Share

4

Apalagi aku ragu dengan keaslian emas yang dipakai Mala. Rasa-rasanya emas aslipun tidak mengkilat seperti itu warnanya.

"Bos itu ya seperti suaminya Mala, Rin. Punya showroom mobil terkenal," kata bapak.

"Emang bapak pernah lihat showrom nya? Airin saja tidak mengenalnya. Zaman sekarang banyak lho pak yang pura-pura kaya. Ngakunya punya mobil. Eh ternyata mobil rentalan. Ups," ucapku setengah tertawa sembari menutup mulut.

Mala menjebik ke arahku. Sukurin. 

"Kenapa Airin menganggap Mas Agha itu bos? Karena sekecil apapun usahanya dia tetap owner. Kita tidak pernah tau kehidupan kedepanya. Ingat tidak kisah tentang Bob Sadino? Ah pasti Mala nggak tau. Di sekolah tidur saja sih," lanjutku penuh keyakinan.

Agung yang melihat dari jauh tampak mengisyaratkan jempolnya padaku, yang aku balas dengan senyuman kecil.

"Halah percuma pintar. Sekarang apa?" jawab Mala dengan mengangankat bahu dan senyum sinis seolah meremehkanku.

"Setiap masa ada fasenya. Memang saat ini aku tidak berlimpah materi, tetapi setidaknya aku pernah membuat bangga bapak dan ibuku. Aku percaya tidak ada kebaikan yang sia-sia, sekecil apapun itu. Dan sejarah pasti terulang dengan cerita yang sama tetapi dengan pemeran yang berbeda,"

Semua diam. Bapak dan ibu tertunduk. Mungkin dalam hati mereka mengulik kisah saat aku masih duduk di bangku sekolah. Lelah bapak dan ibu terbayarkan, dengan senyuman bangga saat aku selalu menduduki juara satu.

"Sudah-sudah. Ayok Mala ikut makan. Kebetulan semua sudah matang ya bu ?" kata Bapak.

Ibu mengangguk. Memang begitu adat orang desa. Makanan bukan menjadi barang mahal untuk dibagikan. Sebenarnya memang Mala dan aku masih ada silsilah saudara. Nenek Mala dan Nenek ku adalah saudara kandung.

Mala tampak melihat seisi rumah. Celingak celinguk memandang di setiap sudutnya.

"Masih sama ya Pakdhe budhe. Rumah ini kan dulu yang merenovasi Mbak Yanti sama Mbak Devi ya. Sekarang giliran kamu dong Rin,"

Semakin aku geram dengan tingkah Mala yang berusaha menjatuhkanku di depan keluaragaku. Mengurusi yang seharusnya bukan urusanya.

Aku berkacak pinggang.

"Sebenarnya mau kamu itu apa sih? Kenapa selalu ikut campur masalah orang lain?" 

"Tapi benar apa kata Mala Rin. Mana bakti kamu pada bapak dan ibu?" lanjut Mbak Yanti.

"Apa bakti anak selalu diukur dengan rupiah sih mbak? Apa mbak tidak ingat dulu sewaktu menikah, Mbak Yanti dan Mbak Devi hanya ijab kabul. Sementara Airin, dirayakan. Karena bapak dan ibu belum 'mbubak'. Dan itu semua murni uang Airin semua. Uang dan barang setelah pernikahan, juga dibelikan sawah oleh bapak. Dan sekarang kalau dijual harganya mungkin lebih tinggi dari sekedar biaya merenovasi rumah ini," jawabku.

"Jadi kamu tidak ikhlas Rin? Mengungkit - ungkit itu?" tanya Mbak Devi.

Aku membuang nafas pelan. Sifat kedua kakak ku memang seperti sifat Bapak. Sedikit Arogan. Apalagi suami mereka cukup berpangkat. Suami Mbak Yanti adalah mandor di sebuah pabrik. Dan suami Mbak Devi adalah ASN di kecamatan.

"Bukanya aku tidak ikhlas mbak. Kalau aku tidak dipancing, rasa-rasanya aku juga enggan berkata seperti itu,"

Sekarang aku menoleh tajam ke arah Mala.

"Puas kamu Mala? Menjadi duri dalam persaudaraan kami?"

Mala tertunduk dan salah tingkah.

"Sudah-sudah, Kalian ini apa-apa an sih Mbak? Sudah dewasa. Harusnya jangan umurnya saja. Tetapi juga dengan sikapnya. Dan Mbak Mala, kalau memang kehadiran mbak disini hanya berniat mengganggu kerukunan kami, lebih baik angkat kaki saja dari sini," ucap Agung dengan tegas yang mendapat respon tarikan tangan dari ibu yang mungkin merasa tidak enak hati dengan Mala.

"Sudah budhe, pakdhe tidak apa-apa. Lagipula, aku tidak berselera makan. Paling juga yang masak Airin kan. Tau nya pasti masakan desa. Mana tau dia makanan kota seperti yang aku bawa ini," kata Mala seraya menyodorkan sebuah kotak lalu membukanya.

"Ini namanya burger. Makanan dari Inggris," katanya sambil menunjuk isi dalam kotak. Aku teliti memperhatikanya. Roti berbentuk bujur dengan isian sosis. Ah rasanya ini namanya hotdog. Lagipula bukannya burger berasal dari Amerika Serikat? Apa pindah lagi seperti Menara Condong?

"Ya sudah ya pakdhe budhe, Mala pamit dulu," katanya sambil melirik tajam ke arahku.

"Enak nih sepertinya," kata bapak. Langsung mencomot satu hotdog dari kotak.

"Jangan Dimakan...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status