Share

3

"Coba ibu tanya KTP suami Mbak Mala kalau kesini. Pasti tidak ada. Itu kan syarat untuk rental mobil,"

"Kamu kenapa seperti itu Gung? Sakit hati karena pernah ditolak Mala?" godaku.

Agung salah tingkah. Di usianya yang sudah dua puluh lima tahun, ia memang belum menikah.

"Ah enggak. Dunia juga tidak akan runtuh hanya gara-gara si Mala," kilahnya.

Aku hanya tertawa kecil.

"Sudah Gung. Kamu temani bapak di depan. Kamu itu laki-laki kok suka nya ke dapur,"

"Biarin lah bu. Tidak ada ya bantu Mbak Airin. Biar Agung saja,"

Aku tersenyum kecil kepada adik kesayanganku ini. Memang aku yang paling dekat denganya, juga karena usia kami juga tidak terpaut jauh. 

"Rin, benar apa kata Mbak Yanti tadi. Lebih baik si Agha itu suruh cari kerja lain saja. Walaupun ijazah SMP, setidaknya penghasilanya pasti begitu." lanjut ibu lagi.

Sebenarnya ada rasa tidak enak dalam hati, selalu ibu mengulik tentang profesi suamiku.

"Tetapi sejauh ini alhamdulillah hidup kami masih cukup bu,"

"Kamu itu susah dibilangin dari dulu Rin. Hidup hanya cukup saja dipertahankan. Dulu disuruh nikah sama Juragan Malik saja tidak mau. Umur empat puluh lima itu belum terlalu tua Rin. Jadi istri kedua juga tidak apa-apa asal berlimpah materi," ucap ibu bersungut.

Harta dan lagi - lagi karena itu. 

"Andai Agung jadi perempuan pun, mending jadi perawan tua bu daripada nikah dengan Juragan Malik. Sudah angkuh, hobi bermain wanita. Berlimpah materi tapi bikin sakit hati. Idih," kata Agung yang mengundang tawa kecil dariku.

Ibu hanya melirik dengan sebal. Tetapi justru aku merasa terbela.

*

"Laris jualan cilokmu Gha?" tanya bapak, saat Mas Agha momong Arsy.

"Alhamdulillah pak. Sejauh ini selalu habis,"

Bapak menyedot dalam dalam rokok kreteknya. Dan menghembuskan sembarangan layaknya juragan. Hal itu yang tidak aku suka saat Arsy ada didekatnya.

"Cario sampingan begitu. Jadi laki-laki itu harus punya harga diri. Apa anak istrimu akan terus menerus kamu ajak tinggal di rumah kontrakan ?" tanya Bapak.

Bang Agha menunduk. Ia sadar betul akan kewajibanya.

"Saya mengerti pak. Saya juga menabung pelan-pelan "

Jawaban Mas Agha justru mendapat respon tawa dari bapak.

"Semua laki-laki memang kebanyakan bersembunyi dibalik kata 'nanti'. Mau berapa puluh tahun kamu menabung dari hasil jualanmu cilok untuk membeli sebuah rumah?"

Bapak memang begitu. Sifat dan perkataanya sedikit arogan. 

"Apa lebih baik Airin menikah dengan orang lain saja. Agar lebih terjamin hidupnya?"

Aku yang kebetulan akan mengantarkan minuman mendengar semua itu. Dadaku rasanya sesak. Selama ini aku terima dihina dalam kekurangan. Tetapi perkataan bapak barusan mampu meluluh lantahkan pertahananku.

Aku meletakan minuman dengan sedikit kasar. Membuat semua yang ada disitu tersentak.

"Cukup pak. Selama ini Airin sudah bahagia hidup bersama Mas Agha. Walau di rumah kontrakan, walau bersuamikan tukang cilok. Tapi itu semua halal. Dan Alhamdulillah selama ini kami tidak kekurangan," ucapku sambil menyeka air mataku. 

Ibu yang melihat itu juga tersentak menghampiriku lalu menenangkanku. Tidak biasanya beliau seperti ini. Biasanya beliau selalu membela kedua kakak ku.

"Airin, bapak sebagai orang tua mu ingin kamu bahagia, hidup berkecukupan,"

"Lantas apa salahnya dengan Tukang Cilok, pak. Pekerjaan itu kan halal."

"Iya. Airin kan selalu beranggapan tukang cilok itu bos," kata suara yang aku kenal tiba-tiba datang. Mala.

"Pakdhe, Budhe maaf ya mengganggu. Aku kesini mau silaturahmi. Sekalian minta do'a mau liburan ke Menara Condong Pisa di Paris," kata Mala sambil sesekali merapikan gelangnya yang tampak berkilau membuat mata sakit.

Bukanya Menara Condong ada di Italia? Apa sudah pindah?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status