Apa Pak? "Menikah?"
Aku terlalu terkejut ketika mendengar tawarannya. Bagaimana mungkin seorang pria yang begitu luar biasa seperti dirinya mengajakku menikah? Aku hanya seorang gadis desa yang tidak memiliki keunggulan apapun selain wajahku yang lumayan bening, yang malah membuatku nyaris kehilangan kehormatan tadi.Perasaanku menjadi campur aduk. Baru saja aku terbebas dari jerat licik Juragan Mukti, tetapi kini aku kembali dikejutkan dengan ajakan menikah tiba-tiba dari Pak Mandor. Lidahku kelu, pikiranku penuh.Berbanding terbalik denganku, pria berwajah bersih khas orang kota itu malah terlihat menatapku penuh arti. "Tidak perlu dijawab sekarang. Aku akan berikan kamu waktu berpikir beberapa hari." Matanya kemudian bertemu dengan netraku, yang langsung aku alihkan menatap objek lain. "Tapi kuharap, hanya jawaban 'iya' yang keluar dari mulutmu."Pak Mandor berucap dengan sangat tegas yang membuatku kembali terperangah resah. "Ta-tapi, Pak--""Sekarang, masuklah dan bersihkan tubuh kamu. Pikirkan baik-baik soal tawaranku."Setelah mengucapkan kata-katanya Pak Mandor kemudian segera membalikkan badan dan pergi begitu saja tanpa menungguku menanggapi ucapannya. Aku hanya bisa melepas kepergiannya dengan tatapan penuh arti dengan hati yang juga digayuti berbagai macam perasaan yang tak terjelaskan.Keesokan harinya, Entah siapa yang telah menyebarkan berita itu, nyatanya sekarang semua orang sudah mengetahui jika aku nyaris diperkosa oleh Juragan Mukti. Berulang kali kutegaskan, jika pria brengsek itu belum sampai mendapatkan kehormatanku, tapi tetap tak ada yang percaya dengan apa yang aku katakan.Aku menjadi sangat tertekan dengan keadaan ini. Bahkan sekarang anak- anak desa yang sebelumnya aku ajari mengaji sudah tak mau datang ke mushola.Di tengah cobaan berat yang menimpaku, mendadak Pak Mandor datang ke rumah. Ia dengan sangat yakin mengutarakan lamarannya pada ibu juga Mas Rahmat, kakak keduaku yang kebetulan datang berkunjung."Jadi, Pak Mandor datang untuk melamar adik saya, Rindu?" Mas Rahmat bertanya dengan nada seakan tidak percaya. Pak Mandor terlihat mengangguk yakin. "Apa Pak Mandor sama sekali tak terpengaruh dengan gosip yang beredar di desa ini tentang adik saya?"Hatiku sakit kala Mas Rahmat melirikku dengan pandangan menjustifikasi. Namun, Pak Mandor sama sekali tak terpengaruh. Ia dengan tenang mampu menjawab pertanyaan dari kakakku. "Justru karena itu aku kian kuat membulatkan tekad untuk menjadikan Rindu sebagai istriku."Mas Rahmat kemudian menyergapku dengan sorot mata tegas. "Bagaimana Rindu, apa kamu menerima lamarannya Pak Mandor?" Mas Rahmat mulai menanyakan kesanggupanku.Aku masih diam membisu, gamang untuk memberikan jawaban. "A-aku--""Kalau saranku sih sebaiknya kamu terima saja. Dengan keadaan kamu yang seperti ini bisa dipastikan kamu akan sulit untuk mendapatkan jodoh." Mas Rahmat memotong jawabanku sekonyong-konyong. Ia juga melanjutkan perkataannya yang berupa sindiran. "Memangnya, ada pria yang bisa menerima wanita yang sudah ternoda seperti kamu?"Lagi-lagi, hatiku diserang rasa sakit. Bahkan, kakakku sendiri tak mempercayai adiknya. Aku mendesah panjang, menyimpan kesedihan dan keraguan seorang diri. Namun ketika melihat tatapan ibu yang begitu nanar padaku, juga segala ketenangan yang menguar lugas dari wajah tampan Pak Mandor, malah memberiku sebuah keyakinan yang tak terduga.Pada akhirnya aku mulai mengangguk, memberikan jawaban dengan isyarat.“Jadi kamu menerima lamaran, Pak Mandor?” tanya Mas Rahmat memastikan.“Iya.” Semua orang terlihat bahagia saat mendengar jawabanku.Saat ini aku melihat hanya ini jalan keluar terbaik. Meski aku sendiri masih memendam keraguan tentang pernikahanku bersama Pak Mandor, sosok asing yang belum aku kenal sepenuhnya.“Kalau begitu, kita langsung menikah nanti malam.” Pak Mandor berucap dengan sangat pasti.Pria berpakaian necis itu lalu melirik pada pria yang juga sama rapinya dengan dirinya. Mungkin pria itu adalah asistennya. “Tolong kamu atur semuanya agar nanti malam aku bisa segera menikah.”**“Selamat atas pernikahan kalian.”Sekarang, satu persatu orang mendekat memberikan selamat kepada kami, ketika kami mulai berdiri berdampingan menyambut para tamu yang kebanyakan adalah para tetangga terdekat rumahku.Dengan persiapan yang serba mendadak membuatku tak sempat mengundang banyak orang. Bahkan saat ini kami belum menyelesaikan semua surat pernikahan yang membuat pernikahan ini belum bisa dicatatkan pada kantor agama. Namun, aku sedikit kaget karena pria yang sekarang sudah menjadi suamiku itu mampu menyiapkan sebuah pesta yang di kampungku sudah termasuk cukup meriah.Dalam waktu singkat rumahku sudah disulap dengan bermacam hiasan dekorasi mewah. Berbagai macam makanan enak pun disajikan di sebuah meja panjang yang bisa diambil oleh semua tamu yang datang.Semua yang aku lihat sekarang malah kian menguatkan rasa penasaranku terhadap sosok pria yang sudah menikahiku itu.Siapa sebenarnya Pak Mandor yang tampak memiliki banyak uang itu? Kenapa dia bersikeras ingin menikahiku?Segala pertanyaan itu terus menggayut di benakku hingga saat pesta pernikahan kami berakhir. Di pinggir ranjang pengantin kami yang semula adalah kamarku dan adikku, kami duduk berdampingan.Aku dengan segala kerikuhanku hingga terus saja menundukkan wajah sangat tak memiliki keberanian untuk menentang tatapannya yang lugas terunggah padaku.“Sampai kapan kamu akan menunduk seperti itu?”Aku terperangah sesaat, masih saja tak bisa menghilangkan kecanggunganku. Pak Mandor kemudian malah meraih daguku, menuntunku untuk mendongakkan wajah dan menentang sorot matanya.“Apa kamu takut padaku?”Aku malah tergeragap. "Maaf, Pak. A-aku ...."Kulihat bibirnya menipis, mengulas senyum. “Bukankah kamu sudah tahu namaku?”Aku menggeleng pelan. "Namaku Richard Sembara. Panggil aku Mas Bara.""I-iya, Mas Bara."Rasanya aku masih sangat rikuh ketika menyebut nama aslinya untuk pertama kali. Aku semakin canggung lagi saat kemudian aku malah melihat bibir suamiku itu mengurai senyuman lebar. Bahkan kemudian sepasang mata tajam pria asing yang sudah menjadi suamiku itu semakin dalam memandangku.Aku terlalu rikuh untuk menentangnya, tapi aku juga tak bisa menghindar karena tangan Mas Bara menahan tengkukku.Darahku berdesir kian hangat ketika tangannya mulai membelai wajahku dengan begitu lembut. Tangannya yang hangat dan empuk perlahan mulai membuaiku. Sentuhannya sangat berbeda dengan pria-pria buruk yang pernah hampir memaksakan kehendaknya padaku. Tapi tetap saja kecanggunganku lebih mengemuka. Hingga tubuhku beringsut agak menjauh yang seketika membuat Mas Bara mengernyitkan kening."Apa yang sedang kamu pikirkan?"Aku mengerjap beberapa kali sebelum menjawab. “Mas sama sekali tak terpengaruh dengan gosip yang beredar terhadapku.”Lelaki bermata agak sipit dengan pancarannya yang selalu terlihat tegas itu malah menggeleng lugas. “Aku sendiri yang sudah menyelamatkanmu dengan tanganku. Begundal brengsek itu belum mengambil apa yang paling berharga darimu.” Sejurus kemudian, ia semakin memperpendek jarak di antara kami. Bibirnya pun terasa begitu dekat dengan telingaku, sebelum ia berbisik. "Apa aku harus membuktikannya sekarang?"***“Mas ....”Tanpa sadar aku menarik nafas panjang saat mendengar kalimatnya barusan. Ia menjauhkan wajahnya, kemudian menatap penuh padaku. Ada sorot kagum, penuh kerinduan yang kutangkap dari matanya kala menatapku.“Kamu sudah membuatku lama menunggu, Rindu.”Aku kembali dibuat terkesiap oleh kalimat Mas Bara. Kami bahkan tidak akrab, bagaimana mungkin ia sudah lama menungguku?Namun, karena kalimatnya itulah aku kembali teringat oleh berbagai tanya dalam kepala. Apa yang membuat seseorang seperti Mas Bara dengan ketampanan dan kemampanannya memilih untuk memperistri diriku yang cuma seorang gadis desa? Ditambah lagi, dengan nama baik yang sudah tercoreng karena peristiwa itu.Posisi kami bagaikan bumi dan langit. Mas Bara orang terpandang dengan pendidikan yang pasti tinggi, kalau tidak mana mungkin dia bisa merancang bangunan jembatan. Satu lagi yang selalu membuat para gadis kampung sepertiku bangga, adalah bahwa pria yang sudah memperistriku itu berasal dari kota. Kabarnya, Mas B
""Ma-af Mas, aku ...."Tanpa sadar aku menggeleng ragu. Aku terlalu takut untuk melakukan apa yang Mas Bara kehendaki."Kamu menolakku?" tanya Mas Bara yang langsung membuatku terkesiap dan mulai menatapnya gamang.Tatapan Mas Bara masih saja terarah lugas padaku yang membuatku semakin rikuh. Nyatanya Mas Bara sekarang malah tertawa singkat sembari tidak melepas tatapan intensnya pada tubuhku. Sekarang bahkan pria itu sudah beringsut semakin mendekat. Gelisahku kian terunggah nyata ketika akhirnya Mas Bara kembali membelai wajahku seperti yang tadi sudah dia lakukan.Aku terlalu malu hingga memilih menunduk. Tapi lagi-lagi Mas Bara menahanku kembali mengangkat wajahku dengan meraih daguku untuk ia gerakkan ke atas. "Jangan pernah menundukkan wajahmu lagi."Mas Bara berbisik begitu dekat kala aku sudah mendongakkan muka. Tatapan Mas Bara intens memindai, membuat degup jantungku semakin sulit dikendalikan. "M-maaf, Mas.""Berhenti juga meminta maaf, Rindu." Suara pria itu mulai terdenga
'Lina? Siapa itu Lina?'Hatiku menjadi bertanya-tanya. Dengan memendam rasa ingin tahu, tanganku mulai bergerak hendak menjangkau benda yang kembali berdering itu. Namun sebelum aku bisa meraih ponsel itu, mendadak Mas Bara datang dan segera menyambar ponsel tersebut begitu saja. Aku hanya bisa termangu memandang punggung lebarnya yang langsung menjauh sembari membawa ponsel itu.Setelah beberapa lama, akhirnya Mas Bara kembali lagi ke dalam kamar dengan membawa senyumnya. Seketika aku menyergapnya dengan tatapan ingin tahu."Telepon dari siapa Mas?" "Bukan siapa-siapa," jawabnya datar.Aku memilih untuk tak terlalu banyak bertanya, terlebih sekarang suamiku tampak sibuk mencari sesuatu di dalam kopernya. Aku tak memiliki keberanian untuk mendesak suamiku meski rasa penasaranku masih menghantui."Apa ada yang bisa aku bantu, Mas?"Aku menawarkan diri. Mas Bara hanya melirikku sesaat. "Aku mencari sereal yang aku bawa kemarin untuk sarapan."Mas Bara menunjukkan sebungkus minuman inst
“Assalamualaikum, Rindu!” Aku yang sedang duduk berdampingan dengan pria asing yang baru kemarin menjadi suamiku segera mendongak dan mengarahkan tatapan pada asal suara di ambang pintu. Segera kerikuhan menyergapku terlebih setelah melihat tatapan Mas Bara yang begitu tajam ketika melihat sosok pemuda yang sedang mengulas senyum padaku itu, tamu kami yang tak terduga datang di awal pagi. Aku berusaha menenangkan diri dengan membalas salamnya. “Wa’alaikumsalam,” balasku dengan pelan sembari mulai bangkit dari dudukku. Aku tak bisa segera mendekat pada pria berpenampilan rapi yang masih menyunggingkan senyumnya padaku itu. Tatapan lugas Mas Bara yang membuatku ragu melangkah. “Siapa dia Rindu?” Pada akhirnya Mas Bara bertanya dengan tegas meski dia masih bertahan duduk di tempatnya. Aku tak segera menjawab karena detik berikutnya tatapan Mas Hilman yang merupakan teman baikku itu ikut tertuju pada Mas Bara yang masih menampakkan dominasinya. Ketika melihat tatapan Mas Hilman ya
Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Bara kemudian malah memintaku untuk menemaninya berolahraga dengan berlari di sekeliling desa.Sudah sejak setengah lalu aku mendampinginya, berlari mengitari desa sembari sesekali membalas sapaan para tetanggaku, penduduk desa yang tampak sangat menaruh hormat untuk pria yang tak pernah aku sangka sekarang berstatus sebagai suamiku itu.Tapi ketika sampai di pertengahan desa aku sudah mulai menyerah. Rasanya dadaku menjadi sesak dan butuh asupan oksigen besar yang membuatku menarik nafas dalam-dalam sembari berhenti sejenak hingga aku tertinggal di belakang Mas Bara.Ketika mulai menyadari keberadaanku yang tak lagi di sisinya, Mas Bara kemudian ikut menghentikan larinya dan segera menoleh ke belakang.“Maaf Mas, berhenti dulu ya, aku capek,” ucapku sembari menyeka keringat di keningku dengan lengan baju.Tanpa banyak berkata Mas Bara lalu memutar tubuhnya dan berlari menghampiriku.“Apa kamu tidak pernah berolahraga sebelumnya?”“Aku biasanya
Meski aku sedikit bisa menduga kalau Mas Bara memintaku melayani hasratnya, tapi tetap aku tidak menyangka kalau suamiku akan menggempurku sedahsyat ini hingga menjelang saat maghrib.Jika saja aku tidak mengatakan kalau aku harus datang ke acara pengajian tujuh harinya bapak, pasti Mas Bara tetap akan mengurungku di kamar megah ini dengan kasurnya yang sangat empuk.Saat berada di kamar mandi lagi-lagi aku terpukau dengan berbagai perangkat modern yang ada di dalamnya. Ada kran yang dilengkapi dengan wajah keramik halus dan berkilau, yang dikatakan Mas Bara sebagai wastafel, juga ada kran besar lubang-lubang kecil yang disebut dengan shower, yang bisa mengucurkan air dengan deras. Belum lagi ada bak besar yang sekarang kami masuki bersama yang membuat Mas Bara kembali menjahiliku saat dia memaksa untuk mengusapkan gelembung-gelembung sabun di sekujur tubuhku.Aku sendiri tidak mengerti Mas Bara sangat suka sekali mengel
Aku semakin gusar kian terseret dalam sikap yang serba salah saat Mas Hilman terang-terangan mengajakku untuk mengobrol dan saling bercerita seperti dulu.Bahkan tatapan Mas Bara sudah terlihat nyalang sekarang. Pastinya Mas Bara sudah terlihat tersinggung sekarang karena ajakan Mas Hilman padaku.“Tapi tentu saja kamu harus mengajak suami kamu juga, karena aku juga ingin bisa mengenal suami kamu lebih dekat.”Kali ini Mas Hilman mulai menyunggingkan senyumnya pada suamiku, tapi tetap saja Mas Bara masih menunjukkan sikapnya yang cenderung dingin.Ibu yang melihat jika suasana sudah menjadi kurang nyaman, akhirnya mulai melerai kami.“Sepertinya kamu sudah mengantuk ya Rindu? Ya sudah kamu pulang saja, ke rumah suami kamu. soal baju-baju kamu besok saja kamu ambil, nanti biar Mbak Murni yang menyiapkannya.”“Benar Rindu memang me
“Kenapa kamu mendadak bertanya tentang manusia iblis itu?” sergah Mas Bara yang sekarang bahkan ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin dan tegas.Aku mulai merutuki pertanyaan sendiri yang membuat wajah manis suamiku berubah dalam sekejap.“Maaf, Mas,” gumamku gusar.Jika melihat perubahan sikap Mas Bara aku menjadi enggan untuk mendesak meski hatiku masih saja diliputi rasa ingin tahu.“Kamu cukup tahu kalau mereka tidak akan bisa mendekati kamu lagi. Aku sudah mengatakan padamu kalau sekarang aku adalah pelindung kamu,” tegas Mas Bara lagi.Aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata lagi.“Sudahlah, mulai sekarang jangan pernah kamu tanyakan tentang mereka.”Mas Bara kemudian menarik nafas panjang seakan ingin mentralisir segala emosinya yang sempat terpantik tadi.