Share

ISTRI PAJANGAN
ISTRI PAJANGAN
Author: Nad28

Belum siap

"Mas."

Aku memberanikan diri untuk memanggil laki-laki yang sedang mengemudikan mobil disampingku ini. Dia adalah suamiku yang beberapa hari sebelumnya telah resmi untuk menyongsong masa depan kami kedepannya yang bernama bahtera pernikahan.

 

Sungguh aku tak menyangka akan bersuamikan dia. Laki-laki tampan dan berkarisma yang sebelumnya tak pernah terpikir akan menjadi pendamping hidupku, kini ia benar-benar nyata ada didekatku.

 

"Kenapa?" tanya Mas Bara datar dan tanpa menoleh sedikitpun padaku, tiadaku dapati senyum lembut disana. Sungguh aneh menurutku, apa aku ada salah padanya hingga tiba-tiba Mas Bara seakan cuek padaku?

 

"Apa?" ulang Mas Bara lagi, aku sedikit tersentak oleh intonasi suaranya.

 

"Eum... Itu... Apa di rumah ada bahan makanan, Mas?" Aku ingin membicarakan sesuatu sebenarnya, tapi melihat ekspresi Mas Bara yang tampak tak ingin diganggu, aku akhirnya mengurungkan niatku.

 

Mas Bara terdiam sebentar lalu kemudian menggeleng.

 

"Belanja dulu boleh nggak, Mas. Buat makan malam?"

 

Tidak menggeleng tidak juga mengangguk apa lagi menjawab pertanyaanku, Mas Bara hanya membelokkan setirnya menuju supermarket.

 

Hal yang membuatku kian bertanya-tanya, kenapa sikap Mas Bara terasa berbeda dari sebelumnya?

 

***

 

Aku tak bisa menyembunyikan senyum tatkala menatap dapur yang begitu luas. Di sana juga tersedia meja makan bundar dengan setiap kursinya terdapat enam kursi. Disisi kiri terlihat ada taman dengan sebuah kaca besar yang dijadikan sebagai pembatas. Aku sangat terpesona dengan semua susunan dan interior di rumah ini. 

 

Kulihat ada dua buah kulkas yang berdiri sejajar disisi sebelah kanan ruangan, aku teringat belanjaan tadi untuk segera kususun di sana. 

 

Setelah menyusun barang belanjaan sekalian membuatkan minuman untuk Mas Bara, kususul untuk meletakkannya di ruang keluarga. Kulihat tadi Mas Bara masuk ke dalam kamar, segera kuhampiri ke sana.

 

Kulangkahkan kaki ditemani degupan jantung yang sangat kontras seakan-akan ingin melompat dari tubuhku jika sedang berdekatan dengan suamiku ini. Jujur aku masih canggung berada didekatnya, apalagi mengingat pernikahan kami terhitung baru berjalan tiga hari dengan hari sekarang.

 

"Mas,"

 

Mas Bara yang menyadari kehadiranku, akhirnya menoleh. Aku mencoba tampilkan senyum terbaikku, meski kuyakin kini aku tengah merasa sangat deg-degan sekali.

 

"Sabrina sudah buatin minum buat, Mas. Ada dibawah, mending Mas minum dulu."

 

Mas Bara hanya mengangguk sebagai jawaban, bangkit dari posisinya dan membawa tubuhnya beranjak keluar kamar.

 

Sedangkan aku berniat menyusun baju ke lemari, namun ketika kulihat disana tak kutemui koperku dalam ruangan ini. Kemana perginya koperku? Keningku mulai berkerut, kenapa hanya ada koper Mas Bara saja?

 

"Mas, koper Sabrina di mana?" Aku menyusul Mas Bara yang hendak turun. "Apa masih di bawah?" tangaku lagi.

 

Mas Bara menghentikan langkahnya, menoleh sesaat lalu menggeleng. "Sudah di kamar."

 

"Kamar?" ulangku lagi, Aku bingung. Jelas sekali tadi tidak kutemui koperku di sana.

 

"Di kamar satunya lagi," jawab Mas Bara melengkapi kebingunganku.

 

Detik berikutnya akhirnya aku menyadarinya, mataku membulat tak percaya.

 

"Lho, kenapa di sana, Mas?"

 

"Kamu akan tidur di sana, Na. Saya di kamar yang ini."

 

Aku tersentak, mendadak rasa ngilu mulai menjalar di hatiku. Kenapa harus berbeda? Kenapa kami pisah kamar?

 

"Kenapa?"

 

"Turuti saja ucapan saya, Na. Jangan banyak tanya!" tukas Mas Bara sarkas, meninggalkanku yang terkejut akan perubahannya. Ada apa ini?

 

'Ya Allah.... Kenapa ini sebenarnya?'

 

***

 

Makan malam di rumah baru sangat bertolak belakang dengan harapanku. Hening, suasana sangat hening sekarang, hanya terdengar suara dentingan sendok yang beradu.

 

Mas Bara yang sibuk dengan makanannya dan aku kini tengah sibuk dengan segala pertanyaan dalam pikiranku sendiri.

 

Ucapan Mas Bara masih terngiang-ngiang jelas di kepalaku, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kami harus pisah ranjang? Padahal kami, kan, sudah sah sebagai suami istri.

 

Aku mencoba mengangkat kepalaku yang sedari tadi ku tekukkan, aku lihat Mas Bara yang tengah makan dengan wajah datarnya. Semenjak kejadian di tangga tadi, Mas Bara tidak lagi mengajakku berbicara, dia hanya akan keluar jika ingin mengambil air minum, setelah itu dia menghabiskan waktunya berdiam diri di kamar saja.

 

"Mas?" Aku mencoba memulai percakapan lagi, sedari tadi aku tak tahan dengan semua keheningan ini.

 

"Apa?" Mas Bara hanya menjawabnya tanpa ekspresi.

 

Aku masih terkejut dengan perubahan sikap laki-laki yang berstatus sebagai suami di depanku ini. Sebenarnya kenapa? Apa aku ada melakukan kesalahan?

 

"Boleh Sabrina tau kenapa kita pisah kamar? Aku benar-benar bingung, kenapa Mas bilang untuk kita pisah kamar?" Aku mencoba bertanya dengan sekali-kali melirik ekspresi wajah yang di tampilkannya, takut nanti malah menyinggung perasaan Mas Bara.

 

"Kamu nggak perlu tau!" Mas Bara menjawab dengan ketus.

 

Hatiku merasa tertohok. Kenapa Mas Bara berucap seperti itu seakan-akan aku bukan lah siapa-siapa baginya.

 

"Mas, aku cuma ingin---"

 

"Saya sedang tidak ingin bicara!"

 

Aku tersentak dengan nada dingin Mas Bara. Bayangan akan sikap lembut dan perhatiannya seakan sirna begitu saja dari harapanku.

 

"Mas---"

 

Aku sangat kaget saat Mas Bara tiba-tiba menjatuhkan sendok ke atas piring dengan sangat keras. Aku mendongak menatap Mas Bara yang kini tengah menghunuskan tatapan tajam padaku.

 

"Bisa tidak kamu menurut saja apa yang saya katakan!"

 

Aku meneguk ludah susah payah, mata itu tersorot tajam menatapku. Tidak ada kehangatan atau bahkan kelembutan yang terpancar di sana yang membuat hatiku tiba-tiba terasa sesak. Air mata tak bisa kutahan, hingga akhirnya lolos membasahi pipiku. Bahkan pernikahan ini saja baru jalan tiga hari, tapi Mas Bara sudah mulai membentakku.

 

"Jangan membantah ya jangan membantah!"

 

Aku terduduk menahan tangis, lalu Mas Bara berlalu meninggalkanku seorang diri disana......

 

***

 

Suara notifikasi di ponselku akhirnya menyadari akan rasa sesak yang selama ini menghujam perasaanku. Aku tersadar dari ingatan masa laluku tadi, awal mulanya aku menyadari di mana posisiku selama ini.

 

[Jangan lupa jam 7]

 

Aku baru teringat akan jadwalku hari ini. Segera ku rapikan tempat tidur yang sedari tadi kududuki dan gegas menyiapkan diri. Sudah cukup hari ini saja aku bersedih, ku tatap ruangan yang kutempati sebagai kamarku selama empat tahun ini. Tak ada gunanya lagi aku meratapinya.

 

****

 

Aku menatap rangkaian bunga di depan kantor yang berjejeran mendekati pintu masuk. Di lobby kantor pun masih banyak yang berjejer, dan bunga-bunga dengan pot atau hand boutquet juga menghiasi ruangan kerjaku. Bau harum berbagai bunga masuk ke Indra penciumanku, membuatku sedikit terasa risih.

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status