Share

08. Tak Mau Pulang

Elitta mengurungkan niat untuk pulang ke rumah Vito, dan memilih pergi ke rumah teman masa SMA-nya, Rena.

Hatinya terluka. Air mata tak kunjung berhenti menetes. Malam ini akan terasa panjang untuknya.

Tidak mungkin dia bisa menghadapi suaminya sendiri setelah apa yang dia dengar dari mulut Vivian. Apa benar dia hanya dimanfaatkan pria itu untuk membuat Vivian cemburu?

"Elitta? kamu kenapa ..." Rena melihat Elitta saat membuka pintu rumah.

Yang membuatnya cemas adalah betapa merah kedua mata wanita itu— sudah jelas karena terlalu banyak menangis di perjalanan.

"Apa aku boleh nginap di rumah kamu malam ini?"

"Tentu saja, ayo masuk." Rena mempersilakannya masuk. Dia sudah sering melihat Elitta menangis. Semua alasannya selalu sama, dikhianati pria yang sudah dia cintai. "Duduklah dulu, aku buatkan teh hangat."

"Nggak perlu. Aku nggak mau merepotkan kamu lagi. Kamu lanjut aja kegiatan kamu, aku cuma mau istirahat."

"Vivian lagi? Ada apa?"

Elitta menahan diri untuk tidak buang-buang air mata lagi. Dia menyembunyikan kepedihannya dengan tersenyum. "Nggak apa-apa, cuma masalah sedikit sama papa."

"Nggak usah bohong segala. Pengantin baru nggak mungkin nangis sendirian kayak gini, kamu kabur dari rumah suami kamu 'kan?"

'Enggak."

Rena memaksa wanita itu untuk duduk di sofa ruang tamu, kemudian dia duduk di sebelahnya. "Jangan bohong, sekarang cerita apa lagi yang dilakukan wanita gila itu?"

"Maaf aku selalu datang ke kamu dengan kondisi begini. Aku bukannya nggak mau menginap di tempat lain, tapi cuma kamu temanku, aku ...."

"Kok malah ngomong gitu? Aku teman kamu. Kita sudah sama-sama sejak SMA. Kamu selalu nolong aku kalau aku butuh bantuan, aku pasti nolong kamu kalau butuh bantuan. Kita teman 'kan?"

Suasan hati Elitta sedikit tenang. Bibirnya mengembangkan senyuman lega. Setidaknya, masih ada orang yang peduli dengan perasaannya.

Rena serius. Dia sudah mengetahui masalah Elitta dan Vivian yang terus menganggunya selama ini. "Jadi, cepat bilang apa yang dilakukan wanita gila itu? Jangan bilang suami yang baru kamu nikahi kemarin diambil juga?"

"Vito ternyata mantan pacar Vivian yang dulu ditinggalin. Mungkin Vito mendekati papa agar bisa menikahiku, lalu membuat cemburu Vivian."

"Apa? Masa iya Vivian ninggalin CEO Sunmart? Suami kamu itu bukannya petinggi Sunmart?"

"Iya."

"Vivian ninggalin pria kayak gini? Dia aja nikahin papa kamu demi uang, masa iya ninggalin CEO Sunmart begitu aja?"

"Aku nggak ngerti masalah mereka apa, tapi nyatanya sekarang begitu ..."

Rena paham perasaan Elitta yang hancur.

Padahal, kemarin dia melihat kebahagiaan di raut wajah temannya itu. Tetapi, kini semuanya langsung lenyap begitu saja.

Keterlaluan.

Jika benar Vito hanya menikahi Elitta untuk membuat Vivian cemburu, ini sudah sangat keterlaluan. Kenapa jaman sekarang banyak orang yang tidak punya hati?

Elitta mengenang pernikahannya kemarin yang sederhana, tak ada resepsi mewah di gedung, hanya di rumah Vito saja— tamu yang hadir pun cuma kalangan keluarga dan teman terdekat. Acara itu seperti dibuat asal-asalan, tapi dia tetap bahagia.

"Aku pikir aku sudah kebal, aku sudah sering disakiti, tapi ... aku mengira Vito itu pria baik ... kenapa semuanya selalu Vivian? Apa salahku? Semuanya selalu pergi ninggalin aku," ucapnya.

"Ini bukan salah kamu, ini salah wanita gila itu. Aku juga nggak paham kenapa dia dendam sekali sama kamu. Iri itu kan batasnya, dia iri sama kamu dari SMA. Ini bukan iri lagi, tapi nggak waras."

"Mereka tega banget."

"Elitta, sudah jangan nangis. Kamu itu wanita baik-baik, kamu jauh lebih baik daripada si murahan Vivian itu."

"Kamu benar." Elitta mengusap air mata yang menggenang di kedua matanya. Sudah berulang kali dia terluka akibat ulah orang yang sama— dia tidak mau menangis lagi.

"Kamu sekarang sudah lebih tegar."

Elitta tersenyum lemas. "Aku cuma sadar, untuk apa aku menangisi pria brengsek dan wanita murahan. Jika Vito hanya ingin manfaatin aku, berarti memang bukan jodohku— dan aku harusnya bahagia dijauhkan dengan orang semacam ini."

"Aku bukannya membela Vito, tapi kamu yakin dia nikahin kamu cuma buat menarik perhatian Vivian? Meskipun aku cuma lihat dia sekali di nikahan kalian, dia kayaknya bukan tipe orang yang suka wanita murahan."

Elitta juga tidak yakin. "Aku nggak tahu tujuan Vito nikahin aku, cuma dia nggak bantah waktu Vivian bilang mereka pernah pacaran— berarti benar 'kan?"

"Kamu nggak coba ngomong baik-baik sama dia?"

"Nggak. Aku nggak kuat ngeliat wajahnya dan wajah Vivian. Harga diriku seperti diinjak di sana."

"Tapi Vito itu CEO Sunmart, nggak mungkin sembarangan jatuh cinta pada wanita, apalagi modelan kayak Vivian."

"Terus kenapa dia mendadak ingin menikahiku? Bukannya aku juga sembarang wanita? Kami sebelumnya nggak kenal. Papa ternyata cuma ngejual aku ke dia."

"Ngejual? Ngejual gimana? Bukannya kamu bilang Vito itu anaknya teman papa kamu? ini perjodohan keluarga 'kan?"

"Itu cuma bohongan, aku juga baru tahu. Papa kalah taruhan sama Vito, terus nyerahin aku sebagai ganti uang taruhan. Secara teknis aku dijual."

"Hah? Taruhan?"

Elitta tertunduk lesu.

Rena terlihat geram ingin mengamuk. "Aku tahu papa kamu emang agak-agak ngeselin tapi yang benar aja nikahin kamu ke cowok random? Cuma kalah taruhan?"

"Iya."

"Mereka anggap pernikahan itu apa? Main-main?"

Elitta semakin tertunduk lesu. Dia juga tidak mengira sang ayah akan berbuat sejauh ini. Apakah dia sangat dibenci?

Rena sangat emosi. "Pasti suruhan Vivian. Pernikahanmu sama Leon batal, jadi kamu dinikahkan dengan sembarang orang agar cepet-cepet keluar rumah."

Elitta tidak menjawab.

Tanpa mendengar jawaban, Rena bisa menebak kalau ucapannya memang benar. Dia menghela napas panjang guna menenangkan emosi dalam dirinya.

Benar-benar keterlaluan.

Dia berkata, "kamu mengagumkan bisa tahan begini, Elitta. Kalau aja aku yang jadi anak papa kamu, aku racun papa kamu sama istri mudanya yang banyak bacot itu. Mereka mati— selesai urusan."

"Aku emang kecewa sama papa, sekarang dia juga udah dipengaruhi Vivian. Tapi aku bukan anak kandungnya, aku ngerasa nggak punya hak marah."

"Elitta, mau anak kandung atau enggak, kamu tetap anaknya. Kamu selalu menyayangi papamu, ini nggak adil loh. Kamu bisa ngelaporin papa kamu ke polisi, bilang aja kamu dijual."

"Nggak."

"Terus gimana dengan Vito? Kamu udah nikah sama dia."

"Aku nggak tahu. Aku takut ..."

Iya, Elitta takut kalau ucapan Vivian benar, padahal dia sudah jatuh cinta pada Vito.

***

Vito pulang ke rumah.

Rumahnya adalah bangunan tiga lantai yang cukup megah. Rumah baru itu dibeli untuk memulai hidup baru dengan Elitta.

Ada lima asisten rumah tangga yang bekerja di dalam, termasuk kepala pelayan.

Kepala pelayan, seorang pria paruh baya berseragam serba hitam, membukakan pintu untuknya. Pak Tino namanya. Dia sudah bekerja untuk keluarga Vito sejak masih usia belasan tahun.

"Tuan, selamat datang," sambutnya.

"Mana istri saya, Pak?"

"Maaf, Tuan, tapi Nyonya belum pulang."

Vito terdiam sejenak. Dia sengaja menjauh dari taksi tadi agar Elitta tak merasa diikuti. Namun, sekarang dia menyesal, harusnya tadi dia mengikut di belakang.

Dia putar balik, lalu kembali ke mobilnya. Malam ini, dia juga takkan pulang sebelum membawa sang istri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status