Apa yang Yumna lakukan? Kenapa dia mengikutiku? Kudorong tubuh Alina agar ada jeda lebih di antara kami. Yumna pasti salah paham sekarang.Baru akan menjauh, menyusul Yumna, suara tamparan keras terdengar dari arah Alina.Melihat pegawaiku ditampar, aku menoleh melihat siapa pelakunya. "Ma, ada apa?!" tanyaku heran. "Dasar jalang tidak tau malu! Beraninya kamu menggoda suami orang dengan bermesraan di tempat seperti ini!" maki Nyonya Adiwijaya mengacung-acungkan telunjuk pada sekretaris CEO yang meringis menahan sakit dan tampak malu.Semua di luar ekspektasi, mungkin niat Alina sejak awal ingin membuat Yumna marah, cemburu. Tapi upayanya justru kepergok Mama dan menimbulkan masalah lebih baginya. Bukan hanya hati, kini jasadnya merasai sakit karena tamparan keras itu. "Kamu!" Pandangan Nyonya besar beralih padaku. "Bagaimana bisa kamu berciuman dengan pegawaimu?! Di depan istrimu!" Wanita yang tengah dikuasai amarah itu mengarahkan telunjuk ke arah kamar di mana Yumna berada, hin
Obrolan Alina dan Bianca berlanjut dengan chat. Tak cukup hanya bicara. Karena yang mereka obrolkan bukanlah hal kecil. Sesampainya di kamar, Alina tidak membuang kesempatan menumpahkan kekesalan pada partnernya itu. Mengingat istri Devian tersebut jarang menyalakan ponsel. Maka, ketika ponsel wanita itu menyala seperti sekarang, Alina harus benar-benar memanfaatkannya.[Jujur saja! Kamu pasti sudah tidur dengan Devian bukan?!!! 😠] Alina mengirim pesan. Ia sangat marah. Merasa dibohongi oleh Bianca. Jika memang keduanya belum pernah tidur bersama, harusnya Devian bisa menerimanya.Tak lama, Bianca membalasnya pesan yang menurutnya aneh dari Alina.[Ayolah, emot apa itu? 🙄Itu tidak mungkin. Kamu tau siapa aku. Sudah 10 tahun kita bersama.]Alina mengirim chat balasan kembali.[Lalu kenapa dia tidur dengan Yumna dan mengabaikanku?][Sudahlah! Tenangkan dirimu. Aku akan mematikan ponsel sekarang.] Bianca yang nyatanya lebih bersikap dewasa, memilih mengakhiri percakapan mereka. Tidak
Kunaikkan sebelah bibir. Menatap pantulan bayangan pria tampan dalam cermin hotel yang besar. Bayanganku sendiri. Lalu mencuri pandang beberapa kali pada Yumna. Tampaknya dia tengah pura-pura tak melihat. Malu barangkali, membayangkan apa yang terjadi sebelumnya di kamar mandi.Di sini, aku sengaja memasang dasi dengan sangat lama, Yumna yang berada di depan cermin riasnya menyisir rambutnya yang mulai mengering. Berharap wanita itu menoleh dan memberiku perhatian. Entah kenapa aku jadi ingin dimanja begini. Ck."Huft. Pasti akan menyenangkan jika ada istri yang memasangkan dasi," racauku sambil meniup berat. Harusnya dia peka. Karena tak ada respon darinya, aku yang aslinya tak suka merepotkan orang lain dalam hal kecil, kali ini terpaksa menyindirnya.Saat melirik dari ekor mata, pergerakan tangan Yumna melambat, menoleh pada suaminya ini. Tampaknya dia paham, nyatanya perempuan yang tak lagi segan melepas kerudung di hadapanku itu, segera menyelesaikan kesibukannya lalu meletakkan
Alina melempar gelas berisi air putih yang telah diteguk lebih setengah dari isinya. Hingga terdengar suara gelas pecah setelah berbenturan dengan lantai. Kemarahan perempuan berparas ayu itu kian menjadi karena rencananya lagi-lagi gagal. "Brengsek! Katanya profesional, tapi nyatanya gak becus! Kenapa pembunuh amatir minta bayaran puluhan juta jika akhirnya gagal begini." Alina mondar-mandir, menggigit kukunya karena bingung, ia tak berhenti memaki orang suruhannya sedari tadi. Kekesalannya bertambah kali lipat saat Bianca beberapa kali gagal dihubungi. Ia tahu, kali ini gilirannya akan mendapatkan makian dari teman dekatnya itu. "Ayo Alina, kamu gadis cerdas. Kamu harus segera keluar dari masalah ini." Kini dua tangannya memegangi kepala. Merasa frustasi, ia menyambar jaket cardingan dan menanggalkan rok mininya berganti celana jeans panjang. Mengenakan masker, pergi menuju suatu tempat. ***"Hem, sedang apa mereka?" Nyonya Adiwijaya melihat kerumunan banyak orang dan kedatanga
"Pulanglah Yumna!" titah mama mertua. Yumna lemas dan terduduk, ia melebarkan mata mendengar perintah itu. Yang ditakutkan terjadi, Nyonya Adiwijaya akan memisahkannya dengan Devian. Tidak menjawab, ia menggeleng. Mencoba bertahan. Tidak ingin saat Devian bangun, dirinya tak berada di sisi suami. Nyonya Adiwijaya tersenyum miring. "Dasar bodoh. Aku tau sejak awal kamu gadis bandel! Itu kenapa aku memilihmu."Yumna yang bergeming sontak mendongak melihat pada mertua, matanya yang basah menyipit. Mencoba menerka apa yang dimaksud sang mama. "Ah, lupakan! Aku suka melantur saat kalut seperti ini."Nyonya Adiwijaya menyeka airmata lalu duduk di samping Yumna. Ia yang tengah bersikap kasar melirik pada seorang wanita yang tak jauh dari tempatnya.Satu sudut bibir Nyonya besar itu terangkat. Wanita itu memang tengah sedih dan terluka karena anak semata wayangnya terbaring di ruang ICU, tapi sebagai wanita yang punya posisi penting, istri Adiwijaya itu tidak boleh lengah dan tetap mendahu
"Tu-tuan sudah sadar?" Mata yang basah dibanjiri lelehan bening itu membulat. Ia terkejut sekaligus sangat senang, Devian bangun. Ingin sekali ia memeluk, tapi enggan. Tidak menjawab, CEO itu menepuk dadanya dengan sedikit tersenyum. Memberi isyarat agar Yumna meletakkan kepala di sana. Tidak berpikir panjang Yumna memeluknya erat, meletakkan kepala yang terbalut khimar dengan pasrah. Tangisnya kembali pecah. Devian membiarkannya sampai wanita itu merasa puas, hal yang sama saat pertama kali ia memeluknya. Waktu terjeda beberapa saat hingga Devian memecahnya. "Teruskan sampai kamu puas, siapa tau kita bisa mengulang apa yang kita lalui kemarin lusa." Devian mengucap pelan. Mendengar itu Yumna sontak mendongak menarik kepalanya duduk ke posisi semula. "Apa?""Hemh." Devian tersenyum menggoda. "Kamu suka sekali menangis, Yumna. Akhir-akhir ini kamu terus menangis. Meski aku bisa memanfaatkan kesempatan saat kamu menangis di pelukanku, tapi aku lebih suka kamu judes dan tertawa lepa
Yumna yang memegangi ranjang tempat Devian, takjub dengan pemandangan di hadapan mereka. "Apa ini legal Tuan?""Hemh, kamu memanggilku tuan lagi." Devian tersenyum masam. Namun, Yumna tak menoleh sedikit pun ke arahnya. "Hei!" seru pria itu. Yumna tersentak karenanya. "Ayo, sampai kapan kita di sini? Bahan bakar sekarang mahal," sambung Devian lagi, meminta Yumna agar segera mendorongnya mendekat pada benda yang akan membawa mereka. Saat keduanya berhasil masuk dengan dibantu beberapa anak buah Devian, dan bersiap untuk menutup pintu kabin, seseorang datang mengejutkan mereka. "Mas Dev!" Seorang wanita berteriak memanggil, rambut panjangnya yang ikal berhamburan ke sana ke mari karena terpaan angin di atas gedung. Devian sangat syok dengan kedatangan wanita itu. "Bianca?"Begitu pun Yumna ia melihat sosok istri pertama Devian dengan tak percaya.Tatkala mata Bianca menangkap sosok Yumna yang tengah duduk begitu dekat dengan Devian, senyumnya seketika hilang.'What?! Bukannya Al
Yumna menyeka air matanya sebelum ada yang melihat, meski ia masih ingin terus menangis meluahkan semua sesak di dada. Ini terlalu perih baginya, ia baru tahu bagaimana cemburu bisa semenyakitkan sekarang. Namun, bukankah setiap pilihan memiliki resiko? Berbagi waktu dan perhatian suami adalah hal mutlak bagi pelaku poligami. Dan Yumna sudah memutuskan secara matang menempuh jalan ini.Dilangkahkan kaki menuju kamar sang ibu dirawat. Sesampai di ruangan berukuran lima kali sepuluh di mana seorang wanita tua terbaring dengan berbagai alat tersambung di tubuhnya, wanita berparas ayu itu segera meletakkan tas jinjing dan menghambur ke arah sang ibu setelah mengucap salam, tanpa basa-basi dengan wanita yang telah membukakan pintu untuknya. Wanita lain yang menjadi penjaga pasien hanya diam melihat kedatangan orang yang mempekerjakannya. Anak mana yang tidak rindu setelah meninggalkan orang tuanya lebih dari seminggu dalam keadaan sakit? "Assalamualaikum, Bu." Yumna mencium tangan yang m