Share

4. UDAH GITU AJA?

"Om, ciumnya lagi dong!"

Darius terkekeh. Gadis ini benar-benar di luar nalar. Bukannya marah atau takut, dia malah minta lagi. Sekali lagi Darius memberikan kecupan pada dahi yang merah akibat terkena sentilannya tadi.

Cup! Sekali lagi, Aurora menunjukkan expresi yang sama.

"Sudah, Om?" tanya gadis itu polos.

"Iya. Mau apa lagi kamu?" tanya Darius.

Aurora menggelengkan kepala. Sebenarnya pikiran nakalnya menjelajah ke banyak hal. Seperti tempat lain untuk dicium atau hal nakal lain yang membuat tubuhnya merasa aneh. Seperti yang dia dudukinya sekarang.

Gadis itu cukup tahu tentang hal yang biasa orang dewasa lakukan tapi dia belum pernah melakukannya. Jadi ketika tadi dia naik di atas tubuh Darius dan merasakan sesuatu yang terus terdorong ke atas menimbulkan rasa nikmat yang aneh. Aurora bisa mengira itu benda apa. Dan juga penasaran akan rasa yang selanjutnya.

"Yasudah sekarang turun! Bahaya kamu duduk di situ. Lain kali jangan langsung begitu!" pinta Darius.

Sedari tadi Darius berusaha menahan. Jika lebih lama lagi entah akan bagaimana bentuk dinding pertahanannya. Terlebih selama duduk Aurora terus bergerak-gerak. Menimbulkan rasa yang enak tapi berbahaya.

"Turun ya, Om?"

Aurora sedikit berat hati pergi dari tempat itu. Sedangkan Darius belum segila itu untuk melakukannya dengan gadis di bawah umur.

"Iya. Dan turunnya pelan-pelan."

Aurora terkekeh. Ide jahil muncul di benaknya ketika gadis itu akan turun dari posisinya. Bukannya pelan-pelan. Tapi Aurora justru menekan dan sedikit menggerakkan tubuhnya ketika akan turun.

Akhh ... Darius mengerutkan dahi. Walaupun umurnya tiga puluh delapan tahun. Tapi dia belum pernah melakukan hal seperti tadi. Rasanya panas dingin tapi tidak ingin berhenti. Andai saja gadis ini lebih dewasa sedikit. Mungkin Darius tidak akan sungkan. Tapi melihat kelakuannya. Aurora sungguh memang berniat menguji imannya.

"Benar kan aku bilang. Nggak semua laki-laki itu brengsek," celetuk Aurora begitu dia turun.

'Belum. Belum jadi brengsek. Kalau diuji terus seperti itu. Siapa yang bisa tahan untuk tidak jadi brengsek,' batin Darius.

"Ra, kamu biasa kayak tadi itu ke teman cowokmu?" tanya Darius.

'Itu bahaya. Jangan seperti itu,' batin Darius.

"Nggak pernah. Om yang pertama tadi. Kiss nya juga."

Aurora menunjuk pada dahinya sekarang. Darius tersenyum. Entah kenapa dia senang mendengar itu. Ada rasa bangga terselip dalam hati. Apa dia benar-benar akan menjadi yang pertama bagi semuanya? Entahlah. Darius tidak ingin berpikir terlalu jauh. Jika sampai dia kebablasan dan gadis ini hamil. Maka akan hancur sudah masa depan Aurora.

"Terus kok bisa tadi langsung main duduk gitu aja di sana?"

Darius sedang berusaha mencari tahu senakal apa Aurora. Dan bagaimana gadis itu bisa memiliki pemikiran seperti ini.

"Di drama-drama kan banyak, Om. Kalau di film itu romantis tapi ternyata kalau di praktekin. Rasanya merinding disko. Punyaku rasanya aneh kena punya Om."

Darius terkejut mendengar pengakuan gamblang Aurora. Gadis ini memang aneh. Tidak takut dan sekarang tidak sungkan. Apa dia juga tidak malu?

"Makanya tadi saya bilang berbahaya kan? Lain kali jangan begitu."

Aurora tersenyum. Dia semakin suka saja pada pria yang ada di depannya. Om bernama Darius ini jelas pria yang baik kan. Tidak apa jika nakal dengan pria ini. Dia pasti akan baik-baik saja.

"Aku nggak menyesal ko, Om. Tadi itu enak. Bahaya yang nikmat."

Darius kehabisan kata-kata menghadapi Aurora. Jika malam ini ia teruskan, mungkin Darius akan menjadi benar-benar gila. Darius tidak tahu akan sampai kapan kewarasannya ini akan tetap terjaga. Aurora yang sejak tadi bersikap sok polos tapi terus-terusan memancingnya.

"Iya enak tapi belum waktunya. Lagi pula jika saya benar-benar melakukannya. Saya jadi seperti pedofil."

"Pedofil itu kalau sama anak balita, Om. Aku kan sudah detik-detik melepas masa remaja dan mulai menjajaki fase dewasa. Aku sudah pernah menstruasi berarti itu menunjukkan kalau sebagai wanita rahimku sehat dan siap diisi seorang bayi. Dan aku juga udah punya SIM. Itu bukti secara dokumen negara kalau aku sekarang udah bener-bener dewasa, Om. Bukan cuma gede badannya doang. Dan banyak umurnya."

Gede badan. Banyak umur. Umur juga belum genap angka dua puluh. Pake acara bilang umur udah banyak segala. Darius terkekeh. Lagi pula, mana ada pembuktian sudah dewasa atau belum hanya dengan punya SIM atau enggak. Terbukti secara dokumen dia bilang. Aurora Aurora. Ada-ada aja.

"Emang kamu udah punya SIM apa? Sepeda roda tiga?" Darius tertawa mengejek. Anak kecil begini sudah punya SIM. Paling setir sepeda motor masih jalan 20km/jam.

"Eiitsss ... ngawur. Mobil dong. Mana bisa aku naik sepeda motor."

Darius makin heran lagi. Bisa jalanin mobil tapi tidak bisa jalanin sepeda motor. Benar-benar unik memang anak ini.

"Ko bisa gitu? Emangnya Ayah kamu nggak ajari naik sepeda motor?"

"Ayah nggak bolehin aku bawa kendaraan sendiri. Ke mana-mana aku diantar sopir, Om."

"Lah terus. Sekarang kok bisa kamu punya SIM mobil. Bohong yaa kamu. Hmm ... berarti belum dewasa nih."

Darius terus saja ikut permainan yang diciptakan Aurora. Mengobrol dengan gadis ini seru juga.

"Eiitsss ... enak aja. Nggak ada yaa di dalam kamus kehidupan Aurora itu berbohong. Mana, mana, tas sama dompet aku."

Aurora mencari-cari keberadaan tasnya. Niatnya untuk membuktikan bahwa dia memang punya SIM. Tapi Aurora lupa kalau dia tidak membawa apa pun saat bertemu Darius kecuali perutnya yang kelaparan.

"Ohh ... iya. Kan ketinggalan di rumah ya. Gini Om ceritanya. Jadi meskipun Ayah nggak bolehin aku bawa kendaraan sendiri. Tapi aku sering minta sopir buat ajarin aku nyetir. Dan akhirnya sampe aku bisa bawa mobil sendiri. Tentunya Ayahku nggak tahu dong. Kalau tau marah-marah dia. Kasihan Pak Sopir kalau dimarahi. Ayah bilang aku nggak boleh bawa kendaraan sendiri takut aku kebut-kebutan. Terus aku langsung buat SIM begitu umurku 17 tahun. Biar gaya dong punya SIM. Hehehe ...."

Aurora ceria sekali bercerita seolah menceritakan kisah petualangan Barbie pada anak TK. Sebagai pria dewasa sejak tadi Darius mendengarkan dengan seksama. Perpaduan kalimat sederhana Aurora diiringi dengan mulutnya yang bergerak-gerak saat berbicara. Terlihat sangat menarik bagi Darius. Gemas rasanya melihat bibir itu.

"Pokoknya gitu deh, Om. Jadi udah jelas kan aku ini benar-benar udah dewasa. Jadi melakukan hal yang orang dewasa lakukan juga nggak apa-apa. Hehehe ...."

Aurora menggerakkan kedua alisnya naik turun memberi Darius kode. Darius keheranan mendengar topik pembicaraan gadis ini. Diawali dengan SIM diakhiri dengan kode.

"Melakukan hal dewasa apa?" Darius berpura-pura tidak tahu.

"Lanjutannya aku naik ke pangkuan Om tadi. Habisnya enak sih, Om. Aku jadi penasaran sama rasa selanjutnya."

Darius menghela nafas besar. Tidak menyangka bahwa Aurora benar-benar ingin melakukannya.

"Terus kalau kamu hamil gimana? Kamu nggak jadi kuliah? Rusak masa depanmu, Ra."

"Kan bisa pakai alat kontrasepsi, Om. Lagian kalau hamil kan tinggal menikah. Om juga udah mapan. Apa yang perlu dikhawatirkan?"

Sekarang Darius yakin bahwa Aurora tidak benar-benar polos. Lebih ke sableng tepatnya. Bisa sampai tahu alat kontrasepsi belajar dari mana coba. Tapi tadi Aurora begitu meyakinkan kalau dirinya masih segelan. Entahlah. Yang perlu dikuatkan oleh Darius sekarang adalah kewarasannya.

"Kewarasan kamu tuh yang perlu dikhawatirkan. Kamu ini belajar dari mana tahu alat kontrasepsi segala."

"Di sekolah lah, Om. Lagian itu kan ilmu pengetahuan umum. Om gimana sih."

Hmmhh ... Darius menghela nafas.

"Udah-udah. Sana kamu tidur aja. Bisa gila saya lama-lama ngobrol sama kamu. Belum waktunya buat melakukan itu, Ra."

"Terus waktunya kapan?" Aurora menatap Darius seperti anak kecil menunggu diberi permen.

Darius benar-benar dibikin pusing. Bisakah mulut itu berhenti bertanya. Sejak terakhir memiliki Kekasih, ini adalah pertama kalinya dia kembali mengecup wanita.

Dari sejak pertama Darius lahir. Belum pernah ada yang duduk di atas pangkuannya seperti tadi. Aurora terus bertanya, juga melakukan hal-hal yang tidak disangka-sangka. Gadis itu tidak tahu akibatnya. Atau memang sengaja menyerahkan diri. Jika Darius kalap lalu akan bagaimana jadinya?

"Menurutmu kapan?" Darius balik bertanya. Ingin tahu apakah Aurora benar-benar tidak tahu.

"Sekarang." Jawab Aurora.

Kedua mata beradu. Wajah Aurora yang begitu cantik. Sekilas mengingatkan Darius pada seseorang yang sudah lama lalu sangat ia damba. Darius rindu akan sosok mendamba itu. Dan Aurora bisa menjadi pelipurnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status