Share

2. Identitas Suami

Apa Pak? "Menikah?"

Aku terlalu terkejut ketika mendengar tawarannya. Bagaimana mungkin seorang pria yang begitu luar biasa seperti dirinya mengajakku menikah? Aku hanya seorang gadis desa yang tidak memiliki keunggulan apapun selain wajahku yang lumayan bening, yang malah membuatku nyaris kehilangan kehormatan tadi.

Perasaanku menjadi campur aduk. Baru saja aku terbebas dari jerat licik Juragan Mukti, tetapi kini aku kembali dikejutkan dengan ajakan menikah tiba-tiba dari Pak Mandor. Lidahku kelu, pikiranku penuh.

Berbanding terbalik denganku, pria berwajah bersih khas orang kota itu malah terlihat menatapku penuh arti. "Tidak perlu dijawab sekarang. Aku akan berikan kamu waktu berpikir beberapa hari." Matanya kemudian bertemu dengan netraku, yang langsung aku alihkan menatap objek lain. "Tapi kuharap, hanya jawaban 'iya' yang keluar dari mulutmu."

Pak Mandor berucap dengan sangat tegas yang membuatku kembali terperangah resah. "Ta-tapi, Pak--"

"Sekarang, masuklah dan bersihkan tubuh kamu. Pikirkan baik-baik soal tawaranku."

Setelah mengucapkan kata-katanya Pak Mandor kemudian segera membalikkan badan dan pergi begitu saja tanpa menungguku menanggapi ucapannya. Aku hanya bisa melepas kepergiannya dengan tatapan penuh arti dengan hati yang juga digayuti berbagai macam perasaan yang tak terjelaskan.

Keesokan harinya, Entah siapa yang telah menyebarkan berita itu, nyatanya sekarang semua orang sudah mengetahui jika aku nyaris diperkosa oleh Juragan Mukti. Berulang kali kutegaskan, jika pria brengsek itu belum sampai mendapatkan kehormatanku, tapi tetap tak ada yang percaya dengan apa yang aku katakan.

Aku menjadi sangat tertekan dengan keadaan ini. Bahkan sekarang anak- anak desa yang sebelumnya aku ajari mengaji sudah tak mau datang ke mushola.

Di tengah cobaan berat yang menimpaku, mendadak Pak Mandor datang ke rumah. Ia dengan sangat yakin mengutarakan lamarannya pada ibu juga Mas Rahmat, kakak keduaku yang kebetulan datang berkunjung.

"Jadi, Pak Mandor datang untuk melamar adik saya, Rindu?" Mas Rahmat bertanya dengan nada seakan tidak percaya. Pak Mandor terlihat mengangguk yakin. "Apa Pak Mandor sama sekali tak terpengaruh dengan gosip yang beredar di desa ini tentang adik saya?"

Hatiku sakit kala Mas Rahmat melirikku dengan pandangan menjustifikasi. Namun, Pak Mandor sama sekali tak terpengaruh. Ia dengan tenang mampu menjawab pertanyaan dari kakakku. "Justru karena itu aku kian kuat membulatkan tekad untuk menjadikan Rindu sebagai istriku."

Mas Rahmat kemudian menyergapku dengan sorot mata tegas. "Bagaimana Rindu, apa kamu menerima lamarannya Pak Mandor?" Mas Rahmat mulai menanyakan kesanggupanku.

Aku masih diam membisu, gamang untuk memberikan jawaban. "A-aku--"

"Kalau saranku sih sebaiknya kamu terima saja. Dengan keadaan kamu yang seperti ini bisa dipastikan kamu akan sulit untuk mendapatkan jodoh." Mas Rahmat memotong jawabanku sekonyong-konyong. Ia juga melanjutkan perkataannya yang berupa sindiran. "Memangnya, ada pria yang bisa menerima wanita yang sudah ternoda seperti kamu?"

Lagi-lagi, hatiku diserang rasa sakit. Bahkan, kakakku sendiri tak mempercayai adiknya. Aku mendesah panjang, menyimpan kesedihan dan keraguan seorang diri. Namun ketika melihat tatapan ibu yang begitu nanar padaku, juga segala ketenangan yang menguar lugas dari wajah tampan Pak Mandor, malah memberiku sebuah keyakinan yang tak terduga.

Pada akhirnya aku mulai mengangguk, memberikan jawaban dengan isyarat.

“Jadi kamu menerima lamaran, Pak Mandor?” tanya Mas Rahmat memastikan.

“Iya.” Semua orang terlihat bahagia saat mendengar jawabanku.

Saat ini aku melihat hanya ini jalan keluar terbaik. Meski aku sendiri masih memendam keraguan tentang pernikahanku bersama Pak Mandor, sosok asing yang belum aku kenal sepenuhnya.

“Kalau begitu, kita langsung menikah nanti malam.” Pak Mandor berucap dengan sangat pasti.

Pria berpakaian necis itu lalu melirik pada pria yang juga sama rapinya dengan dirinya. Mungkin pria itu adalah asistennya. “Tolong kamu atur semuanya agar nanti malam aku bisa segera menikah.”

**

“Selamat atas pernikahan kalian.”

Sekarang, satu persatu orang mendekat memberikan selamat kepada kami, ketika kami mulai berdiri berdampingan menyambut para tamu yang kebanyakan adalah para tetangga terdekat rumahku.

Dengan persiapan yang serba mendadak membuatku tak sempat mengundang banyak orang. Bahkan saat ini kami belum menyelesaikan semua surat pernikahan yang membuat pernikahan ini belum bisa dicatatkan pada kantor agama. Namun, aku sedikit kaget karena pria yang sekarang sudah menjadi suamiku itu mampu menyiapkan sebuah pesta yang di kampungku sudah termasuk cukup meriah.

Dalam waktu singkat rumahku sudah disulap dengan bermacam hiasan dekorasi mewah. Berbagai macam makanan enak pun disajikan di sebuah meja panjang yang bisa diambil oleh semua tamu yang datang.

Semua yang aku lihat sekarang malah kian menguatkan rasa penasaranku terhadap sosok pria yang sudah menikahiku itu.

Siapa sebenarnya Pak Mandor yang tampak memiliki banyak uang itu? Kenapa dia bersikeras ingin menikahiku?

Segala pertanyaan itu terus menggayut di benakku hingga saat pesta pernikahan kami berakhir. Di pinggir ranjang pengantin kami yang semula adalah kamarku dan adikku, kami duduk berdampingan.

Aku dengan segala kerikuhanku hingga terus saja menundukkan wajah sangat tak memiliki keberanian untuk menentang tatapannya yang lugas terunggah padaku.

“Sampai kapan kamu akan menunduk seperti itu?”

Aku terperangah sesaat, masih saja tak bisa menghilangkan kecanggunganku. Pak Mandor kemudian malah meraih daguku, menuntunku untuk mendongakkan wajah dan menentang sorot matanya.

“Apa kamu takut padaku?”

Aku malah tergeragap. "Maaf, Pak. A-aku ...."

Kulihat bibirnya menipis, mengulas senyum. “Bukankah kamu sudah tahu namaku?”

Aku menggeleng pelan. "Namaku Richard Sembara. Panggil aku Mas Bara."

"I-iya, Mas Bara."

Rasanya aku masih sangat rikuh ketika menyebut nama aslinya untuk pertama kali. Aku semakin canggung lagi saat kemudian aku malah melihat bibir suamiku itu mengurai senyuman lebar. Bahkan kemudian sepasang mata tajam pria asing yang sudah menjadi suamiku itu semakin dalam memandangku.

Aku terlalu rikuh untuk menentangnya, tapi aku juga tak bisa menghindar karena tangan Mas Bara menahan tengkukku.

Darahku berdesir kian hangat ketika tangannya mulai membelai wajahku dengan begitu lembut. Tangannya yang hangat dan empuk perlahan mulai membuaiku. Sentuhannya sangat berbeda dengan pria-pria buruk yang pernah hampir memaksakan kehendaknya padaku. Tapi tetap saja kecanggunganku lebih mengemuka. Hingga tubuhku beringsut agak menjauh yang seketika membuat Mas Bara mengernyitkan kening.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Aku mengerjap beberapa kali sebelum menjawab. “Mas sama sekali tak terpengaruh dengan gosip yang beredar terhadapku.”

Lelaki bermata agak sipit dengan pancarannya yang selalu terlihat tegas itu malah menggeleng lugas. “Aku sendiri yang sudah menyelamatkanmu dengan tanganku. Begundal brengsek itu belum mengambil apa yang paling berharga darimu.” Sejurus kemudian, ia semakin memperpendek jarak di antara kami. Bibirnya pun terasa begitu dekat dengan telingaku, sebelum ia berbisik. "Apa aku harus membuktikannya sekarang?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status