"Neneeek! Kapan Nenek datang? Pita rindu banget sama Nenek," ujar putri sulungku sekaligus yang tercantik di antara dua adiknya. Ia langsung menghambur ke pelukan sang Nenek yang juga berbinar bahagia.
"Masya Allah, cucu Nenek udah besar rupanya. Nenek baru saja datang karena rindu sama kalian. Perasaan minggu kemaren kamu belum segini deh, Ta. Kayak nambah beratnya sebutir jagung," balas Ibu melebih-lebihkan.
Aku mengulum senyum. Sebutir jagung? Mana terasa kalau nambah. Memang ada saja ya ucapan Ibu yang bisa membuat cucunya tersenyum bangga. Pita langsung bercerita kalau dia lahap makan tanpa disuruh dan juga sudah bisa jaga adeknya.
"Sana ganti baju, Bang. Biar aku yang gendong Dimas," bisik istriku.
Oh iya, sampai kelupaan. Ternyata enak juga pakai daster yang memiliki banyak ventilasi. Ketiak jadi adem dan kaki pun lebih bebas bergerak.
Kuserahkan anak bungsu kami kepada mamanya. Terlihat Dimas kebingungan, mungkin susah membedakan mana mamanya yang asli. Soalnya saat bercermin tadi di kamar, aku melihat bayanganku tak kalah jauh dengan kecantikan istriku satu-satunya.
"Maaf, ya, Bu, Nurul lagi sibuk di dapur sampai baru tahu kalau Ibu sudah datang," ujar istriku. Dia mengulurkan tangan untuk menyalami tangan ibu mertuanya yang juga cuma satu-satunya.
"Iya, gapapa, Nur. Kamu masak apa sih? Ibu belum makan nih. Sengaja biar makan masakan kamu," ujar Ibu.
"Biasa, kesukaan Ibu. Bentar lagi kita makan ya, Bu," balas istriku.
Duh, adem banget rasanya melihat dua wanita itu tertawa bersama. Semua rasa capek menghilang begitu saja.
"Nur, kalian punya pembantu sekarang?" tanya Ibu, mencolek tangan menantunya, tapi mata mengarah padaku yang masih berdiri di tempat dengan pakaian yang belum berganti.
Apa jangan-jangan ….?
"Kata Bang Yaqin mau cari asisten rumah tangga sih, Bu. Tapi belum dapat orangnya," ujar Nurul, belum menoleh padaku yang cengar-cengir.
"Lalu itu siapa? Kenapa ada wanita memakai dastermu di rumah ini, Nur? Gak boleh pakaian sendiri dikasih sama wanita lain
Kalau suamimu salah orang dan memeluknya dari belakang, bisa perang dunia kalian. Atau dia itu pencuri jemuran? Biar Ibu yang tangani orang itu," seru Ibu. Aku gemetar melihat Ibu menyingkap lengan bajunya.Rasanya pengen beli obat penumbuh kumis dan jenggot biar bisa langsung dikenali.
"Stop, Bu!" seruku, mengarahkan telapak tangan ke wajah Ibu. Kubuka kerudung dan memperlihatkan wajahku.
"Yaqin?" ujar Ibu dengan mata membeliak.
"Iya, Bu. Masa gak mengenali anak sendiri? Apa aku anak yang keluar dari batu?" rajukku.
Ibu terpingkal-pingkal sambil memukul-mukul bahuku.
"Kalau sekarang, ibu baru yakin kalau kamu memang Yaqin anak Ibu," kekehnya.
Kubantu Ibu kembali duduk di sofa karena kalau ketawa bisa sampai terduduk di lantai. Berlebihan memang, apalagi dalam rangka menertawakan anak sendiri.
"Ibu pake diapers, gak? Jangan sampai sofa bau pesing ya, Bu," bisikku.
"Bwuahahaha, cepat angkat Ibu ke kamar mandi," seru Ibu.
"Ibu bisa aja," balasku cuek.
"Cepat, Yaqin! Engsel-engsel Ibu udah kendor nih. Gak bisa ditahan lama-lama," teriaknya.
Astaga. Engsel-engsel apaan nih? Gini nih kelakuan Ibuku. Digodain malah langsung mau buang air kecil.
Terpaksa kuangkat tubuh Ibu yang juga tetap ramping menuju kamar mandi. Huh, Ibu memang kebiasaan kalau ketawa gak bisa nahan diri.
Daripada Ibu nanti menertawaiku lagi, aku bergegas membuka baju 'dinas' istriku. Bahaya kalau sampai bolak-balik ngangkat nenek-nenek ke kamar mandi.
Setelah berpakaian normal, aku duduk di dekat istriku. Ibu sepertinya mau bicara serius.
"Memang begitu seharusnya berumah tangga, Qin. Kamu harus tetap perhatikan apa yang dibutuhkan istrimu. Sudah lama Ibu pengen bilang agar kalian punya pembantu saja, tapi istrimu menolak. Katanya pengen berburu pahala sebanyak-banyaknya," ujar Ibu dengan wajahnya yang menenangkan.
Aku memandang istriku yang menunduk. Nurul memang wanita solehaku. Setiap kerjaan diniatkannya sebagai ibadah. Kugenggam erat tangannya, seolah mentrasnfer kekuatan dan memberitahukan kalau diri ini akan siap berkolaborasi dengannya.
"Semua pekerjaan rumah tangga yang kamu kerjakan bernilai pahala. Itu memang benar sih, Nur, tapi kamu juga harus perhatikan diri sendiri. Kalau kamu sakit, rumah tangga kalian bisa oleng, karena Yaqin tidak akan bisa mengerjkan semuanya. Anak kalian ada tiga loh. Ngejaga Yaqin saja dulu, Ibu kewalahan. Dia itu persis cacing kepanasan. Gak bisa diam mulutnya, badannya juga. Bahkan saat tidur pun harus dijaga agar tidak terlempar dari tempat tidur. Lebih kurangnya kayak Wandi, cucu Ibu," ujar wanita yang sangat kuhormati itu.
Astaga, apa benar sikap Wandi sekarang adalah turunan sifatku di masa kecil? Semoga saja setelah dewasa, dia jadi pria yang tidak bisa diam untuk mencari nafkah.
Hampir setengah jam kami berdua dinasehati Ibu. Kalau Pita dan Wandi gak merengek minta pergi sekarang, mungkin dua jam ke depan akan Ibu habiskan untuk memberi wejangan.
Ternyata, Nurul yang menelpon mertuanya ini untuk ikut, agar Ibu juga merasakan bahagianya berkumpul dengan keluarga dalam rangka jalan-jalan.
Kalau Bapak, memang beliau tidak suka meninggalkan rumah lama-lama karena sibuk dengan hobinya pelihara burung.
Tujuan kami hari ini bukan pusat perbelanjaan. Istriku mau mengajak anak-anak mengunjungi kebun binatang. Ibu, meskipun sudah paruh baya, tetap saja suka dengan hal beginian. Beliau tidak protes saat diajak melihat berbagai macam hewan yang bisa menambah wawasan anak-anak.
Pita dan Wandi terus saja menunjuk hewan-hewan yang ada di sana dengan gembira. Wandi terus bertanya dan kami bergantian menjawabnya.
Wisata sederhana tanpa banyak modal begini saja telah membuat kami sekeluarga bahagia. Aku memang harus lebih sering meluangkan waktu untuk menyenangkan hati mereka agar rezeki pun ikutan lancar.
Kami sekeluarga sampai di rumah hampir mendekati waktu sholat maghrib. Ibu pun menelpon Bapak untuk memberi tahu kalau akan menginap di sini. Aku sudah menawarkan akan mengantar Ibu pulang, tapi wanita berhidung bangir itu menolak. Katanya masih rindu dengan cucu dan anak menantunya.Alhamdulillah. Ibuku bukan tipikal mertua yang julid pada menantunya. Jadi aman saja bila mereka bertemu.Aku langsung tidur setelah menunaikan ibadah sholat isya. Aku tidak perlu membantu istriku mengasuh ketiga anak kami sebelum tidur, karena ada Ibu yang juga pengertian.Rasanya baru sebentar terlelap, harum masakan menguar menusuk indra penciuman. Aku yang masih malas bangun langsung mengerjap dan perlahan membuka mata.Aku menatap jam dinding yang terpasang di tembok, tepat menghadapku saat bangun. Masih pukul 4.30. Apa sekarang bulan puasa? Atau Ibu dan Nurul mau puasa senin? Aku bertanya-tanya dalam hati.Segera aku bangkit dengan perlahan dari ranjang agar tidak sampai membangunkan si bungsu. Wand
"Kenapa pulang cepat, Bang? Mau kusiaapkan minum atau makan?" tanya Nurul, istri yang selama ini sangat sempurna bagiku. "Kenapa, Dek? Apa kamu tak suka kalau suamimu pulang lebih cepat?" Aku balik bertanya. Dia tersenyum terpaksa. "Senang kok, Bang," balasnya, tapi wajahnya menyiratkan hal yang berbeda. Seperti ada hal yang dia sembunyikan. Aku beranjak dari tempat duduk, mengambil tas kerja dan masuk kamar. Aku tak bersemangat lagi mau mengajak mereka makan di luar. Mereka saja baru pulang entah dari mana. Buat apa lagi? Aku duduk di sisi ranjang, melipat tangan di depan dada. Aku ingin dia memberi penjelasan sebelum meminta. Namun harapanku tidak sesuai kenyataan, ibu dari anak-anakku itu melengos ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dia berganti baju dan meninggalkanku sendirian di kamar. Kenapa istriku berubah? Bukankah sudah kuberikan segalanya untuk wanitaku itu? Apa lagi yang kurang? Hayiku terus bertanya-tanya.Kujatuhkan bobot di atas ranjang, memejamkan mata, namun piki
Hari ini, tugas kantor begitu banyak. Aku sengaja mematikan ponsel agar tidak ada yang mengganggu. Tentunya setelah meminta izin terlebih dahulu pada istriku. Dengan nada terpaksa ia mengiyakan, meskipun tadi pagi ku sudah berjanji akan pulang makan siang.Istriku yang pengertian tidak protes. Ia memberiku kata-kata semangat yang memang ampuh membuat otak dan tangan lebih bisa diajak kerja sama. Aku harus cepat menyelesaikannya agar bisa pulang lebih awal.Saat masih sibuk memeriksa berkas penting, sseorang mengetuk pintu."Masuk!" titahku."Maaf, Pak. Barusan ada telpon dari pembantu Bapak kalau Bu Nurul jatuh di kamar mandi," ujarnya hati-hati, tapi sukses membuatku jantungan.Nurulku jatuh? Bagaimanna keadaannya? Pasti anak-anak sedang menangis sekarang dan Olin juga panik."Apakah masih di rumah atau sudah ke rumah sakit?" tanyaku, langsung berdiri."Katanya masih di rumah, Pak," balasnya.Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku langsung mengambil kunci mobil dan tergesa-gesa untuk pu
"Ibu, kumohon jangan mengungkit hal seperti ini dulu! Yaqin tidak mau menghadirkan wanita lain dalam pernikahan kami. Rasa cintaku tidak pernah berubah padanya. Meskipun Nurul cuma duduk begini, aku sudah senang. Dia hanya lumpuh, Bu, bukan hilang ingatan. Hatinya masih mencintaiku," ujarku, lantas mengusap pipinya yang sudah mengalir cairan hangat. Aku mencium pipi yang dulu mulus dan menggemaskan itu. Rasa cintaku tetap sama padanya meskipun cantik dalam penilaian manusia sudah tak pantas disematkan padanya.Aku ikutan menangis karena bulir bening yang mengaburkan pandangan istriku telah menular pada suaminya ini. Kami satu hati dan tak akan terpisahkan, kecuali oleh maut. Ibu juga sesenggukan dan menyeka matanya dengan kain sarung yang ia kenakan. Ibu yang tidak selincah dulu memang kewalahan membantu menjaga cucu dan menantunya. Penampilan wanita yang merupakan mertua istriku itu juga ikutan tidak terawat. Aku sebenarnya tak ingin memberatkan masa tuanya dengan harus mengurus ke
Setelah aku menyetujui usul Ibu, beberapa gadis pun diperkenalkan wanita yang menyayangiku itu. Mulai dari anak tetangga yang hidupnya kurang mampu, anak teman Ibu maupun wanita yang tak sengaja ketemu di jalan. Incaran Ibu adalah gadis miskin yang penyayang, janda yang mandul maupun perawan tua. Saat ketemu denganku, mereka memang tertarik. Namun saat kukenalkan istriku dan tiga anak kami, tak satupun yang mau. Mereka menuduhku mau memanfaatkan mereka. Memang tuduhan itu tidak sepenuhnya salah. Tidak baik seorang pengasuh tinggal di sini kalau istriku tidak sehat. Takut menjadi fitnah. Makanya aku harus menikah agar istri baru dan juga perawat anakku bisa tinggal seatap dengan kami. Rumit memang. apalagi aku tidak siap beristri dua. Tapi tiada pilihan lain. Aku sedang duduk di rumah makan dekat kantor dengan hati yang gundah. Tak pernah lagi aku makan bekal yang dimasak istriku. Semua makanan warung ini tak begitu cocok dengan lidah. Tapi tiada pilihan lain. Aku tidak mau merep
Sejak percakapan dengan Ibu sore itu, aku tetap bekerja seperti biasa. Tak pernah terbersit di pikiran tentang wanita bernama Nadia itu. Hingga suatu hari, saat libur, Ibu mengajakku bicara serius. "Qin, sesuai janji kamu hari itu, kamu harus bersedia menikah dengan Nadia. Ibu sudah melamarnya untukmu," ujar wanita paruh baya itu. Aku tersentak. Masih kurang percaya dengan apa yang kudengar. Dia seorag guru dan juga kepala PAUD, bersedia menjadi istri kedua dengan syarat harus mau mengurus tiga anak? Rasanya mustahil. "Ibu gak salah ucap, kan?" tanyaku."Ya enggak lah, Nak. Dia itu sangat penyayang sama anak-anak. Dia sering loh main ke sini, sepulang sekolah, tapi kamu masih kerja," jelas Ibu. Aku curiga kalau Ibu menceritakan hal-hal yang manis saja. Aku tidak mau kalau gadis itu merasa dimanfaatkan dan akhirnya menyesal. Aku tidak akan tahan kalau dia bersikap manja dan merengek mencari perhatianku, sementara hatiku tidak mencintainya. "Kalau begitu, aku ingin bertemu dengann
Hari ini aku pulang lebih cepat dari kantor dan sengaja mengajak Nurul duduk di ruang tamu untuk menunggu anak-anak kami kembali dari sekolah. Sekolah untuk anak pra sekolah dan merangkap tempat penitipan anak milik Nadia memang tutup jam 4.00. Beberapa wanita karir menitipkan anak mereka di sana dan akan menjemput sepulang kerja. Mereka lebih percaya menitipkan anak di lembaga resmi daripada sama pengasuh sendirian di rumah. Nadia juga memiliki kamar yang luas di sana, lengkap dengan fasilitas dapur juga sehingga anak-anak tidak bosan dan tetap bisa tidur sambil menunggui Nadia siap bertugas bersama tenaga pendidiknya yang berjumlah 10 orang. Soal makan pun, mereka bergantian memasak menu untuk para anak yang dititipkan. Jiwa penyayangnya pada anak-anak tidak pilih kasih sehingga tak pernah kudengar Pita atau Wandi mengeluhkan ibu tiri mereka.Mobil antar jemput milik yayasan Nadia berhenti di halaman dan mereka keluar dengan wajah ceria. Pintu yang terbuka lebar membuatku leluasa
Aku menghidupkan lampu, celingukan mencari keberadaan Nadia. Gak mungkin juga dia terjatuh dari ranjang besar ini. "Nad? Kamu di dalam?" tanyaku saat mendengar suara kran air di kamar mandi tamu. Tidak ada sahutan. Mungkin suara air membuat ucapanku tidak terdengar olehnya.Gegas aku bersiap mandi di kamar mandi yang terletak di kamar utama yang biasa kutempati dengan Nurul. Kulihat wajah teduh itu masih terlelap. Kuperbaiki selimutnya yang sedikit melorot dan mencium keningnya. Selesai mandi junub, aku bersiap menunaikan ibadah sholat shubuh dimesjid yang letak ya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya menangis di atas sajadah yang membuat hati lebih lega. Mengadukan semua ketentuan Allah yang menyesakkan dada. Makhluk lemah ini hanya bisa menjalani apa yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Aku tak peduli apakah orang menilaiku pria yang lemah karen itu memang benar adanya. Butiran hangat menggenangi netra diiringi lantunn kalam Allah. Kusempatkan membaca surah pendek sebelum menin