Wanita itu segera mengalihkan pandangan ke jendela saat bersitatap dengan mata suaminya. Entah kenapa, melihat wajah lelaki itu membuat luka kehilangan calon buah hatinya semakin terasa perih bagai ribuan pedang menusuk jantungnya.
Aditama Wiguna adalah lelaki yang menikahinya satu setengah tahun lalu atas bujukan ibunya."Jaman gini kok masih dijodoh-jodohin to, Bu? Enggak ah, Runa nggak mau," protesnya waktu itu pada sang ibu. Mendengar penolakannya itu, kedua orangtuanya langsung terkekeh"Kamu bilang begitu kan karena kamu belum ketemu saja sama anaknya Tante Farida itu, Run. Nanti kalau kamu sudah lihat orangnya, pasti beda lagi ceritanya. Ya kan, Pak?" Bu Ratna menoleh pada sang suami, yang hanya menanggapinya dengan seulas senyum."Bapak sih terserah Runa. Semantapnya dia saja. Kalau dia setuju dengan rencana kamu dan Farida untuk menjodohkan mereka ya bapak nggak ada masalah. Yang penting buat bapak itu Runa harus bahagia. Itu aja."Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Runa cukup memahami pendapat bapaknya. Melepasnya menikah dengan orang kota yang akan membawanya tinggal jauh dari mereka tidak akan menjadi masalah besar. Toh masih ada Sukma & Arum - dua kakaknya - yang masih bisa menemani keduanya karena jarak rumah mereka yang tak terlalu jauh."Memangnya kalau Runa dibawa ke kota nanti, bapak nggak sedih apa?" goda Runa pada sang bapak."Yo ndak lah. Kenapa bapak harus sedih kalau anak bapak ini justru bahagia?""Sudah. Ibu sih juga nggak ingin maksa kamu, Run. Cuma nggak ada salahnya coba ketemu dulu. Siapa tahu ternyata kalian cocok. Lagipula kamu juga belum punya calon kan? Siapa tahu kalian berdua berjodoh. Kan malah bisa menyambung silaturahmi ibu dan Tante Farida lagi nanti kalau kalian jadi suami istri. Tante Farida itu sahabat ibu dari SMP lho, Run. Dia orangnya baiiiik banget. Ibu jamin deh, dia pasti akan sangat sayang sama mantunya. Lagipula, perjodohan ini inisiatif dari Tante Farida sendiri lho, nembung kamu buat anaknya.""Iya itu masalahnya, Bu. Yang nembung Runa itu kan Tante Farida. Lha anaknya memangnya mau sama Runa? Runa kan nggak cantik." Wajah Runa langsung bersemu merah usai mengatakan itu."Hei, siapa bilang kamu nggak cantik? Coba tanya sama bapak kamu, siapa wanita tercantik di dunia ini?""Ya Runa lah, anak kesayangan bapak. Siapa lagi?" Pak Ahmad langsung menyahut."Bapak ah gombal. Cantik mana Runa sama Mbak Sukma? Mbak Arum? Ibu?" Anak bungsu itu malah menggoda sang bapak.Pak Ahmad celingukan mendengar anak gadisnya yang tahun sudah genap berusia 23 itu. "Cantik semua," kata lelaki yang sudah hampir kepala enam itu sambil terkekeh."Tuh kan Bapak, nggak konsisten deh sukanya." Lalu ketiganya pun tertawa bersama."Tapi Pak, Bu. Runa sudah seneng lho tinggal di sini. Pengennya Runa tetap di sini saja nemenin bapak sama ibu." Dengan segala cara dia mencoba meyakinkan orangtuanya."Ya nggak bisa begitu. Kamu punya masa depan, Run. Mbakyu-mbakyumu kan semuanya tinggal di kampung. Nggak ada salahnya kamu tinggal agak jauh. Biar jadi orang kota. Nggak di kampung terus. Bapak sama ibu kan juga pengen punya anak yang hidup sukses di kota. Ya Pak, ya?"Pak Ahmad mengangguk. "Bapak manut wis pokoknya. Yang penting kalau Runa senang, yo wis kita nikahkan. Gitu saja. Orangtua kan hanya bisa berdoa saja untuk kebahagiaan anak-anaknya.""Piye, Run?" Bu Ratna kembali bertanya. Runa malah terkikik mendengar tanya sang ibu."Jangan nyengingis aja to. Ibu ini serius nanyanya. Kalau kamu setuju, ibu akan kabari Tante Farida, nanti biar mereka datang ke sini. Biar kalian berdua sama-sama saling kenal dulu."Sejujurnya Runa bukannya tidak memiliki sosok tambatan hati waktu itu. Namun karena sifatnya yang pemalu, sampai di usianya sekarang, Runa tak pernah terlihat ke sana ke mari dengan lawan jenis. Satu-satunya lelaki yang bisa membuatnya susah tidur tiap malam hanyalah Alga, kakak tingkatnya semasa kuliah yang saat ini entah dimana. Keduanya sempat dekat namun hilang kontak setelah Alga lulus satu tahun lebih dulu darinya."Tapi … kerjaan Runa gimana, Bu? Runa udah terlanjur seneng ngajar anak-anak di sekolah.""Kamu itu kan baru jadi guru honorer di sini. Nanti di kota, kamu bisa cari kerja lagi di sana, Run. Itu pun kalau suamimu mengijinkan. Kalau tidak ya nggak apa-apa, jadi ibu rumah tangga aja. Toh Si Tama itu kan pekerjaannya udah mapan. Udah punya jabatan juga di perusahan tempatnya kerja.""Ibu ngomongnya kayak udah kenal aja sama orangnya. Padahal ibu juga belum pernah ketemu sama dia kan?""Eh siapa bilang? Kita sempat ketemu ya Pak waktu ke Jogja, ke pesta nikahannya teman sekolah kita si Adin itu. Ya kan? Tante Farida datang diantar anaknya, Si Tama. Cakep Run orangnya, kayak selebriti yang suka kamu lihat itu lho di HP. Anaknya juga sopan. Coba tanya bapakmu kalau nggak percaya.""Iya, cakep. Tapi tetap masih cakepan bapak," celetuk Pak Ahmad, membuat istri dan anaknya terpingkal.Dan begitulah akhirnya, Runa jatuh cinta pada pandangan pertama saat dipertemukan dengan Tama. Bukan hanya paras lelaki kota itu yang memang rupawan. Sukma sampai bilang kalau wajah lelaki itu mirip sama Iko Uwais. Dua kakaknya itu sampai heboh saat Bu Farida datang hari itu. Ditambah lagi sikapnya yang santun dengan bapak ibunya, sepertinya tak ada alasan Runa untuk menolaknya.Segala kelebihan yang dilihatnya dari Aditama Wiguna itu justru membuat Aruna jadi ragu. Mungkinkah lelaki sekeren itu mau mengambilnya sebagai istri? Apa di kota sedang kekurangan wanita?***"Run, ada kabar dari Tante Farida, Tama menerima perjodohan kalian katanya. Tapi dia minta waktu sebulan buat saling kenal sama kamu."Bu Ratna masuk ke kamarnya malam itu dengan berita gembira. Dua kakaknya yang menginap dan sedang berada di kamar Runa pun langsung heboh mendengar kabar itu. Runa sendiri juga bahagia, hingga hampir tak bisa berkata-kata.Meski telah sangat paham dengan perasaan Runa, Bu Farida tetap tak rela melihat apa yang menimpa menantu kesayangannya itu. Namun apapun yang dikatakan oleh ibu mertuanya kali ini, sepertinya sudah tak bisa berpengaruh pada keputusan Runa. Malam itu, Runa memutuskan untuk tidur terpisah dari Tama. Tama yang masih terjaga tampak kaget melihat istrinya menenteng bantal guling dan bersiap meninggalkan kamar usai membersihkan diri seperti biasa. “Mau kemana?” tanyanya kaku, berusaha menghilangkan rasa penasaran. Sambil sedikit merendahkan gengsinya, tentu saja.“Oh iya, aku belum pamit ya, Mas?” Runa pun menghentikan langkah. Wanita dengan setelan piyama panjang itu kembali berjalan mendekat ke arah suaminya yang tadinya sudah bersiap untuk memejamkan mata. Hati Tama tiba-tiba berdesir kala Runa mulai duduk di tepi ranjang, sangat dekat sekali dengan tempatnya berbaring. “Aku sudah memutuskan, Mas,” ujarnya kemudian, usia menghela nafas berat. Tama mengerutkan dahi mendengar itu. “Me-m
Nama itu seperti tak asing di telinga Runa. Dia sepertinya telah beberapa kali mendengarnya disebutkan dalam perbincangan ibu mertua dan adik iparnya belum lama ini. "Ada perlu dengan saya?" tanya Runa hati-hati usai mendudukkan diri di kursi tamu. Sepertinya dia agak sedikit waspada dengan maksud dan tujuan wanita di depannya itu menemuinya. Wanita itu malah tertawa kecil dengan nada seperti meremehkan. "Kalau tidak ada perlu, aku nggak akan ke sini mencarimu, Nyonya Tama," katanya. Runa sedikit terkejut. Mereka berdua baru pertama kali bertemu, tapi gelagat wanita itu seolah sudah mengenal Runa lama. Sikapnya, bagi Runa juga kurang sopan. "Maaf, tapi sepertinya kita belum pernah bertemu," ucap Runa dengan dahi berkerut. Sepertinya dia pun mulai mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita di hadapannya saat ini. "Suamimu sudah banyak cerita soal kamu, Runa." Jantung Runa rasanya langsung berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Suaminya? Itu berarti Tama? Jadi, wanita inikah
Seminggu setelah Runa kembali bekerja, Tama semakin sering uring-uringan. Entah kenapa dengan lelaki itu. Padahal biasanya dia tak terlalu peduli dengan kehadiran istrinya itu di sampingnya. Namun semenjak tak dilihatnya Runa hingga beberapa jam di rumah, Tama merasa ada yang kurang. Tak ada yang bolak balik keluar masuk ke dalam kamar mereka dan menanyakan makan seperti biasa. Pun tak ada yang bisa dia suruh- suruh ini dan itu beberapa hari ini. Meski Dewi tak pernah absen mengirimkan pesan setiap hari, bahkan jika Bu Farida sedang keluar, Tama dengan berani menelpon wanita simpanannya itu hanya untuk mengobrol tak jelas di kamarnya. Safitri satu-satunya orang yang kerap jadi sasaran amarahnya sekarang. Jelas dia tak akan berani marah pada sang ibu.Seperti hari ini, Tama begitu rewel minta ini dan itu pada asisten rumah tangga itu sambil marah-marah tak jelas, membuat Safitri hampir kehilangan kesabarannya. Namun sebagai seorang pembantu, wanita itu tak bisa berbuat banyak. Akhirny
"Run! Runaaa!"Terdengar suara teriakan Tama dari kamarnya. Bu Farida yang sedang membantu Safitri membereskan jemuran di halaman belakang sampai kaget mendengar itu. Wanita paruh baya itu pun bergegas masuk ke rumah. "Ada apa, Tam? Kenapa teriak-teriak gitu?" tanya sang ibu."Ini lho, Tama mau ambil buku itu. Runa kemana sih?" tanya lelaki itu gusar. "Kamu ini gimana? Tadi pagi bukannya kamu sudah dipamiti sama istrimu kalau hari ini dia mulai kerja. Kok sudah lupa to." Tama merengut. Dia sebenarnya bukan lupa, tapi dia memang hanya ingin berteriak saja karena kesal dengan kondisinya yang tidak bisa apa-apa. "Kalau butuh apa-apa kan bisa panggil ibu. Jangan teriak gitu. Nggak enak didengar tetangga," jelas sang ibu."Nanti ibu capek ngurusin Tama." Lelaki itu merajuk, melengos ke arah lain."Yo ndak apa-apa to capek, namanya juga ngurus anak." Bu Farida terkekeh kecil, menertawakan tingkah sulungnya."Lagian kenapa sih Runa pakai kerja segala. Padahal aku kemarin udah larang dia,
[Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb