Zelia berlari memelukku saat kami sampai di rumah, mungkin ia rindu karena beberapa hari ini ia takku perhatikan pikiranku sedang tertuju pada Zain."Umi," panggilnya manja."Iya, sayang. Maafkan Umi, ya? Sudah ninggalin Zelia. Zelia rindu, ya?"Aku menggendongnya.Zain menghampiri kami."Assalamualaikum, Zelia?"Zain mencium pipi Zelia yang ia balas dengan pelukan. Sejak dulu Zain selalu akrab dengan adik-adiknya. Sifatnya yang penyayang dan lemah lembut membuat anak kecil cepat akrab dengannya."Assalamualaikum, Umi, Ibu?"Bang Fatur meraih tangan umi dan ibu bergantian, begitu juga denganku."Walaikumsallam."Kami mengikuti umi masuk, Arini sudah membuatkan minuman dan cemilan."Bagaimana keadaan Ana, Mbak?""Alhamdulillah sudah membaik, Arini.""Alhamdulillah.""Ibu, Umi, besok kita akan pergi ke rumah Bang Adnan untuk menikahkan Zain dan Ana?""Apa kamu tidak salah, Fatur?"umi bertanya dengan raut wajah heran."Ternyata Ana bukan anak Lulu dan Bang Adnan, Umi. Mungkin, mereka te
Malam ini terasa sangat dingin. Lepas shalat Magrib dan makan malam aku putuskan untuk berbicara dengan Bang Fatur soal Arini. Kebetulan Bang Fatur tengah mengaji di dalam kamar. Bang Fatur memang lebih senang mengaji di dalam kamar karena itu tempat istirahatnya.Aku merebahkan kepalaku di pangkuan Bang Fatur. Dia tersenyum dan melanjutkan bacaan Qur'annya.Setelah ia selesai membaca Al-Qur'an aku putuskan untuk berbicara padanya,"Abang?""Hemm."Bang Fatur terus membelai rambutku yang tergerai. Aku sengaja melepas hijab jika hanya dengan Bang Fatur karena memang dia menyukainya."Tadi aku berbicara dengan Arini, ia tampak murung.""Lalu?""Ia menangis tak henti."Bang Fatur terkejut."Kenapa? Ada apa dengannya?"Aku kembali menarik tangannya yang berhenti membelai rambutku. Aku memegang dengan erat dan menaruhnya di dadaku."Dia bilang hatinya sakit dan sesak serta air matanya jatuh begitu saja saat mendengar Zain akan bersama dengan Ana?""Maksudnya apa, Dik? Abang gak ngerti.""A
"Zain, sudah siap, Nak?" tanyaku dari balik pintu."Sebentar, Umi."Aku dan Bang Fatur melihat Zain, ia bersiap di depan cermin. Kemeja putih pemberian Bang Fatur dengan jam tangan Hadiah dari Bang Adnan menghiasi tubuhnya.Bang Fatur merangkul Zain,"Jangan gugup, Zain.""Iya, Abi."Aku memasangkan peci di kepalanya, peci hadiah dariku dengan ukiran nama Arab di dalamnya."Semoga menjadi imam yang bertanggung jawab, Nak."Aku menitikkan air mata memeluk tubuhnya."Jangan menangis, Umi. Umi harus bahagia bersamaku."Aku dan Bang Fatur tersenyum dan memeluk Zain."Ayo kita berangkat."Kami berjalan beriringan, Semua keluarga sudah bersiap, tapi aku tak melihat Arini bersama kami."Umi, di mana Arini?" "Ada di kamar, Kinan. Ia bilang tidak enak badan jadi tidak ikut.""Aku akan melihat Arini sebentar, Umi."Umi Husna mengangguk mengiyakan, Bang Fatur mengikutiku menuju kamar Arini.Aku mengetuk pintu kamar Arini."Assalamualaikum, Arini?""Walaikumsallam, sebentar Mbak."Arini membuka
Setelah dua tahun pernikahan Zain dan Ana, hubungan Zain dan Bang Adnan berangsur membaik. Bang Adnan juga lebih sering menghubungi Zafran di pesantren. Kami sangat bangga karena Zafran meraih gelar hafidz cilik tahun ini. Ia tak pernah ingin mau cuti, saat waktu cuti ia lebih senang menghabiskan waktu di pesantren menghafal bersama ustaz di sana. Aku dan Bang Fatur yang harus mengalah menjenguknya jika rindu dengannya. Hari ini aku dan Bang Fatur mulai mendaftarkan Zelia di PAUD Islam agar kelak ia juga mengikuti jejak abang-abangnya.Bang Fatur juga sudah tidak sabar hendak mengirim Zelia ke pesantren padahal ia bisa menunggu ketika ia sudah sedikit besar."Abang jangan kirim Zelia ke pesantren tahun depan, aku masih kasihan.""Dia sudah besar, Dik. Abang-abangnya masuk pesantren saat usianya tujuh tahun.""Tapi aku akan kesepian bang, Zafran tak ada dan Zelia akan Abang kirim juga ke pesantren.""Kan ada Abang, apa kamu mau memberikan adik untuk Zelia?"Bang Fatur tertawa menggod
Hidupku kini hancur, aku harus menerima semua konsekuensinya. Aku kembali menjadi marbot masjid seperti dulu saat semua harta bendaku untuk membayar kebutuhan ibu dan Mbak Zahra juga gaya sosialita Lulu.Aku mencoba tabah, karena hukuman akan selalu ada di saat keserakahan mulai merajai otak manusia.Bagai berjalan di atas duri saat aku tahu Kinan dan Fatur menikah. Terlebih putraku Zafran, ia begitu dekat dengan Fatur. Zafran bahkan tak pernah mau menatap atau sekedar bersamaku.Hubunganku dan Kinan serta anak-anak kembali membaik saat Zain menikahi anak angkatku Ana, anakku dengan Lulu yang telah tertukar saat ia masih bayi. Kinan mulai membuka hatinya untuk memaafkanku, begitu juga Zain.Penderitaanku belum berakhir. Setelah aku dan Lulu mengetahui bahwa Ana bukan anak kandung kami, saat itu aku tahu bahwa Allah masih terus menghukumku.Aku pantas mendapatkannya setelah apa yang aku perbuat kepada Kinan dan anak- anak kami. Lulu terus menangis setelah kami mendapat kabar bahwa kedu
"Tak bisakah Abi tidak perlu datang kemari terus menerus. Tak usah Abi mencoba terus seperti peduli kepadaku, apa Abi tak tahu aku muak melihat Abi bersamanya. Itu semakin membuatku malu. "Aku melihat Zafran menangis, di depannya ada Bang Adnan dan juga Lulu."Zafran, Abi hanya ingin kamu lebih dekat dengan Abi dibandingkan Abi Fatur," ucap Bang Adnan mencoba menjelaskan."Itu tak akan bisa Abi. Di mana Abi dulu saat banyak mata dan mulut mencecar mengatakan aku tak punya ayah? Di mana Abi saat aku dan Umi berjuang matia-matian hanya untuk makan? Aku muak Abi. Jika Abi terus datang kemari itu semakin membuat teman-teman akan meledek!" Zafran semakin meninggikan suaranya. Aku pikir ia sudah menerima Bang Adnan, tetapi dugaanku salah. Masih bersarang kebencian di hatinya setelah bertahun-tahun ia menerima kedatangan Bang Adnan."Maafkan Abi, Zafran. Abi hanya ingin memperbaiki semuanya," ucap Bang Adnan lirih."Terlambat, semuanya terlambat Abi. bukan aku tak berusaha memaafkan Abi. A
Aku duduk di samping Lulu yang menggendong Najwa. Aku berusaha sebaik mungkin agar tak terlihat canggung. Kami terlihat lucu bukan? Aku berharap kisah baiknya hubunganku dengan Bang Adnan juga Lulu bisa membukakan pintu hati kalian yang sedang di landa kebencian dengan mantan suami atau mantan madu.Tak ada lagi yang perlu kita permasalahkan sekarang. Aku memiliki kehidupan yang lebih baik setelah disakiti. Kebencian? Aku juga sama seperti kalian berusaha sekuat hatiku mencoba menerima semuanya.Dari balik gerbang terlihat Bang Fatur dan Zafran keluar dengan tawa yang begitu lepas. Bang Fatur membawa dua koper milik Zafran, di ikuti Zafran yang membawa tas besar. Aku tersenyum menyambut mereka berdua. Tidak begitu dengan Bang Adnan, dia hanya terdiam memandangi pemandangan di depannya.Cemburu jelas terlihat di wajahnya. Apa boleh buat, Zafran belum membuka hatinya. Luka yang Bang Adnan beri untuknya begitu besar. Ia adalah ayah yang harusnya memberi perhatian, nafkah dan cinta saat
Zain, Zafran dan juga Bang Fatur masih di ruang shalat membaca Al-Qur'an bersama. Hatiku terasa tentram melihat mereka semua."Ibu!!"Aku dan Ana sama-sama terkejut mendengar teriakkan Mbak Bella dari kamar ibu.Mas Hamdan yang sedang bermain dengan Najwa, berlari sambil menggendong Najwa menuju ke kamar ibu. Aku dan Ana pun mengikutinya."Ada apa, Mbak?"Aku masih di depan pintu. Mbak Bella memeluk ibu dengan air mata terurai deras di pipinya.Aku mendekati mereka, jantungku berdetak cukup kuat. Kulihat ibu di pelukan Mbak Bella masih menggunakan mukenah dengan mata tertutup dan senyum menghiasi wajahnya yang sudah keriput.Seketika tangisku pecah saat kusentuh tangan ibu tak ada lagi denyut nadi. Baru beberapa saat ia meminta teh dan Mbak Bella mengantar teh buatanku. Kini ia sudah meninggalkanku."Ibu."Mas Hamdan memeluk tubuh ibu. Aku hanya bisa termenung, apakah semalam kata-kata perpisahan dari ibu dan mengumpulkan kami semua."Ada apa, Umi?"Zain bertanya dari balik pintu.Aku