Share

Impian

Wanita bernama Nikmah itu masih berdiri di depan pintu, menatap ke arah kami dengan pandangan aneh. Rambutnya panjang bergelombang dibiarkan tergerai, dengan japit kecil di sebelah atas telinga kirinya. Wajahnya cantik dan kalem, pantas aku dengar kekasih Mas Hanan dulu terkenal sebagai kembang desa.

Sayang, riasan wajahnya agak berlebihan, dan pakaian yang dia kenakan sedikit memaksakan diri. Dia memakai gaun pendek seatas lutut, dan memperlihatkan kakinya yang jenjang. Tapi dilihat dari bahasa tubuhnya, dia terlihat kurang nyaman. Kenapa dia memakai pakaian yang dia sendiri tak nyaman dengannya?

"Maaf, apa Bu Fatmah ada?"

Pertanyaan Nikmah seketika membuatku tersentak karena tak sadar aku sudah memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jangan-jangan dia tidak nyaman karena aku terlalu jelas memperhatikannya. Aku seketika melirik ke arah Mas Hanan yang sepertinya mengalihkan pandangannya dari Nikmah. Entah karena salah tingkah, atau tak enak karena aku ada di sana.

"Ibu sedang keluar," jawabku kemudian sambil berjalan ke arahnya. "Ada keperluan apa, ya?"

"Ah, anu ... saya membawakan oleh-oleh untuk Bu Fatmah. Kebetulan saya baru pulang kampung." Nikmah mengulurkan kantong plastik yang lumayan besar padaku.

"Oh ... terima kasih. Nanti saya sampaikan pada Ibu," jawabku kemudian sambil menerima kantong itu.

Aku pikir dia akan langsung pergi begitu aku menerima pemberiannya, tapi ternyata dia masih berdiri di sana, dengan bahasa tubuh yang aneh.

"Ada keperluan yang lain lagi?" tanyaku kemudian, mulai kesal karena berulang kali dia mencuri pandang ke arah Mas Hanan.

"Eh ... maaf ... kalau boleh tahu, Mbaknya ini siapa, ya?" tanyanya kemudian.

"Aku istrinya Mas Hanan," jawabku cepat, yang membuat wajah perempuan itu seperti terkejut sesaat.

"Oh ... Mas Hanan sudah menikah rupanya?" gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

"Iya, Mas Hanan sudah menikah. Aku istrinya. Bukankah Mbaknya juga sudah menikah?" Nada suaraku mulai terdengar tak enak. Aku tak peduli, karena aku mulai terbakar cemburu.

"Mbaknya tahu siapa saya?" Nikmah membulatkan sedikit matanya, sembari menatapku.

"Tentu saja. Satu kampung pasti tahu."

Nikmah terdiam, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi tak jadi dia katakan. Lagi-lagi dia mencuri pandang ke arah Mas Hanan, lalu akhirnya tersenyum padaku sambil berpamitan.

"Kalau begitu saya permisi, Mbak," ucapnya.

"Oke, tapi sebelumnya maaf ya, Mbak. Lain kali kalau bertamu ke rumah mantan tidak perlu dandan, apalagi Mbaknya sudah bersuami. Takut suaminya nanti cemburu loh. Kan bahaya. Terus lain kali, tidak perlu juga ngasih oleh-oleh. Sayang sama uang suaminya," ucapku dengan sedikit jutek.

Nikmah seketika terlihat salah tingkah dengan ucapanku, lalu akhirnya berpamitan lagi. Aku hanya mengangguk dingin, masih menatap wanita itu meninggalkan rumah kami. Astaga, cara berjalannya juga terlihat sangat memaksa. Ada apa dengan wanita itu?

Aku langsung menoleh ke arah Mas Hanan yang terlihat masih berdiri canggung di tempatnya, lalu segera mendekatinya.

"Mas!" Aku menepuk pundaknya dengan agak kesal. "Dia sudah pergi. Kenapa Mas jadi salah tingkah begitu?"

Mas Hanan terlihat kaget mendengar ucapanku, lalu menoleh padaku.

"S-siapa yang salah tingkah sih, Dek?" Dia balik bertanya.

"Jangan-jangan Mas Hanan masih cinta sama dia." Aku benar-benar kesal dan cemburu.

"Adek ini bicara apa?"

"Buktinya, Mas Hanan tidak bersikap biasa. Bahkan gak mau menatap ke arahnya."

"Bukan begitu, Dek. Dengarkan Mas dulu."

"Kalau Mas Hanan tidak bisa menatap ke arahnya, berarti Mas Masih cinta."

"Masalahnya ... dulu Nikmah itu berhijab."

Aku seketika tersentak kaget mendengar ucapan Mas Hanan. Nikmah sebelumnya berhijab? Tapi kenapa tadi dia berpakaian begitu seksi? Apa itu sebabnya dia terlihat begitu tidak nyaman dengan pakaiannya? Tidak mungkin dia sengaja berpakaian seperti itu untuk menemui Mas Hanan, yang jelas-jelas tidak suka wanita seksi.

Mas Hanan menarik napas panjang, lalu memegang kedua pundakku.

"Maaf ya, Dek, Mas tidak bisa menatap ke arah wanita yang pakaiannya terbuka seperti itu," ucapnya kemudian.

Aku masih belum bisa menghilangkan kekagetanku. Apa segitu mudahnya seseorang yang telah lama berhijab, melepasnya begitu saja dan menggantinya dengan pakaian seksi? Aku juga masih belum lama berhijab, dan itu juga sejak mengenal Mas Hanan. Tapi, sedih juga mendengar ada wanita yang justru melepas hijab setelah menikah.

"Dek ... Adek marah? Adek masih cemburu?" Mas Hanan memegang daguku dengan telunjuk dan ibu jarinya.

Seketika wajahku memanas. Aku jadi salah tingkah.

"S-siapa yang cemburu, Mas? Biasa saja!" sahutku sambil membuang muka.

"Tuh, wajah Adek memerah. Pasti Adek cemburu." Mas Hanan justru menggodaku.

"Ah, Mas Hanan!" Aku mencubit pinggangnya dengan kencang, sampai dia mengaduh kesakitan.

"Aduh, ampun, Dek!"

"Makanya, jangan julid!" omelku. "Oh iya, tadi Ibuk dan Bang Ferry jadi menjual sawah, kan? Kenapa Mas Hanan diam saja? Tidak ikut?"

Mas Hanan terlihat menarik napas, lalu menatapku.

"Mas sudah bicara pada Ibuk. Ibuk minta Mas mengikhlaskan sawah itu. Sebagai gantinya, rumah ini akan Ibuk berikan untuk Mas. Ibuk juga janji akan memberikan hak Mas nantinya," jawabnya kemudian. Ada getaran dalam nada bicaranya.

"Ibuk benar-benar bicara begitu?"

"Iya, Dek."

"Tapi, Mas, apakah nanti akan adil? Kan belum ada hitam di atas putih juga," ucapku lagi.

"Mas tidak bisa mendebatkan masalah warisan, sedangkan Ibuk masih sehat, Dek."

Aku menarik napas panjang. Aku tahu Mas Hanan tidak akan pernah membantah ibunya, bahkan ketika sedang membelaku. Tapi aku kadang kesal dengan sikapnya yang terlalu menurut, bahkan untuk hal yang tak adil untuknya. Bahkan dia yang jelas-jelas dimanfaatkan oleh Abangnya, tidak pernah sekalipun protes. Astaghfirullah, Mas.

Saat aku masih kesal dengan Mas Hanan, tiba-tiba ponselku berdering. Pesan masuk dari Mama, dan langsung membuat mataku melotot saat membacanya.

[ Sawah milik mertua kamu sudah Mama beli, Sayang. Kamu bisa tenang sekarang. Tunggu sampai kamu lulus skripsi, kita beri kejutan untuk mantu Mama ]

Aku ingin melompat saat itu juga saat membacanya. Meskipun tadi sudah mengira-ngira, tak kusangka ternyata pembelinya benar-benar Mama!

"Dek." Mas Hanan menepuk pundakku. Wajahnya terlihat heran, mungkin karena melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah, setelah sebelumnya kesal.

"Ah, anu ... Mas! Adek punya kabar bagus untuk Mas Hanan," ucapku kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Apa itu, Dek?" tanyanya dengan mata melebar.

"Akan ada ujian kejar paket untuk orang-orang yang putus sekolah seperti Mas. Jika Mas mau ikut, Mas bisa mendapatkan ijazah SMP, bahkan SMA," jawabku.

"Apakah bisa, Dek?"

"Insya Allah bisa, Mas. Aku akan membantu Mas mendaftar jika Mas mau."

"Mau, Dek. Mas Mau," jawab Mas Hanan antusias.

"Terus, ada lagi satu berita bagus, Mas," ucapku lagi.

"Apa lagi, Dek?"

"Ada tempat pembuatan furniture baru yang dibuka di dekat kampusku, dan membutuhkan pekerja. Bagaimana kalau Mas mendaftarkan diri?"

"Benarkah?" Mata Mas Hanan terlihat berbinar, tapi sesaat kemudian kembali meredup.

"Tapi Mas belum punya pengalaman, Dek," ucapnya kemudian.

"Mas Hanan belum punya pengalaman, tapi Mas Hanan punya bakat. Sekarang tinggal niat, Mas. Itu sudah modal awal yang cukup," ucapku meyakinkan.

Mas Hanan terlihat terdiam sejenak, lalu menatapku.

"Baiklah, Mas akan berusaha, demi Adek juga. Jika tempatnya dekat dengan kampus Adek, berarti kita bisa sekalian berangkat dan pulang sama-sama. Jadi Mas tidak akan khawatir lagi jika di jalan Adek kenapa-kenapa." Wajah Mas Hanan terlihat berseri-seri.

Aku seketika tersenyum penuh keharuan. Lagi-lagi, Mas Hanan hanya memikirkanku, memikirkan kebahagiaanku. Mungkin Allah mempertemukan kami, agar aku menjadi jalan untuk meraih impiannya yang tertunda, juga agar aku menemukan kebahagiaan dan makna hidup yang sesungguhnya.

Baiklah, setelah ini aku juga harus berusaha. Sidang skripsi ... aku datang!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status