"Mala," panggilku.
Ia menoleh dan tersenyum padaku dengan tangan melambai. Tidak ada ekspresi gugup darinya.Mungkin aku yang terlalu berprasangka buruk padanya."Kamu ada perlu apa kesini?" tanyaku."Aku bosan dengan handphone ku. Jadi aku investasikan buat di rental saja. Biasalah, jiwa bisnis kan ngikut dengan suamiku," jawabnya.Aku tersenyum kecil. "Kamu sendiri ada perlu apa kesini Rin? Bukanya rumah kamu masuk gang. Jauh lho. Nggak bawa payung lagi. Nanti hitam lho. Eh tapi kamu sudah terbiasa ya tidak pakek skincare," Aku menelan ludah. Begitukah cara orang kaya bertutur kata?"Kamu itu kan orang kaya Mal. Apa iya tidak tahu trend? Sekarang yang hitam-hitam lebih eksotis lho,""Aku kesini mau beli paketan buat Bang Agha," lanjutku.Dia tertawa sembari melipat tanganya di dada."Ngapain harus jauh-jauh sih Rin. Pakai M-Banking kan bisa," katanya dengan tawa meremehkan..Aku mengibaskan tangan."Aduh mana sempat aku menabung ke bank segala Mal. Aku sibuk sekali, apalagi kalau sudah kumpul bersama suami dan anak. Rasanya enggan keluar rumah,"Mala menatapku dengan tatapan tidak suka. Dan aku suka itu. Tersindirkah? Makanya jangan suka sombong."Memang sih, Mas Dion itu kerja dari pagi smapai malam. Tetapi kan menghasilkan,"Lah dipikir suamiku jualan cilok itu juga tidak menghasilkan? Lagipula aku heran suaminya kan bos, kenapa harus ikut kerja dari pagi sampai malam? Bukanya ada karyawanya?"Yasudah deh Rin. Aku pulang dulu ya," pamitnya."Oh iya. Kamu dijemput ya?"" Enggak. Naik Go Ride,""Suamimu kan punya showroom, kenapa justru naik ojek Mal? Kalau suami mu repot naik taksi online saja,""Enggak ah Rin. Bosan pakai AC terus. Kali ini pengen naik yang AC alami." kilahnya.Ada ya orang kaya bosan dengan AC ? Aneh.*"Besok itu akhir pekan ya bang?"Bang Agha mengangguk."Harus ya besok kumpul ke rumah bapak ibu?""Biasanya kan juga begitu dik. Justru aku salut dengan keluargamu. Menjunjung tinggi silaturahmi,"Aku membuang nafas pelan. Menatap jendela. "Aku lelah bang selalu menjadi perbandingan," ucapku lirih."Karena suamimu hanya penjual cilok?"Aku diam. Bukanya tidak bersyukur, karena memang itu yang menjadi topiknya."Suatu saat mereka pasti berubah dik,"Aku sanksi dengan ucapan Bang Agha. Rasanya seperti halu, seperti suatu yang mustahil. Apalagi anak ku Arsy, adalah cucu yang paling kecil tapi bapak dan ibu tidak sebegitu dekat memperlakukanya"Masih roda dua saja Rin. Lihat tuh si Mala kalau berkunjung ke rumah ibunya sudah pakai roda empat," sindir Mbak Yanti."Dulu sih sekolahnya lebih pintar Airin tetapi cari jodohnya lebih pintar Mala," lanjut Mbak DeviMereka semua tertawa. Merasa lucu? Bahagia? Tapi aku sakit terhina. Jika strata sosial berbicara, apakah memang ikatan darah tiada bermakna?"Rin, coba deh si Agha itu suruh melamar pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Berapa sih yang di dapat hanya dari jualan cilok? Lihat tuh si Arsy tubuhnya sudah seperti cilok,"kata Mbak Yanti."Mbak tidak bisa membedakan mana balita yang cukup gizi sama yang enggak ? Udah anak dua lho mbak. Reyhan dan Risma, sudah seperti angka sebelas kalau berjalan. Katanya mbak orang berada, bisalah menyeimbangkan gizi anak,"Muka Mbak Yanti langsung merah bak kepiting rebusSebenarnya aku tidak suka dengan body shaming. Tetapi jika itu menyangkut anak ku, Demi Allah aku tidak rela. Anak ku memang bertubuh gemuk dan montok. Tetapi tidak mungkin, bayi sekecil Arsy sudah aku beri makan cilok."Ndhuk, bantu ibu di dapur. Kok malah asyik disini,"Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkan kami. Tetapi jelas perintah itu untuk ku. Bukan untuk Mbak Yanti dan Mbak Devi. Bapak dan Ibu tidak berani menyuruh mereka. Apalagi kalau bukan tentang uang.Aku menitipkan Arsy pada Mas Agha. "Senyum dek. Ikhlas lilahita'ala. Hadiahnya surga,". Sepertinya ia memang tau kemelut hatiku. Seperti di anak tirikan dalam keluarga hanya karena materi."Coba kalau seperti si Mala, anak Bu Sri itu. Tidak perlu masak, setiap kesini selalu membawakan beraneka jenis makanan," ucap ibu.Tentu kalimat itu menusuk batinku. Seolah aku ini tiada berartinya sebagai anak. "Mobilnya saja setiap pulang, selalu gonta - ganti," lanjut ibu."Itu mobil rentalan," celetuk Agung, adik ku, si anak bungsu."Hust, jangan asal bicara kamu Le. Kalau kedengaran Bu Sri, bisa ngamuk dia,""Memang benar bu, Agung bisa membuktikan...???Tono hanya melongo saat mendengar panggilan untuknya. Mau menjawab apa, memang namanya bukan Agha. Dan dia juga belum punya anak.Begitu pula dengan Arsy, ia juga terdiam saat berhadapan pria bernama Tono tersebut.Ia hanya reflek. Karena memang Tono semirip itu dengan Almarhum Ayahnya."Eh maaf," ujar Arsy salah tingkah sekaligus tidak enak hati.Tono hanya tersenyum."Iya tidak apa apa. Kamu pasti ingat Ayah ya?"Arsy tersenyum kecil."Hati siapa yang tidak rindu Om setelah kehilangan Ayah. Aku kira ayah hidup lagi." jawab Arsy dengan candanya.Hal tersebut rupanya dilihat oleh Airin dan ibunya."Rin, sepertinya memang Arsy butuh sosok Ayah." Airin hanya tersenyum kecil menanggapi."Tapi yang dibutuhkan Arsy adalah sosok Bang Agha Bu. Bukan yang lainnya. Airin yakin seiring berjalannya waktu, Arsy pasti akan mengerti. Terkadang berdamai dengan keadaan memang tidak semudah itu," jawab Airin dengan bijak.Tahun demi tahun berlalu.Tak terasa putri kecil yang telah ditinggal mati ayah
Namun lambat laun aku mengambil keputusan. Yang menurutku terbaik. Aku mengikhlaskan sawah yang dibeli bapak dan ibu dari hasil kerjaku dulu untuk ku beri pada Mbak Devi. Memang dirasa sayang, tapi nuraniku memberontak melihat kondisi ibu."Ibu, jangan difikir lagi. Nanti aku akan memberikan sertifikat sawah pada Mbak Devi. Kebutuhan bapak dan ibu biar aku yang memenuhi,"Mata ibu mukai berkaca-kaca. Tanganya melambai mencari tanganku."Terimaksih nak. Untuk semua kebaikanmu. Hatimu bersih seperti malaikat,""Ibu do'akan saja usahaku lancar ya,"Namun ibu justru menangis tergugu."Ibu kenapa? Airin ada salah?""Ya Allah pak. Pekerjaan yang dulu kita remehkan, nyatanya sekarang yang menghidupi kita. Ibu malu Rin. Malu padamu. Terlebih pada almarhum suamimu,"Perih memang yang aku rasakan ini. Hatiku selalu trenyuh kala mengingat Mas Agha. Dia hanya menelan pahitnya tanpa diberi kesempatan sedikitpun mencicipi manisnya."Bang Agha sudah tenang bu. Surga menantinya,""Rin,"panggil bapa
Dan tidak ku sangka yang berdiri di depan pintu adalah Bu Sri. Beliau hanya menundukan kepalanya seraya meremas-remas ujung bajunya."Saya, ma-mau melamar menjadi ART, Rin. Eh nyonya."Aku selidik penuh selidik. Bagaimana bisa Bu Sri yang terkenal sombongnya mau menjadi ART. Di rumahku pula. Yang selalu sirik dengan kehidupan keluarga kami. Bukan hanya dia, tetapi juga Mala anaknya."Ma'af apakah Bu Sri tidak salah?"Dia tertunduk dan dengan pelan menggelengkan kepala. Bahkan beberapa saat, dia juga tidak mau menatapku."Ta tapi Mala,"Bu Sri langsung menyeka sudut matanya. Aku baru tau kalau sedari tadi ia tengah menangis."Kenapa menangis bu? Saya ada salahkah?". Aku panik. Bagaimana tidak, aku tidak tau duduk masalahnya tiba-tiba beliau menangis. Atau jangan-jangan ada kata-kataku yang menyakitinya."Mala tertangkap polisi." ucapnya sesenggukan.Mataku membulat sempurna. Semenjak pindah rumah, aku maupun keluarga memang tidak tahu menahu tentang keadaan keluarga itu."Bagaimana bis
Bapak tertegun melihat kedatangan Devi. Beliau hanya memandang putrinya itu. Masih sama tidak berubah. Mimik muka dan penampilanya. Bagaimana rona wajahnya jika tidak suka dengan sesuatu."Bapak hanya ingin membantu Airin. Ia punya rumah bahkan sepeserpun bapak sebagai orang tua tidak bisa memberinya,"ujar lirih bapak.Justru Devi berkacak pinggang. Matanya melotot."Memangnya dulu saat Devi membuat rumah, bapak juga membantu begitu?"teriaknya lantang."Ketara sekali sekarang membela Airin. Mentang-mentang sekarang kaya. Bapak juga dari dulu tidak berubah. Selalu melulu tentang uang," lanjutnya tak perduli dengan perasaan bapaknya yang mematung berdiri di depanya.Bapak menghela nafas pelan. "Keadaanya berbeda Devi. Kamu punya suami. Pekerjaanya mapan. Beda dengan Airin yang sudah menjadi janda,""Karena bapak sendiri yang membuat Airin menjadi janda. Sudahlah pak Devi kesini mau pinjam sertifikat rumah,"Bapak yang semula tertunduk lalu mendongakan kepala."Untuk apa Dev?""Untuk t
"Tapi kedatangan kami bukan untuk itu mbak," ujar Devi lirih.Yanti menautkan alis. Dia heran, lalu apa maksud kedatangan adiknya ini."Aku ingin meminjam sertifikat bapak. Kalau tidak boleh, aku ingin meminta warisanku. Untuk tambah biaya kampanye suamiku."Yanti mulai berkacak pinggang. Dia melotot."Bapak dan ibu masih hidup Dev. Kenapa kamu sudah berbicara warisan?"Nada suara Yanti mulai meninggi."Memangnya salah? Toh aku juga anak bapak. Jadi aku juga berhak atas harta bapak.""Lagipula apa sampai segitunya Dev. Iya kalau suamimu jadi. Kalau enggak ? Uang sudah hilang. Belum lagi kalau kamu pinjam sertifikat. Yang ada suamimu tidak jadi sementara utang menumpuk. Mikir dong."Devi tertawa kecil meremehkan. "Tau apa sih mbak kamu tentang strategi politik? Urus hidupmu sendiri. Bodoh sekali bisa ditipu lelaki."Plakk...Yanti menampar dengan geram pipi mulus Devi hasil perawatan dengan skincare mahal yang dulu selalu ia pamerkan."Apa-apa an kamu? Manusia kere beraninya menampar
"Bagaimana ya mbak. Kalau mbak ikut kan jadi serumah ada tiga keluarga. Pamali mbak," jawabku."Iya Nduk. Benar kata Airin," lanjut ibuMbak Yanti melengos dengan muka kesal dan menatap kami dengan tajam."Jadi bapak dan ibu sekarang membela Airin? Mentang-mentang kaya?" tanyanya sembari berkacak pinggang."Yanti, ini bukan maslah membela siapa. Tetapi apa yang dikatakan Airin saat ini itu benar. Kita orang jawa yang masih menjujung tinggi adat istiadat," kata bapak mencoba menengahi."Kalau gitu bangunkan aku rumah dong Rin," kata Mbak Yanti dengan entengnya."Mbak kira bangun rumah itu kayak beli tempe? Mbak sedari dulu terlalu membanggakan suami, mengandalkan suami. Jadi nya gini kan. Tidak bisa mandiri."Aku mulai kesal. Perangai Mbak Yanti sedikitpin tidak berubah walau sudah mendapat teguran.Bapak hanya menggelengkan kepala."Dasar pelit. Aku minta Devi aja lah. Sebentar lagi kan suaminya jadi bupati. Gampanglah kalau sekedar membangunkan rumah.""Sudah sudah. Kalau mau, tingga