Share

RUPIAH

ROGER

Hai, dia datang lagi. Kuletakkan ponsel hitam enam inchi yang sedari tadi diotak-atik. Berlari kecil menuruni tangga agar bisa melihatnya. Melihat dia yang bayangnya menemani semalam. Sial, mengapa aku benar-benar terobsesi pada seorang gadis desa?.

Tertahan langkahku di sepertiga jalan meuju pintu utama yang terbuka. Aku melihat gadis itu menyodorkan sekantung plastik putih pada Pak Anang, lalu meraih tangan besar itu dan menciumnya takjim. Tak butuh waktu lama, ia pun pergi.

Segera kubalikkan badan sebelum Pak Anang sadar ada yang memperhatikan di sini. Aku mengenyakkan tubuh di sofa hijau bermotif putih itu tepat sekali. Menyulut rokok yang sengaja diletakkan di meja kaca persegi sambil menanti pria yang segera masuk.

"Ada tamu, Pak?" tanyaku pada pria yang tengah menenteng plastik ukuran sedang.

"Oh, eh. Tidak ada Juragan. Tadi itu putri saya mengantar ikan basah ini."

Pria itu hampir melompat saat kutanya tiba-tiba. Untung saja kantung putih itu tak jatuh. Ia menghentikan langkah, lalu berdiri menghadap ke arahku. Ia tak mungkin langsung pergi sebab paham pertanyaanku belum usai.

"Masih sekolah?"

Aku bertanya dengan nada santai. Tak kutunjukkan ketertarikan lebih untuk menjaga harga diri. Meski sebenarnya di dalam otak tengah menggelembung penasaran semua tentang putrinya.

"Baru lulus, Juragan," jawabnya singkat.

"Punya calon suami?"

Pak Anang memberanikan diri menatapku, lalu menunduk tak sanggup beradu dengan sorot elang ini. Ia oasti kaget dengan pertanyaan sejenis itu. Mungkin sekarang tengah menebak-nebak apa maksud tersembunyi dari pertanyaan itu.

"Tidak, Juragan."

Tak terasa bibirku terangkat lebar, sedang wajah pria berambut ikal itu memasang raut keheranan. Hanya saja ia tak mungkin berani bertanya lebih jauh pada juragannya. Jadi hanya mampu menunggu perkataan lanjutan saja.

Baguslah, jalanku untuk mendapatkannya telah terbuka.

Dan, aku tak mau menunda waktu. Gejolak yang lama tertahan makin meronta tak karuan. Butuh segera disalurkan.

Yang harus kulakukan setelah ini adalah menelpon anak buah untuk menyediakan uang tunai. Aku tak mau menunda niat ini.

*

Setelah mendapat uang tunai dari dalam jumlah fantastis, kupanggil pria berperut besar itu di waktu matahari mulai tergelincir.

"Saya bermaksud menikahi putri Bapak."

Sudah kusangka, reaksinya akan begitu. Posisi duduk pria itu berubah, badannya disorongkan ke depan. Mata itu bergerak-gerak meminta penjelasan maksud ucapan spektakuler itu.

"Apa ini cukup?"

Mata yang tak bulat itu terbuka lebar melihat tumpukan lembaran merah yang kusodorkan. Dua ratus juta lebih dari cukup bagi manusia yang penghasilannya hanya untuk kepulan dapur.

Diusap lembaran yang masih keras itu, serta wangi khas uang baru, lalu kembali diarahkan pandangannya padaku.

"Pernikahannya siri karena aku sudah memiliki istri."

Perlu kusampaikan terus terang agar tak ada harapan lebih besar. Tenang saja anaknya kunikahi bukan dijadikan simpanan.

Sejenak kami terjeda keheningan. Dia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas lutut yang tertutup celana lusuh. Jari itu lantas berpindah pada dagu dan bibirnya.

"Setelah pernikahan terjadi, saya akan tambah dua kali lipat dari itu."

Untuk kedua kali mata itu terbelalak. Wajah yang berbinar itu makin semringah. Tanpa sungkan dicium lembar-lembar merah yang kini ada di pangkuannya.

Setelah puas menggilai uang, calon mertuaku bicara, "tiga hari lagi saya akan menikahkan Anda dengan Safna."

Malang sekali gadis itu memiliki ayah yang menukar hidupnya dengan rupiah tanpa peduli bagaimana nasibnya ke depan di tanganku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
seru ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status