Share

2

"Mala," panggilku.

Ia menoleh dan tersenyum padaku dengan tangan melambai. Tidak ada ekspresi gugup darinya.

Mungkin aku yang terlalu berprasangka buruk padanya.

"Kamu ada perlu apa kesini?" tanyaku.

"Aku bosan dengan handphone ku. Jadi aku investasikan buat di rental saja. Biasalah, jiwa bisnis kan ngikut dengan suamiku," jawabnya.

Aku tersenyum kecil. 

"Kamu sendiri ada perlu apa kesini Rin? Bukanya rumah kamu masuk gang. Jauh lho. Nggak bawa payung lagi. Nanti hitam lho. Eh tapi kamu sudah terbiasa ya tidak pakek skincare," 

Aku menelan ludah. Begitukah cara orang kaya bertutur kata?

"Kamu itu kan orang kaya Mal. Apa iya tidak tahu trend? Sekarang yang hitam-hitam lebih eksotis lho,"

"Aku kesini mau beli paketan buat Bang Agha," lanjutku.

Dia tertawa sembari melipat tanganya di dada.

"Ngapain harus jauh-jauh sih Rin. Pakai M-Banking kan bisa," katanya dengan tawa meremehkan..

Aku mengibaskan tangan.

"Aduh mana sempat aku menabung ke bank segala Mal. Aku sibuk sekali, apalagi kalau sudah kumpul bersama suami dan anak. Rasanya enggan keluar rumah,"

Mala menatapku dengan tatapan tidak suka. Dan aku suka itu. Tersindirkah? Makanya jangan suka sombong.

"Memang sih, Mas Dion itu kerja dari pagi smapai malam. Tetapi kan menghasilkan,"

Lah dipikir suamiku jualan cilok itu juga tidak menghasilkan? Lagipula aku heran suaminya kan bos, kenapa harus ikut kerja dari pagi sampai malam? Bukanya ada karyawanya?

"Yasudah deh Rin. Aku pulang dulu ya," pamitnya.

"Oh iya. Kamu dijemput ya?"

" Enggak. Naik Go Ride,"

"Suamimu kan punya showroom, kenapa justru naik ojek Mal? Kalau suami mu repot naik taksi online saja,"

"Enggak ah Rin. Bosan pakai AC terus. Kali ini pengen naik yang AC alami." kilahnya.

Ada ya orang kaya bosan dengan AC ? Aneh.

*

"Besok itu akhir pekan ya bang?"

Bang Agha mengangguk.

"Harus ya besok kumpul ke rumah bapak ibu?"

"Biasanya kan juga begitu dik. Justru aku salut dengan keluargamu. Menjunjung tinggi silaturahmi,"

Aku membuang nafas pelan. Menatap jendela. 

"Aku lelah bang selalu menjadi perbandingan," ucapku lirih.

"Karena suamimu hanya penjual cilok?"

Aku diam. Bukanya tidak bersyukur, karena memang itu yang menjadi topiknya.

"Suatu saat mereka pasti berubah dik,"

Aku sanksi dengan ucapan Bang Agha. Rasanya seperti halu, seperti suatu yang mustahil. Apalagi anak ku Arsy, adalah cucu yang paling kecil tapi bapak dan ibu tidak sebegitu dekat memperlakukanya

"Masih roda dua saja Rin. Lihat tuh si Mala kalau berkunjung ke rumah ibunya sudah pakai roda empat," sindir Mbak Yanti.

"Dulu sih sekolahnya lebih pintar Airin tetapi cari jodohnya lebih pintar Mala," lanjut Mbak Devi

Mereka semua tertawa. Merasa lucu? Bahagia? Tapi aku sakit terhina. Jika strata sosial berbicara, apakah memang ikatan darah tiada bermakna?

"Rin, coba deh si Agha itu suruh melamar pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Berapa sih yang di dapat hanya dari jualan cilok? Lihat tuh si Arsy tubuhnya sudah seperti cilok,"kata Mbak Yanti.

"Mbak tidak bisa membedakan mana balita yang cukup gizi sama yang enggak ? Udah anak dua lho mbak. Reyhan dan Risma, sudah seperti angka sebelas kalau berjalan. Katanya mbak orang berada, bisalah menyeimbangkan gizi anak,"

Muka Mbak Yanti langsung merah bak kepiting rebus

Sebenarnya aku tidak suka dengan body shaming. Tetapi jika itu menyangkut anak ku, Demi Allah aku tidak rela. Anak ku memang bertubuh gemuk dan montok. Tetapi tidak mungkin, bayi sekecil Arsy sudah aku beri makan cilok.

"Ndhuk, bantu ibu di dapur. Kok malah asyik disini,"

Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkan kami. Tetapi jelas perintah itu untuk ku. Bukan untuk Mbak Yanti dan Mbak Devi. Bapak dan Ibu tidak berani menyuruh mereka. Apalagi kalau bukan tentang uang.

Aku menitipkan Arsy pada Mas Agha. 

"Senyum dek. Ikhlas lilahita'ala. Hadiahnya surga,". Sepertinya ia memang tau kemelut hatiku. Seperti di anak tirikan dalam keluarga hanya karena materi.

"Coba kalau seperti si Mala, anak Bu Sri itu. Tidak perlu masak, setiap kesini selalu membawakan beraneka jenis makanan," ucap ibu.

Tentu kalimat itu menusuk batinku. Seolah aku ini tiada berartinya sebagai anak. 

"Mobilnya saja setiap pulang, selalu gonta - ganti," lanjut ibu.

"Itu mobil rentalan," celetuk Agung, adik ku, si anak bungsu.

"Hust, jangan asal bicara kamu Le. Kalau kedengaran Bu Sri, bisa ngamuk dia,"

"Memang benar bu, Agung bisa membuktikan...

???

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status