Share

Pekerjaan baru

last update Last Updated: 2023-08-09 18:48:14

"Dek, sudah siap berangkat?" Mas Hanan terlihat tersenyum seraya menatap ke arahku.

Hari ini wajah Mas Hanan yang rupawan itu terlihat cerah dan bersemangat. Dia juga terlihat gagah dengan kemeja warna abu-abu yang dipakainya. Mas Hanan jarang sekali berpakaian rapi seperti itu, karena dia hanya punya dua buah kemeja saja, dan itupun kami beli saat hari raya tahun lalu.

"Iya, Mas. Adek sudah siap," jawabku sambil menautkan tas jinjingku ke pundak.

"Jilbab Adek miring." Mas Hanan membenarkan ujung jilbab di kepalaku, lalu menatapku lekat. "Maaf ya, Dek, belum bisa membelikanmu baju dan jilbab yang bagus. Mas janji, jika nanti diterima bekerja, uangnya semua untuk Adek belanja."

Aku membalas tatapan Mas Hanan, seraya tersenyum getir. Tidak, Mas, seharusnya aku yang minta maaf karena sudah menjadi beban selama setahun ini, ucapku dalam hati.

"Bismillah ya, Dek. Semoga lancar ujiannya, dan lulus dengan nilai bagus," ucap Mas Hanan lagi.

"Iya, Mas. Bismillah."

"Ayo berangkat, Dek," ucap Mas Hanan lagi.

Aku tersenyum lagi, seraya mengangguk. Hari ini aku akan menjalani sidang skripsi, tapi sebelumnya aku akan mengantar Mas Hanan untuk melihat ruko yang sudah dibeli Mama. Mama sudah mengabarkan padaku, jika semua bahan dan peralatan sudah siap.

Mama juga sudah menyiapkan seseorang yang sudah ahli, yang akan mengajarkan cara penggunaan mesin pada Mas Hanan nanti. Kelihatannya Mama begitu bersemangat mendukung menantunya, sampai dalam waktu singkat bisa melakukan itu semua. Tentu saja, Mama punya banyak sekali kenalan pengusaha, yang siap membantunya kapan saja.

Mas Hanan menggandeng tanganku keluar kamar kami. Baru saja sampai di ruang tengah, kami sudah mendengar suara keributan dari luar rumah. Aku dan Mas Hanan saling bertatapan, ingin tahu apa yang terjadi. Kami cepat-cepat berjalan keluar pintu untuk memastikan.

Agak kaget, karena sebuah mobil keluaran terbaru sudah terparkir di halaman rumah kami, dan dikerumuni oleh para tetangga. Para tetangga terlihat kagum dengan mobil itu, jadi terdengar berisik dan ribut.

"Wah, rupanya Fatmah benar-benar membeli mobil baru." Bu Tria terlihat mengelilingi mobil itu sambil melongo.

"Bagus banget ya, mobilnya," sahut tetangga yang lain.

"Rupanya Ferry benar-benar sudah sukses sekarang."

"Iya, bagus sekali bisa mengangkat derajat ibunya."

"Hei, Buk! Buk! Jangan disentuh dong, nanti lecet." Bang Ferry terlihat membuka pintu mobil dan turun dari dalam sana ketika para tetangga itu mulai menggerayangi bodi mobil.

"Masa dipegang saja gak boleh sih, Ferry. Pelit amat," protes Bu Tria.

Ibu dan Mbak Ratri juga terlihat turun dari pintu belakang, langsung terlihat bangga melihat para tetangga yang berkerumun.

"Maklum lah, ibu-ibu, mobil keluaran terbaru. Kalau tegores kan sayang," ucap Ibu kemudian.

"Iya, betul. Harganya mahal tauk, ratusan juta. Kalau lecet, emang pada mau ganti?" Mbak Ratri menimpali.

Aku dan Mas Hanan saling bertatapan, lalu membuang napas. Mas Hanan kemudian menggandeng tanganku, berjalan mendekat ke arah mereka.

"Loh Hanan? Tumben pakaianmu rapi. Mau kemana?" tanya Ibu begitu melihat kami.

"Mau mengantar Hasna kuliah, Bu, sekalian mau melamar kerja," jawab Mas Hanan.

"Kerja? Mau kerja kemana kamu, Hanan?" tanya Bang Ferry seraya melotot kaget.

"Ada tempat pembuatan furniture yang membutuhkan pegawai, Mas."

"Loh, terus kerjaan kamu di rumah kami gimana, Hanan?" Mbak Ratri ikut mendelik.

"Nah itu dia, Mbak, Bang. Dari kemarin lusa kalian sibuk, jadi aku tidak sempat berpamitan. Abang dan Mbak Ratri cari tukang lain saja," jawab Mas Hanan lagi.

"Astaga, Hanan! Gak bisa begitu dong! Enak saja kamu tidak meneruskan kerjaan, dan memilih kerjaan yang belum jelas!" sahut Bang Ferry.

"Mas Hanan tidak bisa terus-menerus kerja gratis di tempat kalian, dong, Bang." Akhirnya aku tidak tahan untuk bicara. "Biarin Mas Hanan cari kerjaan yang layak."

"Hei, Hasna, tutup mulutmu! Apanya yang gratisan? Dia itu membantu saudaranya, wajar dong kalau gak perlu minta bayaran?" Bang Ferry bersungut-sungut. "Daripada kamu yang bisanya jadi beban suami saja!"

"Benar itu!" sahut Mbak Ratri. "Dasar benalu!"

"Cukup, Bang! Kalian boleh menghinaku, tapi jangan hina istriku!" sahut Mas Hanan, yang membuatku sedikit kaget, karena baru pertama kali ini Mas Hanan berbicara dengan suara tinggi.

"Oh, sudah berani menantang Abangmu kamu, Hanan! Oke, pergi sana! Cari kerjaan yang gak jelas itu! Tapi jangan harap kami mau membantumu jika terjadi sesuatu!" ucap Bang Ferry lagi.

Mas Hanan menarik tanganku, meninggalkan mereka semua, lalu mengambil sepeda tua miliknya. Kami berjalan sambil menuntun sepeda itu meninggalkan kerumunan. Masih bisa kami dengar mereka berbicara dengan para tetangga.

"Astaga, Fatmah. Anakmu yang satu itu hidupnya kapan maju? Kok segitunya rela jadi jongos istrinya," ucap Bu Tria.

"Halah, biarkan saja. Dia memang tidak bisa seperti Ferry, yang bisa diandalkan," jawab Ibu.

Aku menatap ke arah Mas Hanan yang terdiam sambil menuntun sepedanya. Pasti sangat menyakitkan mendengar ucapan ibunya yang seperti itu.

"Maafkan aku ya, Mas," ucapku, yang membuat Mas Hanan terlihat tersentak.

"Kenapa minta maaf, Dek?" tanyanya seraya menatapku.

"Mas Hanan mendapatkan hinaan dan cibiran dari banyak orang karena membelaku," jawabku.

"Adek ini ngomong apa?" Mas Hanan menghentikan langkah, lalu menatapku. "Mas sudah biasa dengan hinaan orang-orang, tapi Mas gak bisa tahan jika Adek yang dihina karena Mas."

"Terima kasih, Mas." Aku mengusap mataku yang hampir basah.

"Jangan nangis." Mas Hanan mengusap pipiku. "Ayo kita berangkat."

Aku mengangguk, lalu duduk di boncengan sepeda tua itu, sementara Mas Hanan mulai mengayuhnya. Aku memeluk perut Mas Hanan erat, menikmati setiap menit perjalanan kami dengan penuh rasa syukur dengan kesederhanaan yang mampu membuatku bahagia.

.

.

.

"Hanan, ya?" Seorang pria berbadan kekar langsung menyambut kami begitu sampai di tempat milik Mama.

"I-iya, Bang," jawab Mas Hanan gugup, ketika pria itu menjabat tangannya.

"Kenalkan, saya Doni. Saya yang akan mengajarkan kamu menggunakan mesin mulai hari ini," ucap pria yang ternyata bernama Doni itu.

"Loh, tapi Bang ... memangnya saya sudah diterima kerja?" Mas Hanan terlihat bingung, lalu menatapku dan Doni berulang kali.

"Terus Bang Doni bagaimana bisa tahu saya akan datang? Dan tahu nama saya pula?" tanyanya lagi.

Aku seketika diam-diam menepuk kening, apalagi melihat Doni juga jadi bingung bagaimana menjawab pertanyaan Mas Hanan.

"A-anu, Mas. Kemarin aku sudah mendaftarkan Mas Hanan via online," jawabku cepat.

"Iya kah, Dek?" Mas Hanan masih terlihat bingung.

"I-iya, betul itu Hanan," sahut Doni. "Saya dengar kamu pintar sekali membuat berbagai perabot secara autodidak, jadi saya sangat tertarik."

Mas Hanan menatap ke arahku, dan aku seketika meringis.

"Adek ini berlebihan," ucapnya kemudian, membuatku membuang napas lega karena ternyata Mas Hanan memang sepolos itu.

"Ayo, Hanan. Kita mulai belajarnya," ucap Doni lagi sambil menepuk pundak Mas Hanan.

"Sekarang, Bang?" Mas Hanan terlihat bingung lagi.

"Iya, sekarang."

"Tapi, Bang, istri saya ...."

"Mas Hanan belajar saja, aku bisa jalan kaki," sahutku. "Sudah dekat kok, Mas."

"Beneran tidak apa-apa, Dek?" Wajah Mas Hanan terlihat khawatir.

"Iya, Mas. Yang semangat belajarnya, ya?" jawabku seraya meraih tangannya, dan lalu menciumnya. "Adek berangkat dulu."

Doni menggiring Mas Hanan masuk ke dalam, dan aku masih memperhatikan punggung mereka menjauh. Aku kemudian menatap sekeliling, di mana tempat itu sudah penuh dengan tumpukan berbagai jenis kayu. Mama pasti sudah berusaha keras untuk mempersiapkannya.

Mimpi Mas Hanan dimulai dari sini. Begitupun dengan mimpiku. Terima kasih, Mama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI SARJANA SUAMI LULUSAN SD   Akhir

    "Ibuk sakit?" Aku seketika membulatkan mata.Memang aku ingin sekali mengetahui keadaan Ibuk setelah pingsan waktu itu. Tapi Mas Hanan selalu menghindar setiap aku berbicara tentang Ibuk. Orang pendiam seperti Mas Hanan, sekali hatinya tergores dalam, mungkin akan sulit sekali menyembuhkan luka itu."Iya, Hasna. Tolong, minta Hanan untuk menengoknya di saat-saat terakhirnya," ucap Bang Ferry lagi.Aku terdiam sejenak, bingung apa yang harus aku lakukan."Tapi Mas Hanan baru berangkat kerja, Bang," jawabku kemudian. "Biar saya yang pergi untuk menjenguk Ibuk dulu, ya?""Iya, Hasna, iya. Ibuk pasti senang sekali kamu mau menjenguknya, Hasna," jawab Bang Ferry lagi."Sebentar, saya pamit dulu ke Mama," ucapku lagi sambil masuk ke dalam rumah.Terlihat Mama dan Bu Miranti menata makanan di atas meja makan sambil berbincang. Mereka berdua tampak sangat akrab, membuat siapapun yang melihatnya terasa adem di hati. Syukurlah, rupanya Bu Miranti benar-benar sudah sembuh."Ayo Hasna, kita sarap

  • ISTRI SARJANA SUAMI LULUSAN SD   Syukur

    "Bu ... Ibu sudah sembuh?" Air mataku kembali mengalir dengan derasnya."Ya Allah, Mas Hanan pasti bahagia sekali Ibu sudah sembuh." Aku berhambur ke pelukan Ibu mertuaku itu. Menangis sekencang-kencangnya. Aku seperti ingin mencurahkan semua perasaanku di depannya."Hasna ...." Bu Miranti menatapku lagi, begitu aku melepaskan pelukanku. Terlihat tangannya terangkat, lalu mengusap pipiku."Kenapa menangis?" tanyanya, dengan nada suara yang masih terdengar sangat datar. "Hanan menyakitimu?"Aku seketika menggelengkan kepala kencang."Tidak, Bu. Mas Hanan tidak pernah menyakiti Hasna," jawabku kemudian sembari mengukir senyum.Bu Miranti menggerakkan kepalanya, menatap ke sekeliling. "Hanan ... di mana?" tanyanya kemudian."Ada di rumah, Bu. Ayo kita Hasna bawa Ibu ke Mas Hanan," ucapku kemudian, seraya menarik tangannya, membantunya berdiri.Aku menggandeng tangan Bu Miranti dan berjalan kembali ke rumah. Dari jauh, terlihat Mas Hanan masih berbincang dengan Nikmah, dan Nikmah terliha

  • ISTRI SARJANA SUAMI LULUSAN SD   Rumah

    "Syukurlah, hari ini kita bisa membawa Nyonya Miranti pulang." Mama tersenyum seraya menyiapkan beberapa buah pakaian dan memasukkannya dalam koper."Mama sudah menyiapkan perawat khusus untuknya, dan kabarnya, kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik," lanjut Mama lagi."Maaf ya, Ma, selama ini kami sudah merepotkan Mama terus," ucapku kemudian."Bicara apa kamu, Hasna? Kamu ini kan anak Mama, Hanan juga. Jangan pernah bilang sudah merepotkan!" sahut Mama sambil menyentil hidungku.Aku tersenyum, dan untuk ke sekian kalinya bersyukur karena memiliki orang tua yang bisa diandalkan. Rumah kami sudah selesai dibangun, bersamaan dengan kabar baik yang disampaikan oleh dokter, bahwa kondisi Nyonya Miranti sudah jauh lebih baik. Ini semua berkat Mas Hanan yang begitu sabar dan telaten berbicara pada Sang Ibu setiap harinya.Aku melirik ke arah ponsel yang sejak tadi menyala, dan menyiarkan berita-berita terkini. Terpampang jelas tulisan-tulisan yang menjadi caption dalam berita-berita ter

  • ISTRI SARJANA SUAMI LULUSAN SD   Syarat

    "Syarat?" Aku menatap ke arah Nikmah, yang juga menatapku dengan pandangan serius. Untuk sesaat pikiranku seketika dipenuhi prasangka buruk. Apapun syarat yang Nikmah inginkan, pasti ada hubungannya dengan Mas Hanan."Jangan dengarkan dia, Hasna." Mama tiba-tiba memegang pundakku. "Kita pasti bisa mencari semua bukti itu sendiri, tanpa harus mengorbankan apapun.""Tapi bukti yang saya punya sudah pasti akan bisa menjebloskan Pak Baskoro ke penjara, Tante," sahut Nikmah lagi."Meskipun begitu, saya yakin syarat yang kamu ajukan pasti di luar nalar," jawab Mama seraya menatap tajam pada Nikmah. "Lagipula, jika bukti yang kamu miliki memang begitu kuat, kenapa kamu tidak melaporkan sendiri pada polisi?""Saya tidak punya keberanian dan kuasa, juga tidak punya kebebasan," jawab Nikmah lagi."Lalu sekarang kamu memanfaatkan kami untuk bisa bebas, dan kembali menggoda menantu saya?" Ucapan Mama semakin tajam."Saya tidak sepicik itu, Tante. Ijinkan saya bicara berdua saja dengan Mbak Hasna.

  • ISTRI SARJANA SUAMI LULUSAN SD   Bukti

    "Ma, tidak bisakah kita membawa Bu Miranti pergi dari sini? Kita bawa pulang, kita rawat dia di rumah," ucapku pada Mama, karena tak kuasa melihat Mas Hanan yang menangis memeluk ibunya.Mama terlihat menarik napas panjang, lalu menatapku."Tidak bisa semudah itu, Sayang," jawabnya kemudian. "Karena itulah pertama kita harus membuktikan dulu jika Hanan adalah pewaris sah keluarga Bramantio, jadi Hanan punya hak untuk membawa ibunya."Aku terdiam, seraya menatap ke arah Mas Hanan lagi. Mas Hanan perlahan melepas pelukannya pada sang ibu, dan Bu Miranti terlihat memegang pipi Mas Hanan dengan kedua tangannya."Mas Satriyo kenapa menangis?" tanyanya sambil menatap wajah Mas Hanan dengan pandangan bingung. "Apa Mas Satriyo terluka? Apakah sakit?"Mas Hanan menggelengkan kepalanya pelan. Bu Miranti cepat-cepat mengusap air mata di pipi Mas Hanan."Jangan menangis, Mas. Jangan menangis. Kita balas orang-orang jahat itu. Kita balas orang-orang yang sudah melukai kita." Bu Miranti memeluk Mas

  • ISTRI SARJANA SUAMI LULUSAN SD   Pewaris

    "Penjahat! Pembunuh!" Bu Miranti terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah Pak Baskoro."Ibuk! Ibuk!" Mas Hanan berusaha memegangi tubuh Bu Miranti yang terus meronta dan berteriak histeris."Pembunuh!" Bu Miranti mencoba untuk menyerang Pak Baskoro, tapi Mas Hanan terus memegangi tubuh ibunya."Tenang, Bu, tenang," ucap Pak Baskoro sambil mengangkat kedua tangannya.Akhirnya beberapa orang petugas masuk, mungkin karena mendengar keributan. Mereka memegangi tubuh Bu Miranti, lalu memaksanya untuk duduk di atas tempat tidur. Seorang petugas menyuntikkan sesuatu pada lengannya. Bu Miranti yang tadinya meronta-ronta perlahan mulai melemas, lalu akhirnya tertidur.Aku memegangi dada, miris melihat nasib yang menimpa Bu Miranti. Begitupun dengan Mas Hanan, yang terlihat menatap ibunya dengan raut wajah antara takut, kasihan, dan juga sedih."Mohon maaf, sebenarnya pasien jarang sekali mengamuk. Tapi memang terkadang dia akan seperti ini saat teringat masa lalunya," ucap salah satu pet

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status