Elitta mengurungkan niat untuk pulang ke rumah Vito, dan memilih pergi ke rumah teman masa SMA-nya, Rena.
Hatinya terluka. Air mata tak kunjung berhenti menetes. Malam ini akan terasa panjang untuknya.Tidak mungkin dia bisa menghadapi suaminya sendiri setelah apa yang dia dengar dari mulut Vivian. Apa benar dia hanya dimanfaatkan pria itu untuk membuat Vivian cemburu?"Elitta? kamu kenapa ..." Rena melihat Elitta saat membuka pintu rumah.Yang membuatnya cemas adalah betapa merah kedua mata wanita itu— sudah jelas karena terlalu banyak menangis di perjalanan."Apa aku boleh nginap di rumah kamu malam ini?""Tentu saja, ayo masuk." Rena mempersilakannya masuk. Dia sudah sering melihat Elitta menangis. Semua alasannya selalu sama, dikhianati pria yang sudah dia cintai. "Duduklah dulu, aku buatkan teh hangat.""Nggak perlu. Aku nggak mau merepotkan kamu lagi. Kamu lanjut aja kegiatan kamu, aku cuma mau istirahat.""Vivian lagi? Ada apa?"Elitta menahan diri untuk tidak buang-buang air mata lagi. Dia menyembunyikan kepedihannya dengan tersenyum. "Nggak apa-apa, cuma masalah sedikit sama papa.""Nggak usah bohong segala. Pengantin baru nggak mungkin nangis sendirian kayak gini, kamu kabur dari rumah suami kamu 'kan?"'Enggak."Rena memaksa wanita itu untuk duduk di sofa ruang tamu, kemudian dia duduk di sebelahnya. "Jangan bohong, sekarang cerita apa lagi yang dilakukan wanita gila itu?""Maaf aku selalu datang ke kamu dengan kondisi begini. Aku bukannya nggak mau menginap di tempat lain, tapi cuma kamu temanku, aku ....""Kok malah ngomong gitu? Aku teman kamu. Kita sudah sama-sama sejak SMA. Kamu selalu nolong aku kalau aku butuh bantuan, aku pasti nolong kamu kalau butuh bantuan. Kita teman 'kan?"Suasan hati Elitta sedikit tenang. Bibirnya mengembangkan senyuman lega. Setidaknya, masih ada orang yang peduli dengan perasaannya.Rena serius. Dia sudah mengetahui masalah Elitta dan Vivian yang terus menganggunya selama ini. "Jadi, cepat bilang apa yang dilakukan wanita gila itu? Jangan bilang suami yang baru kamu nikahi kemarin diambil juga?""Vito ternyata mantan pacar Vivian yang dulu ditinggalin. Mungkin Vito mendekati papa agar bisa menikahiku, lalu membuat cemburu Vivian.""Apa? Masa iya Vivian ninggalin CEO Sunmart? Suami kamu itu bukannya petinggi Sunmart?""Iya.""Vivian ninggalin pria kayak gini? Dia aja nikahin papa kamu demi uang, masa iya ninggalin CEO Sunmart begitu aja?""Aku nggak ngerti masalah mereka apa, tapi nyatanya sekarang begitu ..."Rena paham perasaan Elitta yang hancur.Padahal, kemarin dia melihat kebahagiaan di raut wajah temannya itu. Tetapi, kini semuanya langsung lenyap begitu saja.Keterlaluan.Jika benar Vito hanya menikahi Elitta untuk membuat Vivian cemburu, ini sudah sangat keterlaluan. Kenapa jaman sekarang banyak orang yang tidak punya hati?Elitta mengenang pernikahannya kemarin yang sederhana, tak ada resepsi mewah di gedung, hanya di rumah Vito saja— tamu yang hadir pun cuma kalangan keluarga dan teman terdekat. Acara itu seperti dibuat asal-asalan, tapi dia tetap bahagia. "Aku pikir aku sudah kebal, aku sudah sering disakiti, tapi ... aku mengira Vito itu pria baik ... kenapa semuanya selalu Vivian? Apa salahku? Semuanya selalu pergi ninggalin aku," ucapnya."Ini bukan salah kamu, ini salah wanita gila itu. Aku juga nggak paham kenapa dia dendam sekali sama kamu. Iri itu kan batasnya, dia iri sama kamu dari SMA. Ini bukan iri lagi, tapi nggak waras.""Mereka tega banget.""Elitta, sudah jangan nangis. Kamu itu wanita baik-baik, kamu jauh lebih baik daripada si murahan Vivian itu.""Kamu benar." Elitta mengusap air mata yang menggenang di kedua matanya. Sudah berulang kali dia terluka akibat ulah orang yang sama— dia tidak mau menangis lagi."Kamu sekarang sudah lebih tegar."Elitta tersenyum lemas. "Aku cuma sadar, untuk apa aku menangisi pria brengsek dan wanita murahan. Jika Vito hanya ingin manfaatin aku, berarti memang bukan jodohku— dan aku harusnya bahagia dijauhkan dengan orang semacam ini.""Aku bukannya membela Vito, tapi kamu yakin dia nikahin kamu cuma buat menarik perhatian Vivian? Meskipun aku cuma lihat dia sekali di nikahan kalian, dia kayaknya bukan tipe orang yang suka wanita murahan."Elitta juga tidak yakin. "Aku nggak tahu tujuan Vito nikahin aku, cuma dia nggak bantah waktu Vivian bilang mereka pernah pacaran— berarti benar 'kan?""Kamu nggak coba ngomong baik-baik sama dia?""Nggak. Aku nggak kuat ngeliat wajahnya dan wajah Vivian. Harga diriku seperti diinjak di sana.""Tapi Vito itu CEO Sunmart, nggak mungkin sembarangan jatuh cinta pada wanita, apalagi modelan kayak Vivian.""Terus kenapa dia mendadak ingin menikahiku? Bukannya aku juga sembarang wanita? Kami sebelumnya nggak kenal. Papa ternyata cuma ngejual aku ke dia.""Ngejual? Ngejual gimana? Bukannya kamu bilang Vito itu anaknya teman papa kamu? ini perjodohan keluarga 'kan?""Itu cuma bohongan, aku juga baru tahu. Papa kalah taruhan sama Vito, terus nyerahin aku sebagai ganti uang taruhan. Secara teknis aku dijual.""Hah? Taruhan?"Elitta tertunduk lesu.Rena terlihat geram ingin mengamuk. "Aku tahu papa kamu emang agak-agak ngeselin tapi yang benar aja nikahin kamu ke cowok random? Cuma kalah taruhan?""Iya.""Mereka anggap pernikahan itu apa? Main-main?"Elitta semakin tertunduk lesu. Dia juga tidak mengira sang ayah akan berbuat sejauh ini. Apakah dia sangat dibenci?Rena sangat emosi. "Pasti suruhan Vivian. Pernikahanmu sama Leon batal, jadi kamu dinikahkan dengan sembarang orang agar cepet-cepet keluar rumah."Elitta tidak menjawab.Tanpa mendengar jawaban, Rena bisa menebak kalau ucapannya memang benar. Dia menghela napas panjang guna menenangkan emosi dalam dirinya.Benar-benar keterlaluan.Dia berkata, "kamu mengagumkan bisa tahan begini, Elitta. Kalau aja aku yang jadi anak papa kamu, aku racun papa kamu sama istri mudanya yang banyak bacot itu. Mereka mati— selesai urusan.""Aku emang kecewa sama papa, sekarang dia juga udah dipengaruhi Vivian. Tapi aku bukan anak kandungnya, aku ngerasa nggak punya hak marah.""Elitta, mau anak kandung atau enggak, kamu tetap anaknya. Kamu selalu menyayangi papamu, ini nggak adil loh. Kamu bisa ngelaporin papa kamu ke polisi, bilang aja kamu dijual.""Nggak.""Terus gimana dengan Vito? Kamu udah nikah sama dia.""Aku nggak tahu. Aku takut ..."Iya, Elitta takut kalau ucapan Vivian benar, padahal dia sudah jatuh cinta pada Vito.***Vito pulang ke rumah.Rumahnya adalah bangunan tiga lantai yang cukup megah. Rumah baru itu dibeli untuk memulai hidup baru dengan Elitta.Ada lima asisten rumah tangga yang bekerja di dalam, termasuk kepala pelayan.Kepala pelayan, seorang pria paruh baya berseragam serba hitam, membukakan pintu untuknya. Pak Tino namanya. Dia sudah bekerja untuk keluarga Vito sejak masih usia belasan tahun."Tuan, selamat datang," sambutnya."Mana istri saya, Pak?""Maaf, Tuan, tapi Nyonya belum pulang."Vito terdiam sejenak. Dia sengaja menjauh dari taksi tadi agar Elitta tak merasa diikuti. Namun, sekarang dia menyesal, harusnya tadi dia mengikut di belakang.Dia putar balik, lalu kembali ke mobilnya. Malam ini, dia juga takkan pulang sebelum membawa sang istri.***Vito sampai di rumah sesuai dengan alamat yang dikirimkan oleh anak buahnya. Alamat itu merupakan milik Rena. Dia memarkirkan mobil di halaman depan, lalu keluar dan mendekati rumah tersebut.Para tetangga yang masih beraktifitas bertanya-tanya, siapa tamu Rena yang membawa mobil sport? Apa mungkin pacar Rena? Atau malah Rena adalah perempuan tidak benar yang mengundang pria ke rumah?Vito tahu sedang diperhatikan. Bertamu malam-malam di rumah wanita itu masih tabu di kawasan ini. Akan tetapi, dia tidak peduli dan tetap mengetuk pintu.Pintu dibuka.Rena kaget melihat kedatangan Vito. Dia hendak menutup pintu, tapi ditahan oleh Vito."Mana istriku?" tanya Vito dengan ekspesi wajah yang datar.Rena buru-buru mejawab, "mana kutahu.""Aku tahu dia pasti nemuin kamu 'kan?""Enggak."Vito mendorong pintunya sampai terbuka lebar, lalu dia main masuk ke dalam— melihat sekitarnya. Samar-sama
Di rumah, Elitta masuk ke dalam kamar tidurnya. Kemudian, Vito menyusul masuk. Setelah pernikahan kemarin, Vito langsung bekerja— jadi, ini pertama kalinya mereka satu kamar berdua.Elitta sedikit gugup. Bisa dibilang, ini adalah malam pengantin mereka. Akan tetapi, usai mengetahui Vito adalah mantan pacar dari Vivian, dia sedikit canggung. Rasanya sangat berbeda dari kemarin.Vito terlihat santai memasuki walk in closet, ruangan yang ada di dalam kamarnya, ruangan dengan deretan lemari besar berisi pakaian dan aksesoris miliknya, seperti sepatu, jam tangan, dan lain-lain. Di tengah ruangan itu ada meja berlaci banyak. Di atasnya terdapat beberapa kotak-kotak aksesoris yang belum dibereskan.Elitta menengok dari luar pintu. Semalam, dia sudah berada di kamar ini, tapi tak berani melihat isi dari walk in closet suaminya. Vito tampak berdiri di depan lemari yang terbuka sembari melepaskan jam tangan.Tanpa melihat, dia sadar sedang diperhatikan. "Ada apa?""Aku boleh masuk ke dalam?"
"Nanti kamu buat surat untuk Pak Harry, kirim sebelum jam empat sore.""Iya, Pak.""Terus jam sebelas siang nanti, ikut saya ke restoran Jepang, saya harus ketemu Pak Tonny buat makan siang sama bahas direktur pemasaran yang kemarin dipecat itu.""Pak Tonny, Paman Bapak?""Iya.""Tapi nanti jam sebelas, bapak ada jadwal meeting sama divisi pemasaran.""Batalkan semua, atur ulang lusa.""Baik, Pak.""Ya udah, saya mau masuk ruangan saya, jangan ganggu sampai jam sebelas, kamu kembali ke meja kamu.""Iya."Vito terlihat serius. Ketika sudah menyangkut pekerjaan, dia tak peduli yang lain. Dia memperlakukan sekretaris penggantinya alias istri sendiri, Elitta, itu sama seperti karyawan lain.Elitta senang. Dia lebih suka diperlakukan sebagai karyawan saat berada di kantor pusat Sunmart ini. Untungnya, tak ada karyawan yang tahu kalau dia adalah istri Vito, atasan mereka.Iya, wajar saja, berita pernikahan mereka tidak tersebar luas. Jadi, semua orang masih menganggap Vito lajang.Karena it
Untuk kedua kalinya Vito melihat jam tangan. Sudah hampir lima belas menit berlalu, tapi tak ada tanda-tanda sang istri akan kembali."Ada apa? Kamu kelihatannya gelisah sekali?" Pak Tonny berhenti makan, lalu menatap Vito."Empat belas menit.""Apanya?""Istriku pergi sudah empat belas menit.""Ya terus kenapa?""Om, toiletnya itu dekat, nggak mungkin selama ini.""Dia 'kan wanita, biasanya juga lama kalau ke toilet. Siapa tahu dandan dulu?""Bentar, Om, aku mau cek dulu." Vito makin gelisah. Dia memutuskan untuk berdiri, lalu segera pergi keluar tanpa menoleh pada sang paman.Pak Tonny terdiam sebentar. Dia semakin yakin kalau keponakannya itu sangat menyukai Elitta.***"Aku bilang lepasin!"Sekuat tenaga, Elitta berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan Leon. Akan tetapi, apa daya— kekuatan pria itu jauh lebih unggul darinya.Dan sial, toilet yang mereka datangi tak ada siapapun, baik itu karyawan ataupun pelanggan. Elitta tak mau membuat kegaduhan restoran seperti ini— takut
Vito datang tepat waktu.Pria itu masuk ke dalam toilet dalam kondisi sudah panas. Kedua tangannya pun telah siap menghajar Leon.Leon melepaskan Elitta. Dia berbalik badan dengan tampang menantang, tak takut sama sekali. Malahan, dia muak sekaligus cemburu. Orang yang mendapatkan Elitta ada di depan mata."Oh ini dia selingkuhan Elitta ..." ucapnya.Malas menanggapi perkataan ngawur itu, Vito maju sambil mengayunkan tinju— yang langsung menghantam wajah Leon. Tak hanya sekali, dia mengulangnya sampai tiga kali."Brengsek!" Leon menyambar kerah kemeja Vito, lalu melayangkan tinju ke wajah pria itu.Beruntung, Vito mampu menghindar. Dia sudah terbiasa dengan segala jenis perkelahian, jadi menghindari pukulan-pukulan semacam itu begitu mudah."Stop! Kalian ini apa-apaan!" Elitta memberanikan diri untuk pergi ke sisi Vito, lalu menggenggam tangannya. Dia menyeret pria itu untuk mundur. "Kamu jangan kayak gini— ini kekerasan."Vito mau melepaskan Leon.Leon memanfaatkan situasi. Dia menga
"Haaalooo~"Suara Vivian yang khas itu melengking di seluruh ruangan. Melihatnya datang sudah membuat nafsu makan Elitta menurun. Dia baru ingat kalau istri muda papanya itu ada di sini.Vito meliriknya. "Beraninya kamu masuk ke ruang private ini?"Vivian mengedipkan sebelah mata untuk pria itu. Dia berkata dengan manja, "Emangnya kenapa? Kita 'kan keluarga sekarang, masa nggak boleh aku ikutan makan dengan kalian?"Perasaan Elitta campur aduk, apalagi setelah bicara dengan Leon tadi. Cobaan ini cukup berat.Dia tak sanggup melihat orang-orang yang terus menyakitinya itu. Akan tetapi— di sisi lain, dia tak bisa bermusuhan dengan Vivian demi sang ayah.Vivian mendekat ke tepian meja, mengambil garpu, dan menyomot salah satu irisan daging yang sudah matang dari atas panggangan. Dia memakannya tanpa rasa sungkan sedikit pun.Vito geram. Dia berdiri. "Keluar dari ruangan kami. Kamu itu orang asing. Cepat keluar atau aku akan panggil petugas keamanan sekarang.""Jangan begitu dong, Menantu
Selama tiga puluh menit, Elitta hanya diam di dalam mobil. Tidak ada yang dibicarakan dengan Vito. Dia tahu suaminya kesal atas apa yang terjadi di restoran tadi.Tadinya, dia mengira mereka akan pulang. Tetapi, mobil Vito masuk ke dalam parkiran underground di mall terdekat.Usai mesin mobil mati, Vito segera melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil.Elitta ikut keluar, kemudian bertanya, "kita nggak pulang, ya?""Aku 'kan udah bilang mau jalan-jalan setelah makan siang tadi, ngapain pulang?""Aku kira kamu marah.""Terus kalau marah nggak boleh jalan-jalan?"Elitta tersenyum tipis. Dia makin kagum dengan sikap baik Vito. Padahal sedang cemberut, tapi masih ingin membuatnya senang.Dia mendekati pria itu, lalu menggodanya, "kamu ini lucu. Padahal lagi kesel, tapi tetap mau jalan-jalan sama aku.""Aku emang kesel, tapi 'kan bukan sama kamu.""Aku kira tadi kamu kesel sama aku soalnya aku diam aja Vivian ngomong mulu.""Enggak juga, aku udah tahu kamu ini suka ngalah, soalnya kamu
Sehabis belanja, Vito mengajak Elitta untuk menonton bioskop juga. Film pilihan mereka adalah kartun, sengaja memilih film yang sedikit orangnya.Iya, dengan begitu— Vito merasa cuma berdua saja dengan Elitta. Duduk di samping sang istri, di pangkuan ada pop corn rasa karamel, rasanya seperti berada di surga.Elitta tersenyum melihat sang suami lahap sekali memakan pop corn itu. "Kayaknya kamu suka banget sama berondong jagung.""Nggak juga sih, aku cuma suka karamelnya.""Oh, kamu suka karamel.""Aku juga suka kamu."Pipi Elitta merona. "Apaan, sih."Vito tersenyum. Dia menyodorkan berondong jagung ke mulut sang istri. "Ini coba. Ayo buka mulut, aaah ...""Aku udah punya pop corn ini.""Itu 'kan rasa pandan, coba ini rasa karamel. Enak loh ..."Elitta membuka mulut, memakan pop corn yang disodorkan suaminya. Dia sudah sering merasakan karamel, dan menurutnya biasa saja. "Mmm ...""Gimana?""Enak pandan, sih.""Kayaknya mulut kamu perlu dibenahi, Elitta, jelas-jelas enak karamel.""La