SAFNA"Assalamu’alaikum, Safna ...." Ucapan salam dari suara familiar di telinga terdengar dari luar. Seketika, jantung berdegup kencang. Reyhan. Suara panggilan itu kembali terdengar, seiring ayunan langkah dipercepat menuju pintu. "R-rey," ucapku gugup, begitu pintu dibuka. Wajah tampan yang sempat lama menghilang karena tuntutan kuliah kini berdiri di hadapan. Namun, ada yang berbeda di rautnya. Merah padam, tatapan tajam dan rahang mengeras. Perasaan tidak nyaman melingkup ruang hati, kupastikan keadaan Rey demikian karena mengetahui pernikahanku dengan tuan Roger. "Kenapa, Safna?" ucapnya serak, seolah sedang menahan ribuan rasa. "Rey, aku ...." Lima hari berlalu sejak kedatangan Reyhan ke villa, tak lagi menampakan diri, walau sekadar bayangannya. Mungkin, dia memilih melupakan kisah cinta yang melukai jiwa. Kata maaf berkali-kali terucap di hati untuknya. Merapal doa semoga dia mendapat kebahagiaan yang tak dimilikinya bersamaku. "Safna." Aku terlonjak, selang dengan
ROGER Hai, aku bukan pergi selamanya. Minggu depan pasti kembali. Sudahlah mengapa cairan bening itu terus merinai. Kau tahu itu membuat sekeping merah ini luluh lantak, Sayang. Ah, kemejaku benar-benar basah. Kau tak henti menangis di dada ini. Dasar cengeng! Tegarlah menghadapi perpisahan, karena ini pastinya akan terulang dan terus berulang. Sial, memang! Kudekap erat Safna, tak hanya dia yang tak rela melalui malam berhiaskan kesendirian. Aku pasti akan rindu wangimu, hangatmu, senyummu juga tangismu. Bahkan, gelora ini akan merintih, terus merintih kala sang malam bertandang. Sayang, aku pergi setelah sebelumnya menitip cinta di dalam sana, di palung hatimu. *** Baru saja pulang dari tempat Safna, satu pelayan tergopoh menghampiri. Dengan terbata, ia berkata, "Tu, Tuan ... Nyonya kecelakaan!" Dia sedang tak bercanda tentu, wanita yang berdiri dengan raut ketakutan itu melihat sekilas ke arah mataku, lalu menunduk dalam. Jari-jarinya bertaut satu sama lain. Rupanya Arse
ROGER"Rey hendak pamitan pada saya. Dia takkan lagi kembali. Tuan, tolong percayalah, tak terjadi apapun di antara kami. Kisah kami sudah selesai." Rinai bening itu terus meluruh. Entah, apakah karena takut akan kehilangan diriku atau meratapi kisah cintanya yang kandas di perjalanan. Aku memalingkan pandangan dari wanita yang tengah bergetar. Lalu, ia menjatuhkan diri, memeluk kaki ini. Dan …. Aku bergeming. Lalu, menepis dan beranjak pergi. Meninggalkan sekeping hati yang terkoyak pasti. Aku butuh mendinginkan hati. *** "Abah, Emak. Neng pergi." Sudah kuputuskan hari ini juga membawa Safna ke Jakarta. Kejadian itu sinyal bahaya akan keutuhan rumah tangga. Keluarga itu berpelukan, menangis seolah akan berpisah selamanya. Lelaki tua yang kupikir tak punya hati itu ternyata meneteskan air mata. Hal yang tak pernah kulihat ada pada diri Papi. Sesekarat apapun putranya, raut wajah itu tetaplah datar. Entah, hatinya tersusun dari apa? Lepas pamitan, kami pun pergi setelah se
ARSELA"Arsela ... apa ini?" Teriakan Roger membuat mataku yang masih menyabit jadi membulat. Bangkit duduk seraya menarik selimut menutupi tubuhku yang polos tanpa secarik kain. "Apa yang kau lakukan, Arsela?" teriaknya lagi seraya turun dari ranjang. Cih, bukanya dia semalam mereguk kepuasan, kenapa mesti semarah itu. Dasar munafik. Ok, tenang Arsela, sandiwara belum usai. Tebalkan muka, demi bayi dalam perut. "Mas …." Roger memandangku dengan tatapan membara. Sebenci itukah dia padaku. Apa dia lupa aku masih istrinya, berhak melakukan apapun termasuk bermain di atas ranjang. Ingat, Roger. Aku bukan wanita bodoh. Semalam kau puas menjamah tubuhku, tetapi satu nama yang kau sebutkan menjadi pemicu pelepasanmu. Safna. Telinga ini tidak tuli kau mendesahkan nama wanita lain, di saat bermain di atas tubuhku. Kau memang brengsek. Tubuh berbalut selimut, menjatuhkan diri di hadapannya, memeluk kaki yang hendak mengayun. Roger berdiri angkuh, bergeming. "Maafkan aku, Mas. Aku be
ARSELA Berjalan mondar-mandir, memikirkan cara supaya Beruang kutub itu bisa tidur denganku. Haruskah meminta bantuan Mama dan Papa? Ah, tidak mungkin. Bisa makin runyam masalah ini, jika mereka tahu selama delapan bulan putri semata wayangnya pisah ranjang, tak saling menjamah layaknya suami istri. ‘Ayo, Arsela ... pikirkan caranya .... ‘ Menekan-nekan telunjuk ini yang berpindah-pindah dari kepala ke hidung. Tak sengaja netra tertuju pada bingkai raksasa berisikan foto pernikahanku dengan Roger. Beralih menatap kalender yang teronggok di atas nakas samping ranjang. Senyum kemenangan terukir di bibir ini. September. Yes, beruntungnya aku,. Melompat girang. Saat yang tepat. *** Hampir dua minggu Roger tak kembali ke mansion ini. Selama itu pula aku tak keluyuran. Lemahnya tubuh, juga mual yang kerap mengganggu membuatku enggan keluar rumah. Bram berkali-kali minta bertemu sama sekali tak kugubris. Aku harus menyempurnakan rencana menaklukan Beruang kutub. Menelponnya adalah
ARSELA Pintu kamarku di buka Roger, melanjutkan akting memasang wajah sedih. Membelakanginya yang duduk di tepi ranjang."Tempat apa yang kau inginkan?" Tersenyum miring sebelum membalikkan tubuh. Menghapus air mata buaya ini. Tersenyum seraya berkata lembut. "Aku ikut ke mana kau membawaku, Mas.""Baiklah, aku akan mengurus segala keperluannya."Saat dia hendak pergi aku memanggilnya. "Mas ....""Kenapa?""Terima kasih," ucapku. Dia hanya membalas dengan senyuman tipis. Lalu keluar dari kamar. Tertawalah Arsela! Kemenangan itu nyata. ***Setelah mengurus semua keperluan berlibur, Roger membawaku ke sebuah Negara yang terletak di bagian utara samudera Atlantik. Islandia."Kau senang, Arsela?" tanya Roger saat sampai di sebuah hotel kelas dunia yang dipesannya.Aku mengangguk. "Terima kasih, Mas." Kupeluk tubuh lelaki berbadan atletis itu."Mas, aku ingin berburu aurora," pintaku."Besok saja.” Keesokan harinya kami bersiap menuju lokasi tersebut dengan menggunakan travel yang me
SAFNA***Tak lebih baik keberadaanku di manapun, kemewahan ini tak menjamin kebahagiaan.Satu minggu lebih tak terasa dalam kesepian. Merintihkan rindu akan sentuhan dan kehadiran lelakiku.Lelah menangis, hingga keringnya air mata tak mendatangkan tuan pulang ke peraduan yang tak ubahnya sangkar emas.Aku merindukanmu, Tuan."Bi," panggilku pada asisten rumah tangga yang baru saja beres menyiram tanaman. "Iya, Nyonya."Ah, risih sekali dipanggil nyonya untuk ukuran gadis kampung sepertiku. Kutepuk kursi agar ia duduk di sini. "Bibi, sudah lama kerja sama Tuan Roger?" Kuajukan pertanyaan sebagai awal penghilang kejenuhan dengan mengajaknya berbincang."Sejak Tuan Roger Alvendo menikah sama Nyonya Arsela Van Hoevell. Dulu saya bekerja di rumah mereka, tapi Tuan memindahkan saya ke sini."Aku manggut-manggut menyimak penuturan Bi Asih. Wanita itu sangat antusias diajak berbincang, mungkin sama halnya seperti diriku, butuh teman ngobrol di rumah megah. Selanjutnya kutanyakan tentang
SAFNAFoto tak berubah, memang Tuan. Wajah cantik sang nyonya terlihat bahagia. Desir nyeri kian menjalar, meremukan sendi-sendi tulang.'Happy Unniversary to Arsela And Roger.''Duuh, senangnya yang lagi honey moon kedua.'Ucapan dari beberapa pengguna aplikasi IG yang tercantum di kolom komentar. Mungkin para sahabat atau kerabat kedua pasangan yang sedang bahagia itu.Nyeri nian mendapati kenyataan. Melempar benda pipih itu, menelungkupkan wajah di bantal, menangis sejadi-jadinya. Aku kesepian di sini, kau bersenang-senang di sana. Tega sekali dirimu, Tuan.Dua minggu hidup bergelimang kemewahan tak menyurutkan kerinduan pada sang tuan yang tak kunjung datang.Sungguh jiwa raga ini tersiksa, mengingat betapa bahagianya tuan di sana bersama belahan jiwa.Aku lelah ... lelah dengan rintihan ketidakpastian ini.***Bertahan untuk satu ketidakpastian adalah kebodohan. Mengapa baru menyadari sekarang? Jadinya sakit’kan? Harapan itu sudah tak ada rupanya. Cukup, Safna. Dia takkan kembal