Share

Bab 4

Penulis: Mutiara Sukma
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-03 12:27:50

DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 4

(Judul di KBM app : Istri Tanpa Nafkah Bathin)

"Boleh lihat sapu tangannya, Mas?"

Mas Hendra tampak salah tingkah. Lalu dengan cepat memasukan kembali sapu tangan itu ke saku celananya.

"Kotor, Sayang. Hayuk, makan lagi." dia sengaja mengalihkan perhatian.

"Kamu dapat dari mana sapu tangan itu, Mas?" selidikku lagi.

"Mas beli, buat ngelap keringat kalau tak ada tissu." kilahnya lalu kembali menyuap makanan didepannya.

Aku menghela nafas panjang, aku ingat betul sapu tangan itu milik Rasti. Dia tak bisa lepas dari kain bersegi empat itu. Apalagi ada sablon merah berukir gambar hati yang sama dengan sapu tangan Mas Hendra.

Sejak apa yang dikatakan Rasti agar aku lebih memperhatikan gerak-gerik Mas Hendra, dan mencari tahu jika ada hal yang disembunyikan olehnya, perasaan curiga mulai mendominasi. Ada rasa khawatir, jika Mas Hendra kaum belok yang mempunyai orientasi s*ksual ke sesama jenis. Tapi, melihat sapu tangan yang dia pakai hari ini rasa curigaku kembali terarah ke yang lain. Sepertinya dia punya hubungan dengan mantan rekan kerjanya itu. Darahku rasanya terpompa dengan cepat. Aku merasa wanita paling bodoh yang telah salah memberikan kesetiaan pada lelaki yang tak tau diri ini.

"Dek!"

"Hmm... ya, Mas!" aku tersentak.

"Kok melamun?" 

"Enggak, kok!" jawabku asal. Aku kembali menghirup napas dalam-dalam, emosi ini tak boleh mengacaukan rencana.

"Soal semalam aku minta maaf." lanjutku ragu-ragu.

"Tak apa-apa, Mas yang seharusnya minta maaf sama kamu. Mas yang salah. Semoga kamu mau bersabar ya, Dek."

Aku mengangguk.

"Tadi siapa, Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Yang mana?"

"Yang tadi datang bersamamu." 

Mas Hendra menghentikan suapannya.

"Oh, Ata. Dia teman Mas, karyawan baru disini. Athaya, namanya." jawabnya santai.

"Apa dia sudah menikah?" tanyaku lagi. Wajah Mas Hendra berubah. Astaga, aku baru sadar semalam aku menuduhnya seorang g*y.

"Maaf, kalau kamu ga suka dengan pertanyaanku, aku tak bermaksud apa-apa." kataku, kemudian menunduk sungkan.

"Tak apa-apa, Mas ngerti arah pembicaraanmu. Ata sudah menikah dan punya anak." 

"Syukurlah." lirihku. Setidaknya aku tak jijik sekiranya mereka adalah pasangan kekasih.

"Apa kita periksa ke dokter, Mas? aku khawatir kamu punya masalah kesehatan." setelah sekian lama menjadi istrinya, baru kali ini aku berani mengatakan hal ini. 

"Kamu tak perlu risau, Mas akan atasi masalah kita." suaranya terdengar berat. Sebenarnya ada masalah apa? apa yang disembunyikan oleh Mas Hendra. Setahun menikah, rasanya dia masih menjadi orang lain bagiku. Pernikahan ini hanya sebatas status, hidup dalam satu atap namun hati berjauhan. Meski Mas Hendra telah mencoba mendatangiku, mencoba mesra, tapi nyata ada sebuah penyekat yang menghalanginya untuk menjadi suamiku seutuhnya.

****

Aku kembali ke rumah dengan hati yang dipenuhi tanda tanya. Sapu tangan? laki-laki bernama Athaya, tapi setidaknya teman Mas Hendra itu punya istri. Tak mungkin kan, dia menjadi kaum belok. Apalagi sudah punya anak. Walau tidak menutup kemungkinan.

Penat rasanya, aku melangkah ke kamar. Mencari kunci kamar sebelah yang selalu disembunyikan oleh Mas Hendra. Sudah ke semua sudut, bahkan aku memeriksa pakaian kotor yang tadi pagi teronggok dibelakang. Barangkali kunci itu terselip di sana, tapi nihil.

Kembali ke ruang tengah menghempas bobot tubuh di sofa. Apa yang harus aku lakukan. Semua jawaban ada di kamar itu. Aku yakin ada sesuatu yang di sembunyikan Mas Hendra dariku.

Tiba-tiba ponselku berbunyi.

[Mel, gimana Hendra?] pesan dari Rasti.

Keningku berkerut. Apa maksudnya nanyain Mas Hendra? 

[Gimana apanya?]

[Itu, kamu pasti paham maksudku. Kalian sudah malam pertama kan?]

Moodku mendadak buruk. Jika biasanya aku akan mencurahkan isi hatiku pada Rasti, tapi kali ini aku merasa telah salah menceritakan masalah rumah tanggaku pada mantan rekan kerja Mas Hendra itu.

[Mel ... kok ga dibalas? aku ke sana yaa ...]

Ya Allah, aku belum sanggup bertemu Rasti ketika rasa curiga ini mengarah padanya.

[Eh, Ras. Aku mau kerumah Ayah. Lain kali aja kita ketemuannya, Oke!]

Balasku cepat, tentu saja dengan mengabaikan pertanyaan yang sebelumnya.

[Oh gitu? Hendra ikut?]

Lagi, pertanyaan perempuan ini membuat rasa di hatiku kian memburuk. Jika tak ingat kebaikannya selama ini, tentu sudah aku balas dengan umpatan dan cacian.

[Belum tau!]

Balasku singkat. Lalu mematikan data seluler dan menaruh ponsel di atas meja. Mengusap wajah lalu melepaskan jarum dileher yang menyematkan kerudungku. Gerah! ga hanya cuaca tapi juga hatiku.

Perkenalan dengan Rasti saat hari pernikahanku dengan Mas Hendra mengantarkan hubungan kami kian dekat. Rasti sering main kerumah di hari libur. Saat itu dia belum menikah dengan Yogi, lelaki yang sekarang menjadi suaminya.

Kedekatan Mas Hendra dan Rasti masih kurasa hanya sebatas teman. Tak ada curiga sama sekali, bahkan saat Mas Hendra sakit beberapa bulan lalu, Rasti ke rumah mengantarkan bubur ayam langganan Mas Hendra padahal jarak rumahnya dengan pedagang bubur itu lumayan jauh. Ya Allah, bodohnya aku. Kenapa sama sekali tak terpikirkan jika Rasti punya hati buat suamiku.

Aku kembali meraih ponsel.

[Mas, nanti kita kerumah Ayah, ya. Aku rindu sama Ayah.] ketikku. Kepalaku terasa mau meledak jika terus dirumah ini.

[Tumben, dadakan?]

[Iya gapapa, lagian besok Mas kan libur.] 

[Oke.]

Lega, Mas Hendra tak keberatan mengantarkan aku kerumah Ayah. Hanya disana aku bisa menenangkan pikiran yang sedang runyam ini.

Sepulang kerja setelah istirahat sebentar, kami langsung berangkat. Jarak Jakarta Bogor tak begitu jauh, tapi jalanan yang biasanya macet akan menghambat perjalanan kami. 

Di dalam mobil kami sama-sama hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tak terasa setelah beberapa saat kami sampai dirumah Ayah. Wajah Ayah tampak kaget saat melihat kedatangan kami. Jam segini Ayah memang terbiasa duduk diruang tengah sambil membaca buku. Mendengar suara mobil Ayah pasti langsung membuka pintu, siapa lagi yang datang, kalau tidak aku. Senyum merekah diantara bibirnya yang tak pernah

tersentuh tembakau itu

"Assalamualaikum, Ayah." aku meraih tangan Ayah dan mencium takzim. Begitu juga dengan Mas Hendra.

"Wa'alaykumussalam ... tumben kesini ga ngabari Ayah?" katanya sambil mengajak kami masuk.

"Kangen, Ayah." sahutku.

"Kirain sudah lupa sama Ayah." ledeknya lalu terkekeh.

"Ayah cinta pertama Melody, gimana mau lupa." jawabku sambil merebahkan kepala dilengannya. Aku mengusap kepalaku sejenak.

Seperti biasa aku langsung ke belakang membuatkan teh hangat buat Mas Hendra. Lelaki itu kini asik ngobrol dengan Ayah.

"Gimana kabar Papamu, Nak?" tanya Ayah.

"Alhamdulillah baik, Yah." 

"Lihat kamu, Ayah jadi ingat Papamu, Nak. Kebaikannya belum bisa Ayah balas. Ayah malu rasanya udah setua ini masih saja gagal." 

"Jangan gitu, Yah. Biar Allah saja yang membalas kebaikan Papa. Ayah cukup mendo'akannya saja. Papa selalu bilang, jika Papa ikhlas membantu Ayah. Ayah tak perlu menganggapnya sebagai hutang."

Tiga cangkir teh aku simpan di atas meja, kemudian ikut duduk disamping Mas Hendra.

"Menurut Hendra, Ayah itu seorang laki-laki yang sukses. Sukses mendidik Melody menjadi seorang istri yang berbakti pada suami." Mas Hendra meraih tanganku lalu mengenggamnya erat. Hatiku menghangat walau sejatinya dia sedang sekarat.

"Dan lihat pesantren yang Ayah kelola juga berkembang pesat."sambungnya.

"Semua juga lewat bantuan Ayahmu, Hend."

Ayah tersenyum lebar, Mas Hendra memang selalu pandai menaklukkan hati Ayahku.

Obrolan berlangsung hangat, hingga akhirnya Ayah menyuruh kami untuk istirahat karena sudah larut malam.

Mas Hendra langsung merebahkan diri di ranjang. Sementara aku masih didepan meja rias membersihkan wajah sambil memandang pantulan diriku dari cermin.

"Malang nian nasibmu Melody, ingin pergi tapi kakimu dirantai besi emas tak kasat mata. Bertahan, lama-lama kamu bisa gila." aku mengejek bayangan yang ada disana. 

Ting!

Kepalaku sontak melirik ke arah ponsel Mas Hendra yang menyala di atas nakas. Malam-malam begini siapa yang mengirimkan pesan. Aku beranjak dan meraih ponsel itu. Benda pipih yang tak pernah dikunci oleh Mas Hendra. Cekatan aku membuka pesan dalam aplikasi hijau itu.

[Kamu sudah sampai? Gimana perjalanannya? Selamat liburan, ya! ingat pesanku.]

Pesan dari Rasti dengan menyisipkan emoticon mengedipkan mata sebelah dibelakangnya.

Perempuan itu lagi. Apa ini yang namanya pagar makan tanaman? Sahabat menjadi penjahat?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
belum juga si dungu ini sadar. dasar dungu, rahasia kamar tidurpun dibagi sama si rasti. pernah sekolah g sih? koq cuma selangkangan aja yg ada diotakmu. persis kayak binatang, cuma mikir makan dan selangkangan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • ISTRI TANPA NAFKAH BATIN    TAMAT

    POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny

  • ISTRI TANPA NAFKAH BATIN    bab 61

    POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng

  • ISTRI TANPA NAFKAH BATIN    Bab 60

    Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng

  • ISTRI TANPA NAFKAH BATIN    Bab 59

    POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya

  • ISTRI TANPA NAFKAH BATIN    Bab 58

    "Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku

  • ISTRI TANPA NAFKAH BATIN    Bab 57

    "Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status