'Ada yang kenal orang ini nggak ? Lari dari tanggung jawab. Meninggalkan hutang,'Itulah sebuah postingan dengan foto Mala dibawahnya. Tuhan sebenarnya apa yang terjadi?Aku gendong Arsy, menuju kompleks perumahan tempat Fatmala menjadi ART. Siapa tau dia memang Mala yang aku cari.Kebetulan seorang wanita paruh baya sedang menyapu halaman. Tapi kenapa penampilanya bukan seperti ART."Permisi, bu,""Iya mbak. Cari siapa ya?" tanya nya ramah."Ehm saya mencari teman saya. Namanya Fatmala. Apa benar yang bekerja disini?""ART disini itu banyak bermasalah mbak. Ini foto nya. Mungkin Mbak kenal?" kata ibu itu menyodorkan handphonne lalu menunjukan foto. Dan benar itu foto Mala.Ternyata selama ini ia bekerja sebagai ART dan rumaah yang biasanya ia pamerkan kemewahanya di status adalah rumah majikanya. Dan mungkin pula dugaan ku benar, makanan yang selama ini ia berikan ke orang tuanya makanan dari majikanya. " lDia kabur dari sini membawa cincin saya mbak. Ya sudahlah saya ikhlaskan saja
Ibu menatapku penuh keheranan. Aku tidak marah. Tapi aku kecewa. Terhadap penilaian beliau. Seolah anak dengan ekonomi rendah di awal tidak bisa maju.Maaf ibu. Kali ini sulit sekali otak ku berdamai dengan hati. Aku tidak haus pujian maupun penghormatan. Tapi aku ingin kebaikan attitude dalam menilai seseorang. Entah kepada siapapun.*"Rin, tunggu," teriak ibu.Aku berhenti lalu menoleh."Kamu marah sama ibu?"Aku menghela nafas pelan."Apa pantas seorang anak marah terhadap wanita yang melahirkanya?"Ibu tersenyum."Masuklah. Jangan buru-buru pulang."Aku menurutinya sebagai bentuk rasa hormatku."Kamu benar tidak bisa kesini bantu-bantu ibu Rin ?""Mbak Devi dan Mbak Yanti kemana Bu? Oh iya lupa, pasti mereka menyokong dengan rupiah yang banyak ya. Hingga ibu tidak berani menyuruhnya,"Ibu tertunduk. Ada rasa bersalah dalam naluri atas ucapanku. Tetapi entah mengapa rasanya sudah muntab pertahananku."Katanya kamu tidak marah pada ibu Rin l?""Airin memang tidak marah bu. Hanya sa
Degg. Apa boleh aku menyematkan panggilan 'Dramaqueen' untuk Mala? Aku yang teraniaya justru aku yang lagi-lagi di fitnah.Agung menatapku yang ku balas dengan tatapan geram. "Lah justru Mbak Airin ikut menyumbang untuk melunasi hutang Mala. Lalu bagaimana bu ini juga di hitung utang atau tidak?" jawab Agung menimpali.Bu Sri melengos. Enggan membalas tatapan kami.Aku menarik baju Agung, mengisyaratkan untuk segera pulang saja."Percuma menjelaskan kebaikan mu kepada orang yang tak menyukaimu. Semua akan sia-sia," ucapku lirih.Agung menurutiku.Sesampai di rumah tampak ada motor matic Mbak Yanti terparkir di halaman. Aku menghela nafas berat. Ya Tuhan masalah dengan emak dan bapak belum usai, kini Mbak Yanti datang."Tumben Rin kesini. Ini kan nggak akhir pekan,""Mbak Yanti juga tumben kesini,""A.. aku.. Kangen sama bapak ibu saja,"*"Kalau hanya dua juta saja kami punya Yan. Tapi ini uang buat beli pupuk. Jadi sebelum musim padi, kamu balik kan ya,". Suara ibu dari dalam membua
"Ron, kamu tidak sedang bercanda kan?" tanyaku penuh heran.Roni hanya menunduk.Bang Agha yang berdiri dibelakang ku mengajak Roni untuk masuk dulu. Aku pun tidak tau sejak kapan ia berdiri disitu."Masuk dulu Ron. Tidak baik berdiri di ambang pintu,"Aku segera ke dapur membuatkan minum dan mengeluarkan beberapa camilan."Jadi yang om dengar tadi benar Ron? Kamu ingin membantu jualan cilok?"tanya Bang Agha."Lalu bagaimana dengan mama kamu? Apa dia setuju?" tanyaku. Karena mana mungkin Mbak Yanti membiarkan Roni bekerja. Sementara Roni juga masih duduk di bangku kuliah semester awal."Justru ini desakan dari mama. Memintaku untuk sembari bekerja. Katanya biaya kuliah mahal,"Aku menghela nafas berat. Mbak Yanti yang ku kenal dengan kehidupan mapan dan hingar bingar glamour nya, mengapa memperlakukan anak seperti ini."Tapi kalau bisa, Roni juga bekerja paruh waktu om? Agar tidak ketinggalan kuliah.""Apa Mama kamu tau kamu mau bekerja disini?"Roni menggeleng."Biarlah om. Yang pent
"Wanita itu seperti yang telah menipu ku tempo hari itu," kata Bang Agha lirih."Ya sudah, abang tunggu sini. Takutnya nanti dia justru takut melihat abang,"Aku berbasa-basi dengan perempuan tadi. Ia mengaku ditipu temanya hingga harta benda nya habis tak tersisa.Oh Tuhan, ternyata hukum karma sedang menjalankan tugas nya.Akhirnya dia setuju untuk masuk setelah ku tawari makan siang.Bang Agha masih belum keluar. Baru setelah ia selesai makan, Bang Agha keluar. Sontak perempuan itu terkejut kaget."Kamu ingat saya?"Ia tidak mampu bekata apa-apa selain dengan tubuh gemetar. Gugup. Hingga ia berdiri akan melangkah pergi."Jangan pergi," kataku dingin."Ternyata kamu menjebak ku," jawabnya tak kalah dengan ekspresi marah.Aku tetap mencengkram tanganya dengan kuat."Hey, bukanya kamu yang lebih dulu menjebak suamiku? Tidak lupa kan?"Wanita ini mengibaskan tangan dengan kuat, hingga tangan ku terlepas. Ku pikir dia akan kabur, tapi dia akhirnya mau duduk."Aku minta ma'af," ucapnya.
Plakk...Dia menamparku. Aku sontak begitu terkejut."Berani kamu mempengaruhi anak ku untuk bekerja? Kamu kira kami kekurangan begitu?" bentak Mbak Yanti penuh gurat emosi.Ingin sekali saat itu juga ku caci maki dia. Mbak Yanti memang kakak ku tetapi kali ini dia sedang bermuka dua."Mbak, apa tidak bisa belajar dari kisah Mala? Sudah hidup apa adanya saja. Keluarga adalah tempat mu pulang saat dunia sudah tidak bersahabat,"Entah bapak, ibu maupun Mbak Devi sama sekali tidak ada yang mau melerai. Di fikir tontonan begitukah?"Maksudmu apa?""Aku tidak akan membuka aib kakak ku sendiri. Lagipula apa untungnya kita bertengkar disini? Hanya menjadi tontonan kan?" jawabku sembari melirik ke arah bapak, ibu dan Mbak Devi.Mereka terlihat kikuk dan salah tingkah."Sudahlah. Kalian duduk. Airin jangan bersikap seperti itu pada mbak mu,"kata bapak berusaha menengahi.Tetapi aku justru terperangah dengan kalimat itu."Bersikap bagaimana pak? Justru harusnya Airin yang marah karena tiba-tiba
"Dia kecelakaan dan sepertinya meninggal di tempat karena tertabak truk trailer dari arah belakang,"Baru di kata meninggal itu rasanya kepalaku sudah berputar, seperti bumi berhenti pada porosnya. Kata-kata terakhir Bang Agha sudah terdengar lirih di telingaku.Dan saat tangan Bang Agha menyangga pundak ku, kesadaran ku berangsur pulih."Kamu serius bang?" Ia mengangguk pelan."Agung perlu ditolong dik. Kita sebagai pihak keluarga harus segera mendatangi," lanjutnya.Dengan berderai air mata aku dibonceng Bang Agha menuju TKP. Alangkah teririsnya hatiku kala melihat darah segar mengalir dari tubuh yang sudah ditutupi kardus. Para warga tidak berani menolong, menunggu mobil polisi yang datang. Banyak bisik-bisik lewat di telingaku bahwa jasad Agung hancur, ususnya terberai. Tangisku semakin meledak. Malaikatku telah terbang menuju keabadian.Dukaku belum usai. Tarikan dari belakang pada jilbabku sontak hampir membuat ku terjengkang. Saat aku menoleh, Mbak Devi telah berdiri di bela
Aku pun juga ikut merasakan kaget. Tidak habis fikir dengan apa yang akan dilakukan bapak. Tetapi langkah itu menjauhi rumah mendekati rumah Mbok Nah. Dan seperti menuju padaku.Aku gemetar bukan main. Tidak pernah kudapati bapak semurka ini."Ndhuk, menghindarlah,". Ku dengar suara lirih Mbok Nah dari belakang. "Dasar anak durhaka. Puas kamu membuat adikmu mati mengenaskan seperti itu?" teriak bapak dengan lantang.Tatapanya tajam menghujam. Apapun kebenaran yang aku sampaikan, nyatanya akan sia-sia belaka melihat emosi bapak seperti ini."Jika ada satu orang pun yang mendekat, akan kuhabisi nyawa kalian dengan golok ini," lanjutnya dengan mengacungkan golok di udara.Perkataan bapak membuat orang yang akan mengejarnya memundurkan kaki satu langkah ke belakang. Nyali mereka menjadi ciut."Nyawa harus dibayar nyawa,"Aku pejamkan mata. Baik, mungkin ini akhir kisah hidupku. Mungkin ini yang membuat bapak lega. Aku ikhlas.Tiba-tiba suara teriakan warga membuatku membuka mata. Seoran