Share

8. Ajakan Hilman

Meski aku sedikit bisa menduga kalau Mas Bara memintaku melayani hasratnya, tapi tetap aku tidak menyangka kalau suamiku akan menggempurku sedahsyat ini hingga menjelang saat maghrib.

Jika saja aku tidak mengatakan kalau aku harus datang ke acara pengajian tujuh harinya bapak, pasti Mas Bara tetap akan mengurungku di kamar megah ini dengan kasurnya yang sangat empuk.

Saat berada di kamar mandi lagi-lagi aku terpukau dengan berbagai perangkat modern yang ada di dalamnya. Ada kran yang dilengkapi dengan wajah keramik halus dan berkilau, yang dikatakan Mas Bara sebagai wastafel, juga ada kran besar lubang-lubang kecil yang disebut dengan shower, yang bisa mengucurkan air dengan deras. Belum lagi ada bak besar yang sekarang kami masuki bersama yang membuat Mas Bara kembali menjahiliku saat dia memaksa untuk mengusapkan gelembung-gelembung sabun di sekujur tubuhku.

Aku sendiri tidak mengerti Mas Bara sangat suka sekali mengelus dan menyesap setiap jengkal tubuhku yang selalu dibilangnya sangat memukau.

“Mas, sudah ya, nanti kita bisa terlambat datang, lagipula aku juga nggak pamit tadi sama Ibu pas kita datang ke rumah Mas ini.”

Mas Bara yang masih saja menggosok punggungku sembari tangannya yang jahil sesekali menyentuh pucuk dadaku, tetap tak mau melepasku dari kungkungannya.

Sekarang mati-matian aku menahan desahanku agar tak kian memicu gairah suamiku yang selalu tak bisa terkendali bila kami bersama seperti ini.

Apalagi sekarang kami hanya berdua di dalam rumah besar ini yang membuat Mas Bara sangat betah untuk berlama-lama denganku. Bahkan sejak tadi selalu memaksaku untuk tak pernah ragu mengunggah segala desah gairahku saat kami sedang terhanyut dalam pusaran hasrat yang begitu menggebu. Sangat berbeda dengan kemarin, di mana kami melakukan malam pertama kami di rumah ibu yang hanya berdinding papan dengan kamar yang kami tempati bersebelahan dengan kamar Mbak Murni yang juga ditempatinya bersama kedua anaknya membuatku harus menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara-suara ambigu yang akan memancing berbagai tebakan mesum.

“Sudah Mas, kita belum sholat maghrib juga.”

Aku kian lugas mengingatkan suamiku sembari berusaha membebaskan tubuhku dari elusan tangan Mas Bara yang selalu seduktif.

“Kamu sudah membuatku kecanduan Rin, aku selalu lupa waktu saat bersama kamu,” ucap Mas Bara yang masih saja menyesap tengkuk dan area leherku hingga aku harus kembali merasakan sensasi geli yang malah membuatku terlena.

“Mas ...,” desahku dengan dada berdebar. Aku benar-benar gelisah jika suamiku akan kembali tak bisa mengendalikan diri.

“Bagaimana kalau sekali lagi saja?” Mas Bara kembali mengajakku yang sontak membuat kedua mataku terbeliak.

“Mas, apa Mas baru akan berhenti kalau aku sudah pingsan?” sergahku kesal.

Meski aku bersikap tegas tapi tetap saja tubuhku merespon lain. Aku masih saja mendesah dan bergelinjang saat Mas masih saja membelai titik-titik pekaku.

“Baiklah, kalau begitu cepat bilas tubuh kamu dan segera berwudlu, setelah sholat kita akan ke rumah ibu kamu.”

Pada akhirnya Mas Bara menyudahi segala kejahilannya hingga membuatku bisa menarik nafas lega. Meski aku sempat bisa merasakan kalau suamiku hanya setengah hati melepaskan aku. Sepertinya benar yang dia katakan kalau kegiatan kami ini sudah menjadi candu untuknya.

Bahkan aku sekarang menjadi tak bisa mudah untuk menampik karena memang sensasinya sudah mulai bisa aku nikmati.

Dengan rambut yang masih basah aku terpaksa memakaikan kerudung di kepalaku. Saat ini kami sudah tidak mempunyai banyak waktu. Semua karena ulah Mas Bara yang sejak tadi menahanku.

Akhirnya kami harus berjalan terburu-buru menuju ke rumah ibu untuk menghadiri acara pengajian tujuh harinya bapakku.

Saat kami datang rumah tempat aku dibesarkan selama ini sudah dipenuhi para tetangga kami yang datang untuk ikut mendoakan arwah bapak yang baru berpulang seminggu lalu.

Bergegas aku ke belakang untuk bisa segera membantu ibu dan Mbak Murni yang tampak sangat sibuk menyiapkan hidangan.

Tapi saat kami berada di area dapur mendadak aku melihat sosok Mas Hilman turut membantu kerepotan ibu dan Mbak Murni.

“Maaf Bu, tadi Mas Bara mengajak aku pulang ke rumahnya, dan maaf juga karena tadi nggak sempat bilang,” ucapku dengan menyimpan rasa tak enak hati.

Ibu malah mengulas senyumnya menampakkan pengertiannya dengan sangat lugas.

“Nggak apa-apa, kamu duduk saja ikut ngaji juga, kamu pasti capek kan?”

Ibu kemudian malah tersenyum penuh arti.

Aku segera menjadi rikuh karena aku merasa kata-kata ibu seperti sedang menyindirku saat ini. Tanpa sadar aku melirik ke arah Mas Bara yang malah menatapku sembari tersenyum simpul.

Pasti ibu sudah bisa menebak apa saja yang sudah kami lakukan jadi ibu malah mengatakan kalau sedang capek sekarang.

Jelas aku menjadi malu apalagi Mas Bara sekarang mulai merangkul pundakku dan bersikap sangat posesif, sebuah sikap yang kemudian aku sadari semua karena kehadiran Mas Hilman.

Aku malah menjadi salah tingkah sekarang.

Hingga aku memilih untuk melangkah ke depan saja bersama Mas Bara yang kemudian duduk berbaur dengan para tetanggaku yang lain.

Sementara aku duduk bersama Mbak Yuni, istri dari kakak keduaku Mas Rahmat, sosok yang sejak dulu memang tak pernah mau membantu urusan dapur dan sejak dulu selalu membanggakan pengalamannya dan semua harta yang dia dapat dari pekerjaannya sebagai TKW di Hongkong selama bertahun-tahun.

Meski aku duduk bersama dengan Mbak Yuni tetap saja tatapan Mas Bara selalu tertuju padaku, mengawasi dengan sangat lekat, dan pastinya suamiku itu sedang mengintai aku agar jangan sampai didekati oleh Mas Hilman yang kemudian setelah menyelesaikan pekerjaannya, nyatanya memang duduk di area yang dekat denganku, berdampingan dengan Mas Rahmat.

Jelas ini membuat Mas Bara menyergapku dengan sorot matanya yang tajam yang membuatku hanya bisa menunduk menyembunyikan keresahan.

***

Mas Bara langsung mengajakku pulang ke rumahnya, seusai pengajian hanya karena keberadaan Mas Hilman di rumah ibu.

Aku menjadi serba tak enak kepada Mas Hilman karena sebelumnya kami cukup akrab, terlebih selama ini Mas Hilman dan keluarganya banyak sekali memberikan pertolongannya padaku juga kedua orang tuaku.

“Mas, katanya tadi pagi, Mas akan membiarkan aku tinggal beberapa hari di rumah ibu dulu, baru setelah itu kita pindah ke rumah Mas?”

Aku berusaha mengingatkan kata-kata Mas Bara sendiri yang baru saja diucapkan tadi pagi.

Meski aku tahu alasan apa yang membuat Mas Bara berubah pikiran tapi aku merasa tetap ingin meminta penjelasan.

Mas Bara malah memasang wajah masam dengan tatapannya yang terarah sangat tegas padaku.

“Aku berubah pikiran sekarang,” tegas Mas Bara benar-benar tidak konsisten.

Aku mencebik kecewa sembari mendesah panjang, karena aku memang tak memiliki keberanian untuk menentang pria yang baru kemarin menjadi suamiku itu.

Apalagi sekarang ibu mulai memperhatikan kami.

“Sebagai seorang istri kamu harus mengikuti permintaan suami kamu Rindu,” sela ibu terdengar sangat ingin menasehatiku,”suami kamu itu sudah memiliki hak sepenuhnya atas diri kamu, jadi jangan membantah ya Nak, lagipula rumah Pak Mandor kan masih satu desa dengan kita, nggak jauh juga kan, kamu masih bisa sering mampir ke sini kok.”

Aku mengernyit tipis, meski kemudian mulai menganggukkan kepalaku di depan ibu dan Mas Bara.

Tapi sejurus kemudian Mas Hilman malah mendekati kami yang membuatku menjadi serba salah. Terlebih saat aku mendapati tatapan Mas Hilman yang terarah lurus padaku.

“Rindu, kenapa tadi sore kamu nggak ke mushola?” tanya Mas Hilman yang kini malah mengajakku mengobrol meski di sampingku ada Mas Bara yang sedang menatapnya tajam.

Aku kian rikuh sekarang.

Jelas aku tak akan bisa mengatakan jika sejak sore Mas Bara mengurungku di dalam kamarnya untuk saling memacu gairah.

Karenanya aku memilih diam tak menjawab.

“Tadi anak-anak menunggu kamu untuk diajari mengaji.”

Aku masih saja diam menjadi tak sanggup menentang tatapan Mas Hilman yang begitu tenang ke arahku.

“Kamu tidak usah khawatir, Rin, karena anak-anak sekarang sudah dipercayakan lagi sama orang tuanya buat kamu ajar. Karena memang ternyata kamu tetap wanita yang terjaga kehormatannya sampai kamu dinikahi sama Pak Mandor.”

Sekarang Mas Hilman mulai melirik pada Mas Bara.

“Sepertinya aku memang harus berterima kasih pada Pak Mandor yang sudah membersihkan nama baik Rindu.”

Mas Hilman sepertinya sedang berusaha untuk mengajak suamiku berbicara.

“Maaf sebelumnya aku tidak tahu juga tentang peristiwa yang membuat kehormatan kamu nyaris terenggut. Kurasa kamu sudah banyak berhutang cerita padaku, kapan kita bisa saling mengobrol lagi?”

Di luar dugaan Mas Hilman malah mengungkapkan sebuah ajakan yang jelas sulit untuk aku kabulkan dengan statusku yang sekarang adalah istri Mas Bara yang sejak awal sudah menampakkan sikapnya yang posesif.

“Jadi kapan kita bisa saling bercerita lagi Rindu?”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Risal Cell
taikkk pakai koin juga........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status