SIKAP REVAN SEDIKIT BERUBAH

Bab 4 – Titik Balik yang Tak Terduga

Revan masuk ke dalam rumah, tampak lelah. Alya duduk di ruang tamu, memegang buku, matanya mengikuti kata-kata di halaman, tetapi pikirannya jauh.

“Alya,” panggil Revan dengan suara berat.

Alya menurunkan bukunya, menatap Revan yang masuk. “Ada apa, Rev?”

Revan menggelengkan kepala, mengusap wajahnya. “Gak ada, masalah kantor aja.”

Alya melangkah mendekat. “Revan, ada yang lebih besar kan,rev? Kamu kelihatan beda.”

Revan menatapnya sekilas, kemudian memalingkan muka. “Aku gak mau kamu ikut campur.”

Alya tidak bergerak. “Kenapa? Aku istrimu, Rev. Setidaknya kasih tahu aku sedikit.”

“Percuma,” jawab Revan dengan suara datar. “Kamu gak bakal ngerti.”

Alya mendekat, berdiri di sampingnya. “Kenapa kamu selalu seperti ini? Aku bisa bantu kalau kamu mau bicara.”

Revan terdiam sejenak, matanya beralih ke ponselnya yang bergetar. Lalu dia berbalik, melangkah ke pintu.

“Aku gak bisa tinggal diam, Rev,” kata Alya, mengikuti langkahnya. “Apa yang terjadi?”

Revan berhenti, menoleh ke belakang dengan wajah penuh ketegangan. “Ini bukan urusanmu, Alya.”

Alya menghentikan langkahnya, mencoba menenangkan diri. “Aku adalah bagian dari hidupmu. Aku gak akan tinggal diam kalau kamu terluka. Setidaknya jelaskan padaku.”

Revan menarik napas panjang. “Aku dulu pernah percaya sama seseorang, Alya. Aku kira dia akan selalu ada buatku. Tapi dia ninggalin aku di saat aku paling butuh dia.”

Alya merasa perasaan itu begitu dalam. “Aku... aku gak bisa bayangin betapa sakitnya itu. Tapi kamu gak bisa terus-terusan hidup di bayang-bayang masa lalu.”

Revan mengangkat wajahnya, matanya kosong. “Aku takut, Alya. Takut kalau semua ini bakal hancur seperti yang dulu.”

“Aku gak bakal ninggalin kamu, Rev,” jawab Alya dengan suara lembut, menggenggam tangan Revan. “Aku di sini, aku ingin kita coba bersama.”

Revan menatap tangan Alya yang menggenggamnya. “Aku gak janji bisa langsung berubah, tapi aku mau berusaha.”

Alya mengangguk pelan. “Itu sudah cukup, Rev.”

Beberapa minggu berlalu, Revan mulai lebih sering berbicara. Mereka berbagi percakapan kecil di meja makan, berbicara tentang hal-hal sepele yang dulu jarang dilakukan.

Suatu malam, saat mereka makan malam bersama, Revan tiba-tiba bertanya, “Alya, kamu pernah takut kehilangan sesuatu?”

Alya terdiam sejenak, meletakkan sendoknya. “Pernah, Rev. Tapi aku belajar, kehilangan itu bagian dari hidup.”

Revan menatapnya, menunggu jawaban lebih lanjut. “Dan kamu merasa aku layak diperjuangkan?”

Alya tersenyum lembut. “Kalau gak, aku gak bakal ada di sini malam ini.”

Revan tersenyum kecil, senyum yang jarang muncul, tapi kali ini tulus. “Kamu benar-benar berbeda, Alya.”

Alya merasa hangat dengan kata-kata itu. “Aku ingin kita berdua berjuang, Rev. Dari awal, dari nol.”

Revan mengangguk, namun tatapannya tetap penuh keraguan. “Tapi kamu yakin, Alya? Aku gak ingin kamu menyesal nanti.”

“Aku gak akan menyesal, Rev,” jawab Alya tegas, matanya memancarkan keyakinan. “Kita coba bersama. Setidaknya kita gak akan merasa rugi karena sudah mencoba.”

Revan diam, pikirannya mulai terbuka sedikit demi sedikit. “Aku takut, Alya. Tapi mungkin ini yang harus kita coba.”

Alya tersenyum, meraih tangannya. “Kita akan hadapi semuanya. Satu langkah setiap waktu.”

Revan menatapnya dengan lebih dalam, matanya mulai berbicara lebih banyak daripada kata-kata. “Aku gak janji, Alya. Tapi aku ingin mencoba.”

Alya menggenggam tangan Revan lebih erat. “Itu sudah cukup, Rev. Kamu gak perlu janji apa-apa.”

Revan terdiam, matanya kembali kosong, tapi kali ini ada secercah harapan di sana. “Aku gak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”

“Aku tahu,” jawab Alya dengan lembut. “Aku akan ada di sini, Rev. Gak peduli apa yang terjadi.”

Malam itu, setelah mereka selesai makan malam, suasana terasa lebih ringan. Revan mulai berbicara lebih banyak, meskipun hanya tentang hal-hal kecil, tapi itu sudah cukup bagi Alya.

Saat mereka berbaring di tempat tidur, Revan berbaring terdiam. “Alya...” katanya pelan, suara yang nyaris tak terdengar.

Alya menoleh, menatapnya. “Iya, Rev?”

Revan menarik napas. “Aku gak bisa janji kalau semuanya akan mudah, tapi aku ingin kita coba. Pelan-pelan.”

Alya tersenyum, menyentuh pipi Revan dengan lembut. “Aku di sini, Rev. Kita coba bareng-bareng.”

Revan memejamkan mata, merasa kehangatan dari tangan Alya di pipinya. “Aku... aku gak tahu harus mulai dari mana.”

“Aku di sini,” jawab Alya, suaranya lembut dan penuh pengertian. “Kita mulai dari sini, Rev. Pelan-pelan. Kita pasti bisa.”

Revan mengangguk pelan, hatinya mulai sedikit terbuka. Meskipun banyak keraguan, ada rasa aman yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

“Aku siap,” pikir Revan dalam hati, meskipun dia tidak mengatakan kata-kata itu dengan keras. Dia tahu, untuk pertama kalinya, dia tidak sendirian lagi.