"Sabar ya, Rid. InsyaAllah Tama akan baik-baik saja. Dia laki-laki yang kuat." Bu Ratna memeluk sahabatnya erat. Beberapa saat setelah menerima telepon dari kepolisian, tangis Bu Farida pecah saat kembali ke dalam kamar. Semua jadi panik melihat itu. Apalagi setelah wanita itu menjelaskan apa yang terjadi pada putranya. Tangis Bu Ratna dan Laras pun pecah dan saling berangkulan. Hanya Runa yang tak bereaksi apa-apa. Di atas pembaringannya, wanita itu hanya diam menitikkan air mata tanpa suara."Kalau begitu, tinggalkan saja Runa. Biar aku dan bapaknya yang mengurus dia. Sekarang yang lebih penting Tama, Rid. Urus dulu Tama," kata Bu Ratna sembari mengelus punggung sang sahabat. Bu Farida dan Laras pun menyetujui usul itu."Kamu yang tenang ya, Run. Suamimu pasti nggak kenapa-napa. Ibu tinggal dulu ya? Kamu juga harus semangat dan harus cepat sembuh. Ibu tinggal ya, Sayang," pamit Bu Farida mengedup kening menantunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit bersama anak gadisnya. *
Niat awal ingin pulang untuk beristirahat, Laras justru dibuat sakit kepala dengan kedatangan Dewi. Walau akhirnya dia berhasil mengusir teman lamanya itu dari rumahnya, tetap saja gadis itu jadi tak bisa beristirahat dengan tenang. Wajah ibunya terus saja terbayang di pelupuk mata. Tidak mungkin rasanya dia ceritakan masalah itu sekarang pada wanita itu. Ibunya yang sedang bersedih karena sakitnya putra dan menantunya pasti akan bertambah terpuruk jika harus mendengar berita buruk itu juga. Tapi jika tidak disampaikannya, kasihan sekali nasib kakak iparnya. Mbak Runa-nya pasti sangat sengsara jika tahu bahwa suaminya telah berkhianat."Bagaimana ini?" Gadis itu kini nampak hanya berjalan mondar mandir saja di dalam kamarnya. Laras benar-benar bingung harus berbuat apa. ***Sore itu di rumah sakit, Runa nampak sangat gelisah. "Apa sudah ada kabar soal Mas Tama, Bu?" tanyanya pada Bu Ratna. Tak segera menjawab pertanyaan putrinya, Bu Ratna malah bersiap untuk menyuapinya.Runa meng
"Kamu ngapain sih ke sini lagi, hah?!" Pagi itu, Laras dikejutkan lagi oleh kedatangan Dewi yang tiba-tiba. Gadis itu baru hendak masuk ke mobil untuk berangkat kerja saat Dewi datang dan mencegahnya menutup mobil. "Ras, tolong Ras, bilang sama aku dimana Mas Tama sekarang!" Ekspresi Dewi sama sekali berbeda dari saat datang di hari sebelumnya. Kali ini dia begitu panik. Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu. Laras menatapnya dari kursi kemudi di dalam mobil dengan keheranan. "Ngapain lagi sih kamu nyari kakakku? Kalian itu bukan suami istri. Ingat itu!" ketus Laras."Tapi aku nggak bisa hubungin Mas Tama dari kemarin, Ras. Dia dimana sih? Dia ada di rumah kan? Iya kan, Ras?" tebak wanita itu, padahal dia ragu dengan pernyataannya sendiri karena tak dilihatnya mobil Tama di garasi."Nggak ada! Apa kamu nggak lihat rumah sudah aku kunci semua gitu? Nggak ada siapa-siapa di rumah, Wi. Pergi kamu! Nggak usah dateng-dateng ke sini lagi!" bentaknya."Tapi Ras, aku butuh ketemu M
"Mas Tama, gimana keadaanmu Mas?" Dewi langsung mendekati pria yang masih terbaring tak berdaya di atas pembaringan itu saat pintu kamar terbuka. Bu Farida dan Safitri yang kaget, hanya bisa terbengong menyaksikan hal itu. Beberapa detik kemudian saat tersadar, Bu Farida segera mendekat dan bertanya pada wanita yang baru datang ke kamar perawatan anak sulungnya itu. "Kamu siapa?" Bu Farida memandangi wanita yang tengah mendekap erat tas di dadanya itu. Tama yang sempat kaget di atas pembaringannya, masih belum bisa percaya bahwa Dewi nekat menemuinya di rumah sakit."Wi, kam-mu ngapain di sini?" tanyanya lirih dan terbata. "Kamu kenal wanita ini, Le? Dia siapa?" Dengan tatap curiga, Bu Farida kini memandang putranya. Tama terlihat salah tingkah di tengah kesakitannya."Itu Bu, dia De-wi …." "Dewi siapa?" Bu Farida makin lekat menatap Tama. Lalu beralih ke tamu anaknya itu. "Kamu siapa?" tanyanya kemudian."Aku Dewi, Tante. Aku temannya Mas Tama." Dengan sedikit ragu Dewi mulai men
"Kamu kenapa ke sini, Run? Kamu kan masih sakit." Tama menatap sang istri dengan prihatin. Sementara itu Runa, walaupun begitu kecewa dengan sang suami dan sangat penasaran dengan video yang sempat dikirimkan seseorang padanya beberapa hari sebelumnya, tetap saja memiliki simpati pada pria yang telah menikahinya itu. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Aku sudah sembuh," jawabnya lemah. "Tapi wajah kamu masih terlihat pucat, Run." Tangan Tama bergerak perlahan, berusaha meraih pipi sang istri, tapi Runa mencegahnya dengan gerakan. "Tidak apa-apa. Paling nggak lama lagi aku pulih. Kamu sendiri gimana, Mas?" Pria itu mengecap bibirnya menahan sakit yang masih sangat sering dirasanya di sekujur tubuh. "Aku juga nggak apa-apa. Kamu nggak usah ikut mikir. Mendingan kamu sekarang pulang aja, Run. Istirahat di rumah biar cepat pulih," usulnya."Iya, nanti Mas. Aku mau di sini dulu sebentar." Tama tentu belum lupa, terakhir kali dia menemui Runa di kamar perawatannya dan wanita justru mengataka
Tak ingin ibu mertua dan iparnya tahu jika dirinya sedang mendengarkan pembicaraan mereka, Runa segera bergegas menuju kamar. Wanita itu menarik nafas berat melihat suaminya sudah memejamkan mata dengan ponsel masih di genggaman saat dia sampai di sana. Perlahan Runa mendekat, membenarkan letak selimut pria itu, lalu meraih ponsel untuk dipindahkannya ke atas nakas. Namun Tama tiba-tiba membuka mata saat merasakan ada gerakan di telapak tangannya."Apa, Run?" tanyanya dengan gugup sembari menarik ponselnya dengan cepat. Sepertinya tadi dia ketiduran saat sedang beraktifitas dengan benda pipihnya itu."Enggak, aku cuma mau simpan ponselmu saja, Mas. Kalau mau istirahat, jangan sambil mainan HP," sindir Runa. "Aku nggak mainan, tadi lagi chat aja sama orang kantor kok," kilahnya. Runa hanya mengulas senyum miris mendengar itu. "Aku lapar, Run. Ambilin makan dong," lanjutnya lagi. Sepertinya Tama tidak mau istrinya bertanya lebih lanjut kegiatannya dengan HPnya."Iya, sebentar aku am
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb
[Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang