Sita merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Rasa sakit itu begitu intens dan menusuk-nusuk, membuatnya merasa seakan-akan ada yang meremas-remas perutnya dengan kuat. Tak lama kemudian, darah segar mulai mengalir di betisnya. Aliran darah merah terang itu menambah kepanikan Sita dan ketakutan akan keselamatan bayi yang ada di dalam kandungannya.
Arjun, yang awalnya menganggap Sita hanya berpura-pura, akhirnya menyadari keadaan serius yang sedang dialami oleh istrinya. Dia melihat raut wajah Sita yang pucat dan penuh kekhawatiran. Dengan cepat, Arjun melangkah mendekati Sita dan segera menahan tubuhnya yang hampir saja jatuh ke lantai.
Mereka berdua segera bergegas menuju rumah sakit terdekat. Di perjalanan, Sita semakin lemas dan pucat. Arjun merasa takut akan keselamatan Sita dan calon anaknya yang begitu berarti baginya. Ia berdoa semoga Sita dan bayinya bisa bertahan dan mendapatkan pertolongan secepat mungkin.
Setibanya di rumah sakit, dokter kandungan segera bereaksi cepat menuju kamar Sita. Tanpa membuang waktu, dokter perempuan itu segera melakukan prosedur medis yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan Sita dan bayinya.
Arjun merasa cemas dan gelisah ketika tidak diizinkan masuk ke dalam kamar. Ia hanya bisa menunggu dengan harapan yang kuat bahwa dokter akan berhasil menyelamatkan nyawa Sita dan bayinya. Meskipun takut dengan apa yang mungkin terjadi, Arjun tetap berusaha menjaga ketenangan dan berdoa agar semuanya berjalan dengan baik.
"Dokter, pasien pingsan," lapor perawat yang mendampingi Dokter
tersebut. Dokter itu dengan tetap tenang mencoba melakukan yang terbaik.
Mata Sita tetap terpejam seiring dengan usaha dokter yang berkelanjutan untuk menyelamatkan nyawanya. Detak jantung Arjun semakin cepat, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Ia memohon kepada Tuhan agar memberikan kekuatan kepada dokter dan keselamatan kepada Sita dan bayinya.
Dalam keheningan ruangan, Arjun hanya bisa berharap semoga semua usaha dokter tidak sia-sia. Ia merasa bersalah karena tidak bisa berada di samping Sita saat ini, tapi ia percaya bahwa dokter sedang melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa istrinya.
Waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Arjun. Setiap detik terasa seperti berabad-abad baginya. Ia mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan dan kekhawatiran. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Sita dan bayinya. Semua yang ia harapkan adalah keselamatan bagi mereka berdua.
Akhirnya, setelah melalui proses medis yang melelahkan dan penuh dengan ketegangan, dokter akhirnya keluar dari kamar Sita dengan ekspresi wajah yang serius. Dengan hati yang berat dia memberitahu Arjun, "Istri Anda selamat, kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan bayi Anda, tapi takdir berkehendak lain."
"Apakah maksud Anda, bayi saya... ."
Arjun tidak kuasa melanjutkan perkataannya, berita itu seperti pukulan keras bagi Arjun. Perasaannya seperti dihantam oleh batu besar yang jatuh dari langit. Segala harapan dan impian yang selama ini terjalin dalam pikirannya tiba-tiba lenyap tanpa jejak. Bayi yang mereka nanti-nantikan dengan penuh kebahagiaan, kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan.
Arjun merasakan kekecewaan yang sangat mendalam. Ia terpukul oleh kenyataan bahwa bayi yang selama ini mereka impikan tidak dapat hadir dalam kehidupan mereka. Impian mereka untuk menjadi orang tua, untuk merawat dan mencintai seorang anak, sekarang hanya menjadi bayang-bayang yang terus menghantuinya.
Arjun dengan langkah yang terlihat tidak bersemangat dan kurang tegap masuk ke kamar Sita. Ia melihat perubahan pada wajah istrinya yang sebelumnya terlihat pucat. Matanya masih tertutup, dan infus yang mengalirkan cairan ke tubuhnya tetap terpasang di tangannya. Arjun mendekatinya perlahan, dalam hatinya, Arjun merasa kecewa dengan keadaan istrinya. Ia berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kenyataannya tidak seperti yang ia harapkan.
Beberapa menit kemudian, Sita membuka matanya perlahan, dia bahagia saat melihat suami yang sangat dia cintai berada di sampingnya. "Arjun," sapa Sita dengan senyumnya yang masih lemah. Arjun hanya tersenyum miring, Dia berusaha menjaga kekuatannya, tetapi sulit bagi Arjun untuk tidak menunjukkan rasa kecewa yang ada dalam hatinya.
"Bagaimana keadaan bayi kita?" tanya Sita dengan suara lirih, dia tidak sabar ingin mengetahui keadaan bayi mereka, Arjun semakin tertekan, rasanya seperti ada beban yang terlalu berat untuk diemban. "Bayi yang mana? Kita tidak memiliki bayi," jawab Arjun, penuh dengan penekanan.
Sita terdiam sejenak, mencerna kata-kata Arjun dengan hati yang hancur. "Tidak mungkin, kau pasti bercanda," tukasnya dengan ketidakpercayaan. Arjun menatap tajam ke arah Sita, berkata, "Aku tidak bercanda!"
Air mata semakin deras mengalir di pipinya, menggambarkan betapa besar kehilangan yang ia rasakan. Bayi yang seharusnya menjadi satu-satunya harapan mereka, kini hanya tinggal dalam ingatan. Arjun melanjutkan ucapannya yang pedas, "Kau telah gagal menjaga bayi kita!"
Sita merasa seperti ditusuk di dalam hatinya saat Arjun menyalahkan dirinya atas kematian bayi yang belum lahir. Air mata mengalir deras dari matanya, mencerminkan kepedihan yang mendalam dalam hatinya.
"Untuk apa kau menangis, Hah?" tanya Arjun mendongakkan kepalanya songong, dia kembali melanjutkan caciannya kepada Sita, "Percuma saja kau menangis, tidak akan membawa kembali bayi kita!"
"Cukup, Arjun!!! Cukup!!!" pinta Sita menutupi kedua telinganya dengan tangannya. Dia tidak ingin lagi mendengarkan ucapan suaminya yang menyudutkannya.
"Kenapa, Kau tidak terima? Bukankah sudah aku peringatkan kepadamu sejak awal untuk menjaga bayi kita dengan baik. Namun, apa yang sudah kau lakukan? Kau sibuk berpikiran buruk tentangku, yang membuat dirimu stres dan akhirnya... ."
Arjun melirik Sita berkesan sedang mengejek dia. Sita kini menatap Arjun lekat-lekat, "Arjun. Seharusnya kau sadar, jika semua ini bukan hanya salahku, tapi kau juga ikut andil dalam masalah ini!"
"Oh, jadi sekarang kau mau melemparkan masalah ini kepadaku?" sahut Arjun dengan tawa kecilnya. "Arjun, jika saja kau tidak bermain dengan wanita itu, pasti aku tidak akan berpikiran yang bukan-bukan. Semua bukti sudah ada, tapi kau masih belum mengakuinya."
"Sita, cukup! Harus berapa kali aku katakan kepadamu, jika aku tidak selingkuh!" bentak Arjun, mengacungkan jari telunjukkan tepat ke wajah Sita. Sita semakin geram dibuatnya.
"Bohong!!!" teriak Sita dengan tenaga yang masih belum pulih benar.
"Terserah! Kau bebas berpikir tentangku, aku mau pergi! Percuma saja di sini, kau masih tetap tidak berubah!" putus Arjun, memilih untuk mengakhiri pertengkaran tersebut.
Arjun pergi meninggalkan ruangan Sita dengan kekesalan yang membuncah. Dia merasa marah dan frustasi karena Sita juga menyalahkan dirinya atas hilangnya nyawa bayi mereka. Arjun sangat kesal dan kesedihan memenuhi hatinya saat ini. Sita terus memandang kepergian Arjun dengan raut wajah sedih yang menggambarkan betapa terlukanya hatinya. Dia berharap suaminya akan menjadi pendukung dan penghibur baginya di saat-saat sulit seperti ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Arjun justru menyalahkan Sita atas kematian bayi mereka, dan itu sangat menyakitkan bagi Sita.
Kepergian Arjun hanya membuat semakin terasa betapa sendirinya Sita dalam menghadapi kesedihan ini. Dia merasa kehilangan sosok yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan penopangnya. Dia berharap Arjun akan berubah pikiran dan kembali menemukannya, memberinya pelukan hangat, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun, harapan itu pupus saat Sita melihat Arjun semakin menjauh. Rasa sakit dan kehilangan semakin menghimpit hatinya. Sita merasa dikhianati dan tidak dihargai oleh suaminya. Dia merenung dalam kesedihan yang mendalam, bertanya-tanya mengapa hal ini harus terjadi pada mereka. Mengapa cobaan ini begitu berat dan pahit?
Dari kejauhan tampak seorang perempuan menyeringai bahagia atas penderitaan yang Arjun alami. "Semesta telah mendukungku," ujarnya dengan senyum kemenangan.
Pagi itu Dika dan Arsy tampak sangat bahagia karena Amel.tak pernah mengganggu hubungan mereka. Hingga pagi itu semua siswa berkumpul pada Mading sekolah bukan hanya itu, tatapan semua siswa yang ada disekolah itu memandang Arsy DNA Dika dengan tatapan penuh ejekan dan cemoohan.Arsy sadar jika ada sesuatu yang tidak beres."Dika, sepertinya ada yang aneh deh dengan siswa sekolah ini," ucap Arsy merasa risih dengan pandangan yang dilontarkan kepadanya saat dirinya dan Dika melewati lorong sekolah.Dika tersenyum manis, dia merangkulkan lengannya pada leher Arsy, "Kau ini selalu saja curiga. Bisa jadi mereka merasa heran karena si jomblo sejati kini sudah memiliki pacar, ditambah lagi pacarnya sangat tampan sepertiku."Arsy menatap Dika gemas, dan berkilah, "Narsis amat sih jadi orang. Seandainya saja bukan karena dijodohkan, mungkin aku tidak akan menerima kamu.""Halah, sudah jadian masih saja gengsi," sindir Dika melirik gemas kearah Arsy."Ah sudahlah. Ayo coba kita lihat ada apa d
Sejak jadian di Villa, Arsy dan Dika tak segan memperlihatkan keromantisan mereka. Bahkan di sekolahpun, Arsy dan Dika bak Romeo dan Juliet yang tak bisa dipisahkan. Setiap hari mereka terlihat mesra, saling berpegangan tangan saat berjalan menuju kelas, dan sering kali duduk bersama di bawah pohon rindang di halaman sekolah.Suatu hari, ketika sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya di depan kantin sekolah, tiba-tiba Amel datang dengan wajah cemberut. Ia langsung mendekati Dika yang sedang duduk sendirian sambil menatap ke arah langit biru."Dika, kamu ini kenapa sih? Aku telepon tidak pernah diangkat?" tanya Amel dengan nada kesal. Ia duduk di sebelah Dika dan melingkarkan tangannya pada lengan Dika.Dalam hati, Dika merasa gugup karena ia tidak ingin Arsy melihat adegan ini. Mereka berdua memang sudah menjadi pasangan yang sangat harmonis sejak jadian di Villa tersebut. Namun begitu masalah muncul ketika ada orang lain yang mencoba mendekati salah satu dari mereka."Maaf Amel,
Dengan senyum hangatnya, Dika menjelaskan lebih lanjut kepada Arsy tentang rencananya untuk masa depan mereka berdua. Dia bercerita tentang bagaimana ia telah mempersiapkan segalanya secara matang agar dapat memberikan kehidupan yang nyaman bagi mereka berdua kelak."Sebenarnya ada satu hal yang tampaknya belum kau ketahui, Arsy," ungkap Dika perlahan-lahan. "Mereka mendukung sepenuh hati hubungan kita dan ingin melihat kita bahagia bersama. Dengan kata lain, kita telah dijodohkan sejak kita baru saja dilahirkan."Arsy kaget mendengar pengakuan tersebut. Ia tidak pernah membayangkan bahwa orang tuanya dan orang tua Dika telah menjodohkan dirinya dan Dika. Namun, di balik kejutan itu, ada rasa lega yang mulai menyelimuti hatinya.Arsy merasakan detak jantungnya berdegup kencang saat mendengar kata-kata Dika. Pikirannya melayang-layang mencoba memahami semua ini. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa orang tuanya mengatur semuany
Dika dengan penuh kelembutan menggendong Arsy menuju tepi pantai. Pasir putih nan bersih terlihat begitu menawan ditambah dengan sinar matahari yang hampir tenggelam. Dika berjalan pelan-pelan, sambil merasakan angin sepoi-sepoi menyentuh wajah mereka.Kedua orang tua mereka, sedang duduk santai di tepi pantai tersebut. Mereka tampak begitu bahagia melihat kedatangan Dika dan Arsy. Namun tiba-tiba saja, wajah Sita berubah menjadi khawatir saat melihat Arsy digendong oleh Dika."Arsy, kamu kenapa?" tanya Sita dengan suara cemas sambil bangkit dari duduknya. Ia segera mendekati Arsy yang kini diturunkan oleh Dika dan duduk dengan kaki diluruskan ke depan.Arjun juga merasa cemas melihat kondisi anak mereka yang terlihat lemas itu. Ia segera bergabung dengan Sita untuk mendekati Arsy.Anand, sahabat baik mereka yang juga ikut dalam perjalanan ini bersama istrinya, turut merasa khawatir melihat keadaan Arsy. Mereka pun ikut mendekati keluarga ters
"Sayang, apakah semuanya sudah siap?" tanya Arjun kepada Sita yang baru selesai memasukkan semua barang bawaannya ke dalam bagasi mobil expander miliknya. Setelah persiapan dan packing, mereka akhirnya siap untuk pergi liburan bersama keluarga."Sudah, Pa," jawab Sita dengan senyum kelegaan duduk disamping pengemudi. Dia merasa lega bahwa semua barang telah tertata rapi di dalam bagasi mobil.Sita menoleh kebelakang untuk mengecek ibu serta putrinya. Namun wajahnya berubah cemas saat melihat wajah sang putri yang terlihat murung. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Arsy dan itu membuat hati ibunya menjadi khawatir."Arsy, kenapa wajah kamu terlihat murung gitu, Nak?" tanya Sita seraya tangannya sibuk memasang sabuk pengaman. Ia mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan oleh anak perempuan satu-satunya itu."Tidak apa-apa, Ma. Arsy hanya kepikiran pertandingan basket besok Ma
Dika menatap Arsy dengan ekspresi kecewa yang jelas terlihat di wajahnya. Ia tahu bahwa Minggu ini tidak ada pertandingan apapun di sekolahnya. Dalam hatinya, Dika memahami jika Arsy ingin menghindarinya, tapi ia tidak tahu pasti masalah apa yang sedang dialami oleh Arsy. Sejak kemarahan Arsy terhadap dirinya beberapa waktu lalu, Dika semakin yakin bahwa kemarahan itu bukan hanya karena janji yang tak bisa dia tepati, melainkan ada masalah lain yang sedang mengganggu pikiran dan perasaan Arsy."Sungguh sayang sekali," ucap istri Anand dengan suara sedih. "Kita sudah merencanakan ini sejak lama."Semua yang duduk di meja makan saling menatap satu sama lain dengan perasaan campur aduk. Suasana hening pun tercipta di antara mereka sejenak.Dika mencoba untuk membuka pembicaraan lagi agar suasana menjadi lebih nyaman dan hangat. "Arsy," panggilnya lembut sambil memandang tajam gadis itu. Ia merasa kesal dengan kebohongan yang telah dilakukan oleh Arsy. Ia tidak bisa menahan diri untuk men