Ines menerobos kerumunan orang. Semakin ke dalam, semakin terdengar tangis yang memilukan. Hati Ines semakin diburu rasa penasaran siapakah yang meninggal di hari yang harusnya penuh kebahagiaan itu? “Assalamu’alaikum, Iza!” Ines memburu Azizah yang tampak tengah menangis di pelukan Umi Zubaidah. Azizah menoleh. Dia sudah cantik dengan riasan pengantin. Meskipun memang tak mengenakan make up tebal, tetapi tampak setelan kebaya itu menunjukkan kalau dirinya sudah bersiap untuk akad. “Wa’alaikumsalam, Mbak!” Azizah melepas pelukan Umi. Dia memburu Ines dan melabuhkan diri dalam pelukan perempuan yang sudah seperti kakaknya sendiri itu. “Apa yang terjadi, Iza? Kenapa ada bendera kuning di pasang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Dia pun sama shock melihat hal yang tak menyenangkan itu terjadi di hari bahagia seseorang yang sudah seperti saudara baginya. Azizah tak lekas menjawab, Umi Zubaidah yang akhirnya menjelaskan dengan suara yang juga serak. “Mobil yang ditumpangi rombong
“Pada kesempatan ini, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan ... mungkin bukan hanya tentang hidup saya dan istri saya, akan tetapi tentang hidup beberapa orang yang akan mengalami perubahan nasib juga ….” Airlangga kembali menjeda. Sudut matanya melirik ke arah Arlan yang tampak mati-matian mencoba bersikap biasa. Dia pun menatap sekilas pada Narendra yang tampak tengah mengulas senyuman. “Seorang istri adalah pakaian suaminya, begitupun sebaliknya. Karenanya keduanya harus saling menjaga. Seorang istri itu diciptakan dari tulang rusuk, maka tempatnya dia adalah di sini ….” Airlangga menggenggam jemari Ines dan menempelkan ke dadanya. Jajaran staff perempuan yang masih single sontak bersorak riuh. Mereka berharap dirinyalah yang ada di samping lelaki bermata teduh itu, tetapi sayang semua angannya harus kandas karena sang pangeran sudah menjatuhkan pilihan. “Dia bukan diciptakan sebagai tulang rusuk, untuk dipeluk dan dijaga, bukan dijadikan tulang punggung yang seumur hidupnya
Airlangga hanya terkekeh seraya mengusap pucuk kepala Ines mendengar pertanyaannya itu. “Sudah, jangan pikirkan mereka. Kita fokus pada acara kita saat ini, ya, Dik!” bisiknya. Ines pun mengangguk, meski kelebat pertanyaan masih berlarian di benaknya. Namun akhirnya semua itu teralihkan oleh meriahnya acara dan rangkaian pesta yang sudah diatur sedemikian rupa. Acara belum usai ketika Arlan memutuskan menarik tangan Aniska untuk meninggalkan acara megah itu. Dia sudah tak fokus ingin membaca isi surat dalam amplop tersebut. Tak mungkin juga ‘kan jika dirinya dipecat hanya gara-gara kejadian waktu itu? Menghina dan merendahkan mantan istrinya bukan bagian dari job deskripsinya. Jika benar perusahaan memecat karena hal itu, maka dia bisa adukan ke PHI dan bisa membatalkan pemecatan sepihak tersebut. “Kenapa sih, Mas?” Aniska menepis lengan Arlan yang mencekal pergelangan tangannya cukup kuat.“Kita pulang, yuk! Aku pengen baca surat ini, Nis! Pikiranku sudah gak tenang, jadi kita pu
"Sialaaannn!” pekik Arlan. Dia membanting gawainya ke lantai sehingga tutup belakangnya sampai terlepas. Keadaan yang serba sulit dan mendesak membuatnya tak bisa berpikir jernih lagi sekarang. Arlan bergegas mengambil kunci mobil dan segera meninggalkan rumah itu. Dia tak lagi peduli pada gawainya yang berserak. Dia pun tak menghiraukan panggilan Retno yang berusaha menahannya. Arlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan maksimal, semua kekalutan yang menggelayuti pikirannya bercampur baur menjadi satu. Lusi, Aniska dan surat panggilan ke bagian HRD itu membuat semua ketakutannya semakin mejadi. Terlebih dirinya memang memiliki rasa bersalah pada Ines di masa lalu. Kecepatan berkendara yang tinggi tanpa dibarengi dengan konsentrasi yang mumpuni akhirnya mobil melaju dengan ugal-ugalan. Arlan kehilangan kendali hingga akhirnya hampir saja dia menabrak seorang penyebrang jalan, tetapi kewarasannya masih berpihak. Arlan membanting stir ke arah kanan, tetapi naasnya dia harus menabrak
Arlan masih tak sadarkan diri. Benturan di kepalanya cukup parah karena membuat gumpalan darah yang menyumbat. Begitu pun kaki dan tangannya mengalami patah tulang dan harus segera dilakukan operasi. Narendra yang tadi baru saja mau istirahat, bergegas membasuh wajah. Bagaimanapun Arlan adalah salah satu karyawan perusahaannya. Dia segera menghubungi Fika bagian HRD&GA untuk memintanya menghubungi keluarga Arlan. Selama ini, tak banyak nomor yang disimpan pada gawainya. Dering gawai diangkatnya, terdengar suara seorang perempuan di seberang sana. “Hallo Bu Fika! Ini Rendra.” “Malam Pak Rendra. A—ada apa, ya? Tumben telepon sudah larut?”Terdengar suara sapaan Fika dengan nada gugup. Bagaimanapun bagi Fika yang merupakan seorang Assisten manager HRD&GA baru dengan status masih lajang, hal langka ditelepon malam-malam oleh tangan kanan pemilik perusahaan.Terlebih dia pun masih dalam masa training untuk menggantikan Manager lama yang sudah akan memasuki usia pensiun. Narendra adalah
Ines menatap pada Airlangga, sepagi ini dia tampak sudah berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Ines masih mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil dan duduk di sofa yang ada di sana. Meskipun di kamar hotel tersebut disediakan hair dryer, akan tetapi dia tak terlalu suka menggunakan alat tersebut karena biasanya membuat rambut kering. “Kak kok sudah sibuk sih sepagi ini?” Ines menatapnya yang baru saja meletakkan gawai di atas tempat tidur. Airlangga menoleh pada istrinya yang tampak cantik dengan wajah yang terlihat segar.“Rendra melaporkan kondisi Arlan, tadi malam Arlan kecelakaan, Dik.” “Apa?! Kecelakaan, Kak?” Airlangga menatap Ines dengan pandangan yang menghujam membuat sang istri menjadi salah tingkah dan menundukkan pandangan. “Kamu kok cemas banget, sih, Dik?” Airlangga menelisik wajah Ines yang terlihat kaget mendengar kabar dari dirinya itu. Ines mengangkat wajah dan tersenyum. Dia mendekat lalu sedikit berjinjit dan menghadiahi ciuman s
“Ok, ya sudah kalau gitu. Nama Mbaknya Azizah, ya? Kenalkan nama saya, Fika. Eh, Mbak ini seperti yang kemarin nemenin ibunya Bu Ines di pelaminan itu bukan, sih?” tukasnya seraya mengulurkan tangan dan mengulas senyuman. Namun kedua alisnya lantas mengernyit ketika dia menyadari sesuatu. “Iya, Mbak. Saya Azizah. Oh kemarin datang juga di nikahan Pak Langga sama Mbak Ines, ya? Maaf saya gak perasan. Banyak banget orang soalnya!” tukas Azizah tersenyum. Dia menerima uluran tangan Fika. Fika menelisik sosok yang ada di depannya. Dia tahu jika kode malam itu menunjukkan jika Narendra menempatkan perempuan yang ada di depannya itu dalam kategori yang istimewa. Baru malam tadi dia melihat Narendra membawa perempuan ke depan umum. Bahkan dia yang sering sekali stalking sosial media Narendra pun tak menemukan sepenggal wajah perempuan di dalamnya. Umur Azizah sebetulnya jauh lebih muda kurang lebih sepuluh tahun darinya, tetapi gurat wajah yang keibuan membuatnya tampak jauh lebih dewasa
Fika memohon izin untuk duduk pada kursi kosong yang ada di depan Narendra. Meskipun mendapati sikap yang datar seperti biasa. Namun bagi Fika tak apa, berada dalam satu ruangan bersama dengan lelaki itu sudah membuatnya bahgaia. Namun karena dirinya pun memang harus bersikap professional. Fika menjelaskan terkait punishment untuk Erda dan Gugun yang sudah dia sampaikan. Dikarenakan Airlangga tak masuk, maka semua urusan yang harusnya dilaporkan pada Airlangga akan disampaikan pada Narendra. “Ok makasih, Bu Fika!” “Sama-sama, Pak Rendra.” Sesingkat itulah kalimat yang mengakhiri perbincangan mereka terkait kasus Arlan yang melibatkan dua kakak iparnya. Fika tersenyum lalu berjalan meninggalkan ruangan. Dia kembali ke mejanya dan mempelajari hal-hal lainnya yang nantinya akan menjadi tanggung jawabnya secara penuh. Di lain tempat, Aniska tengah terisak di kamarnya. Dia tak henti meratapi nasib suaminya yang dia dengar dari dokter tentang kemungkinan kondisi terburuknya, juga tenta