Share

Bab 6

"Tapi aku nggak bisa lama-lama ya, Wi. Aku nggak mampir. Nanti langsung pulang aja," kataku hati-hati, takut kalau-kalau dia akan marah lagi. Entah kenapa aku selalu lebih takut didiamkan oleh Dewi daripada istriku sendiri.

"Terserah kamu," ucapnya singkat. Lalu bergerak mengikutiku menuju ke tempat parkir. Kemudian aku pun melangkah sedikit lebih cepat agar tak sampai berjalan beriringan dengannya.

Meski di malam hari, tetap saja tak bisa membuatku tenang berjalan berduaan di tempat umum seperti ini bersamanya. Jantungku selalu berdebar-debar saat kami sedang berada di tempat terbuka. Aku selalu takut seseorang akan melihat kami. Tapi anehnya, hal itu tak pernah bisa membuatku berpikir untuk menghentikan hubungan terlarangku dengan Dewi ini. Bahkan ini justru jadi seperti tantangan untukku. Takut, tapi tetap ingin menjalani.

Sepanjang perjalanan, kulihat wanita keduaku itu membisu. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya saat ini.

"Kenapa, Wi?" Kulirik wajah murung itu di sela-sela kesibukan mengamati jalan di depanku. Dia hanya menggeleng malas.

"Kok diem gitu? Masih marah ya? Kan sudah dianterin," kataku mengingatkan.

Dia masih diam, lalu mendesah panjang seolah ingin melepaskan beban berat di dalam dadanya. "Sampai kapan sih kita akan kayak gini terus?" tanyanya saat kemudian menoleh ke arahku.

"Maksud kamu?" Aku pura-pura tak mengerti, padahal aku sangat paham apa yang sedang dikatakannya itu. Dia pasti akan mulai protes dengan kejelasan hubungan kami lagi.

"Ya kita ini, Mas. Sampai kapan kita begini terus?" Dia mulai nampak jengkel. "Aku kan juga butuh diakui. Aku butuh status."

Sejujurnya aku mulai malas kalau dia sudah mengoceh tentang hal itu. Tapi bagaimana lagi, aku pun masih belum rela kehilangan wanita di sampingku ini. Mau menanggapinya dengan ketus, nanti dia malah akan bertambah marah.

"Wii', aku minta tolong sekali ini aja, boleh?" tanyaku lebih hati-hati lagi. Tangan kiriku bergerak menggenggam telapak kanannya. Dia menatapku tanpa berkata sepatah kata pun, tapi sorot mata itu menjelaskan kalau dia siap untuk mendengarkan.

"Saat ini kondisi Runa masih sangat kacau. Dia baru saja kehilangan anak kami. Tentu saja aku juga sedih. Jadi kumohon … aku benar-benar minta tolooong banget sama kamu. Plis, kasih aku waktu beberapa hari dulu ya? Biar aku fokus dulu sama Runa. Setelah itu, aku janji deh, kita akan bicarakan masalah ini lagi. Setidaknya kita tunggu dulu sampai kondisi Runa membaik."

Aku menghentikan kalimatku, lalu menyempatkan diri meliriknya. Berharap dia akan mengerti dengan permohonanku itu. Sejujurnya kedatangannya ke rumah sakit sudah mulai membuatku was-was. Jika tak kukatakan hal ini dengan cara yang halus, aku khawatir dia akan nekat datang ke rumah dan mengacaukan semuanya suatu hari nanti. Jika sampai itu terjadi, mungkin saja ibu akan langsung mengutukku jadi batu.

Kulihat dia tak bergerak dari posisi semua, masih menatapku dengan serius.

"Gimana, Wi? Nggak apa-apa kan?" Aku memohon lagi. Dia tetap diam, bahkan saat mobilku sampai di jalanan depan gedung apartemen.

"Dah, aku turun sini aja." Tak menjawab pertanyaanku, dia malah minta diturunkan.

"Lhoh, kenapa?" Aku panik lagi. Sepertinya dia malah bertambah marah karena permintaanku. "Aku anter sampai dalam, Wi. Jangan turun di sini," pintaku

"Nggak usah! Nanti kelamaan kalau ngurusin aku," ketusnya.

"Nggak apa-apa, Wi. Aku antar." Aku tak mempedulikan raut cemberutnya. Tetap kulajukan mobil sampai di depan lobi.

"Turun sini ya? Aku langsung balik," kataku pelan, sembari mengulurkan tangan untuk diciumnya. Tapi dia tak menggubrisku. Dia langsung turun dan menutup pintu mobilku dengan sangat keras. Dia bahkan langsung menuju ke pintu lobi tanpa menungguku pergi dulu.

Aku menghela nafas dalam. Seingatku, Dewi biasanya tak merepotkan seperti ini. Itulah kenapa aku begitu betah berlama-lama dengannya selama ini, dibanding Runa yang sejak hamil selalu manja dan sering merepotkanku dengan segala tetek bengek permintaannya.

Dengan pikiran sedikit kalut karena masih kepikiran tingkah Dewi, aku mulai melajukan kembali roda empatku meninggalkan apartemen. Namun baru beberapa meter keluar dari pelataran, ponselku tiba-tiba berbunyi. Ibu menelponku.

"Aduh!" Kutepuk dahiku frustasi sebelum akhirnya kuterima panggilan itu.

"Tama, kamu dimana? Kenapa lama banget? Cepet balik, Le!" ucap ibu dengan nada cemas.

"Eh iya Bu, ini udah mau balik ke kamar kok. Tunggu ya?" kataku.

"Cepat, Tam! Runa …." Suara ibu seperti ingin menangis saat menyebut nama istriku.

"Runa kenapa, Bu?"

"Pokoknya kamu harus balik sekarang. Cepet!"

"Iy-iya Bu, i-ya. Tama balik sekarang."

Mendengar suara ibu yang panik, tak ayal membuatku tidak tenang juga. Usai ibu memutus telepon, aku kembali fokus melajukan mobil lebih cepat. Jarak apartemen dengan rumah sakit masih lumayan jauh. Tak mungkin bisa kutempuh hanya dalam waktu lima menit. Paling tidak aku butuh sepuluh menit jika tak ada hambatan di jalan. Semoga saja ibu tidak marah padaku saat aku sampai nanti. Dan Runa? Apa yang terjadi padanya?

Aku masih berusaha mempercepat laju mobilku saat tiba-tiba dari arah berlawanan cahaya berkelap-kelip cepat menyorot ke arahku. Hanya beberapa detik saja setelah itu, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status