“Siapa dia?” ulang Bik Darsih. “Ya ... beliau istri baru papanya Aden.”
“Iya. Aku tahu. Maksudku ... siapa namanya?” “Aden serius belum tahu siapa nama mama barunya Aden?” Deva menggeleng. Bahkan papanya tak mau memberitahu. Katanya, “Pulanglah, Jagoan. Kenalan langsung dengan mama barumu. Dia sangat jelita. Kamu pasti tak akan percaya jika papamu bisa menaklukkan hati seorang gadis.” Bik Darsih tersenyum. “Mandi dulu atuh. Terus ke bawah nemuin beliau. Kenalan langsung.” “Papa udah berangkat ke kantor, Bik?” “Udah, Den.” “Papa udah tahu kalau aku pulang?” Bik Darsih menggeleng. “Sesuai perintahnya Aden, kami yang tahu kalau Aden sudah pulang tak ada yang memberitahu Tuan. Hanya saja, tadi Bibik sempat kepergok sama Nyonya dan akhirnya beliau tanya. Ya sudah, Bibik jujur saja kalau anaknya Tuan sudah pulang. Makanya beliau mau kenalan dan sempat bawa nampan ini. Tapi, enggak jadi karena ada telepon.” Deva hanya mengangguk-angguk dan mulai mengunyah roti gandum yang sudah ia gigit. “Bibik lanjutin beresin kamar Aden dulu, ya. Rotinya dihabisin.” “Iya, Bik.” Deva pun semakin penasaran dengan sosok ibu sambungnya itu. Di lain tempat, Atmaja Gandhi memulai hari sibuknya di kantor. Setelah mengambil cuti seminggu lebih untuk menyenangkan istri barunya dengan berbulan madu di kapal pesiar, kini ia harus kembali sebagai seorang pemimpin perusahaan. Resort world cruise yang sengaja Atmaja persembahkan untuk menyenangkan hati Lisa cukup membuat ia puas. Selain untuk pertama kalinya ia melakukan bulan madu dengan jasa wisata pesiar International, hal itu juga sengaja Atmaja hadiahkan untuk diri sendiri yang sering dicibir Deva sebagai workaholic man. Manusia yang gila kerja. “Aura pengantin baru memang susah disembunyikan, ya. Apalagi baru dapat yang masih ranum,” cibir salah satu teman baik Atmaja usai meeting. “Gimana, Bro, duriannya? Manis?” Kini Atmaja dan Vikram mulai tergelak bersama. “Ah, kamu ini, Vik. Kayak belum pernah nikah aja.” “Beda, dong, Ja. Kamu udah nikah dua kali. Aku baru sekali.” “Apa kamu mau nikah lagi? Siap dengan segala konsekuensi, hm?” “Nah, itu dia. Istriku masih sehat wal afiat.” “Jangan pernah berdoa yang tidak-tidak, Vik.” Vikram tergelak. Ia hanya merasa iri dengan Atmaja. Perusahaan ritel yang dipimpin kawan karibnya itu semakin maju pesat. Tak heran, karena setelah kematian Elnara Yildiz, Atmaja seperti robot yang tak kenal lelah dalam bekerja. Ia bilang hanya ingin sibuk agar tak terlalu meratapi kepergian mamanya Deva yang sangat ia cinta. Hampir empat tahun menduda dan selalu menolak tawaran temannya untuk dikenalkan dengan wanita, kini Atmaja semakin terlihat segar, tampan, dan berwibawa setelah menikah dengan perempuan seusia sang putra. “Aku tidak akan berdoa agar istriku cepat pulang, Ja. Cuma, ya ... aku sering berdoa agar hatinya di lembutkan supaya permintaanku menikah lagi segera ia acc.” Atmaja menghentikan gerak jemarinya yang menari di atas keyboard laptop. “Kamu izin istrimu buat nikah lagi? Berani betul.” Pria seusia Atmaja itu mengangguk. “Daripada aku nikah sembunyi-sembunyi dan akhirmya ketahuan anak istri, mending izin sekalian, kan?” “Gimana reaksi istrimu?” “Sedikit merajuk walau enggak marah juga. Aku ngomongnya juga sambil bercandalah, Ja. Enggak ngomong serius.” Atmaja mengangguk. Vikram cukup kagum dengan seorang pemimpin di depannya saat ini. Atmaja tak mau menodai cinta dengan jajan sana-sini. Tak hanya semenjak istrinya pergi, tetapi sejak istrinya divonis menderita leukimia. Atmaja begitu telaten merawat sang istri hingga mengesampingkan kebutuhan batinnya. Sebagai pria kaya yang bermandikan uang, amat sangat mudah bagi Atmaja melakukan one night stand dengan gadis mana pun ia mau. Namun, sekali lagi Vikram mengapresiasi dengan apa yang Atmaja pegang teguh. “Jadi, apa Deva sudah tahu kalau mama barunya seusia dia?” Atmaja mengangguk. “Deva tahu. Hanya saja aku masih merahasiakan nama dan juga wajah mama sambungnya dari dia.” Vikram mengernyit. “Kenapa?” “Seperti halnya dia yang suka membuat kejutan, aku pun ingin memberikan surprise untuknya. Biar dia penasaran dan segera pulang.” Vikram mengangguk. Pesta pernikahan Lisa dan Atmaja memang diselenggarakan secara tertutup. Tak lebih dari seratus tamu yang diundang. Bukan tanpa sebab, kondisi mental Lisa yang sangat Atmaja utamakan. Itu pun Lisa memakai cadar saat melangsungkan ijab hingga resepsi. Hanya di rumah saja istrinya melepas cadar. “Jadi, bagaimana tanggapan Deva setelah bertemu dengan mama barunya?” “Belum ada tanggapan. Kan, Deva belum sampai Indonesia.” “Heuh?” Alis Vikram bertaut. Ia mengeluarkan ponsel dan mencari nomor sang putra yang cukup akrab dengan putra dari Atmaja. Berdering, dan tak lama langsung dijawab. Vikram pun me-loudspeaker agar Atmaja ikut mendengarkan. ‘Ya, Pa?’ “Dali. Semalam kamu bilang mau jemput Deva di bandara, kan?” Fokus Atmaja langsung beralih. ‘Iya, Pa. Ada apa?’ “Deva siapa yang kamu jemput, Nak?” ‘Ya, Deva, Pa. Kadeva Raja Arkananta, putranya Om Maja. Deva siapa lagi emang?’ “Terus, kamu antar Deva ke mana, Dali?” ‘Ke rumah barunya Om Maja, Pa.’ “Oh, oke, Nak. Lanjutkan pekerjaanmu. Setengah jam lagi Papa kembali ke kantor,” pungkas Vikram. ‘Oke, Pa.’ “Deva sudah di Indonesia?” tanya Atmaja ingin memastikan sekali lagi. “Tampaknya kalian berdua memang suka saling memberi kejutan,” cibir Vikram. Atmaja langsung memanggil nomor sang putra tanpa menjawab ucapan teman di hadapannya. Hanya ‘memanggil' tak kunjung ‘berdering'. Atmaja mengulangi panggilan hingga kedua kali. Terakhir, ia memanggil menggunakan mode seluler. ‘the number you are calling is not active or is outside the service area. Please call later.’ “Enggak aktif.” “Mungkin Deva masih tidur dan ponselnya habis baterai, Ja.” Atmaja hanya mengangguk-angguk kecil. “Dasar anak nakal.” Vikram tersenyum. “Semoga dia enggak nakalin mama barunya saja. Secara istrimu memang seusia Dali dan Deva, kan?” []Hati Lisa seperti direm4s-r3mas mendengar ucapan Deva. “Bahkan aku masih berharap semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai ketika aku terbangun dari tidur panjangku, Lisa. Maaf, kalau aku masih memintamu pada Tuhan secara diam-diam. Kamu adalah ketidakmungkinan yang masih aku semogakan. Kamu masih menjadi alasanku untuk bertahan, walau harapan itu sudah enggak bisa lagi aku genggam. Kamu ....” Deva menunduk dan semakin tergugu. Derasnya air mata Deva cukup menjelaskan betapa ia sudah berusaha mati-matian mengikhlaskan. Deva sudah berusaha melebur semua kenangan indah mereka dengan kehadiran cinta baru yang sudah terikat oleh komitmen yang sakral. Namun, takdir memang terkadang cukup kejam. Ia tak mentolerir segenap luka yang masih basah, dan kini kembali berdarah-darah. Hening menjeda beberapa saat. Khalisa bahkan hanya bisa bungkam dengan air mata yang terus berjatuhan. Di sana, di luar kaca, Sekar menangis di dada mertuanya. Atmaja dan menantunya ikut menyaksikan i
“Pak Atmaja, setelah meninjau kondisi Bu Khalisa selama tiga hari ini, saya dan tim dokter khawatir bayi dalam kandungan istri Anda akan lahir lebih cepat dari yang diperkirakan. Ini berarti ... bayi Anda mungkin akan lahir secara prematur.”Dunia Atmaja seperti akan runtuh mendengar penjelasan dokter. “P-prematur, Dok?”Dokter mengangguk lemah.“Seberapa serius kondisinya, Dok? Apa yang harus kami lakukan?”“Tidak perlu terlalu khawatir, Pak. Bayi prematur memang memiliki risiko tertentu, tapi dengan penanganan medis yang tepat, banyak bayi prematur yang tumbuh dengan sangat baik. Seperti yang sudah kami sampaikan di awal soal kemungkinan paling akhir, kami menyarankan agar Bu Khalisa dirujuk ke rumah sakit di Singapura, di mana mereka memiliki fasilitas perawatan intensif yang sangat baik untuk bayi prematur.”Atmaja terdiam beberapa saat dan mencoba tenang serta mencerna kalimat sang dokter dengan baik.
“Kami akan terus pantau ketat kondisi Bu Lisa hingga persalinan, Pak. Detak jantung janin sempat lemah karena sebelum kami berikan activated charcoal untuk menyerap racun, janin sudah sedikit terpapar.”Kadeva memejam, pun dengan Atmaja yang terus berusaha untuk tetap kuat. “Lalu gimana kondisi bayi saya, Dok?” Atmaja mengambil alih. “Tenang, Pak Atmaja. Bayi Anda hanya terpapar sedikit, Insya Allah masih bisa kami atasi. Tapi, kami pun harus menyampaikan kemungkinan paling akhir jika tiba-tiba kondisi Bu Lisa di luar prediksi kami.”“Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik untuk istri dan bayi kami. Berapa pun biayanya, kami siap.” Atmaja tampak memohon. “Itu sudah menjadi tugas utama kami, Pak. Dan opsi terakhir jika kondisi Bu Lisa menurun adalah, istri Bapak akan kami rujuk ke Mount Elizabeth Hospitals.”“Singapura?” ucap Atmaja dan Deva bersamaan. “Betul, Pak.”“
Deva tak henti menangis walau Khalisa sudah mendapat tindakan di ruang IGD. Ia kembali membodoh-bodohi dirinya sendiri yang malah mengangkat telepon lebih dulu daripada mendekati Khalisa dan menjauhkan minuman beracun itu dari sisi sang mama sambung. Harusnya Deva segera membawa Lisa pergi ke rumah sakit sebelum wanita hamil itu pingsan daripada berdebat lebih dulu dengan Rukmi. Melihat Khalisa menjadi istri papanya memang sakit, tetapi melihat wanita yang tengah hamil itu sempat membiru dan pingsan membuat Deva merasa semakin sulit untuk bangkit. Ia tak mau kehilangan Khalisa walau hati dan raga sang mantan kekasih bukan lagi miliknya. Ya, Khalisa sudah menjadi mama sambungnya, istri dari pria yang Deva panggil Papa. “Harusnya aku duluin kamu, kan, Lis? Kenapa aku malah mengulur durasi sampai kamu akhirnya begini?” bisik Deva dengan pandangan menunduk. Atmaja baru datang bersama Bahrul. Deva mengangkat kepalanya dan kembali menunduk, men
“Mas, aku lapar ...,” rengek Khalisa setelah keluar dari gerai toko perlengkapan bayi. Atmaja tersenyum. Istrinya memang mengalami perubahan pola makan. Ia jadi sering lapar di jam-jam yang belum waktunya. Namun, Atmaja tak mempermasalahkan itu. Karena baginya, ibu dan calon anak yang dikandung Khalisa harus sehat dan tercukupi segala nutrisinya. “Hayuk! Anak Papa mau makan apa, hm?” Tangan kanan Atmaja mengelus perut istrinya dengan sayang. “Mau seafood, Mas. Pengen kepiting jumbo asam manis.”“ACC, Sayang ....”Khalisa tersenyum cantik dan mulai bergelayut manja di salah satu lengan Atmaja. Bahrul yang juga ikut mengawal sang majikan dan istrinya sibuk membawa belanjaan untuk ditaruh lebih dulu ke dalam mobil. Keduanya melangkah layaknya anak muda yang sedang kasmaran. Hanya berpindah satu lantai ke atas, restoran yang menawarkan aneka makanan laut sudah ditemukan. Khalisa semringah sambil meng
Khalisa memandangi etalase toko perlengkapan bayi dengan senyum di wajahnya. Tangannya mengelus lembut perut buncitnya yang berusia tujuh bulan lebih. Di sebelahnya, Atmaja sibuk memilih pakaian bayi berwarna netral, walau jenis kelamin bayi mereka sudah diketahui. Segala kemungkinan bisa saja terjadi nanti. "Sayang, kamu suka yang ini, enggak?" tanya Atmaja, mengangkat sepasang sepatu bayi mungil dengan corak bintang-bintang. Khalisa tersenyum dan mengangguk. "Suka, Mas. Imut banget," jawabnya. Tatapan matanya berbinar, penuh harapan dan kebahagiaan yang sederhana.Tak hanya Khalisa yang begitu excited berbelanja kebutuhan bayinya, Atmaja pun sama. Jika Khalisa terlihat begitu semangat dan antusias karena ini hal baru dan pertama baginya, berbeda dengan Atmaja yang begitu semangat karena ia mulai merasa jatuh cinta pada bayinya nanti. Bayi perempuan. Ah, Atmaja jadi tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis kecilnya itu.