Sebelum ke Bandara, aku mengatakan pada pelayan agar memindahkan semua barang Yuma ke kamarku. Entah, bagaimana reaksinya nanti. Aku tak peduli!
Di sini aku suaminya dan dia istriku, jadi apapun itu, Yumna harus menurut.Dua puluh menit menunggu, aku mulai gelisah. Kedudukan sebagai orang nomor satu di perusahaan tidak memberi ruang untuk berleha-leha, atau membuang waktu. Sederet kegiatan sudah menunggu untuk dipenuhi di daftar skedulku.Aku berusaha duduk santai di kursi tunggu Bandara, sambil membuka-buka ponsel. Menunggu kedatangan orang tua. Di internet, aku mencari tahu bagaimana Yumna selama ini hidup dari akun-akun media sosialnya.Entah, sikapnya membuatku penasaran. Jangan salah, ini bukan penasaran karena jatuh cinta padanya. Mana mungkin seorang Devian jatuh cinta pada gadis yang sok alim, dengan pakaian tertutupnya. Sama sekali tak cantik. Yah, walau kadang tampak cantik juga sih.Dan hal yang membuatku tak bisa jatuh cinta pada Yumna karena keduanya sangat berbeda. Bianca yang bersikap apa adanya, lembut, perhatian dan ... sayang dia pergi tanpa penjelasan.Oke, balik pada kenapa aku kepo terhadap kehidupan Yumna. Karena dengan mengetahui itu aku bisa mencari kelemahannya."Aku juga ingin tahu, apa dia curhat sesuatu tentang pria dalam foto tempo hari? Kalau ada bukti, akan gunakan sebagai alasan menyiksanya. Mana ada gadis baik-baik selingkuh? Heh."Mataku menjelajah satu demi satu. Ketemu! Sebuah akun F* dengan nama Yumna Taqiyya. Profil seorang wanita berkerudung yang tak menampakkan wajahnya karena diambil gambarnya dari samping. Alamat kota dan universitas yang sama dengan istri keduaku. Tak salah lagi ini akun Yumna."Aneh, kenapa malah yang kubuka akun Yumna bukan Bianca seperti biasa," gumamku begitu saja sambil memandangi layar.Scralsecrul, tak ada foto-foto berarti. Isinya hanya kata-kata bijak dan link ceramah. Ck. Ada apa dengan wanita itu? Apa hidupnya memang kaku?Jemariku terus bergerak hingga layar bergeser ke bawah, di mana postingan-postingan lama. Ada beberapa foto teman-temannya yang juga pakai kerudung tengah berada di halaman universitas.Apa ini? Aku melihat foto pria tempo hari yang juga di foto oleh Alina. Hanya saja di foto ini lagi-lagi pria itu seolah tak tahu bahwa kamera mengarah ke arahnya. Sosoknya hanya figur tambahan di belakang teman-temannya.Apa Yumna diam-diam jatuh cinta padanya? Tanpa pria ini tahu atau .... Ah, kenapa aku tak rela dia melihat pada pria lain? Sementara dia sudah punya suami, terlepas pernikahan ini terjadi tidak dilandasi cinta. "Dev!" Suara Mama terdengar di kejauhan.Aku menghela dan menyimpan ponsel. Babak baru akan dimulai.Ini akan menjadi masalah untuk pewaris tunggal 'Angkasa Group' milik keluarga Adiwijaya, jika dua orang sepuh itu memutuskan untuk tinggal lama di rumahnya.Tidak masalah jika Yumna adalah wanita penurut dan pandai berpura-pura, bahkan untuk hari ini aku tidak bicara sepatah kata pun dengannya. Harga diriku akan semakin terluka kalau mendahului perempuan itu untuk berbaikan.Seorang wanita dengan pakaian cassual melambai, di sampingnya seorang pria gembul menemani. Keduanya berjalan cepat beriringan menghampiriku. Sebagai anak yang baik, aku pun mendahului menghambur pada mereka untuk membantu membawa barang bawaan."Lho, kok sendiri? Mana istrimu, Dev?" Nyonya Adiwijaya celingukan mencari sosok wanita yang ia pikir akan bersamaku menyambut kedatangannya.Aku sontak menggaruk kepala yang tak gatal, sambil berpikir hal masuk akal agar alasanku diterima Mama.Kalau saja tengah berdamai dengan Yumna, pasti bukan masalah besar untuk bicara dan mengajak perempuan itu pergi bersama."Kenapa tidak menjemput mertuanya? Apa dia sedang shoping atau kongkow dengan teman-temannya?" celetuk Mama selagi aku berpikir.Wanita paruh baya itu berpikir menantunya pasti seperti wanita kaya kebanyakan. Menghabiskan waktu bersenang-senang menjadi wanita 'sosialita' yang sedang tren di kalangan masyarakat."Em, itu Ma. Istri Dev sedang kuliah." Semoga mengucap hal yang sebenarnya terjadi bisa membantu."Kuliah?" Dahi Mama mengerut."Iyya, dia kan ... usianya masih 21 tahun. Dan masih semester tiga.""Lho. Bukannya kamu bilang waktu itu usianya 25 tahun?" Wanita berpakaian motif kotak-kotak itu memicingkan mata. Merasa ada yang aneh."Masa? Mungkin Dev salah ucap." Aku menjawab cepat. Aku tidak mengatakan Mama salah dengar, karena hal tersebut sulit terjadi lantaran wanita itu memiliki ingatan yang kuat."Dev sepertinya salah melihat tanggal lahirnya. Hehe.""His. Bisa-bisanya itu terjadi." Mama memukul lenganku yang terbalut kemeja berwarna mocca."Auh!" Aku mengaduh pura-pura sakit."Sudah, ayo kita pergi. Kita bisa melanjutkan obrolan ini di rumah."Papa akhirnya menengahi pembicaraan kami. Tidak ingin berlama-lama berdiri di padang orang banyak di Bandara._______________"Wah ... Indonesia, udaranya beda. Aku rindu suasana ini." Papa mengucap begitu kami ke luar mobil.Mereka memang jarang sekali pulang. Karena tuntutan pekerjaan di Inggris. Tentu berkunjung ke tanah kelahiran akan jadi hal menyenangkan. Asal tidak berlama-lama saja di sini. Kalau tidak bisa rusak semua rencanaku.Sampai di depan pintu rumah, aku pun membunyikan bel. Yang tak lama kemudian dibuka oleh pelayan kami."Bianca sudah datang, Bi?" tanyaku pada kepala pelayan itu."Iya, Tuan. Sedang di kamar.""Di kamar?" Mendadak pikiranku berputar pada perintah agar dia pindah ke kamarku."Ehm, ya. Di kamar Tuan dan Nyonya." Pelayan itu seolah tahu kekhawatiranku."Oh ya." Aku manggut-manggut senang sekaligus lega.Mama dan Papa tersenyum. "Oya, mana dia, Bi?" Mama celingukan ke lantai atas sambil melangkah masuk. "Hallo. Lama tak melihat kalian!" Sapa Nyonya pada dua pelayan yang terlihat di bawah.Tak lama sosok Yumna turun dari tangga mendekat ke arah kami. Jelas sekali dia terlihat kaku."Ehem." Perempuan itu berdehem meredam kegelisahannya dan berusaha menguasai diri. Ia berjalan dengan menarik napas dalam berkali-kali. Ini sangat mendadak, semoga saja dia tak berbuat hal gila.Perlahan tapi pasti, Yumna menuruni anak-anak tangga bermaksud menyambut kami."Hai, Sayang. Kemari lah! Ini orang tuaku!" seruku.Yumna tersenyum sangat lebar. Bagus, doa paham.Namun aku merasa telah menangkap kecemasan di wajahnya, bergerak merangkul bahu Yumna. Perempuan berwajah tampaknya kaget.Aku pun mencoba mencairkan suasana dengan mendekat ke wajahnya dan akan menciumnya agar Mama dan Papa melihat betapa kami saling mencintai.Namun, Yumna melotot, membuatku urung dan menjauhkan kepala. Arhg! Sial. Kenapa aku merasa takut padanya. Tidak sampai di situ kaki Yumna yang tampaknya masih kesal padaku refleks menginjak kaki hingga aku mengaduh kesakitan.Dasar tak waras! Dia benar-benar dendam!"Ah, Sayang. Maaf, aku gak sengaja, kamu nggak papa?" Yumna berpura-pura, dengan seringai tawa. Aku tahu itu. Sementara aku meringis kesakitan."Untung saja aku tidak menuruti Alina mengambil higtheels untuk dipasang di kedua kakiku. Jika tidak kaki Tuan, pasti bolong sekarang!" bisiknya yang membuatku sangat geram.Perempuan itu tersenyum puas, seperti bangga kemarahannya terlampiaskan.Bersambung"Mas, gimana menurut kamu sekarang?" tanya Sisil sembari meletakkan cangkir di atas meja, dekat laptop yang digunakan suaminya untuk kerja. "Hem?" Keanu yang kurang jelas mendongak. Melepaskan tatapan dari layar dan kemudian fokus pada wanita cantik yang hanya mengenakan dress tipis dengan rambut diikat tinggi. "Ya, Sayang. Kamu membahas tentang siapa?" Pria yang profesinya sebagai pengacara itu ingin memperjelas maksud pertanyaan istrinya. "Itu si Laura. Hidupnya kan ngenes, lebih ngenes dari janda yang gada suami." Sisil mengatakan secara detail. Dia sendiri meski merasa benci pada masa lalu Laura yang jahat, ada anak kecil yang tak bersalah hadir di tengah wanita jahat itu dan mantan suami Lisa -kakaknya. "Hem, apa kamu belum puas melihat penderitaannya?" tanya Keanu. Sisil menggeleng. "Lalu?""Aku kasihan pada anaknya, Mas. Apa kita ambil jadi anak angkat aja, ya? Atau kita kirim ke panti biar diasuh orang," celetuk Sisil ketika terpikir untuk menolong anak tidak bersalah i
"Jadi kita harus bagaimana, Mas?" Laura tampak bingung.Bagas mendesah panjang. Dia memikirkan cara bagaimana membalas dendam ada orang-orang yang telah membuatnya terpuruk seperti sekarang."Sudahlah, kita pikirkan nanti, Ra. Mas mau mandi dulu, gerah!" ucap Bagas bangkit. Lelaki itu sudah berjalan mencapai tangga, tapi membalik tubuh karena ada sesuatu yang perlu dia katakan."Ohya, cepat berkemas. Kita harus segera pergi dari sini!" seru Bagas, yang kemudian terus berjalan tanpa menunggu persetujuan sang istri. "Aku perlu menghubungi kolega yang masih punya hutang pribadi padaku, yah cukuplah buat nyewa sebuah rumah minimalis."Laura mendecak sebal. Ia sangat kesal pada Lisa. Wanita itu harus dilaporkan karena kasus penipuan."Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tak punya uang untuk menyewa pengacara." Perempuan yang tengah hamil muda itu mendesah lelah. Dengan langkah gontai bergerak mengikuti Bagas di lantai dua.Bagas yang akan masuk kamar mandi, tiba-tiba harus menghentikan la
Lisa mendesah. "Aku bisa mengurus Kamila sendiri. Toh, selama ini akulah yang mengurusnya, apalagi sejak kamu bertemu mantanmu itu, Mas. Kita cerai saja. Ini sudah keputusan terakhirku." Lisa mengucap tenang. Namun, juga mantap. Seketika wajah Bagas pias. Tak menyangka pada akhirnya Lisa yang lebih dulu menggungat cerai. Habis sudah. Tak ada lagu harapan untuk tetap hidup mewah di keluarga Handoko. Entah, bagaimana reaksi Laura nanti saat tahu, suaminya sekarang hanyalah seorang gembel yang tak memiliki apa-apa."Tap, tapi. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik, Lis? Lihatlah betapa menderitanya aku tanpa kamu selama ini. Mas minta maaf." Bagas menghiba. Berharap Lisa luluh atas permintaan maafnya."Maafku sudah habis, Mas. Aku terus memaafkanmu, tapi kamu tetap memilih mantanmu itu. Mas tak menoleh sedikit pun padaku dan Kamila, yang jelas-jelas telah membersamaimu sejak lama.""Mas, khilaf, Lis.""Khilaf yang terulang-ulang." Lisa bicara dengan tegas. Tak sia-sia dia terus melatih
Mbak Wati berlari dari arah dapur, ketika mendengar suara ribut-ribut di kamar Kamila."Ada apa?" tanya seorang pelayan kepada rekannya ketika Wati bergegas dari dapur tempat mereka bekerja."Biasalah. Orang kaya memang selalu begitu," cibir pelayan lain di sampingnya. Seorang perempuan yang semalam telah berhasil memberi obat tidur dalam minuman wanita bercadar di kamar Kamila.Perempuan itu tersenyum. Dia berpikir bahwa keributan pagi ini adalah imbas dari keberhasilan pekerjaannya semalam."Berhenti bergosip! Kalian makan dan digaji oleh orang yang kalian bicarakan keburukannya," tegur kepala pelayan yang tak suka mereka bicara tanpa adab."Not attitude!" dengkusnya sebelum akhirnya melangkah menyusul Wati untuk melihat apa yang terjadi.Mbak Wati yang melihat Bagas dan Sisil sibuk memanggil seseorang, segera mengambil Kamila yang tampak bingung. Untuk kemudian dibawa ke kamarnya dan diurus seperti biasa. Wanita itu tahu diri, hingga tak berani bertanya apapun mengenai keributan in
Lisa memegangi kepala yang berdenyut, saat membuka matanya dengan susah payah. Begitu mengerjap, cahaya menembus celah jendela. Wanita itu terhenyak, pagi telah tiba sebelum ia sempat menunaikan sholat subuh. "Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa kesiangan?"Wanita itu bangkit dengan tergesa. Berdiri di depan cermin untuk melepas topeng yang Sisil berikan semalam. "Aku bahkan tak sempat melepas benda ini sebelum tidur. Ini sangat aneh." Lisa meneleng sejenak mengingat-ingat kejadian ganjil semalam. Merasa sudah kehilangan banyak waktu, akhirnya ia bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap sholat."Li, Lisa ...." Mata Bagas hampir saja lepas melihat sosok wanita di hadapannya. Sementara wanita yang baru selesai mandi dan merasakan situasi yang tak baik telah menimpa, buru-buru menarik tubuhnya kembali ke kamar mandi, menghindari tatapan pria itu. "Ya Tuhan bagaimana ini?" Lisa menggumam bingung."Apa yang sedang terjadi? Kenapa kepalaku terasa berat?" Lisa berta
"Apa ini, Sil?!" teriak Bagas dengan amarah yang meletup-letup. Baru saja dia berprasangka baik tentang Sisil tapi ternyata dalam sekejap dia menikamnya dengan cara lain.Sisil memutar mata malas. "Udah deh, Mas. Gak usah berisik! Katanya mau lapor Pak RT. Panggil warga buat gerebek aku? Silakan! Sana!""Kamu nantangin aku, Sil! Oke! Kamu akan habis karena berbuat mesum padahal sudah punya suami!" Suara bariton itu menggema, sampai membangunkan pelayan yang tidur di kamar pembantu, terbangun. Namun, seperti biasa, mereka tak berani keluar dan melihat apa yang terjadi di ruang-ruang utama. Hanya kepala pelayan yang berani mengintip dari kejauhan. Takut jika ada perampok dan sejenisnya dan perlu untuk memanggil polisi.Bagas bergegas, dia ingin membuktikan bahwa ucapannya bisa menghancurkan Sisil."Tunggu! Satu langkah kamu keluar dari pintu, aku akan menceraikanmu. Dan menghancurkan hidupmu Mas Bagas! Mau jadi gembel?!" Sisil tersenyum sinis. Namun, rupanya ... sang nyonya dan tuannya
Bagas memasuki kamar yang terbuka. Pria itu melihat dengan heran. Bukannya tadi Sisil sudah naik ke atas. Tetapi, kenapa sekarang tidak ada? "Sudahlah. Aku lelah terus memikirkan wanita gila itu. Aku ingin beristirahat," gumamnya. Setidaknya di samping cilaka bertubi-tubi, ada kabar membahagiakan untuknya. Laura yang tak lagi salah paham dan juga sebentar lagi dia akan tahu bahwa Lisa masih hidup.Langkah lebarnya memasuki kamar, dengan malas mendorong pintu. Begitu melihat kasur, langkahnya semakin cepat. Tak sabar merebahkan diri di sana."Ahhh. Lega sekali! Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini. Tak perlu waktu lama, Bagas terlelap dan sempat mendengkur. Bahkan dia tak sadar ketika Sisil melihatnya di pintu, lalu kembali.Tak lama suara ponsel mengagetkannya.Dengan kondisi masih mengantuk, Bagas meraba-raba ponsel di nakas. Begitu dapat, ia segera meraihnya."Ya?" sapanya pada orang di ujung telepon."Tuan, saya sudah mengirimkan foto dari pacar saya.""Benarkah? Foto wani
"Mas, gimana?" tanya Laura tak sabar."Udah kamu tenang aja, ya. Besok aku akan cari waktu untuk pulang," bujuk Bagas yang kasihan melihat Laura. Tak pernah bertemu. Padahal dia sedang hamil. Meski Laura punya andil besar atas kekacauan sekarang, tetap saja Bagas tak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Dia juga ikut andil, perselingkuhan yang menyebabkan banyak perselisihan tak akan terjadi jika Bagas menutup celah tersebut."Iya, itu harus, Mas. Kamu kan tau aku sedang hamil.""Ya, Sayang. Iya." Kini Bagas melunak. Tak ingin semua sisi menjadi sumber kesumpekan baginya. Terlebih Laura. Hanya dia wanita yang kini mencintai dan mendukungnya."Soal Lisa?" tanya Laura lagi. "Kamu tunggu kabar besok, oke? Aku sudah menyiapkan seseorang untuk memhuka kedoknya."Bagas mencoba menenangkan istrinya. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil kali ini._____________Di tempat lain, Bibi yang akan masuk, urung ketika melihat majikannya tengah berbincang di telepon. Dia diam-diam mendengar pembi
"Mas, tadi aku gak sengaja lihat riwayat panggilan di ponsel Bibi. Banyak sekali panggilan dari Sisil dan Lisa. Ini aneh kan Mas. Apa Bibi itu sebenarnya suruhan Sisil untuk mengerjai kita?""Apa? Kamu serius? Gak salah baca?!" Ini sangat aneh menurut Bagas. Kenapa mereka berhubungan?Sementara Lisa yang mendengar percakapan mereka menutup mulut, terkejut. Secepat inikah rencananya dan Sisil terbongkar?Dia yang terkejut berbalik arah dan pergi meninggalkan tempatnya. Namun, nahas. Gamisnya nyangkut, hingga menimbulkan suara ketika ia bergerak.Bagas sontak menoleh, mencari asal suara. Dia pun bangkit, bergerak mendekat dan meninggalkan panggilan dengan Laura. Saat berdiri persis di depan pintu, Lisa sudah berjalan menjauh. "Tunggu!" serunya, hingga membuat Lisa menghentikan langkah.Pria itu pun berjalan semakin mendekat. Penasaran. Apa yang dilakukan baby sitter itu? Perempuan berhijab yang Sisil pekerjakan dan dicurigai Bagas sebagai Lisa. Dia pasti sudah mendengar obrolannya deng