"Dia kecelakaan dan sepertinya meninggal di tempat karena tertabak truk trailer dari arah belakang,"Baru di kata meninggal itu rasanya kepalaku sudah berputar, seperti bumi berhenti pada porosnya. Kata-kata terakhir Bang Agha sudah terdengar lirih di telingaku.Dan saat tangan Bang Agha menyangga pundak ku, kesadaran ku berangsur pulih."Kamu serius bang?" Ia mengangguk pelan."Agung perlu ditolong dik. Kita sebagai pihak keluarga harus segera mendatangi," lanjutnya.Dengan berderai air mata aku dibonceng Bang Agha menuju TKP. Alangkah teririsnya hatiku kala melihat darah segar mengalir dari tubuh yang sudah ditutupi kardus. Para warga tidak berani menolong, menunggu mobil polisi yang datang. Banyak bisik-bisik lewat di telingaku bahwa jasad Agung hancur, ususnya terberai. Tangisku semakin meledak. Malaikatku telah terbang menuju keabadian.Dukaku belum usai. Tarikan dari belakang pada jilbabku sontak hampir membuat ku terjengkang. Saat aku menoleh, Mbak Devi telah berdiri di bela
Aku pun juga ikut merasakan kaget. Tidak habis fikir dengan apa yang akan dilakukan bapak. Tetapi langkah itu menjauhi rumah mendekati rumah Mbok Nah. Dan seperti menuju padaku.Aku gemetar bukan main. Tidak pernah kudapati bapak semurka ini."Ndhuk, menghindarlah,". Ku dengar suara lirih Mbok Nah dari belakang. "Dasar anak durhaka. Puas kamu membuat adikmu mati mengenaskan seperti itu?" teriak bapak dengan lantang.Tatapanya tajam menghujam. Apapun kebenaran yang aku sampaikan, nyatanya akan sia-sia belaka melihat emosi bapak seperti ini."Jika ada satu orang pun yang mendekat, akan kuhabisi nyawa kalian dengan golok ini," lanjutnya dengan mengacungkan golok di udara.Perkataan bapak membuat orang yang akan mengejarnya memundurkan kaki satu langkah ke belakang. Nyali mereka menjadi ciut."Nyawa harus dibayar nyawa,"Aku pejamkan mata. Baik, mungkin ini akhir kisah hidupku. Mungkin ini yang membuat bapak lega. Aku ikhlas.Tiba-tiba suara teriakan warga membuatku membuka mata. Seoran
Dua orang laki-laki berkemeja rapi telah berdiri di ambang pintu. Aku heran sekaligus takut, ada apa gerangan."Iya benar. Mari silahkan duduk," jawabku."Ada apa ya mas? Apakah suami saya punya hutang semasa hidup nya? Kalau iya, saya minta waktu mas. Beliau baru saja meninggal," ucapku lirih.Kedua orang itu hanya tertawa kecil."Ibu, sebelumnya saya turut berduka cita yang begitu mendalam atas meninggalnya Bapak Agha. Kami berdua adalah petugas asuransi."Aku mengernyitkan dahi. Asuransi? Rasa-rasanya Bang Agha tidak pernah berbicara tentang Asuransi kepadaku."Asuransi? Suami saya tidak pernah mendaftarkan diri pak.""Loh ibu itu bagaimana ? Apa tidak tau kalau suaminya ikut program asuransi?"Aku menggeleng pelan. Apa Bang Agha memang sudah memiliki firasat?"Lalu bagaimana ya pak?" "Kami disini ingin meminta sejumlah persyaratan untuk klaim asuransi tersebut bu."Masih dimbang percaya. Penghasilan dari berjualan cilok tidak seberapa. Tetapi sang suami ternyata menyiapkan asuran
Mata ibu berkaca-kaca melihat kedatanganku.Apa mungkin mereka menyadari kesalahan mereka padaku lalu meminta maaf?Aku mempersilahkan mereka masuk terlebih dahulu."Maaf bu, kak. Adanya kayak gini. Ruko nya kecil,"Mbak Yanti dan Mbak Devi mengedarkan pandang, tampak juga sesekali ku lirik mereka memasang mimik muka yang tidak suka. "Airin, to the point saja, kami juga tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Kedatangan kami disini ingin kamu mencabut laporan atas bapak."Aku melongo mendengarnya. Ku kira mereka akan meminta maaf. Nyatanya kata maaf itu mahal harganya."Tidak usah berlagak bodoh. Kami ingin bapak bebas. Apa kamu tidak kasihan dengan ibu? Kehilangan dua lelaki paling berharga dalam hidupnya," lanjut Mbak Yanti."Apa kalian juga tidak berpikir bahwa aku juga kehilangan sosok suami. Apa kalian tidak sedikitpun kasihan pada aku? Membesarkan anak yang masih kecil seorang diri.""Bapak bebas atau tidak toh tidak ada hubunganya dengan kamu.""Tapi biarlah bapak mempertanggu
Namun saat bapak keluar dari rutan, ia melewatiku begitu saja.tidak melihat kehadiranku disini. Jangankan meminta maaf, melirik ku yang tengah berdiri menggendong Arsy pun juga tidak.Aku menghela nafas berat. Mungkin memang bagi Bapak kematian Agung sama saja dengan hancurnya dunia. Agung adalah anak laki-laki satu-satu nya.Tetapi disini aku masih mengamati gerak gerik bapak. Berkali -kali angkot lewat, tetapu sama sekali tidak ada yang satupun bapak naiki. Apakah bapak memang tidak ada uang?Dengan sepeda motor peninggalan Bang Agha dan juga sembari menggendong Arsy, aku menghampiri bapak. Ada rasa nyeri dalam ulu hati melihat bapak tampak merasa kasihan."Pak bapak, kenapa tidak naik angkot? Apa Airin antar?" tanyaku.Bapak terus berjalan tanpa menggubris prtanyaanku."Pak, aku yang membebaskan bapak. Kenapa bapak bahkan enggan menjawab pertanyaanku. Airin juga anak bapak," teriak ku dari belakang dengan nada yang mulai terisak.Bapak akhirnya menoleh ke belakang yang ku sambut de
Aku tetap berfikir positif. Lelah memaknai semua dengan hal negatif. Mencoba berdamai dengan hati dan kenyatan di depanya.Aku langsung menuju kontrakan. Hari ini sengaja aku tidak berjualan. Aku kira kebebasan bapak akan ada drama mengaharukan. Nyatanya hanya mengenaskan.Aku tidurkan Arsy yang telah tertidur dalam gendongan. Aku menata lemari yang berisi dokumen-dokumen ku dan Bang Agha dulu. Siapa tau ada titik terang tentang alasan Mala menangis dimakam suamiku.Dan hasilnya nihil.Tidak apa-apa. Namun saat tangan ini hendak merapikan kembali dokumen, tanganku menyenggol sebuah plastik hitam. Yang kuperkirakan isinya kertas, saat mencoba aku remas. Tanpa menunggu apa-apa lagi, aku segera membukanya.Bau kertas yang harum seperti surat cinta.Kertasnya sudah usang. Sepertinya memang surat ini sudah lama.Aku membaca dengan seksama dan ternyata surat itu dari Mala, surat enam tahun silam saat Bang Agha belum menikahiku. Ya dalam surat ini Mala mengutarakan isi hatinya bahwa ia menyu
Yanti melengos. Membuang muka ke arah lain."Mana mungkin aku menyuruh Roni bekerja pak? Walaupun sekarang istri Mas Rio ada dua tetapi kehidupan kami masih terpenuhi kok.""Kamu yakin Yanti?"Yanti salah tingkah."Yakin lah. Sudahlah kalau bapak mau mengemis, ke orang lain saja. Yanti sibuk,""Astagfirullohaladzim. Tega kamu berkata seperti itu pada bapak Yan?"Hati orang tua mana yang tidak hancur dibilang pengemis oleh anak sendiri."Kakek,."Serta merta Bapak menoleh pada sumber suara itu. Suara yang sudah lama tidak bersua. Sudah lama tidak terdengar. Roni. Kunci kegelisahan bapak selama ini. Sumber dari segala pernyataan Airin.Namun belum sempat bapak menjawab panggilan Roni, suara bentakan Yanti telah mendahului."Siapa yang menyuruh kamu keluar? Masuk lagi ke kamarmu," bentaknya."Yanti, biarkan Roni kesini. Bapak rindu denganya.""Dia anak saya. Jadi saya berhak menentukan aturan untuk nya. Bukan bapak. Bapak boleh sok tegas, sok menguasai, sok ditakuti. Tetapi ingat, bapak
"Dasar janda g*tal,"Teriakan itu mampu membuat darahku terkesiap, hatiku berdesir. Siapa kira-kira wanita itu.Aku beranikan diri melihat apa yang terjadi.Seorang wanita memakai baju ASN yang ku perkirakan ia berprofesi sebagai guru, sedang berkacak pinggang di depan ruko ku. Dia cantik dalam balutan jilbab segi empat nya, walau mukanya memerah terkena sinar matahari juga emosi yang mendera.Dekat semakin mendekat...Plak...Dia menamparku.Aku yang kaget, tak kalah emosinya saat itu. Aku pandangi dia dengan seksama dan dalam gurat emosi yang sama.Hilya-Istri Marwan."Hilya, apa-apa an kamu?""Kamu yang apa-apa an. Pakai pelet apa hingga suamiku bertekuk lutut padamu? Hah?""Sungguh aku tidak mengerti maksutmu. Pulanglah. Kamu salah orang jika menuduh aku merebut suamimu," jawabku acuh tak acuh karena aku menyadari bisik bisik antar pelangganku. Mereka pasti mengira apa yang Hilya ucapkan itu benar adanya."Jangan sok bodoh kamu, Rin. Kamu memeras uang suamiku. Pasti kamu memberi p