"Coba ibu tanya KTP suami Mbak Mala kalau kesini. Pasti tidak ada. Itu kan syarat untuk rental mobil,"
"Kamu kenapa seperti itu Gung? Sakit hati karena pernah ditolak Mala?" godaku.Agung salah tingkah. Di usianya yang sudah dua puluh lima tahun, ia memang belum menikah."Ah enggak. Dunia juga tidak akan runtuh hanya gara-gara si Mala," kilahnya.Aku hanya tertawa kecil."Sudah Gung. Kamu temani bapak di depan. Kamu itu laki-laki kok suka nya ke dapur,""Biarin lah bu. Tidak ada ya bantu Mbak Airin. Biar Agung saja,"Aku tersenyum kecil kepada adik kesayanganku ini. Memang aku yang paling dekat denganya, juga karena usia kami juga tidak terpaut jauh. "Rin, benar apa kata Mbak Yanti tadi. Lebih baik si Agha itu suruh cari kerja lain saja. Walaupun ijazah SMP, setidaknya penghasilanya pasti begitu." lanjut ibu lagi.Sebenarnya ada rasa tidak enak dalam hati, selalu ibu mengulik tentang profesi suamiku."Tetapi sejauh ini alhamdulillah hidup kami masih cukup bu,""Kamu itu susah dibilangin dari dulu Rin. Hidup hanya cukup saja dipertahankan. Dulu disuruh nikah sama Juragan Malik saja tidak mau. Umur empat puluh lima itu belum terlalu tua Rin. Jadi istri kedua juga tidak apa-apa asal berlimpah materi," ucap ibu bersungut.Harta dan lagi - lagi karena itu. "Andai Agung jadi perempuan pun, mending jadi perawan tua bu daripada nikah dengan Juragan Malik. Sudah angkuh, hobi bermain wanita. Berlimpah materi tapi bikin sakit hati. Idih," kata Agung yang mengundang tawa kecil dariku.Ibu hanya melirik dengan sebal. Tetapi justru aku merasa terbela.*"Laris jualan cilokmu Gha?" tanya bapak, saat Mas Agha momong Arsy."Alhamdulillah pak. Sejauh ini selalu habis,"Bapak menyedot dalam dalam rokok kreteknya. Dan menghembuskan sembarangan layaknya juragan. Hal itu yang tidak aku suka saat Arsy ada didekatnya."Cario sampingan begitu. Jadi laki-laki itu harus punya harga diri. Apa anak istrimu akan terus menerus kamu ajak tinggal di rumah kontrakan ?" tanya Bapak.Bang Agha menunduk. Ia sadar betul akan kewajibanya."Saya mengerti pak. Saya juga menabung pelan-pelan "Jawaban Mas Agha justru mendapat respon tawa dari bapak."Semua laki-laki memang kebanyakan bersembunyi dibalik kata 'nanti'. Mau berapa puluh tahun kamu menabung dari hasil jualanmu cilok untuk membeli sebuah rumah?"Bapak memang begitu. Sifat dan perkataanya sedikit arogan. "Apa lebih baik Airin menikah dengan orang lain saja. Agar lebih terjamin hidupnya?"Aku yang kebetulan akan mengantarkan minuman mendengar semua itu. Dadaku rasanya sesak. Selama ini aku terima dihina dalam kekurangan. Tetapi perkataan bapak barusan mampu meluluh lantahkan pertahananku.Aku meletakan minuman dengan sedikit kasar. Membuat semua yang ada disitu tersentak."Cukup pak. Selama ini Airin sudah bahagia hidup bersama Mas Agha. Walau di rumah kontrakan, walau bersuamikan tukang cilok. Tapi itu semua halal. Dan Alhamdulillah selama ini kami tidak kekurangan," ucapku sambil menyeka air mataku. Ibu yang melihat itu juga tersentak menghampiriku lalu menenangkanku. Tidak biasanya beliau seperti ini. Biasanya beliau selalu membela kedua kakak ku."Airin, bapak sebagai orang tua mu ingin kamu bahagia, hidup berkecukupan,""Lantas apa salahnya dengan Tukang Cilok, pak. Pekerjaan itu kan halal.""Iya. Airin kan selalu beranggapan tukang cilok itu bos," kata suara yang aku kenal tiba-tiba datang. Mala."Pakdhe, Budhe maaf ya mengganggu. Aku kesini mau silaturahmi. Sekalian minta do'a mau liburan ke Menara Condong Pisa di Paris," kata Mala sambil sesekali merapikan gelangnya yang tampak berkilau membuat mata sakit.Bukanya Menara Condong ada di Italia? Apa sudah pindah?Apalagi aku ragu dengan keaslian emas yang dipakai Mala. Rasa-rasanya emas aslipun tidak mengkilat seperti itu warnanya."Bos itu ya seperti suaminya Mala, Rin. Punya showroom mobil terkenal," kata bapak."Emang bapak pernah lihat showrom nya? Airin saja tidak mengenalnya. Zaman sekarang banyak lho pak yang pura-pura kaya. Ngakunya punya mobil. Eh ternyata mobil rentalan. Ups," ucapku setengah tertawa sembari menutup mulut.Mala menjebik ke arahku. Sukurin. "Kenapa Airin menganggap Mas Agha itu bos? Karena sekecil apapun usahanya dia tetap owner. Kita tidak pernah tau kehidupan kedepanya. Ingat tidak kisah tentang Bob Sadino? Ah pasti Mala nggak tau. Di sekolah tidur saja sih," lanjutku penuh keyakinan.Agung yang melihat dari jauh tampak mengisyaratkan jempolnya padaku, yang aku balas dengan senyuman kecil."Halah percuma pintar. Sekarang apa?" jawab Mala dengan mengangankat bahu dan senyum sinis seolah meremehkanku."Setiap masa ada fasenya. Memang saat ini aku tidak berlimpah mate
"Jangan dimakan," teriak ku lantang.Semua menoleh ke arahku dengan tatapan heran. Aku mengambil satu hotdog dari tangan bapak. Lalu menunjukan ke semua orang."Lihat ini berjamur. Jangan dikonsumsi pak. Nanti justru sakit," cegahku.Mbak Yanti mengambil alih hotdog itu dari tangan ku. Ia juga tampak menelitinya."Tidak apa-apa ini. Usus manusia sudah kebal Rin makan seperti ini. Lagipula kapan lagi ada seorang anak yang mengerti membawa sesuatu untuk orang tua saat berkunjung," ujar nya seraya melirik ke arahku.Aku menunduk. Aku sadar ucapan Mbak Yanti adalah sindiran untuk ku. Aku memang tidak membawa tentengan tas ataupun oleh - oleh, Tapi tanpa mereka tahu aku menyelipkan uang kepada bapak dan ibu, walau jumlahnya tidak seberapa. Apa dengan cara yang ku lakukan, aku harus melakukanya kembali di depan kedua kakak ku. Aku tidak suka pribadi yang berlebih untuk dipamerkan. Biarlah ini menjadi rahasia ku dan Allah. Entah bapak dan ibu tidak menceritakan pada Mbak Yanti dan Mbak Devi
Semua diam. Biasanya aku diam saat dihina, saat dibedakan. Tetapi kali ini rasa sesak sudah memenuhi rongga dada. Aku sakit, menjadi perbandingan bahkan dengan orang lain. Apa yang terlihat indah, belum tentu akan selalu indah bukan?Suami ku seorang tukang cilok yang membuat mereka menganggapku berbeda adalah sosok laki-laki yang baik di kirim Allah untuk ku. Qodarulloh selama pernikahanku dengan Mas Agha, belum pernah sekalipun air mata ku menetes karenanya."Sudah, sudah. Bapak tidak mau selepas pulang dari sini kalian bermusuhan. Ayo minta maaf," perintah bapak dengan tegas.Kami pun saling bersalaman. Tetapi entah ada rasa tulus dari dalam hati atau tidak. Makan siang yang kami lewatkan juga terasa hambar dan dingin sebelum kedua kakak ku berpamit untuk pulang dulu."Jangan semua selalu kamu ambil hati, Rin. Pasti ada pembelajaranya juga," ujar bapak."Pembelajararan apa pak? Pembelajaran kalau Airin harus bisa seperti Mala?"Bapak menyedot rokok kreteknya dalam-dalam."Kamu adi
Bang Agha menyandarkan diri di tembok dengan lemas. Berkali - kali ia mengucap istigfar. Tetapi ia sadar harus segera pulang. Sepahit apapun istrinya harus tau kenyataanya."Bang, kok balik lagi? Ada yang ketinggalan?"Bang Agha tidak menjawab, justru ia bersimpuh di kaki ku sembari menangis. Aku yang masih belum mengerti apa-apa, kaget sekaligus bingung."Berdiri bang. Jangan seperti ini. Aku istrimu. Tidak pantas rasanya,"Aku dudukan Bang Agha pada kursi."Kenapa Bang? Ada apa?" tanyaku cemas."Kita tertipu dik. Orderan kemarin itu fiktif. Orangnya sudah pindah,"Kini berganti aku yang menyandarkan diri pada kursi. Kenapa tega melakukan ini pada pedagang kecil seperti kami yang untungnya juga tidak seberapa."Semua kontak abang diblokir dik,""Abang masih menyimpan nomornya ?"Bang Agha mengangguk, lalu menyerahlan ponselnya padaku. Segera aku save nomor nya di handphone ku. Dalam akun di aplikasi hijau hanya ada foto profil gambar kartun. Dan kini aku mencoba menghubungi nya. Cen
Aku melangkah pergi dengan geram. Biarlah dia bertanya dengan diri sendiri seperti apa kebodohanya itu. "Bagaimana dik?" tanya Bang Agha.Aku menghela nafas kasar."Kita salah bang. Mengharap pertolongan dari simbahnya dedemit,""Mala?""Iya bang. Siapa lagi. Dikasih juga tidak. Justru dihina. Bilang aja dia aslinya itu tidak kaya. Dramaqueen,"Aku menyandarkan diri di kursi. Ku lihat Arsy masih terlelap. Ada rasa bersalah jika kelak Arsy besar, aku tidak bisa menjamin masa depanya. Aku harus bangkit. Tapi entah darimana mulainya."Dik, bagaimana kalau cilok cilok ini kita bagikan pada tetangga. Dan juga buat bapak dan ibu ?"Aku setuju. Biarlah mungkin kali ini, Tuhan sedang memintaku untuk berbagi. Seperti yang aku pernah hilang tidak ada kebaikan yang sia-sia. Sekecil apapun itu.Motor butut kami berhenti di pelataran rumah. Ku lihat bapak dan ibu sedang bersantai di teras. Tetapi seperti biasa, tidak ada yang menyambut kami dengan senyuman.Kami tetap menyalami mereka dengan tak
Aku dan Bang Agha membuka amplop pemberian Agung dengan bismillah. Dan Kuasa Allah, jumlahnya lebih besar dari kerugian yang aku perkirakan. Ujian Allah hanya sebesar lubang jarum, tapi anugrah dari Nya seluas samudra."Bang bagaimana kalau kita membuat inovasi baru?""Maksutnya dik?""Ya kita selama ini kan hanya membuat cilok bumbu kacang sama cilok kuah. Kita buat yang lain begitu? Cilok goreng, Cilok beranak, Cilok bumbu Rujak. Kita promosikan di internet . Kan di aplikasi biru sekarang banyak grup - grup kuliner begitu,""Terserah kamu saja dik. Abang ikut aja sama magnet rezeki,"Kini aku kembali lagi aktif di dunia maya. Aku mulai gencar mempromosikan inovasi baru kami. Dan Qodarulloh, postinganku banyak mendapat respon positif. Orderan pun berdatangan. Dan tentu kami lebih selektif lagi agar kejadian tempo hari tidak terulang lagi.[ Rin, besok memakai baju berwarna abu-abu ]Begitu titah Mbak Devi melalui pesan di aplikasi hijau. 'Mungkin ada kendala pada seragam,' pikirku s
Mereka menatap kesal ke arah ku. Tapi aku sama sekali tidak perduli itu. Mungkin ini saatnya aku untuk tega."Mbak Airin, tidak diberi seragam?" tanya Agung.Aku menggeleng. "Keterlaluan sekali," kata Agung dengan tangan mengepal.Aku menahan tanganya untuk menghampiri Mbak Yanti dan Mbak Devi."Jangan Gung. Lagipula kami lebih senang berpakaian seperti ini. Daripada seperti lontong begitu.""Tapi aku tidak bisa tinggal diam. Mbak Airin diperlakukan berbeda,""Mbak, kenapa Mbak Airin tidak diberi seragam? Padahal Agung sudah menjatah kan kain untuk keluarganya ?"Mbak Devi mengibaskan tangan."Ah sudahlah Gung. Paling juga mereka tidak mampu untuk menjahit bajunya. Lihat sekarang kami kebingungan. Baju jahitan kami tidak sesuai,""Asal kalian tau, Baju yang dikenakan keluarga Mbak Airin jauh lebih baik dari sekedar ini mbak,"Agung menutup mukanya."Ya Allah," rintihnya. Dia seperti lelah menghadapi perbandingan antar keluarganya."Gung, sudahlah ini hanya seragam. Yang terpenting a
"Bang, apa mungkin ini ulah Mala?" tanyaku."Hust. Jangan suudzon dik. Bisa saja ia memang hanya temanya dan Mala tidak tau apa-apa."Semenjak kejadian itu, aku dan Mala lama tidak bertemu. Juga tidak ada chat di antara kami. Hanya saja, dia masih pada kebiasaanya. Posting foto- foto berbau kemewahan.[ Rin, Bu Sri sakit. Biskah kamu menghubungi Mala ? Daritadi dihubungi tidak bisa ]Pesan dari ibu. Ah kasian sekali Bu Sri. Sedang sakit tetapi jauh dari anaknya. Walaupun kadang tingkahnya menyebalkan kalau sedang pamer sih.Bergegas aku mengirim pesan pada Mala yang kebetulan baru saja update status.[ Mal, ibu kamu sakit ]Lama. Baru berbunyi panggilan pesn dari nya.[ Iya ]Hanya itu jawabanya. Sementara ibu terus aaja menelfonku, menanyakan keberadaan Mala.[ Ayo Rin, bagaimana ? Bu Sri semakin parah. Dia muntah darah ]Ah seperti aku ini yang menjadi Mala, diberondong pesan seperti itu.[ Mala sudah membalas 'Iya' , bu ]Tidak ada lagi pesan dari ibu. Mungkn Mala sudah datang kes