Share

MUAK

ARSELA

Jika ditanya pernah bahagia hidup dengan orang yang tak dicintai? Pernah.

Aku pernah merasakan kebahagiaan itu. Namun, semua lenyap entah ke mana. Di awal pernikahan, memposisikan diri menjadi istri yang baik, menerima kekurangan dan kelebihan pria yang telah sah menjadi suamiku.

Kini, semua menghilang ... melebur seiring berjalannya waktu. Tak ada lagi tampang dengan senyum manis itu, semenjak dia disibukan dengan segudang pekerjaan.

Waktu untukku seakan tak tersisa. Jangankan memberi kabar, pulang keperaduan sendiri saja seakan lupa. Bahkan diri ini tak pernah lagi terjamah hangatnya sentuhan.

Berbaur dengan sekelompok wanita sosialita terglamor di kelasnya, yang memiliki kehidupan sama denganku. Mencari kesenangan tiada batas, sekedar mengusir sepi dan mereguk kebahagiaan semu.

Sang mantan kekasih, kerap kali mengajak bertemu, mencari tahu kehidupan Roger. Bram orang yang tak pernah menyerah, meski dia tahu, statusku kini sebagai istri orang.

***

Telinga menangkap deru mobil yang sangat kukenal memasuki halaman rumah megah ini. Beranjak mendekat jendela, mengintip dari baliknya. Mobil sport milik lelakiku, akhirnya dia pulang juga.

Tapi, untuk apa dia pulang? Bukankah ada dan tiadanya sama saja? Dingin!

Cih, lelaki angkuh! Sampai kapan aku harus melihat sosok tanpa ekspresi itu. Yang hanya untuk menyapa saja, adalah kemustahilan.

Lalu, untuk apa aku bertahan? Ya, ya, ya hanya demi tumpukan kekayaan tanpa tanding dua keluarga durjana. Aku adalah putri yang diumpankan pada putra mahkota kerajaan tetangga. Dan parahnya aku tak bisa membantah.

Bodoh memang!

Aku akui diri ini memang wanita terbodoh di dunia. Menerima pernikahan yang dipaksakan. Hingga harus hidup dalam topeng keharmonisan. Mesra di depan khalayak, saling memalingkan wajah dalam realita sesungguhnya.

Kembali menghempaskan badan di atas ranjang, tak ada keinginan menyambut kedatangan lelaki itu. Biar, biar saja ia dengan kelelahannya, sedang aku cukup menikmati hari.

Oh, ya. Sampai terlupa. Bukankah aku mau berenang tadi. Ah, sial kenapa pula sampai tertunda.

Dasar kamu Arsela!

Bangkit dari rebahan, menaruh ponsel di nakas. Bermaksud meneruskan rencana, mendinginkan otak, merilekskan tubuh di kolam besar lantai satu mansionku.

Sialan! Kupikir ia sudah masuk ke kamar. Nyatanya malah baru menaiki tangga. Malaslah harus berhadapan dengan tampang yang tak pernah ada lengkungan di dua sudut bibirnya.

Tatapan bertemu sekilas, selebihnya saling membuang muka. Melangkah berlawanan arah, bahu hampir bersentuhan kala sama-sama berada di posisi undukan kelima.

Berlalu, tanpa tegur sapa. Seolah tak pernah saling mengenal.

Tapi, tunggu! Wajah tampan berahang tegas itu terlihat cerah, tak seperti biasa jika pulang ke rumah ini, selalu masam. Kilat bahagia di mata elangnya tertangkap sudut netraku.

Ah, apa peduliku?

***

Mengikat tali kimono. Mengibas rambut basah usai berenang.

Kulihat Roger saat melintasi kamarnya, pintu sedikit terbuka. Bahu yang semakin kekar, dengan perut sixpack tak sengaja tertangkap netra saat ia berganti pakaian. Jujur sesuatu di sudut hatiku merindu tubuh itu.

"Nyonya, makanan sudah siap dihidangkan." Pukul delapan malam, terdengar panggilan dari Bi Inah, kepala pembantu rumah yang mirip istana ini.

"Iya, Bi. Aku turun."

Aku keluar dari kamar menuju ruang makan, tak lama disusul oleh Roger. Dia mengenakan pakaian rumah, celana pendek berbahan jeans dan kaos oblong yang mencetak otot dada. Kutelan saliva sekali ini.

Roger mengambil duduk tepat di hadapanku. Hening, suasana yang tercipta.

Irama sendok dan garpu yang beradu di piring, menjadi simfoni sumbang pengiring santap malam. Muak dengan keadaan ini, menyambar serbet, mengelap mulut. Melemparnya kembali ke meja.

Kutinggalkan lelaki itu sendiri di sana, kembali ke kamar. Menghempaskan tubuh di atas pembaringan, merajut mimpi hingga mentari pagi menjemput.

Sepanjang hari Roger berada di rumah, hanya bertemu ketika makan, berpapasan saat berjalan. Begitulah seterusnya.

Muak ... aku muak dengan keadaan ini. Seandainya, perjodohan itu tak ada. Mungkin aku telah bahagia bersama kekasihku. 'Bram.'

Bram? Apa kabarnya, dia? Sebulan pergi, belum juga kembali. Apa dia tak rindu permainanku?' Tak inginkah saling berbagi suka dan duka kembali seperti di waktu dulu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status