"Maaf ya Hanna kamu jadi harus pulang malam,” Ucap Bunda Ayu tak enak hati karna Zeyva yang terus merengek tak ingin ditinggal Hanna, Sampai akhirnya Zeyva tidur juga dan Hanna bisa terbebas sekarang.
"Gak papah kok Bun."
"Kamu gak mau nginep disini aja?” Tanya Jafran pada Hanna,karna ini sudah jam 8 malam.
"Kita belum menjadi Mukhrim Mas, kamu ngertikan?”
"Heem, tentu saja."
"Yaudah, kalian hati-hati di jalan,” pesan Bunda Ayu.
"Iya Bun, Hanna pulang dulu,” pamit Hanna setelah mencium tangan Bunda Ayu.
"Assalamualaikum,” ucap Hanna dan Jafran bersamaan.
“Waalaikumsalam.”
Saat mobil Jafran keluar dari gerbang, tak lama mobil Jefri yang memasuki gerbang sekarang.
"Jafran mau kemana?” tanya Jefri setelah mencium tangan sang Bunda yang berada di depan pintu rumah.
"Nganterin Hanna pulang, putri kamu nahan dia seharian di rumah, gak di bolehin pulang,” beritahu Bunda Ayu pada Jefri.
"Ohh,” respon Jefri.
"Jef, kapan kamu bawa calon kamu ke rumah?" tanya Bunda Ayu untuk ke sekian kali, berharap jawaban anaknya berubah.
"Jefri gak butuh istri Bun."
Selalu itu jawaban putra sulungnya dan masih sama.
"Kasian Zeyva, dia butuh sosok ibu Jef. Dia berpikir Hanna calon istri kamu, dia pikir Hanna calon ibunya,” beritahu Bunda Ayu.
"Ya sudah, biar Hanna saja jadi ibu Zeyva,” ucap Jefri seenaknya.
"Kamu jangan ngomong sembarangan Jef, ucapan itu do’a. Hanna dan Jafran akan membangun rumah tangga mereka sendiri, Hanna tak mungkin mengurus Zeyva, karna Zeyva bukanlah prioritasnya,” jelas Bunda Ayu.
"Masih ada Bunda yang bisa mengurus Zeyva, sama saja. Jef cape Bun, dari siang masalah yang sama yang Bunda dan Jafran bahas. Jef mau istirahat, tolong jangan ganggu,” ucap Jefri lalu masuk ke rumah tanpa menghiraukan sang Bunda.
Ayu sudah tak tahu lagi harus membuat putra sulungnya sadar bagaimana, sejak Zilia meninggal, rasanya putranya yang dulu pun ikut pergi. Mungkin hanya Allah yang bisa mengubah hati putranya dan entah dengan cara apa.
****
"Tante Bunda,” teriak Zeyva saat Hanna dan Jafran baru saja tiba di kediaman Kusuma.
"Hai, Zeyva cantik. Sekarang kok panggilnya Tante Bunda?" tanya Hanna sambil berjongkok dan menyamakan tingginya dengan Zeyva.
"Om cama Nenek biyang, Tante Bunda butan mau jadi istlinya Ayah. Tapi istlinya Om, jadi tante aku. Hiks, aku kila tante Bunda itu Bunda Zey,” ucap Zeyva dengan air mata yang kembali mengalir dan Hanna segera membawa Zeyva ke gendongannya.
"Gak papah kok kalau Zey mau anggep tante, Bunda Zey,” ucap Hanna menenangkan Zeyva.
Untuk ukuran anak 4 tahun Zeyva itu sangat pintar, dia tahu ibu kandungnya sudah meninggal, tapi dia ingin punya sosok ibu lain dan bila ayahnya menikah lagi maka dia akan mendapatkan ibu. Tapi sepintarnya seorang anak, bukankah pemikiran dan keinginannya tetap sederhana.
"Tapi Tante Bundakan nikahnya cama Om Jafran butan cama Ayah, masa aku panggil Bunda?” tanya Zeyva.
"Hei, kita boleh berbagi, nanti kamu boleh anggap tante Hanna Bunda kamu, gimana?" tanya Jafran menghibur keponakannya.
Jafran dan Bunda Ayu terpaksa menjelaskan semuanya pada Zeyva karna anak itu terus menangis ingin bertemu Hanna, tapi ternyata setelah tahu semuanya hal itu membuat Zeyva kecewa dan menangis lagi.
"Ndak Papah Om?" tanya Zeyva ragu.
"Gak papah, boleh kok panggil tante Hanna, Bunda,” ucap Jafran meyakinkan.
"Boyeh?" tanya Zeyva sambil menatap Hanna.
"Boleh, Zey boleh panggil tante, Bunda mulai sekarang,” ucap Hanna mengelus kepala Zeyva.
"Hore, Zey cekalang puna Bunda,” ucap Zeyva bersorak di gendongan Hanna lalu mengalungkan tangannya sayang pada Hanna.
"Uhh, senangnya cucu Nenek. Ya udah yuk kita berangkat ke butik. Tinggal fiting kan, siapa tahu bajunya kebesaran,” ajak Bunda Ayu, karna sejak awal mereka ingin pergi kebutik mencoba baju pengantin pesanan Bunda Ayu untuk Jafran dan Hanna dan tak lupa si kecil Zeyva juga ikut pada akhirnya.
*****
“Cincinnya cantik, cocok sekali di kamu.” puji Jafran, saat kini mereka berdua pergi bersama untuk membeli cincin pernikahan.
“Ya, cantik sekali Mas.”
“Aku tak sabar untuk bisa mengenakan itu di jari kamu langsung nanti, kenapa 2 minggu terasa begitu lama ya,” ucap Jafran, sambil menghela nafasnya seperti orang kesal yang membuat Hanna tersenyum.
“2 minggu itu sebentar, bukankah kamu bahkan bisa menunggu menetapkan hati kamu ke aku selama 2 tahun. Jadi, bersabarlah sedikit lagi,” pinta Hanna.
“Tentu saja, aku akan bersabar. 2 minggu lagi, aku akan bisa mencium kamu, dan—.”
“Dan apa?” tanya Hanna karena Jafran menghentikan perkataannya.
“Dan mencium bibir ranum kamu,” bisik Jafran di telinganya.
“Ish, Mas apaan sih. Udah ah kita pulang,” ajak Hanna, benar-benar malu bahkan kini wajahnya sudah sangat memerah dan Jafran suka sekali menggoda calon istrinya ini.
"Ya sudah kita pulang, sebentar lagi memang jam pulang sekolah Zeyva soalnya,” ajak Jafran.
Mereka memang akan menjemput Zeyva hari ini, karena Hanna sudah berjanji untuk menjemput Zeyva hari ini di playgrup-nya.
"Ayo.”
Merekapun pergi dari toko perhiasan itu, pergi menaiki mobil Jafran menuju sekolah Zeyva, hingga akhirnya mereka sampai ke sana.
"Kamu masuk sendiri yah, aku ada telpon,” beritahu Jafran sambil menunjukkan panggilan di ponselnya.
"Ya sudah."
Hanna pun memasuki playgrup yang juga merangkap TK yang terkenal untuk kalangan orang berada itu tanpa Jafran.
Hanna melihat beberapa anak sudah keluar dan di jemput, tapi dia tak melihat Zeyva.
"Permisi, apakah anda melihat Zeyvanya?" tanya Hanna pada salah seorang orang tua murid sepertinya.
"Zeyvanya Aqila, itu sedang bermain di ayunan,” tunjuk ibu itu pada tempat bermain anak.
"Zeyva,” panggil Hanna.
Zeyva pun dengan semangat turun dari ayunannya dan berlari menghampiri Hanna.
"Bunda,” teriak Zeyva sambil merentangkan tangannya dan Hanna langsung menggendong Zeyva.
"Anak Bunda mainnya dimana sampai rambutnya penuh daun gini?” tanya Hanna, lalu membersihkan kepala Zeyva yang terkena daun kering.
"Anda Bundanya Zeyva?” tanya orang tersebut karna mendengar panggilan Zeyva pada Hanna, juga melihat Hanna yang begitu lues mengasuh Zeyva.
"Ini memang Bundanya Zey,” ucap Zeyva mendahului.
"Ohh, berarti anda menantu keluarga kusuma? Istri pak Jefri?"
Pertanyaan itu membuat Hanna terdiam, dia bingung harus menjawab apa. Dia memang calon menantu keluarga kusuma, tapi dia bukan calon istri Jefri, dia calon istri Jafran.
"Bunda, puyang,” rengek Zeyva.
"Maaf, saya permisi pulang duluan,” pamit Hanna, merasa beruntung karena rengekan Zey bisa menyelamatkannya.
"Ohh, silakan."
Hanna segera masuk ke mobil Jafran dengan Zeyva yang masih di gendongannya.
"Eyy, seneng yah dijemput Bunda?” tanya Jafran setelah mereka duduk tenang di mobil.
"Ceneng banet,” ucap Zeyva dengan tertawa lucu dan bicaranya yang masih cadel.
"Om seneng liat kamu bahagia,” ucap Jafran sambil mengusak kepala keponakannya.
"Zey ceneng puna Bunda,” ucap Zey memeluk Hanna.
"Bunda juga seneng,” ucap Hanna balas memeluk Zeyva.
"Zey cayang Bunda, cayang Om Jafran juga,” ucap Zeyva lalu mencium kedua pipi Hanna sayang. Tak lupa mendekati Jafran dan juga memberikan ciuman di pipinya.
Bukankah mereka terlihat seperti keluarga bahagia?
*
*
*
*
“Iya, Hanna istri saya,” beritahu Jefri."Tunggu, maksud bapak Hanna Kintara? Bukanya Hanna calon istri almarhum pak Jafran?" tanya Juna bingung."Ini urusan pribadi keluarga saya, tak bisa saya jelaskan kenapa saya menikahi Hanna. Saya hanya dengar bahwa kamu teman Hanna saat kuliah dulu, mungkin kamu masih berhubungan baik dengan Hanna. Karena itu saya mau bertanya, apa kamu tahu keberadaan Hanna atau tahu siapa teman perempuan Hanna yang lain?" tanya Jefri tanpa mau repot-repot menjelaskan semuanya pada Juna.Saat itu Juna masih kaget dengan informasi ini, tapi dia jelas tak bisa ikut campur masalah keluarga Kusuma ini, keluarga yang memberikannya pekerjaan."Setahu saya Hanna tak mempunyai teman dekat perempuan satupun, saya dulu telat kuliah karena itu satu angkatan dengan Hanna. Saya ingat dia dulu fokus belajar agar nilainya tak jatuh dan beasiswanya di cabut, karena itu Hanna juga lebih sering mengambil kerja part time bila mempunyai waktu kosong jadwal kuliahnya, beberapa kali
“Jangan-jangan Hanna sudah kembali ke rumahnya, aku coba ke sana lagi kalau begitu.”Jefri segera saja pergi meninggalkan makam, tapi baru saja masuk ke dalam mobil tiba-tiba saja ponselnya berdering dan ternyata itu dari ibunya.“Assalamualaikum, Bun.”“Waalaikumsalam, Jef tolong kamu cepat pulang sekarang juga,” pinta Bunda Ayu.“Kenapa Bun?”“Zeyva sakit, badannya panas karena dia nangis terus dan gak mau makan,” beritahu Bunda Ayu membuat Jefri kaget.“Terus sekarang gimana Bun?”“Nangis terus nanyain Hanna dan kamu? Apa Hanna sudah ketemu?” tanya Bunda Ayu.“Belum Bun.”“Hah.” Bunda Ayu terdengar menghela nafas.“Ya sudah kamu pulang dulu saja, siapa tahu Zeyva bisa tenang sama kamu,” pinta Bunda Ayu.“Iya Bun, Jefri ke sana juga sekarang,” ucap Jefri yang akhirnya membatalkan niatnya ke rumah Hanna lagi karena berbeda arah dan segera pulang ke rumah.Putrinya lagi-lagi sakit karena merindukan Hanna, dan sekarang Hanna pergi karena dirinya. Jefri semakin merasa bersalah, karena s
Jefri pagi itu sudah pergi ke rumah Hanna, tapi karena hari Senin otomatis Jefri kembali terjebak macet, sedangkan dia tetap harus ke kantor, walau sudah meminta jadwal paginya dikosongkan pada sekretarisnya.Karena sekarang Ayahnya sudah lepas tangan dengan perusahaan, beliau memilih kembali mengelola restoran bersama Bunda Ayu, setelah kepergian Jafran.Saat dia sampai di depan rumah Hanna, suasana terlihat sepi dan Jefri segera saja turun dan mengetuk pintu rumah Hanna.“Hanna, apa kamu di dalam? Hanna ini aku Jefri, suami kamu,” teriak Jefri di depan pintu karena tak dibukakan juga, bahkan saat Hanna mencoba membuka pintu ternyata terkunci.“Apa mungkin Hanna gak pulang ke sini?”Jefri jelas kebingungan, akan ke mana Hanna jika bukan ke sini, karena ini rumahnya satu-satunya.“Eh tong Lu, cari siapa?” tanya seorang Ibu-ibu.“Saya sedang mencari istri saya Bu, Hanna. Pemilik rumah ini,” jelas Jefri.“Oh, Elu ternyata suaminya si Hanna, tapi perasaan agak beda sama yang dulu suka da
“Ya Allah, apakah aku hanya beban? Hiks, hiks,” isak Hanna, mengadu pada pemilik-Nya.Air mata itu terus berlomba keluar dari matanya, walaupun Hanna terus menyekanya, bahkan dadanya terasa begitu sakit dan sesak.Dia hanya beban bukan dan beban sudah harusnya pergi dari kehidupan Jefri.Dengan tangan bergetar Hanna melepaskan pecahan kaca yang tertancap cukup dalam di kakinya.Hanna berdiri dengan tertatih lalu pergi ke arah kamarnya, memesan taksi lalu membawa tas yang berisi barang pentingnya dan tak lupa dia meninggalkan kartu ATM pemberian Jefri diatas nakas dekat tempat tidur.Dia hanya ingin menenangkan hatinya, dia perlu waktu sendirian, dia masih bisa hidup tanpa Jefri dan kekuasaan juga uangnya.Setelah membalut kakinya dengan tisu dan memakai sepatunya, Hanna meninggalkan kamar yang dia tempati selama satu bulan ini.Rumah sedang sepi karna pembantu yang memang berada di paviliun belakang jika siang hari. Zeyva juga sedang jalan-jalan bersama kakek neneknya dan Hanna bersy
Hanna masih duduk termenung di atas kasur, terus melirik ke arah pintu penghubung ke ruang kerja Jefri. Ini sudah pukul setengah dua belas, tapi suaminya belum keluar juga keluar dari ruang kerjanya.“Mas Jefri mungkin marah dan memilih tidur di sana, tapi di sana tak ada sofa panjang, hanya ada kursi kerja tak mungkin dia di sana terus, kan?” gumam Hanna kebingungan.Sampai tiba-tiba saja terdengar suara pintu dibuka dan ternyata Jefri keluar dari ruang kerjanya dan dia kaget melihat Hanna belum tidur."Kamu belum tidur?” tanya Jefri kaget."Mas, maaf soal kata-kataku tadi. Bukan aku mau menyinggung soal statusku, tapi memang aku ngerasa gak layak buat kamu kasih kartu itu, karna aku bahkan gak melayani kamu sebagai istri yang baik, bukan karena mau diakui atau bagaimana,” jelas Hanna, dia tak mau Jefri terus marah padanya.Jefri saat itu menghela nafasnya, dia tadi pergi untuk berpikir dengan tenang. Memang dia sadar apa yang Hanna katakan benar soal statusnya yang sebagai istri yan
Hanna dan Zeyva sedang menunggu kedatangan Jefri yang berjanji akan menjemput mereka dari sekolah saat ini, tapi sudah setengah jam sejak sekolah Zeyva selesai Jefri belum juga menjemput. Untung Zeyva masih betah bermain dengan teman-temannya, bermain dengan penuh gembira walau satu persatu dari mereka telah pulang.Tapi Hanna agak merasa risi dengan tatapan para ibu-ibu yang juga menemani anaknya karna tahu Hanna menantu baru keluarga Kusuma saat keluarga itu baru kehilangan anggota keluarganya. Apalagi jika mereka tahu seharusnya Hanna menikah dengan Jafran, mungkin mereka akan semakin ribu membicarakannyat.Saat itu satu jam berlalu dan teman Zeyva terlihat sudah pulang semua, hingga kini Zeyva berlari ke arahnya."Bunda, Ayah mana?" tanya Zeyva merengek kesal."Sabar sayang,” ucap Hanna lalu membawa Zeyva ke pangkuannya."Biasanya supir yang jemput Zeyva, Bu Hanna. Yakin pak Jefri yang sibuk bisa jemput, saya bahkan hanya pernah melihatnya sekali ke sekolah ini,” ucap salah satu
Malam sudah larut, tapi suaminya itu belum juga kembali ke rumah, Ayah mertuanya yang pulang lebih dulu bilang suaminya sedang lembur. Walau Hanna sadar dia tak dianggap sebagai istri oleh Jefri, tapi tetap saja ada rasa khawatir dalam hatinya. Karena dalam pandangan hukum dan agama, dia adalah istri Jefri walau suaminya tak mengakuinya.Bahkan kini Hanna sudah bersiap untuk tidur dengan Zeyva, putri sambungnya ini ingin selalu bersamanya dan Hanna jelas tak keberatan, malah sangat bersyukur dengan begini dia tak perlu berduaan hanya dengan suaminya di kamar ini.“Bunda, Ayah kenyapa belum pulang?” tanya Zeyva.“Mungkin Ayah masih lembur, Zey tidur ya sama Bunda, besok kan sekolah,” pinta Hanna.“Iya. Bunda.”Saat itu baru saja Hanna membaringkan Zeyva, saat pintu kamar akhirnya terdengar dibuka dan Zeyva bahkan langsung duduk kembali.“Ayah,” teriak Zeyva senang melihat Jefri yang akhirnya pulang.“Hai, putri Ayah, belum tidur?” tanya Jefri, menyimpan tasnya di atas nakas.“Beyum, ak
Jefri saat itu sadar dengan apa yang dia katakan, karena memang kenyataannya Zilia adalah istrinya dan Ibu dari Zeyva. Bagi Jefri istrinya tetaplah Zilia, walau dia telah meninggal dan kini menikah dengan Hanna. Karena baginya Hanna bukanlah istri yang dia inginkan, dia hanya mau Hanna untuk bisa menjadi Ibu Zeyva.“Iya, dia memang istriku. Zilia, Ibu kandung Zeyva,” tegas Jefri.“Lalu aku apa?” cicit Hanna, bertanya pada dirinya sendiri lebih tepatnya tapi Jefri masih bisa mendengar yang Hanna katakan.“Kita memang belum membicarakan soal pernikahan ini berdua dan mungkin ini kesempatan aku mengatakan yang sesungguhnya,” ucap Jefri.“Maksud Mas apa? Membicarakan apa?” tanya Hanna bingung.“Jangan pernah berharap lebih Hanna,” ucap Jefri membuat Hanna kaget, tapi dia mulai mengerti maksud Jefri sekarang.“Kamu jelas tahu kenapa kita bisa menikah, ini bukan keinginanku. Aku hanya melakukan permintaan adikku dan semuanya demi Zeyva, karena dia menginginkan kamu jadi ibunya. Karena itu ja
Gaun pengantin yang harusnya dia kenakan untuk pernikahannya dan Jafran sekarang telah dia gunakan tapi untuk menikah dengan orang lain, yakni dengan Kakak calon suaminya yang telah meninggal, Narendra Jefri Kusuma tepat 2 minggu setelah kepergian Jafran.Matahari pagi sudah mulai meninggi, Hanna dengar penghulunya sudah datang. Dia kembali menarik nafas dalam, menghalau air mata yang ingin terjatuh, tapi akhirnya air mata itu tetap mengalir karena rasa sesak dalam dada yang tak bisa hilang.“Jafran, hari ini aku akan menikah sesuai dengan wasiat yang kamu tinggalkan. Aku akan menikah dengan Mas Jefri dan menjadi Ibu untuk Zeyva, seperti keinginan kamu. Aku harap kamu tenang di sana, jangan mengkhawatirkan aku lagi,” ucap Hanna menatap bayangannya di cermin."Bunda,” panggil Zeyva yang datang ke kamarnya.Calon putri sambungnya begitu cantik, mengenakan gaun putih dengan rambut yang digerai setengahnya. Hanna segera menghapus air matanya, lalu mendekat pada Zeyva."Ada apa sayang?" tan