Share

5. RA, KAMU GILA

"Setelah menikah, Ra. Setelah menikah baru bisa melakukan itu."

Darius memegang wajah Aurora. Gadis itu mengerucutkan bibir tanda kecewa.

Aurora benar-benar tidak tahu. Atau memang benar-benar sableng. Kok bisa-bisanya dia seperti kecewa begitu.

Bibirnya monyong seperti itu, kan membuat Darius ingin mencicipinya. Tapi lagi-lagi sikap dewasa Darius menyadarkan. Darius belum benar-benar brengsek untuk melakukan hal itu dengan gadis yang baru ditemuinya selama beberapa jam.

**

Darius menatap langit-langit kamar. Akhirnya dia benar-benar bisa menghindari godaan iman dari Aurora dan menyuruh gadis itu segera tidur.

Namun nyatanya, sekarang Darius lah yang justru tidak bisa tidur karena terbayang-bayang kebersamaan singkatnya tadi bersama Aurora.

Sial, bertemu dengan Aurora mungkin adalah hal sial paling menyenangkan. Sial karena gadis itu terus-terusan memancingnya. Tapi Darius tidak mau berbuat sesuatu yang tidak benar.

Menyenangkan, karena baru beberapa jam saja bertemu dengan Aurora. Darius sudah menikmati hidup yang beraneka rasa.

Di kamar sebelahnya, Darius sadar betul ada Aurora yang mungkin sudah tertidur pulas.

Sekarang Darius membayangkan. Andai tiba-tiba saja Aurora masuk ke dalam kamarnya. Lalu memancingnya seperti tadi. Apakah Darius bisa menghindari lagi. Mengingat untuk kali ini tempatnya sangat pas dan Darius memang sedang terbayang-bayang. Memikirkan itu Darius jadi malu sendiri.

Memikirkan setan kecil. Setan kecil pun datang.

Tok ... Tok ... Tok ...

Tiba-tiba pintu kamar Darius diketuk. Dan tidak perlu menunggu Darius menjawab. Sekarang pintu itu sudah terbuka.

Aurora muncul dengan kemeja putih kedodoran milik Darius yang sedang dipakainya tadi.

"Om," panggil Aurora.

"Ra, kamu ngapain ke sini. Udah malam ini. Sana kamu tidur di kamarmu."

Darius terkejut. Tidak menyangka jika tiba-tiba pikirannya menjadi kenyataan. Gadis bernama Aurora ini benar-benar tidak bisa disangka-sangka.

"Aku takut tidur sendiri, Om."

Aurora berjalan mendekat, masuk ke dalam bad cover dan langsung berbaring di samping Darius. Memeluk pria itu dengan erat.

"Ra, kamu gila. Sana pergi. Jangan di sini. Berbahaya."

'Berbahaya, Ra. Saya takut nggak bisa berpikir jernih kalau terus-terusan dipancing begini,' batin Darius.

"Ihh ... apaan sih, Om. Dari tadi terus bilang ini berbahaya itu berbahaya. Memangnya kita lagi melakukan apa. Pedang-pedangan. Orang kita cuma berbaring begini. Aku cuma peluk Om Darius. Aku tuh takut Om tidur sendirian."

Aurora tidak bergeming. Ia justru mengeratkan pelukannya. Darius yang dipeluk jadi gelabakan sendiri. Disentuh tanpa peringatan begitu membuat darahnya mendesir tiba-tiba.

"Lah memangnya kalau di rumah kamu dikelonin Ayah kamu. Kok bisa takut tidur sendirian."

Darius mencoba membantah. Darius takut tapi ini juga menyenangkan.

"Ya enggak, Om. Tapi kan kalau di rumah itu rumahku. Kalau di sini kan tempat baru bagiku. Jadi aku takut. Imajinasiku tinggi, Om. Nanti kalau pas aku tidur tiba-tiba ada yang grayangin aku gimana?"

"Hehh ... mana ada. Sekarang yang ada justru kamu yang grayangin saya, Ra." Bantah Darius mencoba menahan keinginan syaraf-syaraf yang meremang dahsyat.

"Ehh ... masak sih. Aku kan cuma peluk doang. Bukan grayang-grayang. Lagian meluk pacar sendiri masak nggak boleh. Udah ya diem. Om Darius udah setuju jadi pacar aku jadi sekarang manut aku mau apain juga. Punya pacar itu harus disenengin Om pacarnya."

"Aduhh ... kamu itu gila. Tapi nggak gini caranya, Ra. Kamu itu mancing-mancing."

"Mancing apa sih, Om. Orang aku cuma pelukin doang. Kalo mancing-mancing tuh kayak gini nih."

Tiba-tiba saja tangan Aurora melesat memegang senjata Darius yang belum pernah difungsikan itu.

"Aduhh ... burung kutilangku. Kenapa kamu pegang, Ra. Jangan dipegang!!"

"Eehhh ... jadi ini to namanya burung kutilang. Aku baru tau, Om. Ternyata bentukannya kenyal."

"Aduhh ... Ra, Ra, lepas. Saya bilang jangan dipegang. Kamu malah tambah ditekan-tekan."

Darius jadi belingsatan sendiri. Setelah dianggurkan selama tiga puluh delapan tahun. Malam ini tanpa rencana, burung kutilang Darius terus-terusan dipancing untuk bisa berfungsi semestinya.

"Lohh ... saya kan cuma mau tau burung kutilang, Om. Kirain burung kutilang itu yang hinggap di pohon-pohon. Ternyata ini to. Eh Om, Om. Kok sekarang jadi keras gitu. Enakan pas keras Om dipegangnya."

"Aduhh Raaa ... lepas. Kok malah kamu mainin."

"Kenapa, Om. Sakit ya??" Aurora sok polos. Sok tidak tahu tapi dia terus memainkan burung kutilang Darius dari luar celana boxer.

"Ya enggak. Enak Raa ... bukan sakit."

"Oh ... enak. Hehehe ... bagus dong."

Aurora masih tidak berhenti. Gadis itu justru memeta pada bagian-bagian lain. Seperti pada telur burung kutilang itu. Darius panas dingin. Darahnya mendesir. Akal sehatnya mulai tidak berfungsi beralih menjadi panas tubuh yang ingin segera dituntaskan.

"Ra, saya sebenarnya nggak mau melakukan ini. Tapi dari tadi kamu terus yang mancing-mancing saya. Sekarang saya nggak bisa tahan lagi."

"Maksudnya, Om?"

"Kamu mau tau burung kutilang kan? Sekarang saya kasih tau kamu burung kutilang itu lengkap."

Hmm ... sekarang kenak kau. Batin Darius lega. Tidak mungkin kan Aurora benar-benar tidak tahu kalau burung kutilang itu yang memang ada di pohon-pohon. Bukan yang ada di dalam celananya. Itu tadi kan cuma sebutan. Masak iya langsung disebut namanya gitu. Sarkas sekali.

Darius memegang tangan Aurora. Mengarahkannya masuk ke dalam boxer celananya sendiri.

Emhhh ... Darius menghela nafas besar saat tangan Aurora memegang secara langsung burung kutilang miliknya. Sedang mata Aurora membulat sempurna setelah memegang burung kutilang Darius.

"Kenapa mata kamu begitu?" tanya Darius berusaha menahan tawa melihat reaksi wajah Aurora.

"Ternyata burung kutilang itu nggak berbulu."

Darius menutup mata kaget mendengar kalimat pertama Aurora. Dia pikir gadis ini akan takut atau menyesal tapi sepertinya sama sekali tidak. Sekarang Aurora malah seperti mempelajari.

"Om, teksturnya seperti pentol bakso berotot yaa. Tapi ini bentuknya lonjong bukan bulat. Tapi kerasan ini, Om. Enak Om ditangan. Anget. Hehehe. Ini kalau digigit gimana rasanya ya. Sama kayak makan bakso nggak itu ya."

Darius kepanasan sendiri. Aurora memegang burung kutilangnya naik turun. Terus gadis itu juga penasaran gimana rasanya kalau digigit. Membuat Darius tidak bisa berpikir lagi. Kalau mau tahu, coba dimakan aja.

"Ra, kamu mau tau rasanya?"

"Iya, Om."

"Oke. Saya kasih tau kamu rasanya sekarang."

Darius sudah tidak sungkan. Rasa panas yang merebas-rebas ingin ia ikuti sampai tuntas. Darius yang berbaring di samping Aurora mulai bergerak ingin menindih tubuh gadis itu untuk memulai semua.

Bug. Tiba-tiba Darius terjatuh dari tempat tidur. Ia membuka mata dan melihat ke sekeliling dengan bingung. Ia lihat di atas tempat tidur. Tidak ada Aurora di sana. Ternyata semuanya cuma mimpi.

Yahh ... Darius. Sok-sokan nolak pancingan Aurora. Nyatanya dia yang ke bawa sampai mimpi juga.

Darius tersenyum malu. Bisa-bisanya dia mimpi seperti itu dengan gadis yang baru saja ia temui selama beberapa jam. Bangkit dari posisi jatuh, Darius langsung bergegas menuju kamar mandi. Hari sudah siang. Mungkin Aurora juga sudah bangun dan mulai menyiapkan sarapan untuk mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status