"Untuk apa uang itu, Hasna?" tanya Mama seraya mengerutkan kening.
Segera aku ceritakan semua yang telah terjadi. Tentang Bang Ferry yang merayu ibu untuk menjual sawah demi membeli mobil, juga perlakuan mereka terhadap Mas Hanan selama ini."Aku benar-benar tidak percaya, jika mereka sanggup melakukan hal itu pada Mas Hanan. Bahkan Mas Hanan jauh lebih rendah dari anak pungut, Ma," ucapku menggebu-gebu setelah selesai bercerita.Mama terlihat membuang napas panjang. Wajahnya ikut terlihat sedih."Kasihan sekali menantu Mama ...," ucapnya lirih."Karena itulah, Ma, aku ingin sawah itu jadi milik Mas Hanan lagi. Mama tolong Hasna, ya? Hasna janji akan mengembalikan uang Mama setelah tabungan Hasna dikembalikan Papa," ucapku lagi sambil memegang tangan Mama."Tapi Hasna ... kalau kamu melakukan itu, kamu sama saja membuat Hanan mengingkari janjinya pada Papamu," jawab Mama.Aku membulatkan mata mendengar ucapan Mama."Mungkin Papamu tidak tahu tentang hal itu. Tapi apakah orang sejujur Hanan akan bisa menerimanya?" tanya Mama lagi.Aku seketika menunduk. Benar juga, kalau Mas Hanan pasti tidak akan menerimanya. Mas Hanan dan keluarganya belum tahu jika aku berasal dari keluarga berada. Dulu kami melakukan pernikahan sangat sederhana di kampung, dan orang tuaku juga sengaja tidak membawa mobil saat datang. Semua itu ide Papa, yang benar-benar ingin menguji kesungguhan Mas Hanan."Lalu bagaimana, Ma?" tanyaku lirih, teringat kembali wajah Mas Hanan yang sedang bersedih. Aku tak sanggup melihat dia seperti itu."Begini saja. Mama punya ide yang jauh lebih bagus," ucap Mama kemudian, yang membuat mataku langsung membola."Apa itu, Ma?" tanyaku."Kamu tenang saja. Masalah sawah, serahkan semuanya pada Mama. Kamu bilang, Hanan pandai sekali membuat furniture dan kerajinan, kan?"Aku mengangguk cepat mendengar pertanyaan Mama."Kebetulan Mama punya satu kenalan yang punya ruko besar tak terpakai di dekat sini. Mungkin Mama bisa membelinya setelah ini. Jika sudah beres, Hanan bisa mulai bekerja di sana secepatnya."Kedua mataku berbinar mendengar ucapan Mama, terharu karena ternyata Mama juga peduli pada bakat Mas Hanan."Mama sungguh-sungguh ingin melakukannya?" tanyaku kemudian, dan disambut dengan anggukan Mama."Kadang kalau kita ingin menolong seseorang, jangan pernah membuat dia merasa rendah, Hasna," ucap Mama lagi sambil tersenyum.Aku mengusap mataku yang basah karena air mata bahagia. Dalam hati aku berulang kali bersyukur tentang hal ini."Oh iya, kapan kamu mulai ujian skripsi? Mama dengar pengajuanmu diterima, kan?""Minggu depan, Ma," jawabku cepat."Baguslah. Berjuanglah. Demi Hanan juga."Aku mengangguk dengan penuh semangat. Benar, aku juga harus berusaha. Bukan semata-mata demi aset yang Papa sita, tapi demi meringankan beban suamiku tercinta....Aku berjalan melalui jalan kecil menuju rumah, setelah turun dari ojek langganan. Pertama kali aku harus pergi kuliah naik ojek, sungguh melelahkan. Tapi lama-lama aku terbiasa melakukannya.Dulu bahkan Mas Hanan yang mengantar-jemputku dengan sepeda tuanya. Meskipun jarak antara kampung kami dan kampus lumayan dekat, tapi melihatnya mengayuh sepeda seperti itu, aku tak tega. Walaupun kadang sampai sekarang dia masih sering menjemputku jika aku ada kuliah siang.Dari jauh aku bisa melihat sepeda motor milik Bang Ferry. Aku menarik napas panjang. Pasti Bang Ferry masih membicarakan tentang sawah itu pada ibu."Ada yang menawar sawah kita dua kali lipat dari Haji Jupri, Buk!"Benar saja, ketika sampai di depan pintu, terdengar suara Bang Ferry bicara."Kalau begitu cepat terima saja, Ferry. Lebih cepat lebih baik." Terdengar suara Ibu menjawab. "Siapa yang ingin membelinya dengan harga segitu?""Orang kaya raya dari kota, Buk. Bahkan yang datang asistennya loh, Buk. Langsung bawa duit sekoper pula. Makanya Ferry langsung kesini untuk ngasih tahu Ibuk."Mataku seketika mendelik. Orang kaya dari kota? Jangan-jangan ...."Ya sudah, urus saja secepatnya, Ferry. Jarang-jarang ada orang yang mau ngasih harga tinggi, langsung cash pula.""Siap, Buk."Aku membuang napas, lalu segera melangkah masuk. "Assalamualaikum.""Waalaikumussalam."Mas Hanan yang menjawab salamku. Dia terlihat keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi kopi."Hari ini pulang cepat, Dek? Padahal Mas mau jemput," ucapnya, sambil meletakkan kopi di atas meja, di depan Bang Ferry."Minum kopinya, Bang," ucapnya.Bang Ferry mengambil gelas kopi itu dan menyeruputnya tanpa mengucapkan terima kasih. Aku berdecih kesal melihatnya. Segera aku berjalan ke arah Mas Hanan, mencium tangannya."Kamu sudah makan, Dek?" tanya Mas Hanan kemudian. "Mas hari ini masak daun singkong, kesukaanmu.""Dimana-mana, istri yang masak untuk suami." Tiba-tiba Ibu menyahut. "Dunia sudah terbalik, suami yang jadi budak istri.""Jangan begitu, Buk," jawab Mas Hanan seraya menatap ibunya. "Baginda Nabi saja suka membantu pekerjaan istrinya, kok.""Aduh, Hanan. Kamu itu jangan bawa-bawa nama Baginda nabi. Ibuk itu jauh lebih paham masalah kehidupan, sudah banyak makan asam garam."Aku ingin sekali menjawab ucapan Ibu, tapi tiba-tiba Bu Tria datang dengan tergopoh-gopoh dari luar."Fatmah! Fatmah! Sudah tahu belum?" tanyanya tanpa mengucapkan salam lebih dulu."Ada apa, Tria?" Ibu berdiri dari duduknya, lalu menatap ke arah Bu Tria sambil mengerutkan kening."Itu, si Nikmah pulang kampung.""Nikmah?"Aku seketika melirik ke arah Mas Hanan ketika mendengar nama itu. Yang aku tahu, Nikmah itu mantan kekasih Mas Hanan. Aku langsung merengut melihat Mas Hanan juga seperti tertarik pada kabar yang Bu Tria sampaikan."Dia datang diantar supir suaminya. Pakai mobil mewah loh, Fatmah. Ternyata benar ya, yang menikahi dia itu orang kaya. Pantas dulu orang tuanya menolak Hanan mentah-mentah," ucap Bu Tria panjang lebar."Halah, mobil rentalan kali. Sekarang orang kota gak semua kaya. Sudah ada contohnya," jawab Ibu, yang membuat Bu Tria langsung melirik ke arahku."Tapi suami Nikmah benar-benar tajir, Fatmah. Kan kita tahu sendiri dulu pernikahan mereka diadakan besar-besaran. Terus sekarang rumah Bu Dewi juga sudah bagus, kan? Direnovasi sama menantunya."Ibu tampak membuang napas kesal mendengar ucapan Bu Dewi."Kalau cuma renovasi rumah, anak saya Ferry juga sudah melakukannya. Kalau cuma mobil, kami juga akan segera membelinya, kok," ucapnya kemudian."Kamu mau beli mobil, Fatmah?" Bu Tria seketika melotot."Iya, sebentar lagi juga datang.""Wah, selamat ya, Fatmah. Ikut senang," ucap Bu Tria kemudian, sebelum kemudian pamit pulang.Aku memutar kedua bola mata. Astaga, apa kebanyakan orang desa seperti ini? Suka gosip sana sini, membanggakan harta sana sini?"Ferry! Ayo cepat, kita temui orangnya!" Ibuk langsung memanggil Bang Ferry, sepertinya panas sekali mendengar ucapan Bu Tria tadi."Iya, Buk!"Mereka berdua akhirnya pergi dengan motor milik Bang Ferry. Aku membuang napas, lalu menatap ke arah Mas Hanan yang masih berdiri terdiam."Mas!" Aku menepuk pundaknya, hingga dia tersentak kaget."Hayo, mikirin mantan!" ledekku.Mas Hanan seketika tertawa mendengar ucapanku."Adek ini ada-ada saja bicaranya," ucapnya sambil mencubit hidungku.Baru aku mau balas mencubit pinggangnya, tiba-tiba seseorang mengucap salam."Assalamualaikum."Aku dan Mas Hanan menoleh ke arah pintu masuk sembari membalas salam. Seseorang berdiri di sana, menatap ke arah kami."Nikmah?"Wanita bernama Nikmah itu masih berdiri di depan pintu, menatap ke arah kami dengan pandangan aneh. Rambutnya panjang bergelombang dibiarkan tergerai, dengan japit kecil di sebelah atas telinga kirinya. Wajahnya cantik dan kalem, pantas aku dengar kekasih Mas Hanan dulu terkenal sebagai kembang desa.Sayang, riasan wajahnya agak berlebihan, dan pakaian yang dia kenakan sedikit memaksakan diri. Dia memakai gaun pendek seatas lutut, dan memperlihatkan kakinya yang jenjang. Tapi dilihat dari bahasa tubuhnya, dia terlihat kurang nyaman. Kenapa dia memakai pakaian yang dia sendiri tak nyaman dengannya?"Maaf, apa Bu Fatmah ada?"Pertanyaan Nikmah seketika membuatku tersentak karena tak sadar aku sudah memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jangan-jangan dia tidak nyaman karena aku terlalu jelas memperhatikannya. Aku seketika melirik ke arah Mas Hanan yang sepertinya mengalihkan pandangannya dari Nikmah. Entah karena salah tingkah, atau tak enak karena aku ada di sana."Ibu s
"Dek, sudah siap berangkat?" Mas Hanan terlihat tersenyum seraya menatap ke arahku.Hari ini wajah Mas Hanan yang rupawan itu terlihat cerah dan bersemangat. Dia juga terlihat gagah dengan kemeja warna abu-abu yang dipakainya. Mas Hanan jarang sekali berpakaian rapi seperti itu, karena dia hanya punya dua buah kemeja saja, dan itupun kami beli saat hari raya tahun lalu."Iya, Mas. Adek sudah siap," jawabku sambil menautkan tas jinjingku ke pundak."Jilbab Adek miring." Mas Hanan membenarkan ujung jilbab di kepalaku, lalu menatapku lekat. "Maaf ya, Dek, belum bisa membelikanmu baju dan jilbab yang bagus. Mas janji, jika nanti diterima bekerja, uangnya semua untuk Adek belanja."Aku membalas tatapan Mas Hanan, seraya tersenyum getir. Tidak, Mas, seharusnya aku yang minta maaf karena sudah menjadi beban selama setahun ini, ucapku dalam hati."Bismillah ya, Dek. Semoga lancar ujiannya, dan lulus dengan nilai bagus," ucap Mas Hanan lagi."Iya, Mas. Bismillah.""Ayo berangkat, Dek," ucap Ma
"Selamat, Hasna. Kamu lulus dengan nilai memuaskan."Kedua mataku membola mendengar ucapan dosen pembimbing di depanku. Hampir dua jam aku melakukan tanya jawab, dan berakhir dengan senyum manis Pak Dosen yang biasanya galak itu."I-ini benar, Pak?" tanyaku lagi dengan perasaan hampir tak percaya."Benar, Hasna. Saya dengar setelah menikah kamu tinggal di kampung. Tak kusangka hasil penelitianmu luar biasa," ucap pria bertubuh tambun dan berkaca mata itu. "Sekali lagi selamat.""Terima kasih, Pak," jawabku penuh keharuan, seraya menjabat tangan Pak Dosen.Aku keluar dari ruang sidang itu dengan hati berbunga, tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira ini pada Mas Hanan. Tapi lebih dulu, aku ingin mengabarkan Mama dan Papa tentang hal ini. Segera aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menelpon Mama."Halo, assalamualaikum, Hasna." Terdengar suara Mama mengangkat telepon."Waalaikumussalam, Mama!" Aku seakan ingin berteriak sekencang-kencangnya saat mendengar suara Mama."Kedengaran
"Tinggal dengan Bang Ferry?""Iya! Senang kan, kamu?" Ibu menatap Mas Hanan tajam. "Sekarang sudah tidak ada lagi yang mengganggu kebahagiaanmu dan istrimu!""Buk, kenapa bicara seperti itu, Buk?" Wajah Mas Hanan terlihat begitu sedih mendengar ucapan ibunya."Sudahlah, Hanan! Ibuk mau tinggal bersama kami, ya terserah dia, dong. Kamu urus saja istri manjamu itu!" sahut Bang Ferry."Betul itu, Hanan! Lagipula ini keinginan Ibuk sendiri, kami gak maksa! Ibuk sudah gak betah tinggal bersama kalian," sambung Mbak Ratri.Ibu terlihat sudah selesai memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas besar, lalu Bang Ferry mengangkatnya menuju mobil. Mbak Ratri juga membawa beberapa barang dan memasukkannya ke mobil mereka."Ayo berangkat, Buk," ucap Bang Ferry kemudian.Ibuk mengangguk, lalu berjalan menuju mobil, sebelum Mas Hanan menghentikan ibu lagi."Tunggu dulu, Buk. Hanan mau menyampaikan kabar gembira pada Ibuk," ucapnya. "Hasna lulus skripsi, Buk. Sebentar lagi wisuda. Mantu Ibuk sudah jadi
Acara wisuda berjalan dengan lancar. Aku yang sudah mengenakan toga dengan percaya diri naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan atas kerja kerasku selama belajar di universitas. Mama dan Papa tampak menatapku bangga, dan berulang kali menepuk pundak Mas Hanan dengan tidak kalah bangga."Ayo, kami antar kalian pulang," ucap Papa kemudian, ketika kami sudah keluar dari gedung aula kampus setelah acara selesai."Papa ini, masa langsung pulang, sih?" sahut Mama. "Apa Papa gak kangen sama Hasna? Kita kan harus merayakan kelulusan putri kita dulu.""Ah iya, ya, hampir Papa lupa kalau kita sudah membooking restoran untuk perayaan," ucap Papa sambil tertawa."Papa ini!" Mama mencubit pipi Papa, membuatku dan Mas Hanan tersipu karena kemesraan mereka.Mama dan Papa memang selalu tampak mesra dan memiliki pribadi yang hampir sama. Meskipun keduanya sama-sama pengusaha yang sibuk, tapi mereka selalu menyisihkan waktu untuk bisa berdua, walaupun hanya sekedar minum kopi di cafe.Selama s
"Mas, apa yang terjadi, Mas?" tanyaku, ketika melihat wajah Mas Hanan yang terlihat begitu shock.Mas Hanan tak langsung menjawab pertanyaanku. Badannya masih terlihat gemetar. Aku mengambil kertas dari tangan Mas Hanan, lalu membacanya. Seketika itu juga mataku langsung membola sempurna."Apa yang terjadi, Hasna?" tanya Mama seraya mendekat ke arahku."Ibuk, Ma. Ibuk ... menjual rumah ini," jawabku dengan suara gemetar."Astaghfirullah. Tanpa sepengetahuan Hanan?" Mama menatap ke arah Papa, yang juga terlihat begitu kaget."Iya, Ma. Tega sekali Ibuk melakukannya, padahal dia sudah berjanji akan memberikan rumah ini untuk Mas Hanan," ucapku lagi. "Ibuk bahkan juga sudah menjual sawah milik Bapak, apakah tidak cukup?""Ini tidak bisa dibiarkan, Hasna. Ini bisa diajukan dan diproses secara hukum, karena Hanan juga berhak atas sebagian dari harta orang tuanya," ucap Papa kemudian.Aku tak menjawab ucapan Papa, dan langsung mendekat ke arah Mas Hanan yang masih berdiri mematung di tempatn
Entah bagaimana, ucapan yang begitu kejam itu akhirnya keluar dari mulut wanita yang selama ini begitu disayangi dan dihormati Mas Hanan. Bagaimana cara Mas Hanan memperlakukan ibunya, pasti jauh melebih apa yang sudah Mas Hanan lakukan untukku.Dua puluh tahun ... bukan waktu yang sebentar bagi Mas Hanan untuk berbakti. Begitu banyak pengorbanan yang ia lakukan untuk sang ibu, sepenuh hati telah dia lakukan.Kini ... hati yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan itu pasti telah hancur berkeping-keping, ketika akhirnya mengetahui hal yang sebenarnya."Ibuk ... tidak serius dengan ucapan Ibuk, kan?" Mas Hanan masih berusaha menyangkal, meskipun aku tahu kini jiwanya sudah remuk sebagian."Iya, itu semua benar!" sahut Ibu. "Kamu adalah anak yang ditemukan oleh Bapakmu. Jadi sebaiknya kamu tahu diri, dan jangan berharap lagi! Kamu bukan keluarga kami!""Tapi Bapak selama ini tidak pernah mengatakan apapun, Buk.""Karena Bapakmu yang begitu bodoh, ingin menyamakan antara anak pungut
"Mas berangkat kerja dulu ya, Dek," ucap Mas Hanan pagi itu.Wajah Mas Hanan sepertinya sudah benar-benar kembali ceria dan bersemangat setelah semalaman kami membicarakan banyak sekali rencana."Hati-hati di jalan ya, Mas," ucapku sambil meraih tangannya, lalu menciumnya."Iya, Adek juga baik-baik di rumah," jawab Mas Hanan sambil mengelus kepalaku."Oh iya, bawa ini, Mas," ucapku lagi sambil mengulurkan rantang kecil pada Mas Hanan.Mata Mas Hanan seketika membola, lalu menatapku."Adek masak hari ini?" tanyanya dengan wajah tak percaya.Aku meringis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sengaja hari ini aku bangun lebih dulu dari Mas Hanan, lalu membuatkan telur orak-arik untuknya. Hanya itu masakan yang aku bisa, meskipun harus berjuang menyalakan api dalam tungku."Cuma telur kok, Mas," jawabku malu."Masyaa Allah, terima kasih, Dek. Mas pasti akan habiskan," ucap Mas Hanan sembari mencium keningku.Aku semakin tersipu melihat wajah Mas Hanan yang berbinar, meskipun hanya d