Share

Perasaan yang Aneh

Melirik sekilas jam yang menempel di dinding kantor. Rupanya jam kantor telah berakhir.

Tak lama, tatapanku beralih ke suara yang berasal dari arah pintu. Rupanya Alina yang mengetuk.

"Ya, masuklah."

"Tuan belum pulang?" tanyanya sembari meletakkan sebuah kotak makanan.

"Ya, sebentar lagi," jawabku sambil meregangkan tubuh. "Ini apa?" tanyaku melihat sesuatu yang ditaruh di atas meja.

"Makanan Tuan. Saya lihat, Anda hanya makan siang sedikit tadi."

"Hem? Kamu melihatnya?"

"Ahm, ya kebetulan saya tadi juga makan siang di sana. Hanya saja tidak berani mengganggu." Perempuan itu bicara dengan sopan.

"Ouh." Aku manggut-manggut. "Oya, soal surat yang kamu serahkan." Kuambil surat milik Alina yang sudah kusimpan dalam laci dan menaruhnya di atas meja.

"Ya Tuan?" Dia tampak heran.

"Maaf, aku mencintai istriku. Kamu tau kan aku sudah beristri."

"Istri yang mana Tuan?" Alina tampaknya sangat penasaran, dari dua alisnya yang terangkat saat menatapku.

"Hah?" Ah ya, aku baru sadar, bahwa istriku ada dua. Yumna dan Bianca.

"Eum, tentu saja kamu tau." Aku enggan menyebut nama salah satu dari mereka. Meski kentara bahwa yang kucintai adalah Bianca.

"Apa Tuan ...." Ucapan Alina yang kecewa tergantung, saat seseorang datang tergesa di depan pintu.

Kami berdua pun menoleh ke asal suara. Dan Pak Jim sudah berdiri di sana.

"Ada apa?" tanyaku pada pria yang tampak khawatir itu.

"Eum. Kalau begitu saya permisi." Alina berpamitan. "Oya, ini laporan selama saya menemani Nyonya Bianca." Alina berpamitan sekalian meletakan sebuah map berisi laporannya mengawal Yumna selama ini seminggu terakhir.

Yumna meminta izin meneruskan kuliah, dan kini sudah kembali terdaftar sebagai mahasiswi tarbiyah di tempatnya dulu sempat terminal, ambil cuti atau malah berniat berhenti karena tak ada biaya. Bagiku itu tak masalah, asal dia bisa profesional mengerjakan tugasnya sebagai Nyonya Devian di sisiku.

Begitu Alina keluar, Pak Jim berjalan mendekat padaku. Benar-benar dekat, sampai aku harus menahan napas saat mencium bau keringat bercampur parfum yang dia gunakan.

"Ada apa? Kenapa Bapak terlihat takut begitu?"

"Bukan takut Tuan. Tapi ... Em, itu. Soal ibunya Nyonya Bianca."

"Ada apa dengan ibunya?"

"Saya mendapat laporan, bahwa seorang perawat menemukan ampul obat bius di kamarnya. Tapi pihak rumah sakit menutupi sembari menyelidikinya."

"Apa? Bagaimana bisa?" Tentu aku sangat terkejut.

"Saya tidak tahu, hanya saja orang suruhan saya melaporkan hal itu."

"Apa Yumna sudah melihat ibunya?"

Pak Jim menggeleng. "Bukankah Tuan melarangnya, dan belum memberi izin sampai sekarang." Pria itu mengucap lesu seolah sangat kasihan pada kondisi ibu dan anak itu.

"Ah, ya sudah. Tolong rapikan ini." Aku menunjuk berkas di meja yang masih berantakan.

"Apa harus saya Tuan?" Pak Jim memasang tampang melas. Yah, dia pasti lelah karena seharian ini banyak tugas yang kulimpahkan padanya.

"Lalu siapa? Saya?" Mataku melebar. "Yah, itung-itung olahraga." Aku tersenyum tipis sambil menepuk pundaknya.

Kudengar pria itu mengeluh pelan. "Nasib, jadi orang yang dipercaya, malah capek!"

Lagi, aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum selagi tangan bergerak memakai jas yang berada di atas kursi.

_______________

Kuputuskan segera pergi memeriksa ibu Yumna di rumah sakit. Aku sangat khawatir. Yah, bukan karena perhatian pada gadis sombong itu, tapi khawatir pada posisiku sendiri. Karena kalau ibunya mati tak ada alasan untuk Yumna bertahan di sisiku.

Tapi apa iya begitu? Ah, entahlah. Rasanya tak ada alasan untuk seorang Devian perhatian pada perempuan sombong sepertinya.

Di dalam mobil kubuka map yang tadi Alina serahkan padaku. Di sana ada banyak foto-foto yang menunjukkan aktifitas Yumna selama berada di kampus. Dari saat dia duduk sendiri di taman, melapor bagian admin, belajar di kelas dan bicara di depan semua teman-temannya, juga saat dia makan. Semuanya tampak menarik, Yumna gadis dengan penampilan biasa, tapi kenapa bisa menghipnotis orang lain untuk berlama-lama memandangnya.

Ada apa denganku? Apa aku baru saja memuji kecantikannya? Bullshit!

Di foto terakhir, Yumna tengah serius membaca buku di perpustakaan. Namun, di foto lain dengan gambar yang nyaris sama, gadis itu tengah memerhatikan sosok seorang pria yang duduk tak jauh darinya. Lelaki yang tampak rapi, tenang dan ... tampan. Hei, siapa pria itu? Kenapa tatapan Yumna seperti itu? Apa dia menyukainya?

Refleks tangan kananku memegang dada kiri, ada yang teremas sakit di sini.

________

Aku kira Yumna sejak awal sudah menyukai dan mengharapkanku. Sebab kalau dipikir, pernikahan ganda dalam agamanya, maksudku agamaku juga, adalah pernikahan halal, sah-sah saja. Jadi tak masalah dia menjadi yang kedua dan mencintai suaminya dengan sepenuh hati seperti di cerita-cerita viral, bagaimana pernikahan poligami perempuan-perempuan berhijab syari.

Kukira Yumna hanya jaim, dan merasa sombong saja. Ck aku terlalu percaya diri.

Apa mereka hanya pura-pura? Dan aslinya seperti

Yumna? Ah, kenapa aku jadi kesal? Merasa terlalu percaya diri. Lagipula mana mungkin, dia tertarik pada pria kasar sepertiku? Jelas saja mahasiswa di dalam foto ini adalah tipenya.

Sebentar, sebentar!

Ada apa denganmu Dev? Kamu cemburu?

Oh tidak! Itu tidak mungkin!

Pasti karena aku merasa kesal karena kegantenganku tidak bisa mempengaruhi hatinya, bukan karena aku diam-diam tanpa sadar menaruh hati padanya. Ya, pasti karena itu.

Karena itu juga aku suka sekali melihat wajah jengkelnya ketika aku menciumnya. Hahaha. Aku menikmati itu.

"Hahaha."

Tawaku rupanya membuat pergerakan orang yang sedang menyetir mobil. Pria itu menatapku dari kaca spion. Duh, apa aku disangka psikopat olehnya.

Kuhentikan tawa dan tersenyum manis pada sopir tersebut. Karenanya dia jadi manggut-manggut tak enak.

"Pak, agak cepat, ya. Saya sudah penasaran sama keadaan ibunya Yumna."

"Baik, Tuan."

"Oya, tolong jangan kasih tau dia kalau saya ke rumah sakit, jangan juga ngobrol dengan pelayan. Aku lihat dia akrab dengan pelayan-pelayan."

"Baik, Tuan. Em, maaf tapi kalau boleh tau maksud Tuan saya tidak boleh bicara pada siapa? Nyonya Bianca?"

"Bukan Nyonya Yumna."

"Hem?" Sopir itu tampak bingung. Menggaruk kepala yang tak gatal.

"Eum. Maksudku, iya. Nyonya Yumna." Heuh. Untuk sesat aku lupa, meminta semua orang memanggil Yumna sebagai Nyonya Bianca.

"Ya, Tuan. Baik. Maafkan saya."

"Kenapa Bapak minta maaf di saat tidak melakukan kesalahan?" Aku mendecih. Menyandar punggung ke kursi dan menatap ke luar jendela, sambil merapikan foto-foto dan laporan yang kudapat dari Alina mengenai Yumna.

Mobil akhirnya telah sampai ke rumah sakit. Begitu memasuki lobi, aku langsung mencari lift yang langsung membawaku ke ruangan VVIP.

Di depan kamar ibu Yumna, aku bertemu dengan penjaganya. Seorang perempuan, seusia Yumna. Dialah yang Yumna pilih untuk merawat ibunya di rumah sakit.

Aku bicara padanya sebentar, dan menekankan untuk tidak mengatakan apapun pada Yumna mengenai keadaan ibunya.

"Kamu tau sesuatu?"

"Maksud Tuan?" Gadis bernama Nadia itu tampak bingung.

"Sebab pingsannya ibu Yumna?"

"Karena syok, Tuan. Saya tidak tahu kenapa tetangga Yumna. Em, maksud saya Nyonya Yumna bicara tidak-tidak." Dia tampak khawatir.

Oh, berarti dia tak tahu isu ampul bius. Tapi baguslah. Dengan begitu, Nadia tak akan bicara pada Yumna dan membuatnya khawatir hingga tidak fokus menjalankan tugasnya sebagai Nyonya Bianca.

Aku pun masuk ke dalam, melihat keadaan ibu mertuaku itu. Sekilas tak ada masalah pada kondisinya, dia sedang tertidur pulas. Entah, karena efek koma dari pingsannya atau obat bius yang bekerja dalam tubuhnya.

Tapi, kadar obat bius apa yang bertahan begitu lama? Bukankah itu bahaya untuk organ dalamnya? Aku tak boleh tinggal diam untuk hal ini.

Selesai melihat kondisi ibu Yumna aku kembali memperingatkan Nadia agar tak bicara apa pun pada Yumna, bahwa CEO Angkasa Group mengunjungi ibunya.

_______________

Sampai di rumah, hari sudah malam. Aku tak melihat Yumna berkeliaran di dalam rumah. Saat kutanyakan pada kepala pelayan, wanita paruh baya itu bilang, tadinya Yumna memang menungguku.

"Sepertinya Nyonya Bianca ingin bicara sesuatu yang sangat penting, Tuan."

"Ingin bicara?"

Pelayan itu mengangguk.

"Beliau sampai mondar-mandir lama di depan kamarnya. Tapi mungkin sekarang sudah tidur."

Kuperhatikan angka di jam dinding. Benar saja sudah jam sebelas malam. Dia pasti kelelahan menungguku.

"Ya, sudah. Bibi istirahat saja. Besok juga dia pasti bicara."

"Baik. Terimakasih, Tuan." Wanita tua itu akhirnya berlalu dari hadapan.

Aku pun melangkah ke kamar melewati pintu Yumna yang tertutup rapat. Apa perlu aku mengetuk dan menenangkannya. Dia pasti ingin bicara soal ibunya.

Ah, aa peduliku? Biar saja Yumna tidur. Dia tak boleh kelelahan, ada banyak pertemuan yang menunggunya.

_____________

Sebelum sarapan Yumna memintaku bicara berdua. Tanpa banyak bicara, aku pun mengikuti langkahnya ke kamar. Dia pasti sudah penasaran apa yang terjadi dengan ibunya.

Setelah pintu tertutup, Yumna melayangkan tangan ke wajahku. Apa ini? Dia menamparku lagi. Apa dia tahu tentang ibunya yang dibius? Dan menyalahkanku, karena berpikir itu perbuatan kotorku agar aku bisa menahan Yumna di sisiku?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status