PoV ZainabEntah apa yang terjadi padaku? Belakangan ini, aku mudah sekali tersulut emosi. Mudah sekali marah dan melampiaskan pada Mas Zaidan. Dia pun pasti kebingungan dengan sikapku, tapi hati ini juga bingung. Dengan Dokter Kartika yang jelas-jelas hanya teman masa kecil Mas Zaidan pun aku bisa jealous. Padahal tidak ada yang istimewa pada obrolan mereka saat bertamu. Namun, aku seakan tidak terima jika Mas Zaidan tertawa lepas dengan perempuan itu. Bahkan, mereka sempat membicarakanku yang malah dituduh sebagai perusak rencana pernikahan Mas Zaidan dan Bu Maira. Mendengar itu, aku kembali merasa jika kehadiranku memang tidak diharapkan dulu. Apalagi jika mengingat Ibu yang sangat tidak menyukaiku di awal pernikahan kami. Dan sekarang ditambah lagi permintaan Mas Zaidan agar aku berhenti kuliah. Seakan tidak ada lagi orang peduli dengan perasaanku. Mereka hanya peduli dengan perasaan masing-masing. Namun, di saat bersamaan, ada tetangga yang mengabarkan jika ada pasangan pengant
Aku sangat yakin jika ada yang disembunyikan oleh Zainab. Dia menangis tergugu dalam doa selepas salat Magrib. Beberapa kali istri kecilku mengucap kalimat yang membuatku berpikir lebih keras. "Allah ... berikan aku kekuatan untuk bisa mencintai Mas Zaidan lagi secara utuh."Kalimat itu masih saja terngiang di telingaku. Apakah cintanya untukku tidak lagi utuh? Apakah ada laki-laki lain yang berhasil mengambil hatinya? Ah, Za ... jangan membuatku resah! Meskipun aku berusaha menanyakan apa yang sebenarnya membuatnya bersedih, Zainab hanya bilang kesepian karena aku yang terlalu sibuk. Aku mencoba percaya karena memang hubungan kami sedikit renggang karena kesibukan masing-masing dengan urusan kampus. Apalagi saat Ibu mengatakan hal yang bahkan aku tidak menyadarinya. Tentang pakaian Zainab yang terlihat kekecilan sekarang. Apa aku memang suami yang kurang peka? Atau Zainab saja yang sudah tidak pernah mau bermanja padaku? Atau memang benar jika ada laki-laki lain di hatinya? Ah,
PoV ZainabAku tersentak saat mendengar suara panggilan Ibu pada Mas Zaidan tepat di depan pintu ruang kerja ini. Aku pun bergegas mengembalikan buku diary milik Kak Angga ke tempatnya semula dan keluar untuk menghampiri Ibu dan Mas Zaidan. Namun, entah apa yang terjadi, Mas Zaidan mengabaikan panggilanku. Dia masuk ke mobil, memundurkan mobilnya, lalu melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Apa mungkin Mas Zaidan melihatku menagis sambil memeluk diary Kak Angga? Aku tidak bisa berpikir jernih dan langsung berlari mengejar mobil Mas Zaidan yang hampir sampai di ujung jalan dan beberapa detik lagi akan berbelok ke kiri. Namun, aku merasakan perut yang tiba-tiba kaku disertai pandangan yang memburam. Aku sempat pingsan dan terbangun di atas sofa. Entah rumah siapa ini. Ada Ibu dan seorang perempuan berpakaian biasa dengan stetoskop menggantung di leher."Alhamdulillah, kamu sadar juga, Nak."Perempuan yang sepertinya dokter itu menyodorkan secangkir teh padaku. Terasa hangat saat cang
Aku merasa lega meskipun tetap ada yang mengganjal. Paling tidak, Zainab sudah mau mengakui apa yang dirasakannya. Ternyata memang ada hubungan masa lalu antara Zainab dengan Angga. Dan sekarang, aku hanya harus membuat Zainab bergantung sepenuhnya padaku. Dengan begitu, tidak ada kesempatan untuk Angga mendekati Zainab. "Gimana kabar istrimu, Dan? Gak ada yang serius, kan?" tanya Handoko. "Alhamdulillah, baik-baik saja. Cuma tekanan darahnya rendah saja.""Syukur kalau baik-baik saja. Soalnya kamu gak ada kabar lagi seharian kemarin. Kirain ada yang serius." Bagas menyela. Ah, iya. Aku kemarin tidak kembali ke kampus setelah mengantar Zainab pulang. Aku memilih menenangkan diri di rumah milikku sendiri. Lagipula, Zainab sudah ada Ibu yang pasti menjaganya. "Terima kasih kalian sudah peduli." Aku tak menanggapi lebih dan memilih langsung duduk di bangku mejaku.Meskipun aku sudah mencoba legowo untuk Zainab, tetap saja masih ada mengganjal karena ada nama laki-laki lain di hatinya
Aku yang sempat tersulut emosi seketika mampu meredam karena melihat tingkah lucu Zainab. Sangat menggemaskan memang mempunyai istri yang masih sangat muda. Aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung. "Woi! Siang-siang kesambet!"Suara keras disertai gebrakan di meja membuatku terhenyak hingga tanpa sengaja menjatuhkan pulpen yang ada di genggaman. "Gila lo, Han! Gimana kalau gue jantungan?" pekikku seraya memukul bahunya. Handoko hanya terkekeh. "Makanya jangan melamun siang-siang! Senyum-senyum sendiri pula."Handoko duduk di bangkunya masih dengan tawa puas. Sementara Bagas yang mengekor di belakang Handoko hanya menggeleng dengan senyum kecil. "Kalian udah pada berumur tetep aja kayak ABG.""Handoko itu, Gas. Tingkahnya masih kayak anak SMA yang ngajak tawuran," ucapku sambil membungkuk untuk mengambil pulpen yang jatuh. "Pak Zaidan itu berubah sejak menikah sama anak ABG. Jadi gak inget umur." Satu orang lagi yang menambah daftar orang menyebalkan dalam hidupku. "Bener
PoV ZainabAku merasakan ada yang membara di dalam dada saat melihat Mas Zaidan berbincang dengan seorang perempuan yang katanya dari stasiun televisi. Tubuhnya yang tinggi semampai, rambut hitam tergerai, kulit kuning langsat, dan wajah yang mulus bak porselin. Cantik. Apalah aku yang bertubuh mungil, tidak terlalu tinggi dengan wajah tanpa polesan. Jika dibandingkan dengan perempuan berkemeja hitam itu, aku tidak ada apa-apanya. Kupercepat makan siang, lalu minum obat dan vitamin. Tanpa menunggu Mas Zaidan selesai berbincang dengan tamunya, aku meninggalkan kantin dengan perasaan cemburu yang menggebu. Rasa yang hampir saja tersamarkan karena hadirnya ingatan tentang Kak Angga. Menyebalkan! Namun, belum jauh kaki ini melangkah, Mas Zaidan sudah menyejajarkan langkah denganku. Dia terus sama mengoceh, tapi aku enggan menanggapi. Masih kesal rasanya menahan cemburu yang sebenarnya tidak perlu.Kuakui jika beberapa hari terakhir ini aku terlalu sensitif dengan apa pun mengenai Mas
Aku kembali gagal sebagai suami. Entah kali ke berapa Zainab harus dilarikan ke rumah sakit karena kelalaianku menjaganya. Pergelangan tangan tersayat, hipotermia karena tidur di lantai, pendarahan karena stres, tenggelam, dan sekarang karena seseorang memberinya obat bius. Selama bertemu denganku, penderitaan Zainab seperti bertambah banyak. Bahkan, aku dihadapkan pada keputusan yang sangat sulit sekarang. Kandungan Zainab mengalami masalah serius karena obat bius yang terhirup berdosis tinggi hingga membuat pasokan oksigen dalam darah menurun dari batas normal. Dan itu sangat berpengaruh pada janin dalam kandungannya karena asupan oksigennya juga terganggu hingga melemahkan syaraf-syaraf yang masih dalam proses perkembangan. "Akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Secara fisik, janin masih bisa tumbuh hingga lahir, tapi akan ada masalah yang menyertainya nanti. Bisa pneumonia, gagal jantung, kehilangan sistem panca indera, atau kelumpuhan syaraf pusat. Kemungkinan paling buruk ada
Kubiarkan Zainab tidur lagi selepas salat Subuh. Meskipun kondisinya sudah lebih baik, wajahnya masih sedikit pucat. Dia masih harus lebih banyak istirahat untuk memulihkan kesehatan. Kucium keningnya sejenak sebelum beranjak dari kamar. "Bu, aku pamit ke kampus dulu. Cuma ada satu kelas saja. Insyaallah, sebelum Zuhur, aku sudah pulang," pamitku. Malam ini akan diadakan acara syukuran untuk Zainab dan kehamilannya. "Berangkat saja, Dan. Pagi ini, keluarga besar Ibu dan Ayah akan datang. Mereka Ibu undang karena belum ada yang tahu kalau kamu sudah menikah. Memang keluarga besar Ayah dan Ibu masih ada, tapi mereka tinggal di Medan. Ayah asli keturunan Medan sedangkan Ibu asli Jawa, tapi sejak kecil tinggal di Medan. Dan keluarga besar belum ada yang tahu tentang pernikahanku yang memang sengaja tidak dipublikasikan. "Bu, jangan sampai ada yang menyinggung perasaan Zainab! Kondisinya bisa drop lagi kalau emosinya gak stabil.""Iya, Ibu paham. Sana berangkat!"Aku takut jika mereka