Akad suci melangit di kota Semarang. Ines yang baru saja resmi diperistri oleh seorang Airlangga duduk tersipu sambil menahan haru. Dikarenakan tak ada kerabat yang bisa menjadi wali, dia dinikahkan dengan wali hakim. Melalui sambungan telepon dia meminta restu dari sang ibu. Meskipun beribu tanya bermuara, tetapi tetap saja restu itu akhirnya didapatkan juga. Setelah para saksi mengucap sah, Ines berpindah duduk di samping Airlangga. Satu kecupan mendarat pada keningnya. Ada debar aneh menggelayar dan membuat hangat dalam dada. “Terima kasih sudah menjadi istriku, Inesa,” bisik Airlangga. Seketika bulu roma Ines meremang. Gugup dan perasaan yang bercampur baur menjadi entah membuat semuanya terasa melayang. “Sama-sama, Kak!” lirih Ines dengan wajah yang sudah memerah penuh rona bahagia. Awalnya Ines meminta agar pernikahan itu dilaksanakan di kampung halamannya saja, tetapi jarak yang cukup jauh membuat Airlangga memutuskan untuk melakukan resepsi saja nanti di sana. Dia ingi
“Itu … itu … itu mobilnya … itu … itu …,” tukasnya dengan tangan gemetar dan tubuh yang limbung. “Ibu!” Ines menangkap tubuh ringkih itu. Beruntung tak sampai terjatuh dan memperkeruh keadaan. “Ibu kenapa?” Airlangga pun tampak kaget. Dia menatap wajah Ibu mertuanya yang tampak pucat. “Itu … itu mobilnya, Nes … mobil itu yang tabrak lari Bapak kamu, Nes! Ya, gak salah lagi. Orang kaya yang gak punya hati itu dia! Orang yang gak punya perasaan! Kenapa harus bertemu di sini?!” pekiknya seraya duduk dan terisak. Memorinya berlarian lagi pada masa-masa yang telah silam. *** “Bu, singkongnya pada jatuh!” Bapak meletakkan kayu bakar yang dipikulnya dan berlari ke tengah jalan raya yang memang lengang. Mereka baru saja pulang membantu mencabut singkong di ladang milik tetangganya dan mendapat satu kantong plastik singkong. Lumayan bisa dibuat kudapan oleh Ibu. “Ya Allah, Pak … iya. Eman, yo. Padahal dapat kita capek!” Ibu menatap plastik singkong yang ditentengnya yang rupanya sobek.
“Bicaralah, Nak!” Tuan Ekadanta berucap lemah. Semua yang telah terjadi di masa lalu memang mutlak kesalahannya. Namun apa boleh dikata. Nasi yang sudah menjadi bubur tak mungkin berubah menjadi nasi kembali. Sesal di kemudian tak berguna. Itulah kondisi yang dialaminya sekarang. “Papa puas dengan semua ini?!” Airlangga berucap penuh penekanan. Sorot matanya menatap penuh kemarahan. “Masuklah, kita bicara di dalam!” Tuan Ekadanta paham kemarahan putranya. Dia tak mau membuat kegaduhan di luar. Dia berbicara dengan nada lemah karena memang dirinya mengaku salah. Lelaki tua itu melangkah masuk dan memilih ruang kerjanya untuk bicara empat mata dengan Airlangga. Airlangga menatap Ekadanta yang duduk dan tampak sudah siap dengan segala caci dan maki yang mungkin akan segera meluncur dari mulut putranya itu. “Papa puas sekarang? Sudah dua kali, dua kali, Pah. Aku menjadi korban arogansi Papa yang begitu menjunjung harta dan bisnis yang Papa banggakan ini. Papa puas sekarang, hah?!”
Sabtu yang ditunggu akhirnya tiba. Airlangga mengenakan pakaian santai. Kaos berwarna hitam tanpa kerah dengan celana panjang menjadi pilihannya. Tuan Ekadanta memakai kemeja berwarna biru tua dan celana bahan berwarna gelap. Herman sudah duduk dibalik kemudi setelah memastikan kondisi mobil layak untuk digunakan perjalanan jauh. Bensin sudah diisinya full, kartu e toll pun sudah diisinya. Tak lupa dia menyiapkan empat botol air mineral di sisi kanan kiri untuk kedua majikannya. “Gak usah ngebut bawanya, Pak.” Airlangga mengulas senyum seraya membuka pintu mobil dan duduk di kursi belakang. “Asiaaap, Bos!” Herman merapatkan empat ujung jari ke ujung alis sebelah kanan. Lalu dia membukakan pintu belakang yang satu sisi lagi ketika Tuan Ekadanta hendak masuk. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Airlangga berulang mengusap layar gawai dan berbalas pesan. Satu minggu sudah rindu untuk bertemu itu terpendam. Rasanya seperti ada yang kurang. Ada bagian dari dalam dada yang hilang.
“Apa kamu pikiri seorang Nyonya Airlangga patut melakukan hal seperti itu? Bahkan uang yang Anda terima setiap bulan, itu berasal dari perusahaan suaminya.” Airlangga menatap Arlan yang kini wajahnya perlahan memucat. Dia benar-benar shock mendengar kalimat terakhir yang Airlangga ucapkan. Lalu dia memberanikan diri memastikan.“A--apa saya tak salah dengar, P--Pak? M--maksudnya d--dia itu-” “Dia itu istri saya. Istri seorang pemilik perusahaan di mana Anda bekerja Pak Arlan yang terhormat. Ayo, Sayang! Kita pulang!” Airlangga meraih jemari Ines dan menautkan dengan jemarinya. Sontak Arlan menelan saliva karena shock dengan fakta yang dilihatnya. Ines menyeka sudut mata, ada rasa hangat mengalir dalam dada. Betapa rasanya dirinya diperlakukan istimewa. Plastik berisi daging kambing itu tak lagi diambilnya, sayur mayur yang berhambur pun akhirnya tergeletak begitu saja. Dia mengikuti langkah Airlangga meninggalkan Arlan dan keluarganya. Arlan mengelap keringat dingin yang mendadak
Ines tak dapat mendengar pembicaraan mereka. Hanya samar seperti gumaman yang saling bersahut antara Ibu dan ayah mertuanya. Namun dari raut wajah Ibu, tampak dia masih memendam kemarahan. Akankah hatinya luluh dengan kedatangan Tuan Ekadanta yang bahkan rela merendahkan diri di hadapan perempuan yang sudah dibuatnya menjadi janda itu. “Ya Allah … lembutkan hati Ibu … apa dia tak melihat sebesar apa cinta kami? Setulus apa Kak Angga padaku ….” Ines menyandarkan tubuh pada dinding dapur. Di tangannya masih memegang pisau untuk mengiris sayur mayur dan daging segar yang dibelinya. Hening, tak terdengar lagi obrolan yang tadi cukup terdengar panjang saling bersahutan. Tak berapa lama deru mobil terdengar. Ines begegas mengintip lagi dari celah pintu dapur. Hatinya mencelos kecewa ketika dilihatnya mobil yang ditumpangi Airlangga dan Tuan Ekadanta menjauh.Ines bergegas mengambil gawai dan mengirim pesan pada Airlangga. Dia ingin tahu, kenapa mereka langsung pergi lagi padahal dia tenga
Ines berulang menggisik matanya, memastikan sosok yang datang itu adalah nyata dan bukan ilusi saja. Pintu mobil terbuka, seorang pangeran tampan yang beberapa waktu lalu menghilang itu sudah berdiri di hadapannya. Dia menatap Ines dengan senyum mengembang di bibirnya. “Assalamu’alaikum, Dik! Aku datang menjemputmu,” tukasnya seraya berjalan mendekat. Wajahnya tampak penuh senyum yang mengembang. “Kak Angga ….” Ines mengucap lirih. Airlangga menghampirinya lalu merentangkan tangan seolah mengatakan aku ada untukmu sekarang. Ines pun seolah terhipnotis, dia mengabaikan Ibu yang ada di sana dan langsung berhambur pada pelukan Airlangga dengan isak tangisnya. Keduanya terhanyut dalam haru. Pelukan kian erat, Ines seolah tak mau lagi kehilangan sang pangeran. Dia terisak dan menumpahkan seluruh rasa yang berkecamuk dalam dadanya.“Apa Ibu sudah memberikan restu?” Ines berbisik disela isak. Airlangga mengusap kepala Ines yang tertutup kerudung itu. Lalu dia perlahan melepaskan rangkul
“Kak, ini aku mau sudah siapin bajunya, tapi maaf masih bingung mau ambilin yang mana. Takutnya gak cocok sama yang mau dipakai.” Ines menunduk seraya menyimpan pakaian yang sudah dipilihkannya ke atas tempat tidur. Ines bergegas kembali menuju lemari untuk menghindari jarak yang terlalu dekat dengan sosok yang membuatnya deg-degan. Namun pergelangan tangannya dicekal dan tubuhnya sontak tertarik ke belakang sehingga membentur dada bidang yang tanpa penghalang itu. “Kamu sudah siap, Dik?”Bisikan Airlangga terdengar lembut di telinga. Suaranya yang serak dan hembusan napasnya membuat bulu roma Ines meremang. Meskipun statusnya sudah janda, akan tetapi dalam keadaan sadar dia dan Arlan belum pernah melakukan hubungan intim layaknya suami istri.“A--Aku belum mandi, Kak.” Ines menjawab gugup. Dia pun tak percaya diri karena memang belum membersihkan diri. Airlangga mendekap tubuhnya penuh cinta, bahkan detak jantung yang berpacu lebih cepat terdengar di telinga Ines yang menempel pad