Kami sekeluarga sampai di rumah hampir mendekati waktu sholat maghrib. Ibu pun menelpon Bapak untuk memberi tahu kalau akan menginap di sini. Aku sudah menawarkan akan mengantar Ibu pulang, tapi wanita berhidung bangir itu menolak. Katanya masih rindu dengan cucu dan anak menantunya.
Alhamdulillah. Ibuku bukan tipikal mertua yang julid pada menantunya. Jadi aman saja bila mereka bertemu.
Aku langsung tidur setelah menunaikan ibadah sholat isya. Aku tidak perlu membantu istriku mengasuh ketiga anak kami sebelum tidur, karena ada Ibu yang juga pengertian.
Rasanya baru sebentar terlelap, harum masakan menguar menusuk indra penciuman. Aku yang masih malas bangun langsung mengerjap dan perlahan membuka mata.
Aku menatap jam dinding yang terpasang di tembok, tepat menghadapku saat bangun. Masih pukul 4.30. Apa sekarang bulan puasa? Atau Ibu dan Nurul mau puasa senin? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Segera aku bangkit dengan perlahan dari ranjang agar tidak sampai membangunkan si bungsu. Wandi masih terlelap di atas matras jumbo yang diletakkan di dekat ranjang. Anak yang kata Ibu mirip kelakuannya denganku sewaktu kecil itu memang masih tidur dalam satu kamar dengan kami, tapi dia harus bebas di atas matrasnya sendirian. Tingginya matras yang tak seberapa bisa mengantisipasi cedera yang agar tidak terlalu serius jika dia sampai terguling. Sementara si kakak sudah tidur terpisah di kamar yang berbeda dan tadi malam ditemani neneknya.
Aku menyeret langkah ke dapur dan mendapati dua wanita itu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Harum banget masakannya, Dek. Kok tumben masak cepat?" tanyaku sambil mengaduk gulai ayam kampung. Entah kapan semuanya dimasak dan tahu-tahu sudah bisa disantap.
"Kamu kan, tidur cepat. Mana tahu lagi apa yang terjadi. Ini semua sudah dikerjakan tadi malam, tinggal manasin saja," celetuk Ibu.
"Namanya juga capek, Bu," balasku.
"Ya sudah, kamu siap-siap sana. Sebentar lagi shubuh. Ibu juga mau menelpon bapakmu agar bangun," tutur Ibu, menepuk bahuku dengan pelan.
Aku mengangguk dan langsung mandi, lantas berangkat ke mesjid menunaikan kewajiban pada Sang Pemberi rezeki.
=====
Semenjak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk meringankan pekerjaan istriku, aku dan Nurul jadi punya banyak waktu untuk menyaksikan tumbuh kembang anak kami yang tidak bisa diulang lagi.
Wajah Nurul semakin glowing semenjak aku buat anggaran khusus baginya untuk perawatan di salon. Tak lupa kosmetik yang aman dan halal untuk ia gunakan sehari-hari.
Tubuh Nurul juga semakin ideal karena sesekali dia ikut senam bersama istri temanku. Sengaja kubilang kalau ingin membantu mempromosikan usaha istri temanku agar dia tak menolak.
Alhamdulillah, wanitaku setuju jika diatas namakan mau membantu.
Kupandangi Nurul dengan tatapan penuh cinta. Dia semakin percaya diri di depan cermin dan menanyakan penampilannya padaku.
"Kalau Abang katakan kamu tetap cantik meskipun kurus dan tidak terawat, pasti Adek kira Abang gak mau modalin. Bagi Abang, kamu wanita tercantik sejak dahulu sampai sekarang," pujiku tanpa mengedipkan mata. Sengaja agar istriku salah tingkah.
Nurul mengulum senyum dan duduk di sampingku. Aroma parfum yang lembut membuatku betah berlama-lama menghirupnya.
Tiada lagi aroma bawang atau minyak telon yang berlebihan untuk mengobati pegal-pegal di sekujur tubuhnya.
"Bang," bisiknya dengan manja.
"Apa, Dek?" tanyaku dengan perasaan berdebar.
"Aku malu mengatakannya," ujar Nurul dengan senyum terkulum.
Duh, ingin kucubit pipinya yang menggemaskan. Sudah sepuluh tahun berumah tangga masih saja malu mau bilang keinginan hatinya.
"Katakan saja, Dek. Abang akan langsung mengabulkannya," tuturku, mengusap rambutnya yang belum kering sempurna.
"Aku mau minta uang," balasnya sambil menunduk.
Hah? Kirain mau minta yang lain? Sekarang bukan hatiku yang berdebar-debar, tapi kantongku.
Harusnya tadi aku gak usah maksa dia jujur, kalau tahu akhirnya begini.
"Jangan boros-boros ya, Dek," ujarku sambil menyerahkan ATM.
"Sekarang perhitungan, ya," sindirnya.
Aku menggeleng keras. Ternyata banyak juga modal membuat istri tetap cantik dan segar.
Bukan aku tak ikhlas memberikan uang berlebih untuk istriku, aku hanya cemas jika dia lepas kendali. Apalagi anak-anak sudah akrab dengan asisten rumah tangga kami.
Jangan sampai keluarga kami yang sering membuat orang iri harus berantakan.
'Ya Robb, jauhkanlah badai rumah tangga dari keluarga kami.'
=====
Hari ini aku dapat bonus besar dari Bos karena proyek kami berjalan lancar. Uang yang kuberikan kemaren untuk istriku langsung terganti dengan bonus berlipat ganda. Syukur itu memang besar pengaruhnya. Ini salah satu contohnya.
Rencananya, aku akan membawa Nurul dan anak-anak makan di tempat kesukaan mereka. Kafe lesehan berbentuk dangau yang terletak di tengah persawahan. Kebetulan padi lagi menguning dan akan terlihat indah menikmati sore di sana.
Sesampainya di halaman, aku keluar dari mobil dengan kening berkerut. Rumah kami terlihat sepi dengan jendela tertutup rapat. Nurul tidak menelponku sejak pagi. Apakah mereka pergi ke luar? Tapi, tak biasanya Nurul pergi sebelum minta ijin padaku.
Aku begegas membuka pintu dengan kunci cadangan yang ada padaku. Kuhidupkan lampu ruang tamu dan duduk di sofa, berniat mau menghubungi nomor Nurul.
Belum sempat kutekan tombol call, suara anak-anak terdengar dari luar.
"Assalamualaikum. A-bang udah pulang?"
"Walaikum salam," balasku singkat. Enggan membalas pertanyaan Nurul. Aku butuh penjelasan terlebih dahulu. Kenapa dia terlihat cemas dan gugup saat melihatku pulang lebih awal?
Olin, gadis yang bekerja di rumahku langsung mengajak anak-anak ke kamar Pita yang luas. Tinggal aku dan Nurul saling diam di ruang tamu.
"Dari mana kalian, Dek?" tanyaku dengan perasaan berkecamuk. Berusaha agar suara ini tidak terdengar sedang kesal.
"A-aku arisan sama teman-teman, Bang," balasnya tergagap.
Aku yakin, dia sedang berbohong karena ia terus saja memilin ujung jilbabnya. Apa yang kamu sembunyikan dari suamimu ini, Dek? Sejak kapan ada rahasia di antara kita berdua?
"Di rumah siapa, Sayang?" tanyaku lagi.
Nurul membulatkan mata. Mungkin dia tak menyangka kalau aku akan bertanya lagi. Selama ini aku percaya dan tak banyak tanya padanya setiap ijin mau keluar.
"Rumah Hira, Bang," balasnya kemudian.
Aku meraih ponsel dan berniat menelpon temannya yang juga aku kenal.
"Jangan telpon, Bang! Di-dia sedang sibuk," larang Nurul. Dahiku semakin mengernyit. Rasa curiga menyusup ke dalam hati. Aku tak ingin berada di posisi ini karena aku sangat mencintainya. Tapi kenapa tingkahnya mendorongku untuk berprasangka buruk?
Ya Robb, semoga curigaku ini hanya perasaanku saja.
Yaqin menautkan jemarinya yang dingin saat berkali-kali menghapal ijab qobul sebelum pengantin wanitanya datang."Kayak baru pertama kali mau ijab qobul aja, Mas. Keringatan gitu. Santai saja dong," ledek Pandi, calon suami sang pemilik panti. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Yaqin yang ia dengar kabar pernah beristri dua. "Ini jauh lebih mendebarkan, Pan. Sebentar lagi kamu juga akan merasakan hal yang sama saat mau menikahi Isma," balas Yaqin. Pandi tersenyum dan melirik calon istrinya sekilas. Mereka ikut bahagia melihat kisah cinta yang tak biasa itu. Tak berapa lama, rombongan pengantin sudah datang. Sengaja tak menggelar acaranya di hotel agar anak-anak panti ikut menyaksikan acara bahagia itu. Pandi yang merupakan pengusaha sekaligus youtuber terkenal sudah menyiapkan tim untuk mengabadikan kisah mengharukan ini. Mengabarkan pada dunia bahwa pasangan ini layak disebut sebagai pecinta sejati. Kesalahpahaman yang sempat memisahkan, tapi kalau sudah ditakdirkan be
"Tidak usah dengarkan dia, Nurul. Jangan sampai hatimu merasa terpaksa mengiyakan keinginan anak ini. Dia pergi dan meninggalkan luka untuk kita semua. Sekarang Bapak adalah orang tuamu, jadi turuti perkataan Bapak," tegas pria yang memiliki andil menghadirkan aku ke dunia ini. Matanya berkaca-kaca, tapi tetap menampilkan ketegasan di hadapan semua orang. Bapak, orang yang sangat membelamu sejak dulu. Sekarang beliau begitu marah kepadaku. "Kamu memang gak punya malu, ya, Qin. Baru pertama berjumpa setelah sekian tahun, kamu berani mengajaknya dalam kesusahan. Bikin malu saja. Orang mengajak bahagia saja, masih ada susahnya juga. Apalagi niatnya mau menyusahkan Nurul."Ibu pun ikutan bicara. Nurul masih saja bungkam. Jika memang dia menolakku, aku sudah siap. Aku hanya mengekspresikan rasa yang ada dalam hati ini. Aku butuh dia. Dia, wanita sempurna di hatiku dan selamanya akan begitu."Aku ingin tanya satu hal, boleh?" tanya Nurul. Aku mengangguk pasti. Mendengar suaranya saja s
"Iya, kami udah sampai, Nad, tapi belum ketemu sama orangnya," jelasku pada Nadia melaui sambungan telepon. "Hati-hati, ya, Mas. Aku merindukanmu. Kamu harus pulang ke rumah sebelum maghrib. Aku mau buatkan makanan spesial untukmu," balas wanita yang akrab disapa Bunda oleh anak-anakku. "Iya, Mas juga merindukanmu," bisikku, lalu menutup telpon. Takut kalau Nurul cemburu dan justru itu bisa memperngaruhi kesehatannya. Aku mau memutar badan saat ponselku bersering lagi, ada panggilan masuk dari bosku. Aku begitu antusias saat mendengar kabar gembira dari bos. "Baik, Pak. Makasih telah mempercayakan saya untuk proyek besar ini. Bapak memang orang baik, sangat peduli dengan karyawan biasa seperti saya. Saya akan segera ke sana," ujarku, mengakhiri perbincangan melalui ponsel dengan atasan. Berita ini sangat bagus karena aku memang butuh biaya banyak. Aku punya dua istri dan tiga anak yang merupakan tanggung jawabku. Aku tidak mau kalau Nadia terlalu banyak mengeluarkan uang untuk ke
"Ibu, Bapak, Puspita, Wandi, Dimas!" panggil Nurul membuat jantungku hampir copot. Belum usai keterkejutanku bertemu dengannya, yang lainnya juga ternyata ada di sini. Entah apa yang membawa mereka ke panti asuhan ini. Tergopoh-gopoh Ibu dan Bapak menyongsong wanita yang tetap cantik itu, sementara aku panik. Entah mau bersembunyi di mana.Detak jantungku berpacu lebih cepat, was-was seperti buronan yang tertangkap polisi. Peluh membasahi pelipis dan bajuku pun dibanjiri keringat. Aku ingin menghilang dari sini, tapi tak punya daya. Aku bukan Yaqin yang dulu. Aku tidak berdaya, hanya insan lemah yang akan menyusahkan orang-orang yang kusayang. "Ada apa, Nur? Kamu bikin kaget Bapak sama Ibu saja. Kamu baik-baik saja, kan, Nak?" tanya Ibu dengan raut cemas. Beliau masih cantik meskipun sudah menua. Perhatian beliau masih sama seperti dulu saat aku memperkenalkan Nurul sebagai calon menantu.Aku melirik dengan ekor mata dan terasa berkaca-kaca saat wanita yang melahirkanku begitu khaw
Aku menyajikan minuman dan kue untuk Ibu dan Bapak yang sedang mengobrol dengan bersuka cita bersama dokter Endru dan Bu Tyas.Sejak aku resmi bercerai, Ibu dan Bapak sangat bersemangat. Mereka semakin senang saat dokter Endru mengabarkan akan datang beberapa hari lagi. Aku gelisah hingga sekarang orang yang ditunggu mantan mertuaku telah ada di depan mata.Dokter Endru sesekali melirik padaku dan mengajak bicara Dimas. Sejak pria berkemeja garis-garis itu datang, ia begitu bahagia. Mungkin karena merindukan sosok seorang ayah yang perhatian, Puspita, Dimas dan Wandi antusias saat dibawakan bermacam mainan. Aku merasa seperti disogok melalui anak-anak. Aku berhutang budi pada mereka, tapi apakah aku harus berkorban perasaan? Pernikahan tidak sekadar hubungan sebulan dua bulan, melainkan seumur hidup. Tapi jika aku menolak, banyak hati yang kecewa. Aku bimbang. "Duduk di sini, Nak. Sejak tadi kamu pura-pura sibuk saja," ujar Ibu sambil mengulum senyum. Aku tersenyum hambar dan dudu
"Kalian tidak malu menangis di sini? Orang-orang yang lewat bisa heran melihat kelakuan kalian. Pita saja tahu kalau mau menangis itu bukan di ruang terbuka. Ayo kita nangis di dalam saja," ujar Bapak, menyusut sudut mata dengan telunjuk. Sindiran halus yang mengena ke hati. Aku melonggarkan pelukan di bahu Ibu mertuaku dan mengusap mata dengan kasar. Kenapa kami malah terlena dalam kesedihan? Putriku lagi butuh penjelasan. Aku bersegera masuk dan mengetuk pintu kamar putriku. Kulihat gadis kecil sainganku itu sedang telungkup di atas ranjangnya. "Sayang, kamu kenapa menangis sih?" tanyaku sambil mengusap-usap rambutnya yang lurus sebahu. Gadis berwajah manis itu duduk dan menghadapku. Dengan jempol kanannya, ia mengusap pipiku. "Ibu sama Nenek menangis gara-gara Pita, ya, Ma. Maafkan Pita telah nakal," ujarnya sambil mencium tanganku. Ah, putri solehaku. "Ibu yang harusnya minta maaf karena tidak bisa bahagiain Pita," balasku. "Enggak, Bu. Pita janji tidak akan marah-marah l