Share

5

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-24 12:05:30

"Jangan dimakan," teriak ku lantang.

Semua menoleh ke arahku dengan tatapan heran. Aku mengambil satu hotdog dari tangan bapak. Lalu menunjukan ke semua orang.

"Lihat ini berjamur. Jangan dikonsumsi pak. Nanti justru sakit," cegahku.

Mbak Yanti mengambil alih hotdog itu dari tangan ku. Ia juga tampak menelitinya.

"Tidak apa-apa ini. Usus manusia sudah kebal Rin makan seperti ini. Lagipula kapan lagi ada seorang anak yang mengerti membawa sesuatu untuk orang tua saat berkunjung," ujar nya seraya melirik ke arahku.

Aku menunduk. Aku sadar ucapan Mbak Yanti adalah sindiran untuk ku. Aku memang tidak membawa tentengan tas ataupun oleh - oleh, Tapi tanpa mereka tahu aku menyelipkan uang kepada bapak dan ibu, walau jumlahnya tidak seberapa.  Apa dengan cara yang ku lakukan, aku harus melakukanya kembali di depan kedua kakak ku. Aku tidak suka pribadi yang berlebih untuk dipamerkan. Biarlah ini menjadi rahasia ku dan Allah. Entah bapak dan ibu tidak menceritakan pada Mbak Yanti dan Mbak Devi atau bagaimana.

"Tidak. Jangan dimakan pak. Makanan ini bukan makanan mahal, sekarang banyak kok dijumpai dimana-mana. Biar Agung yang membelikan," kata adik bungsuku menengahi

"Keterlaluan si Mala itu. Kalau mau memberi orang itu harusnya yang baik. Hotdog berjamur juga dikasihkan," lanjut Agung dengan gerutuanya.

"Bukan hotdog Gung. Tapi burger asli Inggris," kataku sembari tersenyum.

"Ya itu orang bodoh yang pura-pura kaya." 

"Sudahlah Le. Mungkin Mala juga tidak tau. Biasanya dia bawa makanan itu memang enak-enak dan bagus-bagus kok ke rumah Bu Sri,"

"Itu kan ke rumah orang tuanya bu. Apa memang gini caranya memperlakukan orang lain. Belum kaya saja sudah belagu. Sepertinya seorang Crazy rich pun tidak akan melakukan seperti itu,". Agung masih menggerutu tidak terima.

"Kamu itu tidak syirik saja kenapa sih Gung. Memang si Mala itu kaya kok. Lihat dari penampilanya. Sudah jelas dia kaya. Kamu seperti itu karena dia selalu mengolok-olok mbak kesayangan mu itu?" Mbak Devi menoleh ke arah ku dengan senyum satu sudut di bibirnya. 

Kini giliran Agung berkacak pinggang.

"Aku ya mbak sebagai satu-satunya anak laki-laki di rumah ini. Tidak terima. Seperti kita ini sampah yang diberi makanan berjamur,"

Mbak Devi membuang nafas pelan lalu menarik kursi bersiap untuk makan.

"Mbak kenal Mala kok orangnya seperti apa. Aslinya dia baik. Hanya mungkin karena di rumah ini ada orang yang tidak disukai jadinya dia bersikap seperti itu." ujarnya dengan santai.

Aku tercekat dengan ucapan Mbak Devi. Bisa langsung ditebak karena aku adalah orangnya. Kalau memang apa yang dikatakan Mbak Devi benar, alasan apa yang membuat Mala membenciku, padahala dulu kami berkawan lumayan akrab.

"Aku kan mbak?"

Mbak Devi menoleh.

"Siapa lagi,"

"Apa aku saja yang angkat kaki dari rumah ini mbak? Biarkan Mala yang duduk disini bersama kalian?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca. Sakit batinku diperbandingkan dengan orang lain oleh saudara kandung hingga sebegitu hina.

"Agung juga heran pada Mbak Yanti dan Mbak Devi, ada apa dengan Mala hingga kalian membelanya mati-matian daripada Mbak Airin, adik kandung mbak sendiri? Hanya karena Mas Agha jualan cilok? Kenapa? Apa itu perbuatan memalukan? Kalau Mas Agha maling itu baru kalian malu. Oh iya aku baru ingat, kalian sering diberi skincare oleh Mala kan hingga kalian bersikap seperti ini pada Mbak Airin? Dasar Matre,"

Aku semakin terisak dengan segala ucapan Agung. Mas Agha menenangkan ku dari belakang sambil menggendong Arsy yang tertidur.

"Apa harga skincare lebih mahal dari persaudaraan kita mbak?"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ISTRI TUKANG CILOK   44

    Tono hanya melongo saat mendengar panggilan untuknya. Mau menjawab apa, memang namanya bukan Agha. Dan dia juga belum punya anak.Begitu pula dengan Arsy, ia juga terdiam saat berhadapan pria bernama Tono tersebut.Ia hanya reflek. Karena memang Tono semirip itu dengan Almarhum Ayahnya."Eh maaf," ujar Arsy salah tingkah sekaligus tidak enak hati.Tono hanya tersenyum."Iya tidak apa apa. Kamu pasti ingat Ayah ya?"Arsy tersenyum kecil."Hati siapa yang tidak rindu Om setelah kehilangan Ayah. Aku kira ayah hidup lagi." jawab Arsy dengan candanya.Hal tersebut rupanya dilihat oleh Airin dan ibunya."Rin, sepertinya memang Arsy butuh sosok Ayah." Airin hanya tersenyum kecil menanggapi."Tapi yang dibutuhkan Arsy adalah sosok Bang Agha Bu. Bukan yang lainnya. Airin yakin seiring berjalannya waktu, Arsy pasti akan mengerti. Terkadang berdamai dengan keadaan memang tidak semudah itu," jawab Airin dengan bijak.Tahun demi tahun berlalu.Tak terasa putri kecil yang telah ditinggal mati ayah

  • ISTRI TUKANG CILOK   43

    Namun lambat laun aku mengambil keputusan. Yang menurutku terbaik. Aku mengikhlaskan sawah yang dibeli bapak dan ibu dari hasil kerjaku dulu untuk ku beri pada Mbak Devi. Memang dirasa sayang, tapi nuraniku memberontak melihat kondisi ibu."Ibu, jangan difikir lagi. Nanti aku akan memberikan sertifikat sawah pada Mbak Devi. Kebutuhan bapak dan ibu biar aku yang memenuhi,"Mata ibu mukai berkaca-kaca. Tanganya melambai mencari tanganku."Terimaksih nak. Untuk semua kebaikanmu. Hatimu bersih seperti malaikat,""Ibu do'akan saja usahaku lancar ya,"Namun ibu justru menangis tergugu."Ibu kenapa? Airin ada salah?""Ya Allah pak. Pekerjaan yang dulu kita remehkan, nyatanya sekarang yang menghidupi kita. Ibu malu Rin. Malu padamu. Terlebih pada almarhum suamimu,"Perih memang yang aku rasakan ini. Hatiku selalu trenyuh kala mengingat Mas Agha. Dia hanya menelan pahitnya tanpa diberi kesempatan sedikitpun mencicipi manisnya."Bang Agha sudah tenang bu. Surga menantinya,""Rin,"panggil bapa

  • ISTRI TUKANG CILOK   42

    Dan tidak ku sangka yang berdiri di depan pintu adalah Bu Sri. Beliau hanya menundukan kepalanya seraya meremas-remas ujung bajunya."Saya, ma-mau melamar menjadi ART, Rin. Eh nyonya."Aku selidik penuh selidik. Bagaimana bisa Bu Sri yang terkenal sombongnya mau menjadi ART. Di rumahku pula. Yang selalu sirik dengan kehidupan keluarga kami. Bukan hanya dia, tetapi juga Mala anaknya."Ma'af apakah Bu Sri tidak salah?"Dia tertunduk dan dengan pelan menggelengkan kepala. Bahkan beberapa saat, dia juga tidak mau menatapku."Ta tapi Mala,"Bu Sri langsung menyeka sudut matanya. Aku baru tau kalau sedari tadi ia tengah menangis."Kenapa menangis bu? Saya ada salahkah?". Aku panik. Bagaimana tidak, aku tidak tau duduk masalahnya tiba-tiba beliau menangis. Atau jangan-jangan ada kata-kataku yang menyakitinya."Mala tertangkap polisi." ucapnya sesenggukan.Mataku membulat sempurna. Semenjak pindah rumah, aku maupun keluarga memang tidak tahu menahu tentang keadaan keluarga itu."Bagaimana bis

  • ISTRI TUKANG CILOK   41

    Bapak tertegun melihat kedatangan Devi. Beliau hanya memandang putrinya itu. Masih sama tidak berubah. Mimik muka dan penampilanya. Bagaimana rona wajahnya jika tidak suka dengan sesuatu."Bapak hanya ingin membantu Airin. Ia punya rumah bahkan sepeserpun bapak sebagai orang tua tidak bisa memberinya,"ujar lirih bapak.Justru Devi berkacak pinggang. Matanya melotot."Memangnya dulu saat Devi membuat rumah, bapak juga membantu begitu?"teriaknya lantang."Ketara sekali sekarang membela Airin. Mentang-mentang sekarang kaya. Bapak juga dari dulu tidak berubah. Selalu melulu tentang uang," lanjutnya tak perduli dengan perasaan bapaknya yang mematung berdiri di depanya.Bapak menghela nafas pelan. "Keadaanya berbeda Devi. Kamu punya suami. Pekerjaanya mapan. Beda dengan Airin yang sudah menjadi janda,""Karena bapak sendiri yang membuat Airin menjadi janda. Sudahlah pak Devi kesini mau pinjam sertifikat rumah,"Bapak yang semula tertunduk lalu mendongakan kepala."Untuk apa Dev?""Untuk t

  • ISTRI TUKANG CILOK   40

    "Tapi kedatangan kami bukan untuk itu mbak," ujar Devi lirih.Yanti menautkan alis. Dia heran, lalu apa maksud kedatangan adiknya ini."Aku ingin meminjam sertifikat bapak. Kalau tidak boleh, aku ingin meminta warisanku. Untuk tambah biaya kampanye suamiku."Yanti mulai berkacak pinggang. Dia melotot."Bapak dan ibu masih hidup Dev. Kenapa kamu sudah berbicara warisan?"Nada suara Yanti mulai meninggi."Memangnya salah? Toh aku juga anak bapak. Jadi aku juga berhak atas harta bapak.""Lagipula apa sampai segitunya Dev. Iya kalau suamimu jadi. Kalau enggak ? Uang sudah hilang. Belum lagi kalau kamu pinjam sertifikat. Yang ada suamimu tidak jadi sementara utang menumpuk. Mikir dong."Devi tertawa kecil meremehkan. "Tau apa sih mbak kamu tentang strategi politik? Urus hidupmu sendiri. Bodoh sekali bisa ditipu lelaki."Plakk...Yanti menampar dengan geram pipi mulus Devi hasil perawatan dengan skincare mahal yang dulu selalu ia pamerkan."Apa-apa an kamu? Manusia kere beraninya menampar

  • ISTRI TUKANG CILOK   39

    "Bagaimana ya mbak. Kalau mbak ikut kan jadi serumah ada tiga keluarga. Pamali mbak," jawabku."Iya Nduk. Benar kata Airin," lanjut ibuMbak Yanti melengos dengan muka kesal dan menatap kami dengan tajam."Jadi bapak dan ibu sekarang membela Airin? Mentang-mentang kaya?" tanyanya sembari berkacak pinggang."Yanti, ini bukan maslah membela siapa. Tetapi apa yang dikatakan Airin saat ini itu benar. Kita orang jawa yang masih menjujung tinggi adat istiadat," kata bapak mencoba menengahi."Kalau gitu bangunkan aku rumah dong Rin," kata Mbak Yanti dengan entengnya."Mbak kira bangun rumah itu kayak beli tempe? Mbak sedari dulu terlalu membanggakan suami, mengandalkan suami. Jadi nya gini kan. Tidak bisa mandiri."Aku mulai kesal. Perangai Mbak Yanti sedikitpin tidak berubah walau sudah mendapat teguran.Bapak hanya menggelengkan kepala."Dasar pelit. Aku minta Devi aja lah. Sebentar lagi kan suaminya jadi bupati. Gampanglah kalau sekedar membangunkan rumah.""Sudah sudah. Kalau mau, tingga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status