"Tinggal dengan Bang Ferry?""Iya! Senang kan, kamu?" Ibu menatap Mas Hanan tajam. "Sekarang sudah tidak ada lagi yang mengganggu kebahagiaanmu dan istrimu!""Buk, kenapa bicara seperti itu, Buk?" Wajah Mas Hanan terlihat begitu sedih mendengar ucapan ibunya."Sudahlah, Hanan! Ibuk mau tinggal bersama kami, ya terserah dia, dong. Kamu urus saja istri manjamu itu!" sahut Bang Ferry."Betul itu, Hanan! Lagipula ini keinginan Ibuk sendiri, kami gak maksa! Ibuk sudah gak betah tinggal bersama kalian," sambung Mbak Ratri.Ibu terlihat sudah selesai memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas besar, lalu Bang Ferry mengangkatnya menuju mobil. Mbak Ratri juga membawa beberapa barang dan memasukkannya ke mobil mereka."Ayo berangkat, Buk," ucap Bang Ferry kemudian.Ibuk mengangguk, lalu berjalan menuju mobil, sebelum Mas Hanan menghentikan ibu lagi."Tunggu dulu, Buk. Hanan mau menyampaikan kabar gembira pada Ibuk," ucapnya. "Hasna lulus skripsi, Buk. Sebentar lagi wisuda. Mantu Ibuk sudah jadi
Acara wisuda berjalan dengan lancar. Aku yang sudah mengenakan toga dengan percaya diri naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan atas kerja kerasku selama belajar di universitas. Mama dan Papa tampak menatapku bangga, dan berulang kali menepuk pundak Mas Hanan dengan tidak kalah bangga."Ayo, kami antar kalian pulang," ucap Papa kemudian, ketika kami sudah keluar dari gedung aula kampus setelah acara selesai."Papa ini, masa langsung pulang, sih?" sahut Mama. "Apa Papa gak kangen sama Hasna? Kita kan harus merayakan kelulusan putri kita dulu.""Ah iya, ya, hampir Papa lupa kalau kita sudah membooking restoran untuk perayaan," ucap Papa sambil tertawa."Papa ini!" Mama mencubit pipi Papa, membuatku dan Mas Hanan tersipu karena kemesraan mereka.Mama dan Papa memang selalu tampak mesra dan memiliki pribadi yang hampir sama. Meskipun keduanya sama-sama pengusaha yang sibuk, tapi mereka selalu menyisihkan waktu untuk bisa berdua, walaupun hanya sekedar minum kopi di cafe.Selama s
"Mas, apa yang terjadi, Mas?" tanyaku, ketika melihat wajah Mas Hanan yang terlihat begitu shock.Mas Hanan tak langsung menjawab pertanyaanku. Badannya masih terlihat gemetar. Aku mengambil kertas dari tangan Mas Hanan, lalu membacanya. Seketika itu juga mataku langsung membola sempurna."Apa yang terjadi, Hasna?" tanya Mama seraya mendekat ke arahku."Ibuk, Ma. Ibuk ... menjual rumah ini," jawabku dengan suara gemetar."Astaghfirullah. Tanpa sepengetahuan Hanan?" Mama menatap ke arah Papa, yang juga terlihat begitu kaget."Iya, Ma. Tega sekali Ibuk melakukannya, padahal dia sudah berjanji akan memberikan rumah ini untuk Mas Hanan," ucapku lagi. "Ibuk bahkan juga sudah menjual sawah milik Bapak, apakah tidak cukup?""Ini tidak bisa dibiarkan, Hasna. Ini bisa diajukan dan diproses secara hukum, karena Hanan juga berhak atas sebagian dari harta orang tuanya," ucap Papa kemudian.Aku tak menjawab ucapan Papa, dan langsung mendekat ke arah Mas Hanan yang masih berdiri mematung di tempatn
Entah bagaimana, ucapan yang begitu kejam itu akhirnya keluar dari mulut wanita yang selama ini begitu disayangi dan dihormati Mas Hanan. Bagaimana cara Mas Hanan memperlakukan ibunya, pasti jauh melebih apa yang sudah Mas Hanan lakukan untukku.Dua puluh tahun ... bukan waktu yang sebentar bagi Mas Hanan untuk berbakti. Begitu banyak pengorbanan yang ia lakukan untuk sang ibu, sepenuh hati telah dia lakukan.Kini ... hati yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan itu pasti telah hancur berkeping-keping, ketika akhirnya mengetahui hal yang sebenarnya."Ibuk ... tidak serius dengan ucapan Ibuk, kan?" Mas Hanan masih berusaha menyangkal, meskipun aku tahu kini jiwanya sudah remuk sebagian."Iya, itu semua benar!" sahut Ibu. "Kamu adalah anak yang ditemukan oleh Bapakmu. Jadi sebaiknya kamu tahu diri, dan jangan berharap lagi! Kamu bukan keluarga kami!""Tapi Bapak selama ini tidak pernah mengatakan apapun, Buk.""Karena Bapakmu yang begitu bodoh, ingin menyamakan antara anak pungut
"Mas berangkat kerja dulu ya, Dek," ucap Mas Hanan pagi itu.Wajah Mas Hanan sepertinya sudah benar-benar kembali ceria dan bersemangat setelah semalaman kami membicarakan banyak sekali rencana."Hati-hati di jalan ya, Mas," ucapku sambil meraih tangannya, lalu menciumnya."Iya, Adek juga baik-baik di rumah," jawab Mas Hanan sambil mengelus kepalaku."Oh iya, bawa ini, Mas," ucapku lagi sambil mengulurkan rantang kecil pada Mas Hanan.Mata Mas Hanan seketika membola, lalu menatapku."Adek masak hari ini?" tanyanya dengan wajah tak percaya.Aku meringis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sengaja hari ini aku bangun lebih dulu dari Mas Hanan, lalu membuatkan telur orak-arik untuknya. Hanya itu masakan yang aku bisa, meskipun harus berjuang menyalakan api dalam tungku."Cuma telur kok, Mas," jawabku malu."Masyaa Allah, terima kasih, Dek. Mas pasti akan habiskan," ucap Mas Hanan sembari mencium keningku.Aku semakin tersipu melihat wajah Mas Hanan yang berbinar, meskipun hanya d
Pak Firman melongo melihat uang tunai dalam koper yang Mama tunjukkan, begitu juga dengan ibu dan Bang Ferry."Bagaimana, Pak? Jika setuju, silakan tanda tangan di sini, dan sisanya biar notaris saya yang akan urus besok," ucap Mama lagi."T-tentu saja saya setuju, Nyonya," ucap Pak Firman cepat seraya mengambil surat perjanjian jual beli.Pak Firman cepat-cepat menanda tangani surat itu, lalu menyerahkannya pada Mama. Tiba-tiba saja Bu Fatmah menggebrak meja, membuat kami kaget."Tunggu dulu! Bukankah ini penipuan namanya?" ucapnya dengan wajah merah padam."Loh, penipuan bagaimana, Bu?" Pak Firman menatap ke arah Ibu. "Kita kan sudah melakukan jual beli sesuai akad.""Kalian berdua pasti sudah bekerja sama, dan sengaja mempermalukan saya!" ucap Ibu lagi. "Karena itulah Bapak sengaja menunda pelunasan, agar bisa menjebak saya seperti sekarang ini!""Itu benar sekali," sahut Bang Ferry. "Tidak mungkin secara kebetulan kita berada di sini secara bersamaan, kalau kalian tidak bersekongk
Pagi-pagi sekali aku sudah menyiapkan sarapan dan bekal untuk Mas Hanan. Jika sebelumnya aku cuma bisa memasak telur orak-arik, kali ini aku sudah bisa memasak telur dan ayam balado, meskipun hanya dengan bumbu instan."Wah, masakan Adek makin hari makin sedap," puji Mas Hanan sebelum berangkat kerja, membuat hati ini berbunga-bunga."Benarkah, Mas?" Mataku membola dan langsung menyendok bumbu telur lalu mencicipinya."Ya Allah, asin!" ucapku sambil melepehnya dari mulut, lalu kemudian menatapnya seraya cemberut. "Mas Hanan bohong. Ini asin sekali.""Itu karena Adek makannya gak pakai nasi," jawab Mas Hanan seraya tersenyum. "Mas berangkat kerja dulu, ya?""Bekalnya gak usah dibawa, Mas. Asin," ucapku lagi."Ini enak, Dek. Mas pasti akan habiskan." Mas Hanan masih kekeh membawa bekalnya, lalu mencium keningku sambil berpamitan.Aku menarik napas panjang. Aku tahu masih belum pandai masak, tapi Mas Hanan begitu menghargai masakanku, dan selalu bilang enak. Sepertinya aku harus berusaha
Mata Mas Hanan membola sesaat, lalu menghela napas."Tidak mungkin lah, Dek. Bapak saja tidak pernah mengatakan apapun," ucapnya kemudian."Mungkin karena Bapak terlalu menyayangi Mas Hanan, makanya Bapak tidak mau kehilangan Mas Hanan," ucapku lagi.Mas Hanan seketika terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Tapi sesaat kemudian dia menatap ke arahku sembari tersenyum."Sudahlah, lupakan saja, Dek. Yuk, kita masuk. Mas akan menggambar ulang semua desain ini," ucapnya kemudian sambil membereskan kembali lemari yang tadi dia bongkar."Mas! Apa Mas Hanan tidak ingin tahu siapa orang tua Mas Hanan yang sesungguhnya?" tanyaku dengan hati yang agak kesal karena Mas Hanan mengalihkan pembicaraan.Mas Hanan menghentikan pekerjaannya, lalu terdiam lagi untuk beberapa lama, namun bibirnya tampak bergetar."Untuk apa mencari tahu tentang orang yang sudah membuang anaknya ke tempat sampah, Dek?"Aku tersentak mendengar ucapan Mas Hanan. Astaghfirullah, apakah ucapanku tadi tanpa sengaja membuka kemb