Share

HARUS PERGI

ROGER

Harus yang paling bagus."

Sopir sekaligus asisten andalan yang lima menit lalu kupanggil, mengangguk pasti. Hanya satu kali intruksi dia segera melajukan mobil untuk membelikan berbagai kebutuhan Safna.

Aku tak suka dia tampil dengan pakaian lusuhnya. Semua harus dilenyapkan. Bakar kalau perlu.

*****

Andai saja si tua bangka itu tak terus meneror, pastinya tak sudi pulang ke Jakarta. Berpisah dengan kesenanganku itu menyebalkan.

"Kau tetap di sini. Jangan keluar, tunggu aku kembali."

Tanpa basa-basi aku memberi berbagai perintah pada wanita yang tampilannya lebih modis sekarang.

"I, iya, Tuan."

"Jangan melakukan pekerjaan apapun. Aku tak rela tubuh indahmu rusak. Serahkan semua pada asisten. Ingat, kau hanya boleh masak untukku."

"I, iya, Tuan."

Benar-benar membingungkan. Mengapa tak pernah memberi sanggahan atau apalah yang biasa Arsela lakukan? Pasif sekali dia, padahal aku tak sekejam itu padanya.

Tak bicara bila tak ditanya.

"Ada yang mau kau tanyakan?"

"Apa aku boleh ke rumah Abah?"

Hai tentu saja boleh. Masa untuk hal itu saja dia minta izin. Aneh.

"Tuan, apa boleh?"

Aku menatapnya dalam, dia menunduk seperti biasa. Kukikis jarak hingga bisa mencium kepala yang dihiasi mahkota legam itu.

"Boleh."

Saat mendongak, tak kusia-siakan kesempatan untuk menikmati bibir ranum itu. Tak ada pemberontakan kali ini. Sudah terbiasa mungkin, atau menikmati.

Sebelum aku melangkah, Safna meraih tanganku dan menciumnya takjim. Saat ini rasanya sempurna menjadi laki-laki. Seseorang yang dihargai.

Ah, sialan! Aku jadi enggan pergi.

Tapi, si tua itu akan melemparkan cercaan jika terlambat satu menit saja.

Dua jam perjalanan tak membuat raga ini lelah. Apalagi tubuh rasa ringan setelah seminggu menikmati madu bunga yang sedang mekar-mekarnya.

‘Safna!’ Hanya melantunkan namanya saja gairahku bangkit seketika.

Ah, sial!

Berapa lama aku harus menahan gelora ini.

Brengsek memang!

Hai, Roger! Saatnya bangun dari mimpi. Kerjakan semua urusan bisnis dan hiduplah kembali dengan wanita kepala batu Arsela.

Arsela, wanita yang fisiknya di atas Safna. Jika dijejerkan dengan model kelas dunia, dialah pemenangnya.

Namun, kebahagiaan bukan terletak pada fisik semata. Hidup bersamanya seperti memanggul batu yang ribuan ton beratnya.

Berjibaku dengan rutinitas gila membuat hariku kembali tersiksa. Apalagi harus pulang ke tempat yang nyaris tanpa kehidupan.

Membosankan.

Melangkah di atas marmer terbaik di kelasnya. Derap pantopel hitam menggema di seantero ruangan.

Masih sama keadaannya. Ruangan luas dengan lampu hias termewah dari Eropa. Sofa-sofa laksana singgasana juga guci-guci antik terpajang di beberapa sudutnya.

Tak ada sambutan hangat dengan senyum merekah sempurna. Meski kutahu dia ada di kamar mewahnya.

Dingin!

Langkah terhenti di anak tangga ke lima. Dia ada di sana, di depan pintu peraduan utama. Memandang sekilas, lalu memalingkan muka.

Masih sama. Tanpa tegur sapa, aku dan dia melangkah berlawanan arah. Bahu kami hampir bersentuhan kala sama-sama berada di posisi tangga ke sembilan.

Berlalu, tanpa kata ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status