Untuk mempertahankan harga diri, akhirnya Yumna menarik kain penutup yang terbalut rapi pada kepalanya. Persis di hadapanku. Apa ini? Dia sengaja menggoda?
***Kelakuan gadis itu sungguh di luar ekspektasi, ia bisa merasa sesenang sekarang setelah mengerjaiku.Namun, aku tak boleh lupa diri dan kembali fokus pada tujuan awal. Membuat Mama bisa menerima Yumna sebagai Bianca untuk sementara waktu.Sabar Dev, sabar. Hadapi Yumna dengan kepala dingin. Coba berdamai dengannya agar bisa mengatur rencana secara matang.Yah, kami adalah tim sekarang. Apa jadinya kalau karena kekesalanku padanya, terbawa perasaan dan menjadikan semua berantakan.Perlahan tanpa komando dariku, perempuan yang masih mengenakan gamis rapi sepulang dari kampus itu mendekat pada Mama."Assalamualaikum, Ma," ucapnya sembari meraih tangan Nyonya besar yang ekspresinya terlihat dingin, untuk mencium punggungnya disusul Papa yang berdiri di sampingnya.Papa tersenyum, beliau ini memang lebih kalem ketimbang Mama."Waalaikumsalam." Bibir yang nampak sedikit berkerut itu menjawab pelan. "Kamu tidak pernah bilang kalau istrimu kerudungan, Dev!" seru Mama lagi, seolah Yumna tidak sedang di hadapannya.Ah, kuharap Yumna punya mental sekuat baja.Mata Yumna melebar, seperti tengah syok menatap ke arahku. Mahasiswi jurusan pendidikan Islam itu terhentak. Kepalanya urung mendongak. Inscure barang kali atas pertanyaan Mama?"Em, iya Ma. Dev lupa." Aku menjawab enteng. Tak ingin memperlihatkan padanya bahwa ini masalah besar bagiku."Kamu selalu melupakan hal sepenting itu! Padahal kamu harus perhatian pada wanita yang kamu cintai!" Wanita itu mengomel. Hal yang biasa dilakukan padaku. Ya, saking terbiasa aku cuma diam, kalau ditanggapi yang ada malah ribut. Masa iya pria baik sepertiku ribut dengan orang tuanya?"Atau jangan-jangan kamu juga dipaksa menikah olehnya?" Kini tatapan Nyonya Adiwijaya kembali pada Yumna."Ya?!" Yumna menatap heran. Mulut mungilnya seketika nyengir saat memahami maksud wanita di hadapannya."Iya, itu kan karena Mama yang gak sabar!" Aku menyahut dengan suara menekan sambil senyum-senyum."Ah, baguslah. Kamu memang harus dapat yang baik untuk kehidupan yang baik, Dev." Kali ini Nyonya besar itu memegang pundak Yumna. "Kamu lebih manis dari yang kubayangkan."What!? Manis? Mama aja yang gak tahu gimana kasar dan sombongnya gadis itu.Yumna kembali menatap tak percaya apa yang baru saja wanita itu katakan. Ia terkejut, tapi juga tampak lega. Benar kata orang, seburuk apa pun gaya hidup seseorang, termasuk keluarga Adiwijaya, mereka ingin memiliki keluarga baru yang baik."Tolong bersabar ya, Devian memang terkadang kekanak-kanakan. Itu karena dia anak tunggal."Yumna mengangguk, tapi di belakangnya ada aku yang protes. Enak saja, lagi-lagi aku harus merasa ada di bawah perempuan itu."Aku lebih tua sembilan tahun darinya, Ma. Jadi tidak mungkin bersikap seperti anak kecil," ucapku keras-keras."Yang ada bukan dia yang harus bersabar, Ma. Tapi akulah yang kudu banyak sabar menghadapinya," sambungku mendecak lirih. Karena memang pernyataan itu aku tujukan untuk Yumna. Sementara Mama harus memandangnya sebagai menantu yang baik agar aku tak kena masalah.Yumna menoleh sebentar dengan senyum meremehkan padaku. Sial!Mama tertawa diikuti tawa kecil menantu barunya di keluarga Adiwijaya. Sementara Papa hanya tersenyum ke arahku."Sudah, Dev. Sebaiknya kita minum teh, berikan waktu untuk mereka bicara. Papa juga akan membahas beberapa pekerjaan untukmu." Kepala keluarga Adiwijaya itu mengajakku pergi ke tempat lain.Tidak banyak memang waktu orang tuaku berada di Indonesia. Semakin cepat dimulai maka akan semakin cepat selesai dan mereka bisa segera kembali ke Inggris. Yah, mereka harus segera kembali ke Inggris. Tak kuat rasanya dekat-dekat dengan wanita semenjengkelkan Yumna._______Memasuki kamar yang tak kalah megah dari kamar Yumna sebelumnya, perempuan itu tampak enggan melangkah hingga tubuhnya kudorong dari belakang."Heh." Aku tersenyum sinis melihat wajah yang syok. Dia pasti tengah membayangkan yang tidak-tidak.Baguslah, rasakan neraka pertamamu."Apa memang harus begini?" Ada sesuatu yang terasa berat untuknya, pasti lagi-lagi pikiran buruk tentangku terus bermunculan di kepala."Yah. Karena mereka menginginkan penerus dengan segera." Aku menjawab enteng sambil senagaja menyunggingkan senyum ke arahnya."Jadi mereka pikir kita akan ... dan saya hanya mesin pembuat anak? Lalu Nyonya Bianca? Apa dia tidak mau memberi Tuan keturunan."Kan dia mulai bawel ketika panik seperti ini."Sudahlah, jangan membahas itu. Apa kamu tidak capek? Lagipula itu kan konsekuensi sebuah pernikahan. Apa kamu tidak tahu itu?" Aku melepas dasi dan menggulung kemeja, bersiap membersihkan diri sebelum tidur."Oh benar. Tapi saya pikir Tuan menikahi saya hanya untuk mengganti status Tuan di depan mereka. Sedang seorang anak hanya akan Tuan tanam di rahim Nyonya Bianca. Betul pasti begitu, makanya Tuan bilang tidak akan menyentuh saya. Tapi walau begitu tetap saja harusnya Tuan tidak mencium saya seperti kemarin." Yumna bicara panjang lebar.Namun, kali ini aku malas meresponnya. Tapi karena dia sendiri masih syok melihat kamar ini, dia pun tak peduli."Tunggu sebentar! Kita harus bicara," sambungku sembari meninggalkannya ke kamar mandi yang ada di kamar, mengabaikan ucapan perempuan itu."Aku 'kan sedang bicara, kenapa malah ditinggal pergi?" lirihnya kesal. Dia mulai sadar rupanya. Wanita itu memanyunkan bibir.Saat keluar kamar mandi, tampak Yumna memandangi setiap sudut kamar.Wanita itu sepertinya juga risih tatkala melihat laci-laci besar. Pakaian dalamnya disusun rapi berdampingan dengan pakain dalam milikku. Entah, apa yang di pikirannya sekarang. Yang jelas dia bergidik dengan ekspresi yang menggelikan."Ya Allah, kenapa begini?" Cepat Yumna mengambil benda-benda kecil berbentuk kacamata dan segitiga, lalu menyimpannya asal di dalam lemari besar belakang tumpukan pakaian miliknya.Aku hanya menarik satu sudut bibir. Menatap sinis ke arahnya. Perempuan yang tengah duduk gelisah di sofa, memandang ranjang king size di hadapannya. Seketika ia menoleh ke arahku begitu aku mendekat. Mungkin karena aroma maskulin dari parfum yang kusemprot di kamar mandi tadi."Ada apa? Apa kamu memikirkan hal aneh?" tanyaku yang memegang handuk kecil dan kugesek di rambut yang basah.Yumna menggeleng cepat. Tentu saja dia akan berkilah. Mana mau seorang wanita sombong mengakui kalau dia punya pikiran mesum ketika melihat ranjang?"Jangan khawatir, aku sudah bilang tidak akan menyentuhmu. Lagi pula, kamu bukan tipeku."Aku mengucap enteng, mata ini menjelajahi penampilan Yumna dari kepala hingga ujung kaki. Menatap heran sebentar, hingga wanita itu juga melihat pada pakaiannya. Lagian kenapa dia jadi se-percaya diri itu aku akan menyentuhnya? Apa terlalu berlebihan menggodanya?"Oyah?" Yumna menumpuk kaki. Menunjukkan bahwa ucapanku tidak akan mengintimidasinya."Huft. Tiba-tiba gerah." Kedua tapak tangannya mengibas, lalu menarik kerudung yang ia kenakan. Hingga mataku membesar melihat kelakuannya.Apa yang dia lakukan sekarang?Apa wanita itu merasa terhina mendengar ucapanku yang mengatakan bahwa ia bukan tipeku?Apa wanita berhijab itu ingin menunjukkan kalau dia memiliki pesona?"Kamu sedang apa sekarang?" protesku atas tindakannya."Ada apa denganmu? Akhirnya kamu melepas jilbabmu.""Ini bukan jilbab, ini kerudung." Ucapan Yumna itu membuat keningku sedikit mengerut."Yah, saya hanya kepanasan." Ia masih mengibas tangan. "Lihat saja, dibanding wanita di luar sana yang terbiasa mengumbar auratnya, wanita berhijab juga bisa menarik hati," lirihnya. Sampai aku memicingkan mata menajamkan pendengaran. Barangkali salah dengar.Cih ... narsis sekali!"Ada apa, Tuan. Jangan melihatku seolah aku ini penjahat. Lagi pula sekarang kita adalah pasangan halal, bukan masalah bukan jika aku membuka penutup kepala atau bahkan penutup ...." Ucapannya tergantung. Dia lalu menggigit bibir seolah telah keceplosan."Penutup?" Aku penasaran saja, apa dia berani mengucap membuka penutup tubuhnya di depanku? "Ah, sudahlah. Lupakan itu Tuan. Bukankah Tuan bilang kita perlu bicara.""Ah, benar." Ya sudahlah. Tutup saja membicarakan masalah tak penting ini. Ada banyak hal yang harus aku dan Yumna lakukan."Bisa jadi mama dan papa akan ada di sini selama seminggu. Selain kunjungan, ada bisnis yang papa harus urus di beberapa kota," ucapku kemudian.Yumna memperhatikanku bicara. Entah, kenapa dia tengah gagal fokus sekarang. Apa dia memikirkan hal lain?"Lalu?" tanya Yumna dengan mata sedikit menggoda. Sepertinya dia sengaja melakukan itu. Namun, aku? Yah, aku harus terlihat tidak tertarik sedikitpun padanya."Tentu saja ada banyak dialog yang harus kamu hapal," sentakku yang membuat mencebik kesal karena membuatnya kaget."Oh, ayolah. Kenapa kita tidak membuatnya berjalan alami saja?" jawabnya kemudian."Jadi kamu mau yang alami? Seperti saat di kantor? Kamu yakin tidak akan menamparku lagi?" tanyaku sedikit mendekatkan kepala. Yumna kembali terkesiap. Ia berkedip-kedip dan seperti mengingat sesuatu."Oh, tidak Tuan!" Wanita bermata bulat dengan irish hitam pekat itu menggeleng cepat. Ia meraih kerudungnya kembali dan menyangkutkannya asal di atas kepalaHahaha. Lucu sekali. Sampai aku menahan tawa geli. Yang menggoda pun takut digoda.____________"Bisa kah matikan AC-nya, Tuan? Saya tidak terbiasa. Musim ini terlampau dingin, bahkan lebih buruk dari pada kutub utara." Perempuan bawel itu semakin berani bicara dengan nada tinggi padaku."Kamu pernah ke kutub utara?" tanyaku mengejek wanita yang menurutku kelewat cerewet itu."Ya, tentu saja belum. Lagi pula dari mana saya dapatkan uang yang cukup untuk pergi ke sana? Tapi tubuh saya sensitif terhadap dingin."Aku tersenyum masam. "Itu bukan karena sensitif dingin. Tapi kamu menginginkan sentuhan dari pria.""Apa?!?" Suaranya terdengar seperti orang kaget."Sentuhan pria." Aku mengulang kata-kataku, sambil menggoyang tubuh dan tangan menggoda sekaligus mengejek untuk ke sekian kalinya. Aku tak peduli dia menganggapku aneh.Ah, bahkan aku tak pernah berlaku sekonyol ini di depan Bianca.Yumna mengangkat sebelah bibir. Dengan terpaksa aku berdiri mengatur temperatur ruangannya. Bukan karena kasihan padanya, tapi malas mendengar dia mengeluh."Apa kita perlu menyalakan penghangat?" tanyaku kemudian."Tidak perlu." Yumna menarik selimutnya. Menutupi hingga ke leher.Dia memang harusnya sudah menyiapkan untuk hari ini, di mana akan sekamar berdua denganku. Tapi kenapa malah dia terlihat sangat takut aku menyentuhnya.Setelah beradu argument, akhirnya wanita itu tertidur di bawah tidak jauh dari kasur besar tempatku tidur. Selain punggungku sensitif terhadap alas tipis, sebagai CEO aku harus menjaga stamina.Pasalnya aku pernah tidur di lantai yang membuat beberapa saraf di punggungku terjepit. Bagi Yumna tidak masalah tidur di mana pun, ia pasti sudah terbiasa._____________Pagi buta aku menggeliat dengan malas. Alarm berbunyi seperti biasa. Hanya saja ada yang tak biasa dari pagi yang menyambutku sekarang. Seorang Yumna ada di kamar ini."Sejak kapan ada yang memberiku minuman di kamar?" Aku menatap heran. Tidak ada budaya di rumah pelayan membawa makanan ke kamar, kecuali jika aku sedang sakit."Sejak Anda punya istri yang tetap baik, meski diperlakukan semena-mena oleh suaminya."Aku tersenyum kecut. Sontak mencebik tatkala melihat hanya segelas air putih hangat yang diberikan Yumna untukku."Apa ini? Bukah teh? Coffe atau susu?""Jangan memasang wajah seperti itu. Mulai sekarang Anda harus belajar menyayangi tubuh sendiri. Air hangat setelah bangun tidur akan memperbaiki lambung anda.""Yah, baiklah. Asal tidak ada racun di minuman ini."Wanita itu tersenyum dingin.Kenapa dia tiba-tiba baik? Apa dia punya rencana?"Jujur saja, apa Tuan pernah melakukan itu pada Nyonya Bianca?"Aku yang tengah minum tersedak karena pertanyaan wanita konyol itu. Bahkan sedikit tersembur pada Yumna yang duduk di sisi ranjang.Yumna menyilangkan tangan di dada sambil geleng-geleng."Apa maksudmu?" ketusku."Saya hanya ingin tahu, apakah seorang Devian, pria yang dipuja-puji banyak orang adalah pria normal. Jika tidak? Kenapa sampai istrinya kabur ke luar negeri?" Ia mengamati gerakku rupanya.Apa dia khaawatir aku akan menyentuhnya? Tapi untuk apa pula juga mempertanyakan penyebab Bianca pergi di saat seharusnya mereka menikmati kehidupan 'Pengantin Baru.'Dan lagi, bagaimana aku akan menjawabnya? Ini privasi, rasanya aneh jika aku mengaku masih perjaka padanya.BersambungIni nyaris 2000 kata Mak. Jangan bilang pendek, ya. 😆kasih jempolnya dan koment yang panjang, biar semnagat nulisa lanjutannya. 😍🙏Kami saling tatap untuk beberapa saat. Gadis itu menatapku dalam, seolah keinginannya untuk tahu tentangku sangat besar. Di saat yang sama otakku berputar mencari cara agar Yumna tak menanyakan ini.Hingga kutemukan jawaban untuk mengalihkan perhatiannya."Hemh. Kamu terlalu banyak nonton drama, Nona!" Aku menyeringai. Melakukannya seolah pertanyaan konyolnya itu membuatku geli. "Apa pertanyaan itu muncul karena aku tak tertarik padamu?" Yes! Kata-kata ini sangat keren. Selain bisa menutup mulutnya, sekaligus aku bisa menyerang pribadi wanita tersebut."Apa!?" Yumna seolah terkejut. Meski pun itu benar, pasti akan sulit mengakuinya."Oh, bukannya saya kecewa, itu bukan masalah buat saya, Tuan. Lagi pula saya tidak menginginkan itu. Yah, sebenarnya banyak pria normal di luar sana yang mati-matian mengejar saya. Dan normalnya, seorang pria kalau sudah pernah begituan, dia tidak mungkin berpuasa terus-terusan." Dia jadi bicara melebar ke mana-mana."Ck. Kamu ngomong apa, sih?" Kusibak s
Ampuni hamba Tuhan. Setelah menyentuh sekretarisku, Alina, hamba janji akan bertobat. _______Ponselku bergetar saat di mobil. Dari Alina.[Apa sudah Tuan terima? Saya jadi tak sabar menunggu pekerjaan hari ini selesai Tuan.]"Hem, apa maksud Alina?" Aneh sekali gadis itu. Apa dia sedang membicarakan liburan di Bali? Hemm, jadi malam ini aku harus pamit kerja lembur? Heh. Tapi apa maksud sekretarisku, tentang aku sudah menerima apa belum? Apa dia mengirim sesuatu?Aku pun berniat menanyakan untuk memperjelas maksud Alina? Namun, panggilan dari nomor lain membuatku urung melakukannya."Yumna?" Ish, apa yang ia perlukan sekarang? Pasti tentang ibunya."Hallo?" sapaku."Hallo, Tuan. Saya sedang berada di minimarket mencari sayuran. Saya hanya ingin bertanya masakan yang Nyonya Adiwijaya suka?"Dugaanku salah. Kenapa dia terdengar ceria? Dia juga perhatian pada orangtuaku.Aku segera menggeleng. Tak boleh lengah oleh sikapnya yang baik di depan, tapi menusuk di belakangku seperti tadi
Tanganku refleks terkepal, di atas meja ruang kerja keluarga Adiwijaya. Kesal. Tak menyangka jika Alina kecolongan untuk hal yang harusnya menjadi rahasia antara dirinya dan aku saja. Perselingkuhan adalah hal yang menjijikkan untuk Mama. Melihat bagaimana dia bertindak tegas untuk hal-hal semacam itu sejak lama. Wanita itu seperti memiliki trauma.Ah, ini sangat memalukan."Kamu sangat ceroboh Nona Alina. Bagaimana bisa kamu mengirim tiket ke rumah? Padahal kamu tau orang tuaku tiba kemarin," omelku dengan gaya elegan, bagaimana seorang bos bicara pada bawahannya. Perasaan dan debar-debar sebab ingin mereguk sebuah kenikmatan darinya hilang dalam sekejap. Kini hanya menyisakan sebuah kekesalan.Ah, ini bukan salah Alina sebenarnya. Tapi Yumna, yang berpura-pura jadi Devian dan meminta Alina mengirim benda laknat yang membuat gaduh itu ke rumah."Sa-saya minta maaf, Tu-tu-an. Tapi Nyonya Yumna ...." Suara di ujung telepon bergetar. Jelas saja. Tak usah dia beritahu bahwa itu kelaku
What! Ke Bali dengan Yumna?Duh, kenapa semua jadi serba kebetulan gini? Atau memang Yumna mengaturnya? Ah, tidak mungkin. Dia bahkan mencintai pria lain dan terkejut begitu."Bukannya Devian sudah memberitahumu? Dia yang bilang waktu aku memergoki tiket bulan madu kalian tadi." Mama berucap.Lho, lho. Kok jadi aku? Gimana, sih? Aku cuma iseng bilang itu tiket bulan madu ke Bali. Tapi tak bilang mau bulan madu dengan Yumna. Dalam waktu dekat pula. Lagian mana bisa aku beralibi sepintar perempuan itu?"Ohya, Mas Devian sudah bilang di telepon tadi. Tapi saya tidak begitu jelas. Hehe." Yumna menyahut. Aku tentu saja melotot padanya. Apa iya aku mengatakan itu? Aku hanya memintanya pulang. Atau aku yang tak sadar mengatakan itu.Duh, jadi sebenarnya Yumna yang pikun atau aku yang terlalu banyak pikiran sampai tak sadar mengucapkan sesuatu yang penting?Mama mertuanya itu tersenyum, terlihat lebih tulus dari sebelumnya. Sepertinya Yumna benar-benar berhasil merebut hati Mama. "Kaku sekali
Skip buat -16 (Tulisan Saru) "Siapa?" tanya Raga penasaran. Aku tersenyum pada pria itu sekilas lalu kembali melihat pesan Alina."Menurutmu?""Kalau wajah lo kebelet pipis gitu, biasanya dari Bianca.""Njir! Kebelet pipis?" Kugeleng-gelengkan kepala, mendengar umpatan sahabatku tersebut. Sungguh ceplas-ceplos, yang meski ada benarnya. Hal itu tak patut diucapkan pada CEO tampan dan berwibawa sepertiku."Ini ... sekretaris gue yang cantik. Yah, lo tau lah. Dia sedang ngehibur gue.""Hemh. Tapi sejak kapan lo perlu dihibur?""Sejak gue sadar, ingin dicintai.""Ck. Memangnya lo pria kesepian? Lo udah punya dua istri, Bro!" Raga menyulut rokok dan menghisapnya. Hal yang ia lakukan saat santai begini. Karena di kantor jarang sekali pria itu bisa melakukan kegemarannya tersebut, mungkin saat di luar seperti inilah kesempatan Raga memuaskan hobbynya itu."Gue cuma pria menyedihkan, mencintai Bianca dan doi memilih pergi. Menikah lagi dengan perempuan bernama Yumna, dan gadis itu terlihat
"Yumna, katakan padaku bagaimana caramu membuatkan banyak anak untuk orangtuaku?""Apa?" Yumna terkejut. Tanpa babibu aku bertanya hal aneh yang aku sendiri bahkan tidak menganggapnya serius.Yumna tertegun beberapa saat. Tampaknya ia gugup, sampai bingung memilih kata-kata. Sebagai orang dewasa tentu saja aku tahu bagaimana cara manusia berkembang biak dan proses terbentuknya seorang anak. Hanya saja sekarang aku merasa perlu bersikap bodoh, dan menggodanya.Mengingat dia mengatakan padaku tadi pagi, bahwa Devian seorang pria yang tak normal. Heh! Yumna tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?Apa perlu aku membuktikan padanya sekarang?Aku senang memanfaatkan sebuah kejadian. Sejak kejadian di mobil tadi membuatnya kembali canggung di depanku."Em, em, e ... i-itu, Tuan ...." Bibir mungil Yumna tergagap. Ucapannya belum selesai, karena ponselku tiba-tiba saja bergetar.Argh! Sial! Mengganggu saja!Di saat yang sama, wanita yang mengenakan kerudung sedada itu mendesah, ia selamat dar
Apa yang Yumna lakukan? Kenapa dia mengikutiku? Kudorong tubuh Alina agar ada jeda lebih di antara kami. Yumna pasti salah paham sekarang.Baru akan menjauh, menyusul Yumna, suara tamparan keras terdengar dari arah Alina.Melihat pegawaiku ditampar, aku menoleh melihat siapa pelakunya. "Ma, ada apa?!" tanyaku heran. "Dasar jalang tidak tau malu! Beraninya kamu menggoda suami orang dengan bermesraan di tempat seperti ini!" maki Nyonya Adiwijaya mengacung-acungkan telunjuk pada sekretaris CEO yang meringis menahan sakit dan tampak malu.Semua di luar ekspektasi, mungkin niat Alina sejak awal ingin membuat Yumna marah, cemburu. Tapi upayanya justru kepergok Mama dan menimbulkan masalah lebih baginya. Bukan hanya hati, kini jasadnya merasai sakit karena tamparan keras itu. "Kamu!" Pandangan Nyonya besar beralih padaku. "Bagaimana bisa kamu berciuman dengan pegawaimu?! Di depan istrimu!" Wanita yang tengah dikuasai amarah itu mengarahkan telunjuk ke arah kamar di mana Yumna berada, hin
Obrolan Alina dan Bianca berlanjut dengan chat. Tak cukup hanya bicara. Karena yang mereka obrolkan bukanlah hal kecil. Sesampainya di kamar, Alina tidak membuang kesempatan menumpahkan kekesalan pada partnernya itu. Mengingat istri Devian tersebut jarang menyalakan ponsel. Maka, ketika ponsel wanita itu menyala seperti sekarang, Alina harus benar-benar memanfaatkannya.[Jujur saja! Kamu pasti sudah tidur dengan Devian bukan?!!! 😠] Alina mengirim pesan. Ia sangat marah. Merasa dibohongi oleh Bianca. Jika memang keduanya belum pernah tidur bersama, harusnya Devian bisa menerimanya.Tak lama, Bianca membalasnya pesan yang menurutnya aneh dari Alina.[Ayolah, emot apa itu? 🙄Itu tidak mungkin. Kamu tau siapa aku. Sudah 10 tahun kita bersama.]Alina mengirim chat balasan kembali.[Lalu kenapa dia tidur dengan Yumna dan mengabaikanku?][Sudahlah! Tenangkan dirimu. Aku akan mematikan ponsel sekarang.] Bianca yang nyatanya lebih bersikap dewasa, memilih mengakhiri percakapan mereka. Tidak