"Tapi aku nggak bisa lama-lama ya, Wi. Aku nggak mampir. Nanti langsung pulang aja," kataku hati-hati, takut kalau-kalau dia akan marah lagi. Entah kenapa aku selalu lebih takut didiamkan oleh Dewi daripada istriku sendiri.
"Terserah kamu," ucapnya singkat. Lalu bergerak mengikutiku menuju ke tempat parkir. Kemudian aku pun melangkah sedikit lebih cepat agar tak sampai berjalan beriringan dengannya.Meski di malam hari, tetap saja tak bisa membuatku tenang berjalan berduaan di tempat umum seperti ini bersamanya. Jantungku selalu berdebar-debar saat kami sedang berada di tempat terbuka. Aku selalu takut seseorang akan melihat kami. Tapi anehnya, hal itu tak pernah bisa membuatku berpikir untuk menghentikan hubungan terlarangku dengan Dewi ini. Bahkan ini justru jadi seperti tantangan untukku. Takut, tapi tetap ingin menjalani.Sepanjang perjalanan, kulihat wanita keduaku itu membisu. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya saat ini."Kenapa, Wi?" Kulirik wajah murung itu di sela-sela kesibukan mengamati jalan di depanku. Dia hanya menggeleng malas."Kok diem gitu? Masih marah ya? Kan sudah dianterin," kataku mengingatkan.Dia masih diam, lalu mendesah panjang seolah ingin melepaskan beban berat di dalam dadanya. "Sampai kapan sih kita akan kayak gini terus?" tanyanya saat kemudian menoleh ke arahku."Maksud kamu?" Aku pura-pura tak mengerti, padahal aku sangat paham apa yang sedang dikatakannya itu. Dia pasti akan mulai protes dengan kejelasan hubungan kami lagi."Ya kita ini, Mas. Sampai kapan kita begini terus?" Dia mulai nampak jengkel. "Aku kan juga butuh diakui. Aku butuh status."Sejujurnya aku mulai malas kalau dia sudah mengoceh tentang hal itu. Tapi bagaimana lagi, aku pun masih belum rela kehilangan wanita di sampingku ini. Mau menanggapinya dengan ketus, nanti dia malah akan bertambah marah."Wii', aku minta tolong sekali ini aja, boleh?" tanyaku lebih hati-hati lagi. Tangan kiriku bergerak menggenggam telapak kanannya. Dia menatapku tanpa berkata sepatah kata pun, tapi sorot mata itu menjelaskan kalau dia siap untuk mendengarkan."Saat ini kondisi Runa masih sangat kacau. Dia baru saja kehilangan anak kami. Tentu saja aku juga sedih. Jadi kumohon … aku benar-benar minta tolooong banget sama kamu. Plis, kasih aku waktu beberapa hari dulu ya? Biar aku fokus dulu sama Runa. Setelah itu, aku janji deh, kita akan bicarakan masalah ini lagi. Setidaknya kita tunggu dulu sampai kondisi Runa membaik."Aku menghentikan kalimatku, lalu menyempatkan diri meliriknya. Berharap dia akan mengerti dengan permohonanku itu. Sejujurnya kedatangannya ke rumah sakit sudah mulai membuatku was-was. Jika tak kukatakan hal ini dengan cara yang halus, aku khawatir dia akan nekat datang ke rumah dan mengacaukan semuanya suatu hari nanti. Jika sampai itu terjadi, mungkin saja ibu akan langsung mengutukku jadi batu.Kulihat dia tak bergerak dari posisi semua, masih menatapku dengan serius."Gimana, Wi? Nggak apa-apa kan?" Aku memohon lagi. Dia tetap diam, bahkan saat mobilku sampai di jalanan depan gedung apartemen."Dah, aku turun sini aja." Tak menjawab pertanyaanku, dia malah minta diturunkan."Lhoh, kenapa?" Aku panik lagi. Sepertinya dia malah bertambah marah karena permintaanku. "Aku anter sampai dalam, Wi. Jangan turun di sini," pintaku"Nggak usah! Nanti kelamaan kalau ngurusin aku," ketusnya."Nggak apa-apa, Wi. Aku antar." Aku tak mempedulikan raut cemberutnya. Tetap kulajukan mobil sampai di depan lobi."Turun sini ya? Aku langsung balik," kataku pelan, sembari mengulurkan tangan untuk diciumnya. Tapi dia tak menggubrisku. Dia langsung turun dan menutup pintu mobilku dengan sangat keras. Dia bahkan langsung menuju ke pintu lobi tanpa menungguku pergi dulu.Aku menghela nafas dalam. Seingatku, Dewi biasanya tak merepotkan seperti ini. Itulah kenapa aku begitu betah berlama-lama dengannya selama ini, dibanding Runa yang sejak hamil selalu manja dan sering merepotkanku dengan segala tetek bengek permintaannya.Dengan pikiran sedikit kalut karena masih kepikiran tingkah Dewi, aku mulai melajukan kembali roda empatku meninggalkan apartemen. Namun baru beberapa meter keluar dari pelataran, ponselku tiba-tiba berbunyi. Ibu menelponku."Aduh!" Kutepuk dahiku frustasi sebelum akhirnya kuterima panggilan itu."Tama, kamu dimana? Kenapa lama banget? Cepet balik, Le!" ucap ibu dengan nada cemas."Eh iya Bu, ini udah mau balik ke kamar kok. Tunggu ya?" kataku."Cepat, Tam! Runa …." Suara ibu seperti ingin menangis saat menyebut nama istriku."Runa kenapa, Bu?""Pokoknya kamu harus balik sekarang. Cepet!""Iy-iya Bu, i-ya. Tama balik sekarang."Mendengar suara ibu yang panik, tak ayal membuatku tidak tenang juga. Usai ibu memutus telepon, aku kembali fokus melajukan mobil lebih cepat. Jarak apartemen dengan rumah sakit masih lumayan jauh. Tak mungkin bisa kutempuh hanya dalam waktu lima menit. Paling tidak aku butuh sepuluh menit jika tak ada hambatan di jalan. Semoga saja ibu tidak marah padaku saat aku sampai nanti. Dan Runa? Apa yang terjadi padanya?Aku masih berusaha mempercepat laju mobilku saat tiba-tiba dari arah berlawanan cahaya berkelap-kelip cepat menyorot ke arahku. Hanya beberapa detik saja setelah itu, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.Meski telah sangat paham dengan perasaan Runa, Bu Farida tetap tak rela melihat apa yang menimpa menantu kesayangannya itu. Namun apapun yang dikatakan oleh ibu mertuanya kali ini, sepertinya sudah tak bisa berpengaruh pada keputusan Runa. Malam itu, Runa memutuskan untuk tidur terpisah dari Tama. Tama yang masih terjaga tampak kaget melihat istrinya menenteng bantal guling dan bersiap meninggalkan kamar usai membersihkan diri seperti biasa. “Mau kemana?” tanyanya kaku, berusaha menghilangkan rasa penasaran. Sambil sedikit merendahkan gengsinya, tentu saja.“Oh iya, aku belum pamit ya, Mas?” Runa pun menghentikan langkah. Wanita dengan setelan piyama panjang itu kembali berjalan mendekat ke arah suaminya yang tadinya sudah bersiap untuk memejamkan mata. Hati Tama tiba-tiba berdesir kala Runa mulai duduk di tepi ranjang, sangat dekat sekali dengan tempatnya berbaring. “Aku sudah memutuskan, Mas,” ujarnya kemudian, usia menghela nafas berat. Tama mengerutkan dahi mendengar itu. “Me-m
Nama itu seperti tak asing di telinga Runa. Dia sepertinya telah beberapa kali mendengarnya disebutkan dalam perbincangan ibu mertua dan adik iparnya belum lama ini. "Ada perlu dengan saya?" tanya Runa hati-hati usai mendudukkan diri di kursi tamu. Sepertinya dia agak sedikit waspada dengan maksud dan tujuan wanita di depannya itu menemuinya. Wanita itu malah tertawa kecil dengan nada seperti meremehkan. "Kalau tidak ada perlu, aku nggak akan ke sini mencarimu, Nyonya Tama," katanya. Runa sedikit terkejut. Mereka berdua baru pertama kali bertemu, tapi gelagat wanita itu seolah sudah mengenal Runa lama. Sikapnya, bagi Runa juga kurang sopan. "Maaf, tapi sepertinya kita belum pernah bertemu," ucap Runa dengan dahi berkerut. Sepertinya dia pun mulai mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita di hadapannya saat ini. "Suamimu sudah banyak cerita soal kamu, Runa." Jantung Runa rasanya langsung berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Suaminya? Itu berarti Tama? Jadi, wanita inikah
Seminggu setelah Runa kembali bekerja, Tama semakin sering uring-uringan. Entah kenapa dengan lelaki itu. Padahal biasanya dia tak terlalu peduli dengan kehadiran istrinya itu di sampingnya. Namun semenjak tak dilihatnya Runa hingga beberapa jam di rumah, Tama merasa ada yang kurang. Tak ada yang bolak balik keluar masuk ke dalam kamar mereka dan menanyakan makan seperti biasa. Pun tak ada yang bisa dia suruh- suruh ini dan itu beberapa hari ini. Meski Dewi tak pernah absen mengirimkan pesan setiap hari, bahkan jika Bu Farida sedang keluar, Tama dengan berani menelpon wanita simpanannya itu hanya untuk mengobrol tak jelas di kamarnya. Safitri satu-satunya orang yang kerap jadi sasaran amarahnya sekarang. Jelas dia tak akan berani marah pada sang ibu.Seperti hari ini, Tama begitu rewel minta ini dan itu pada asisten rumah tangga itu sambil marah-marah tak jelas, membuat Safitri hampir kehilangan kesabarannya. Namun sebagai seorang pembantu, wanita itu tak bisa berbuat banyak. Akhirny
"Run! Runaaa!"Terdengar suara teriakan Tama dari kamarnya. Bu Farida yang sedang membantu Safitri membereskan jemuran di halaman belakang sampai kaget mendengar itu. Wanita paruh baya itu pun bergegas masuk ke rumah. "Ada apa, Tam? Kenapa teriak-teriak gitu?" tanya sang ibu."Ini lho, Tama mau ambil buku itu. Runa kemana sih?" tanya lelaki itu gusar. "Kamu ini gimana? Tadi pagi bukannya kamu sudah dipamiti sama istrimu kalau hari ini dia mulai kerja. Kok sudah lupa to." Tama merengut. Dia sebenarnya bukan lupa, tapi dia memang hanya ingin berteriak saja karena kesal dengan kondisinya yang tidak bisa apa-apa. "Kalau butuh apa-apa kan bisa panggil ibu. Jangan teriak gitu. Nggak enak didengar tetangga," jelas sang ibu."Nanti ibu capek ngurusin Tama." Lelaki itu merajuk, melengos ke arah lain."Yo ndak apa-apa to capek, namanya juga ngurus anak." Bu Farida terkekeh kecil, menertawakan tingkah sulungnya."Lagian kenapa sih Runa pakai kerja segala. Padahal aku kemarin udah larang dia,
[Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb