Bab 2 - Rumah Tanpa Kehangatan
Pada pagi setelahnya, suasana apartemen Revan tetap sunyi. Alya membuka matanya perlahan, menatap sekeliling. Itu bukan rumahnya. Ia menarik napas panjang, mengusap wajahnya. Alya berdiri dan keluar dari kamar. Kakinya melangkah ke dapur, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Di meja makan, Revan sudah duduk dengan setelan kerja abu-abu, menyesap kopi sembari membaca tablet. “Pagi...” sapa Alya ragu. Revan melirik sekejap. "Pagi." Alya menggigit bibir bawahnya, membuka kulkas dan mengambil sebotol susu. Ia duduk di kursi jauh dari Revan, berusaha menenangkan dirinya. Hening. “Revan...” panggil Alya, suaranya hampir seperti bisikan. Revan menoleh. "Ada apa?" Alya menggenggam botol susu. "Aku... boleh kerja?" tanyanya, sedikit gugup. "Kerja?" Revan mengulang pertanyaannya. Alya mengangguk. "Aku nggak mau cuma diam di rumah. Aku bisa cari kerja part-time, mungkin di toko buku atau jadi guru les." Revan menatapnya, ekspresinya datar. "Aku nggak melarang. Asal kamu tahu batasanmu. Jangan bikin masalah. Jaga nama baikku." Alya mengangguk cepat. "Aku janji." Revan meraih jas dari kursi dan menatap Alya sekilas. "Aku pulang malam. Jangan tunggu," katanya, lalu beranjak. “Revan...” panggil Alya lagi, sedikit berlari menghampirinya. "Aku... bisa bantu apa sebelum kamu pergi?" Revan menatapnya, menghela napas pelan. “Nggak perlu. Fokus aja sama dirimu sendiri." Alya hanya bisa mengangguk, menatap punggung Revan yang semakin menjauh. Pintu tertutup, kunci otomatis mengunci pintu, dan keheningan kembali menyelimuti apartemen. Alya berdiri terpaku beberapa saat. Ia mulai membereskan kamar tamu, menyapu, mengepel, berusaha mengusir rasa sepi yang menggigit hatinya. Menjelang siang, Alya mengambil ponselnya dan menghubungi ibunya lewat video call. "Bu, gimana kabarnya?" tanya Alya, mencoba tersenyum. Ibunya terlihat lelah di layar, namun tetap memberikan senyum hangat. “Alya, sayang... gimana di sana?” Alya memaksakan senyum. "Baik, Bu. Semuanya baik." Ibunya mengangguk pelan. "Ibu sehat, Nak?" Alya terdiam sejenak, lalu menjawab pelan. “Alhamdulillah, Bu... cuma kangen Ibu.” Ibunya tersenyum, namun ada kelelahan di matanya. “Revan baik, kan?” tanyanya, nada suaranya sedikit cemas. Alya menatap layar, berusaha tidak terlihat cemas. “Iya, Bu. Dia sibuk kerja, tapi dia orang baik. Ibu nggak usah khawatir.” Padahal kenyataannya, Revan hampir tidak bicara padanya. Tapi Alya tidak ingin membuat ibunya khawatir. "Revan udah nggak marah lagi kan?" tanya ibunya, mencoba memastikan. Alya mengangguk cepat, berusaha meyakinkan ibunya. "Iya, Bu. Semuanya baik-baik saja. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Ibunya menatap Alya dengan penuh perhatian. "Alya, Ibu nggak ingin kamu merasa kesepian di sana. Kalau ada masalah, ceritakan ke Ibu. Jangan dipendam sendirian." Alya menunduk, lalu mengangkat wajahnya dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. "Ibu tenang aja, aku bisa kok." Ibunya masih terlihat khawatir, namun ia mencoba tersenyum. "Kalau kamu butuh apa-apa, Ibu selalu ada, ya?" "Terima kasih, Bu," jawab Alya pelan. "Aku akan coba yang terbaik." Setelah menutup video call, Alya duduk di sofa, tatapannya menerawang ke luar jendela. Kota yang ramai, namun terasa begitu asing. Waktu berjalan lambat. Malam datang, lampu-lampu kota mulai bermunculan satu per satu. Namun Revan belum juga pulang. Alya menatap jam dinding, sudah hampir jam sembilan malam. Dengan hati-hati, ia memanaskan makanan yang sudah disiapkan sore tadi. Tak lama, suara pintu terbuka. Revan masuk, jasnya terlepas asal ke sofa, dasi terlepas sembarangan. Alya berdiri. “Kamu mau makan? Aku udah siapin.” Revan mengangguk singkat. “Boleh.” Alya menyajikan piring dan menuangkan sup ke mangkuk. Mereka duduk di meja makan, hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring. Tidak ada percakapan. Alya memecah keheningan. “Kerjaanmu berat, ya?” Revan mengangkat bahu. "Biasa aja. Dunia bisnis emang kayak gitu." Alya mengangguk kecil. "Aku... hari ini bersih-bersih apartemen. Kamar tamu aku tata lagi. Kalau ada yang kamu mau diubah, bilang ya." Revan berhenti mengunyah sejenak, menatapnya. "Nggak usah repot. Lakukan aja apa yang bikin kamu nyaman." "Baik," jawab Alya dengan senyum tipis. Setelah makan, Revan meletakkan sendok garpu dan berkata singkat, “Makasih.” Alya hanya mengangguk. "Sama-sama..." Revan berdiri, mengambil segelas air putih. Ia tampak ragu sebelum akhirnya bertanya, "Kamu... betah di sini?" Alya menatapnya, tersenyum kecil. “Aku masih menyesuaikan diri. Tapi... aku bersyukur punya tempat yang aman." Revan hanya mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya tanpa berkata lagi. Alya menatap punggungnya yang menjauh. Ada sesuatu di hatinya yang bergolak—campuran antara harapan dan rasa sakit. Ia tahu hubungan mereka bukan dimulai dengan cinta. Tapi mungkin, dari hal-hal kecil seperti ini, mereka bisa perlahan membangun sesuatu. Mungkin, rumah tanpa kehangatan itu bisa perlahan-lahan berubah. Setidaknya, itu harapan kecil yang Alya pegang erat malam itu, sebelum akhirnya ia mematikan lampu dan membiarkan gelap menyelimuti dirinya.Bab 9 – Keputusan Berat Pagi itu, suasana rumah Revan kembali terasa tegang. Alya berjalan mondar-mandir di ruang tamu, sementara Revan duduk di sofa, memandangi layar ponselnya. "Kamu yakin mau langsung pecat dia hari ini?" tanya Alya ragu. Revan mengangguk tegas. "Nggak ada pilihan lain, Alya. Ini soal kepercayaan. Sekali dia ngelakuin itu, nggak akan ada jaminan dia berhenti." Alya menghela napas. "Aku cuma takut... dia makin nekat setelah ini." Revan berdiri, mendekati Alya, lalu memegang pundaknya. "Selama kita satu suara, nggak ada yang perlu ditakutin." Alya tersenyum tipis. "Aku percaya sama kamu, Rev." Revan mengecup kening Alya sekilas, lalu mengambil jasnya. "Gue berangkat dulu. Doain gue, ya." "Selalu." --- Di kantor, Revan berjalan cepat menuju ruangannya. Semua karyawan menunduk, suasana mencekam. Berita soal adanya masalah internal sudah beredar, meski belum jelas siapa yang terlibat. Karin sudah menunggu di ruangannya, berdiri dengan wajah tegang. "Pak Reva
Bab 8 – Musuh Dalam SelimutPagi itu, rumah Revan terasa berbeda. Alya duduk di meja makan, menatap semangkuk sup buatan Mbak Sari. Tangannya bermain-main dengan sendok, matanya kosong."Kenapa ngelamun?" suara Revan tiba-tiba terdengar.Alya menoleh, melihat Revan baru turun dengan jas rapi dan rambut klimis. CEO mode: on."Aku cuma mikirin... siapa yang bisa ngelakuin itu. Maksudku, surat kontrak itu kan nggak banyak orang yang tahu, kan?" tanya Alya.Revan duduk di sebelahnya, mengambil cangkir kopi. "Iya. Yang tahu soal kontrak itu cuma aku, kamu, pengacara pribadi, dan... satu orang lagi."Alya menatapnya. "Siapa?""Sekretarisku. Karin," jawab Revan pelan, matanya tajam menatap Alya.Alya terdiam. Nama itu... Karin. Ada yang mengganggu dirinya sejak awal."Menurutmu... dia yang bocorin?" tanya Alya."Aku belum yakin. Tapi aku bakal cari tahu. Hari ini aku minta IT perusahaan lacak sumber email yang masuk ke dewan. Kalau benar dia yang ngelakuin, aku nggak bakal segan-segan."Di k
Bab 7 – Antara Kontrak dan PerasaanPagi itu, Alya bangun lebih awal dari biasanya. Dia masih belum terbiasa tidur di kamar mewah dengan kasur empuk dan seprai putih bersih seperti hotel bintang lima. Namun, malam sebelumnya terasa berbeda. Setelah semua yang terjadi, pelukan hangat Revan, dan ciuman di kening itu... rasanya bukan cuma sekadar sepasang kekasih kontrak lagi.Alya melirik ke sebelah,yaitu ke tempat dimana biasanya Revan tidur. Tetapi Kosong.Alya bangkit, berjalan keluar kamar. Suara dentingan dari dapur membuatnya mengernyit.Jangan-jangan...“Revan?” panggilnya pelan sambil mengintip ke dapur.Ternyata benar. Revan berdiri di sana, dengan celemek di badan, dan satu panci sup yang sedang dipanaskan.Alya menahan senyum. “CEO dingin ternyata bisa masak juga?”Revan menoleh, tampak agak gugup. “Cuma sup ayam. Gampang kok. Aku pikir kamu butuh sesuatu yang anget pagi ini.”Alya menghampiri, berdiri di sebelahnya. “Tumben perhatian banget. Biasanya kamu nyuruh Mbak Sari aj
Bab 6 – Rahasia Masa LaluAlya menatap Revan yang berdiri di depan pintu, wajahnya terlihat jauh berbeda dari biasanya. Bukan dingin atau cuek, tapi lebih seperti... takut. Ada kekhawatiran dalam sorot matanya yang selama ini selalu tampak tajam.“Masalah apa, Revan?” tanya Alya pelan, nyaris berbisik. “Apa maksudmu dengan ‘bisa menghancurkan kita berdua’?”Revan berjalan pelan mendekat, lalu duduk di ujung tempat tidur. Dia menunduk, memainkan jari-jarinya sendiri, seolah mencari keberanian untuk bicara.“Aku pernah mencintai seseorang dengan sepenuh hati, Alya,” akhirnya dia membuka suara. “Namanya Nayla. Kami hampir menikah.”Alya terdiam. Ini pertama kalinya Revan menyebut nama perempuan lain, dan hatinya bergetar tak karuan. Tapi dia tetap diam, mencoba mendengarkan dengan tenang.“Tapi dia meninggal. Kecelakaan,” lanjut Revan, suaranya serak. “Dan aku merasa... itu salahku.”Alya mengernyit. “Kenapa kamu merasa bersalah?”Revan menatap dinding kosong di depannya. “Karena saat it
Bab 5 – Cinta yang TertahanMinggu-minggu berlalu dengan cepat. Revan dan Alya semakin sering berbicara, meskipun hanya hal-hal ringan. Namun, Alya merasa ada yang berubah dalam dirinya—perasaannya mulai lebih dalam. Setiap kali Revan tersenyum atau berbicara dengan lembut, hatinya berdebar. Ia menyadari betapa besar pengaruh pria itu dalam hidupnya.Suatu malam, setelah seharian bekerja, Revan pulang larut. Alya sudah menyiapkan makan malam, namun ada keheningan yang mengambang di antara mereka. Revan duduk di meja makan, tampak lelah. Udara malam itu terasa berat. Alya duduk di seberangnya, memperhatikan wajah Revan yang nampak lebih tua dari biasanya."Alya, kenapa kamu memandang seperti itu?" tanya Revan, mengangkat pandangannya dan menemukan mata Alya yang penuh perhatian."Aku khawatir. Kamu tidak terlihat seperti biasanya. Ada sesuatu yang mengganggumu, bukan?" jawab Alya, sedikit memiringkan kepala. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati Revan.Revan menatapnya
Bab 4 – Titik Balik yang Tak TerdugaRevan masuk ke dalam rumah, tampak lelah. Alya duduk di ruang tamu, memegang buku, matanya mengikuti kata-kata di halaman, tetapi pikirannya jauh.“Alya,” panggil Revan dengan suara berat.Alya menurunkan bukunya, menatap Revan yang masuk. “Ada apa, Rev?”Revan menggelengkan kepala, mengusap wajahnya. “Gak ada, masalah kantor aja.”Alya melangkah mendekat. “Revan, ada yang lebih besar kan,rev? Kamu kelihatan beda.”Revan menatapnya sekilas, kemudian memalingkan muka. “Aku gak mau kamu ikut campur.”Alya tidak bergerak. “Kenapa? Aku istrimu, Rev. Setidaknya kasih tahu aku sedikit.”“Percuma,” jawab Revan dengan suara datar. “Kamu gak bakal ngerti.”Alya mendekat, berdiri di sampingnya. “Kenapa kamu selalu seperti ini? Aku bisa bantu kalau kamu mau bicara.”Revan terdiam sejenak, matanya beralih ke ponselnya yang bergetar. Lalu dia berbalik, melangkah ke pintu.“Aku gak bisa tinggal diam, Rev,” kata Alya, mengikuti langkahnya. “Apa yang terjadi?”Rev