Apalagi aku ragu dengan keaslian emas yang dipakai Mala. Rasa-rasanya emas aslipun tidak mengkilat seperti itu warnanya.
"Bos itu ya seperti suaminya Mala, Rin. Punya showroom mobil terkenal," kata bapak."Emang bapak pernah lihat showrom nya? Airin saja tidak mengenalnya. Zaman sekarang banyak lho pak yang pura-pura kaya. Ngakunya punya mobil. Eh ternyata mobil rentalan. Ups," ucapku setengah tertawa sembari menutup mulut.Mala menjebik ke arahku. Sukurin. "Kenapa Airin menganggap Mas Agha itu bos? Karena sekecil apapun usahanya dia tetap owner. Kita tidak pernah tau kehidupan kedepanya. Ingat tidak kisah tentang Bob Sadino? Ah pasti Mala nggak tau. Di sekolah tidur saja sih," lanjutku penuh keyakinan.Agung yang melihat dari jauh tampak mengisyaratkan jempolnya padaku, yang aku balas dengan senyuman kecil."Halah percuma pintar. Sekarang apa?" jawab Mala dengan mengangankat bahu dan senyum sinis seolah meremehkanku."Setiap masa ada fasenya. Memang saat ini aku tidak berlimpah materi, tetapi setidaknya aku pernah membuat bangga bapak dan ibuku. Aku percaya tidak ada kebaikan yang sia-sia, sekecil apapun itu. Dan sejarah pasti terulang dengan cerita yang sama tetapi dengan pemeran yang berbeda,"Semua diam. Bapak dan ibu tertunduk. Mungkin dalam hati mereka mengulik kisah saat aku masih duduk di bangku sekolah. Lelah bapak dan ibu terbayarkan, dengan senyuman bangga saat aku selalu menduduki juara satu."Sudah-sudah. Ayok Mala ikut makan. Kebetulan semua sudah matang ya bu ?" kata Bapak.Ibu mengangguk. Memang begitu adat orang desa. Makanan bukan menjadi barang mahal untuk dibagikan. Sebenarnya memang Mala dan aku masih ada silsilah saudara. Nenek Mala dan Nenek ku adalah saudara kandung.Mala tampak melihat seisi rumah. Celingak celinguk memandang di setiap sudutnya."Masih sama ya Pakdhe budhe. Rumah ini kan dulu yang merenovasi Mbak Yanti sama Mbak Devi ya. Sekarang giliran kamu dong Rin,"Semakin aku geram dengan tingkah Mala yang berusaha menjatuhkanku di depan keluaragaku. Mengurusi yang seharusnya bukan urusanya.Aku berkacak pinggang."Sebenarnya mau kamu itu apa sih? Kenapa selalu ikut campur masalah orang lain?" "Tapi benar apa kata Mala Rin. Mana bakti kamu pada bapak dan ibu?" lanjut Mbak Yanti."Apa bakti anak selalu diukur dengan rupiah sih mbak? Apa mbak tidak ingat dulu sewaktu menikah, Mbak Yanti dan Mbak Devi hanya ijab kabul. Sementara Airin, dirayakan. Karena bapak dan ibu belum 'mbubak'. Dan itu semua murni uang Airin semua. Uang dan barang setelah pernikahan, juga dibelikan sawah oleh bapak. Dan sekarang kalau dijual harganya mungkin lebih tinggi dari sekedar biaya merenovasi rumah ini," jawabku."Jadi kamu tidak ikhlas Rin? Mengungkit - ungkit itu?" tanya Mbak Devi.Aku membuang nafas pelan. Sifat kedua kakak ku memang seperti sifat Bapak. Sedikit Arogan. Apalagi suami mereka cukup berpangkat. Suami Mbak Yanti adalah mandor di sebuah pabrik. Dan suami Mbak Devi adalah ASN di kecamatan."Bukanya aku tidak ikhlas mbak. Kalau aku tidak dipancing, rasa-rasanya aku juga enggan berkata seperti itu,"Sekarang aku menoleh tajam ke arah Mala."Puas kamu Mala? Menjadi duri dalam persaudaraan kami?"Mala tertunduk dan salah tingkah."Sudah-sudah, Kalian ini apa-apa an sih Mbak? Sudah dewasa. Harusnya jangan umurnya saja. Tetapi juga dengan sikapnya. Dan Mbak Mala, kalau memang kehadiran mbak disini hanya berniat mengganggu kerukunan kami, lebih baik angkat kaki saja dari sini," ucap Agung dengan tegas yang mendapat respon tarikan tangan dari ibu yang mungkin merasa tidak enak hati dengan Mala."Sudah budhe, pakdhe tidak apa-apa. Lagipula, aku tidak berselera makan. Paling juga yang masak Airin kan. Tau nya pasti masakan desa. Mana tau dia makanan kota seperti yang aku bawa ini," kata Mala seraya menyodorkan sebuah kotak lalu membukanya."Ini namanya burger. Makanan dari Inggris," katanya sambil menunjuk isi dalam kotak. Aku teliti memperhatikanya. Roti berbentuk bujur dengan isian sosis. Ah rasanya ini namanya hotdog. Lagipula bukannya burger berasal dari Amerika Serikat? Apa pindah lagi seperti Menara Condong?"Ya sudah ya pakdhe budhe, Mala pamit dulu," katanya sambil melirik tajam ke arahku."Enak nih sepertinya," kata bapak. Langsung mencomot satu hotdog dari kotak."Jangan Dimakan...Tono hanya melongo saat mendengar panggilan untuknya. Mau menjawab apa, memang namanya bukan Agha. Dan dia juga belum punya anak.Begitu pula dengan Arsy, ia juga terdiam saat berhadapan pria bernama Tono tersebut.Ia hanya reflek. Karena memang Tono semirip itu dengan Almarhum Ayahnya."Eh maaf," ujar Arsy salah tingkah sekaligus tidak enak hati.Tono hanya tersenyum."Iya tidak apa apa. Kamu pasti ingat Ayah ya?"Arsy tersenyum kecil."Hati siapa yang tidak rindu Om setelah kehilangan Ayah. Aku kira ayah hidup lagi." jawab Arsy dengan candanya.Hal tersebut rupanya dilihat oleh Airin dan ibunya."Rin, sepertinya memang Arsy butuh sosok Ayah." Airin hanya tersenyum kecil menanggapi."Tapi yang dibutuhkan Arsy adalah sosok Bang Agha Bu. Bukan yang lainnya. Airin yakin seiring berjalannya waktu, Arsy pasti akan mengerti. Terkadang berdamai dengan keadaan memang tidak semudah itu," jawab Airin dengan bijak.Tahun demi tahun berlalu.Tak terasa putri kecil yang telah ditinggal mati ayah
Namun lambat laun aku mengambil keputusan. Yang menurutku terbaik. Aku mengikhlaskan sawah yang dibeli bapak dan ibu dari hasil kerjaku dulu untuk ku beri pada Mbak Devi. Memang dirasa sayang, tapi nuraniku memberontak melihat kondisi ibu."Ibu, jangan difikir lagi. Nanti aku akan memberikan sertifikat sawah pada Mbak Devi. Kebutuhan bapak dan ibu biar aku yang memenuhi,"Mata ibu mukai berkaca-kaca. Tanganya melambai mencari tanganku."Terimaksih nak. Untuk semua kebaikanmu. Hatimu bersih seperti malaikat,""Ibu do'akan saja usahaku lancar ya,"Namun ibu justru menangis tergugu."Ibu kenapa? Airin ada salah?""Ya Allah pak. Pekerjaan yang dulu kita remehkan, nyatanya sekarang yang menghidupi kita. Ibu malu Rin. Malu padamu. Terlebih pada almarhum suamimu,"Perih memang yang aku rasakan ini. Hatiku selalu trenyuh kala mengingat Mas Agha. Dia hanya menelan pahitnya tanpa diberi kesempatan sedikitpun mencicipi manisnya."Bang Agha sudah tenang bu. Surga menantinya,""Rin,"panggil bapa
Dan tidak ku sangka yang berdiri di depan pintu adalah Bu Sri. Beliau hanya menundukan kepalanya seraya meremas-remas ujung bajunya."Saya, ma-mau melamar menjadi ART, Rin. Eh nyonya."Aku selidik penuh selidik. Bagaimana bisa Bu Sri yang terkenal sombongnya mau menjadi ART. Di rumahku pula. Yang selalu sirik dengan kehidupan keluarga kami. Bukan hanya dia, tetapi juga Mala anaknya."Ma'af apakah Bu Sri tidak salah?"Dia tertunduk dan dengan pelan menggelengkan kepala. Bahkan beberapa saat, dia juga tidak mau menatapku."Ta tapi Mala,"Bu Sri langsung menyeka sudut matanya. Aku baru tau kalau sedari tadi ia tengah menangis."Kenapa menangis bu? Saya ada salahkah?". Aku panik. Bagaimana tidak, aku tidak tau duduk masalahnya tiba-tiba beliau menangis. Atau jangan-jangan ada kata-kataku yang menyakitinya."Mala tertangkap polisi." ucapnya sesenggukan.Mataku membulat sempurna. Semenjak pindah rumah, aku maupun keluarga memang tidak tahu menahu tentang keadaan keluarga itu."Bagaimana bis
Bapak tertegun melihat kedatangan Devi. Beliau hanya memandang putrinya itu. Masih sama tidak berubah. Mimik muka dan penampilanya. Bagaimana rona wajahnya jika tidak suka dengan sesuatu."Bapak hanya ingin membantu Airin. Ia punya rumah bahkan sepeserpun bapak sebagai orang tua tidak bisa memberinya,"ujar lirih bapak.Justru Devi berkacak pinggang. Matanya melotot."Memangnya dulu saat Devi membuat rumah, bapak juga membantu begitu?"teriaknya lantang."Ketara sekali sekarang membela Airin. Mentang-mentang sekarang kaya. Bapak juga dari dulu tidak berubah. Selalu melulu tentang uang," lanjutnya tak perduli dengan perasaan bapaknya yang mematung berdiri di depanya.Bapak menghela nafas pelan. "Keadaanya berbeda Devi. Kamu punya suami. Pekerjaanya mapan. Beda dengan Airin yang sudah menjadi janda,""Karena bapak sendiri yang membuat Airin menjadi janda. Sudahlah pak Devi kesini mau pinjam sertifikat rumah,"Bapak yang semula tertunduk lalu mendongakan kepala."Untuk apa Dev?""Untuk t
"Tapi kedatangan kami bukan untuk itu mbak," ujar Devi lirih.Yanti menautkan alis. Dia heran, lalu apa maksud kedatangan adiknya ini."Aku ingin meminjam sertifikat bapak. Kalau tidak boleh, aku ingin meminta warisanku. Untuk tambah biaya kampanye suamiku."Yanti mulai berkacak pinggang. Dia melotot."Bapak dan ibu masih hidup Dev. Kenapa kamu sudah berbicara warisan?"Nada suara Yanti mulai meninggi."Memangnya salah? Toh aku juga anak bapak. Jadi aku juga berhak atas harta bapak.""Lagipula apa sampai segitunya Dev. Iya kalau suamimu jadi. Kalau enggak ? Uang sudah hilang. Belum lagi kalau kamu pinjam sertifikat. Yang ada suamimu tidak jadi sementara utang menumpuk. Mikir dong."Devi tertawa kecil meremehkan. "Tau apa sih mbak kamu tentang strategi politik? Urus hidupmu sendiri. Bodoh sekali bisa ditipu lelaki."Plakk...Yanti menampar dengan geram pipi mulus Devi hasil perawatan dengan skincare mahal yang dulu selalu ia pamerkan."Apa-apa an kamu? Manusia kere beraninya menampar
"Bagaimana ya mbak. Kalau mbak ikut kan jadi serumah ada tiga keluarga. Pamali mbak," jawabku."Iya Nduk. Benar kata Airin," lanjut ibuMbak Yanti melengos dengan muka kesal dan menatap kami dengan tajam."Jadi bapak dan ibu sekarang membela Airin? Mentang-mentang kaya?" tanyanya sembari berkacak pinggang."Yanti, ini bukan maslah membela siapa. Tetapi apa yang dikatakan Airin saat ini itu benar. Kita orang jawa yang masih menjujung tinggi adat istiadat," kata bapak mencoba menengahi."Kalau gitu bangunkan aku rumah dong Rin," kata Mbak Yanti dengan entengnya."Mbak kira bangun rumah itu kayak beli tempe? Mbak sedari dulu terlalu membanggakan suami, mengandalkan suami. Jadi nya gini kan. Tidak bisa mandiri."Aku mulai kesal. Perangai Mbak Yanti sedikitpin tidak berubah walau sudah mendapat teguran.Bapak hanya menggelengkan kepala."Dasar pelit. Aku minta Devi aja lah. Sebentar lagi kan suaminya jadi bupati. Gampanglah kalau sekedar membangunkan rumah.""Sudah sudah. Kalau mau, tingga