Share

Isi Hati

"Ibuk mau menjual sawah peninggalan Bapak?" Mas Hanan mengulang pertanyaannya, sembari berjalan mendekat ke arah ibunya.

"Abangmu butuh uang untuk tambah membeli mobil, Hanan," jawab Ibu sambil membalas tatapan Mas Hanan.

"Tapi bukannya Bang Ferry sudah punya usaha yang maju? Kenapa harus menjual sawah, Buk?"

"Justru karena usaha Mas Ferry sedang berkembang pesat, makanya kami butuh mobil, Hanan," sahut Mbak Ratri.

"Lagipula kamu kenapa harus ikut campur sih, Hanan! Aku juga punya hak atas sawah itu," sambung Bang Ferry.

"Masalahnya, dulu Bapak melarang kita untuk menjualnya, Bang," ucap Mas Hanan lagi. "Bang Ferry ingat, kan?"

"Bapak sudah tidak ada, dan aku butuh uang," sahut Bang Ferry. "Pikirkan yang hidup, jangan yang sudah ma-ti!"

"Astaghfirullah, Bang!"

Hatiku ikut sakit mendengar ucapan mereka pada Mas Hanan, tapi aku berusaha sebisa mungkin untuk tetap diam. Bukan ranah untukku bicara, apalagi tentang tanah warisan.

"Sudahlah, Hanan. Abangmu benar. Lagipula uangnya bukan untuk hal yang tidak penting, tapi untuk usaha Abangmu. Kalau Bapakmu masih ada, dia pasti juga tidak keberatan," ucap Ibu kemudian.

"Lalu setelah itu kita hidup dengan apa, Buk? Selama ini kita tergantung pada hasil panen untuk kebutuhan sehari-hari." Suara Mas Hanan terdengar bergetar.

"Tentu saja kamu harus lebih giat kerja, dong, untuk Ibu. Jangan hanya memikirkan anak orang!" Ibu terlihat melirik ke arahku.

"Jangan khawatir kamu, Hanan. Kalau kamu sudah tidak sanggup untuk menghidupi Ibuk, biarkan Ibuk tinggal bersama kami," ucap Bang Ferry.

"Benar itu, Hanan. Ibuk pasti lebih senang tinggal bersama kami daripada makan hati terus di sini!" sambung Mbak Ratri.

Mas Hanan terlihat terdiam, berdiri mematung untuk beberapa lama. Setelah itu, dia membalikkan badan perlahan, lalu berjalan dengan gontai, melewatiku begitu saja menuju ke arah kamarnya.

Aku menatap ke arah Ibu, Bang Ferry dan Mbak Ratri dengan pandangan tak terima.

"Kalian tega sekali sama Mas Hanan!" ucapku kemudian.

"Hei, Hasna! Jangan ikut campur urusan keluarga kami. Kamu itu cuma orang luar!" Bang Ferry bersungut-sungut.

"Keluarga? Apa kalian menganggap Mas Hanan keluarga? Kalian bahkan selalu memutuskan sesuatu tanpa peduli perasaannya," ucapku lagi.

"Itu semua gara-gara kamu, Hasna! Kalau kamu tidak merayu anakku, dia tidak akan jadi pembangkang seperti sekarang!" sahut Ibu.

"Pembangkang bagaimana, Buk?" tanyaku tak terima. "Mas Hanan bahkan tak pernah sekalipun membantah ucapan Ibuk!"

"Iya, tapi dia selalu lebih membelamu daripada saya!"

Aku mengatupkan bibir, seraya menggeleng perlahan. Kenapa sifat keluarga Mas Hanan jauh berbeda dengannya? Mas Hanan yang begitu lemah lembut dan penyayang, sama sekali tidak seperti Ibu dan Abangnya.

"Sudahlah, Hasna! Lebih baik pikirkan saja urusanmu sendiri. Kita mau lihat, setelah kuliah kamu bisa jadi apa. Paling juga masih tetap numpang hidup sama Hanan. Sama-sama miskin aja sok-sokan!" Mbak Ratri terlihat tersenyum mengejek.

Aku mengepalkan tangan erat. Tidak, Hasna. Sekarang bukan saatnya untuk membalas penghinaan mereka. Belum saatnya. Suamimu lebih membutuhkanmu sekarang.

Aku akhirnya membuang napas, lalu membalikkan badan dan meninggalkan mereka bertiga, yang melanjutkan makan sembari mengobrol. Aku membuka pintu kayu kamar, dan terlihat Mas Hanan duduk diam di sudut dipan, membelakangiku. Aku berjalan perlahan mendekatinya.

"Mas ...." Aku memegang pundaknya pelan seraya memanggilnya.

Mas Hanan terlihat tersentak, lalu mengusap wajahnya, dan menoleh padaku. Dia tersenyum, yang jelas amat dipaksakan. Kedua mata yang selalu memancarkan kesejukan terlihat basah, membuat hatiku seketika berdesir perih.

"Mas Hanan menangis?" tanyaku lirih, dengan hati yang bagai dicabik-cabik pisau.

Ini pertama kalinya aku melihat lelakiku yang gagah itu meneteskan air mata. Ya Allah, sungguh menyakitkan melihatnya seperti ini.

"Ah, tidak, Dek. Mas kelilipan tadi," jawab Mas Hanan sambil mengusap kedua matanya.

"Jangan bohong, Mas," ucapku sembari memegang kedua pipinya dengan kedua tangan.

Mas Hanan menggenggam tanganku yang berada di pipinya dengan kedua tangan, lalu menatapku. Dia kemudian nampak tersenyum getir.

"Kamu tahu, Dek? Kadang Mas merasa ... kalau Mas ini bukan anak kandung ibuk," ucapnya, dengan air mata yang lagi-lagi meleleh.

"Ya Allah, Mas."

Aku memeluk Mas Hanan erat, dan tangisku akhirnya ikut pecah. Hatiku ikut hancur mendengar ucapan pria yang amat kucintai itu. Aku ikut merasakan penderitaan yang sudah dia tanggung selama puluhan tahun, namun tidak pernah bisa dia ungkapkan.

Menangislah, Mas. Menangislah. Aku istrimu akan selalu berada di sampingmu. Aku akan selalu meminjamkan pundakku padamu. Tak apa sesekali kamu terlihat lemah, karena saat itu giliran tugasku untuk menguatkanmu.

.

.

.

"Sawah itu satu-satunya peninggalan Bapak, yang penuh kenangan di dalamnya. Entah apakah Mas sanggup menerima jika Ibuk benar-benar akan menjualnya," ucap Mas Hanan waktu itu, saat kami sedang berbaring di peraduan.

"Dulu Bapak sangat menyayangi Mas. Bapak yang diam-diam selalu memenuhi keinginan Mas, saat Ibuk lebih perhatian sama Bang Ferry. Saat Ibuk memukul dan memarahi Mas karena bertengkar dengan Bang Ferry, Bapak juga yang diam-diam menghibur Mas. Di sawah itu ... tempat ternyaman yang jauh jika dibandingkan dengan rumah."

Aku menarik napas panjang, sembari menatap wajah Mas Hanan yang tengah bercerita sambil menatap ke atas langit-langit rumah. Pandangannya terlihat menerawang jauh, seperti sedang mengingat kembali masa kecilnya yang bahagia, sebelum semua terenggut dengan kepergian sang Bapak.

Malam itu Mas Hanan bercerita panjang lebar, tentang impiannya, tentang kehidupan masa kecilnya. Tenyata Mas Hanan pernah bercita-cita menjadi seorang arsitek. Bapak melarang Ibuk untuk menjual sawah itu, karena Bapak ingin Mas Hanan bisa bersekolah seperti apa yang dia impikan lewat hasil dari panennya setiap tahun. Nyatanya, Ibuk tetap memilih Bang Ferry, putra kesayangannya.

"Hasna?" lamunanku buyar seketika, ketika seseorang menepuk pundakku.

Aku menatap ke arah wanita yang berdiri di depanku, menatapku dengan pandangan penuh kerinduan. Aku seketika berdiri, lalu berhambur ke dalam pelukannya. Hari itu aku menghubungi Mama, agar menemuiku di suatu cafe dekat kampus.

"Mama ...," panggilku, tak bisa menahan air mata.

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" Mama mengelus kepalaku yang tertutup jilbab, membalas pelukanku dengan erat.

Aku mengangguk, sembari melepas pelukan Mama, lalu mengusap air mataku.

"Apa yang terjadi? Apa Hanan menyakitimu? Apa dia berbuat sesuatu yang jahat padamu?" tanya Mama sambil memegang kedua pundakku.

"Nggak, Ma. Mas Hanan baik sekali padaku. Bahkan terlalu baik," jawabku, masih kesenggukan.

"Lalu kenapa kamu menangis?" tanya Mama lagi.

"Aku cuma kangen sama Mama."

Mama terlihat menarik napas panjang, lalu menarik tanganku pelan, memintaku duduk. Dia lalu duduk di depanku, sambil mengusap pipiku.

"Kamu terlihat kurusan, Hasna. Tapi hebat sekali putri Mama, bisa bertahan hampir setahun hidup di kampung," ucap Mama kemudian sambil tersenyum.

"Mama meledekku?" Aku merengut mendengar ucapan Mama.

Mama seketika tertawa. Dia kemudian mencubit pipiku, lalu berkata lagi, "Mama senang, karena Hanan berhasil menjagamu sampai sejauh ini."

"Tapi, Ma ... bisakah Mama membantuku tanpa sepengetahuan Papa?" tanyaku kemudian.

Kedua mata Mama membola, menatapku penuh tanya.

"Membantu apa, Hasna?"

Aku membalas tatapan Mama dengan pandangan serius.

"Pinjamkan aku uang, Ma. Dua ratus juta saja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status