyentuhnya.

Setelah beradu argument, akhirnya wanita itu tertidur di bawah tidak jauh dari kasur besar tempatku tidur. Selain punggungku sensitif terhadap alas tipis, sebagai CEO aku harus menjaga stamina.

Pasalnya aku pernah tidur di lantai yang membuat beberapa saraf di punggungku terjepit. Bagi Yumna tidak masalah tidur di mana pun, ia pasti sudah terbiasa.

_____________

Pagi buta aku menggeliat dengan malas. Alarm berbunyi seperti biasa. Hanya saja ada yang tak biasa dari pagi yang menyambutku sekarang. Seorang Yumna ada di kamar ini.

"Sejak kapan ada yang memberiku minuman di kamar?" Aku menatap heran. Tidak ada budaya di rumah pelayan membawa makanan ke kamar, kecuali jika aku sedang sakit.

"Sejak Anda punya istri yang tetap baik, meski diperlakukan semena-mena oleh suaminya."

Aku tersenyum kecut. Sontak mencebik tatkala melihat hanya segelas air putih hangat yang diberikan Yumna untukku.

"Apa ini? Bukah teh? Coffe atau susu?"

"Jangan memasang wajah seperti itu. Mulai sekarang Anda harus belajar menyayangi tubuh sendiri. Air hangat setelah bangun tidur akan memperbaiki lambung anda."

"Yah, baiklah. Asal tidak ada racun di minuman ini."

Wanita itu tersenyum dingin.

Kenapa dia tiba-tiba baik? Apa dia punya rencana?

"Jujur saja, apa Tuan pernah melakukan itu pada Nyonya Bianca?"

Aku yang tengah minum tersedak karena pertanyaan wanita konyol itu. Bahkan sedikit tersembur pada Yumna yang duduk di sisi ranjang.

Yumna menyilangkan tangan di dada sambil geleng-geleng.

"Apa maksudmu?" ketusku.

"Saya hanya ingin tahu, apakah seorang Devian, pria yang dipuja-puji banyak orang adalah pria normal. Jika tidak? Kenapa sampai istrinya kabur ke luar negeri?" Ia mengamati gerakku rupanya.

Apa dia khaawatir aku akan menyentuhnya? Tapi untuk apa pula juga mempertanyakan penyebab Bianca pergi di saat seharusnya mereka menikmati kehidupan 'Pengantin Baru.'

Dan lagi, bagaimana aku akan menjawabnya? Ini privasi, rasanya aneh jika aku mengaku masih perjaka padanya.

Bersambung

Ini nyaris 2000 kata Mak. Jangan bilang pendek, ya. 😆

kasih jempolnya dan koment yang panjang, biar semnagat nulisa lanjutannya. 😍🙏

Comments (1)
goodnovel comment avatar
ratih sushanti
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status