Share

BAB 3

Part_3

Hampir sepanjang acara reuni berlangsung, aku sama sekali tak memerhatikan panggung di depan sana. Fokusku hanya berdekatan dan ngobrol bersama Yuni, idamanku di masa lalu. Sementara di ujung sana, Dono asyik berbisik-bisik dengan teman seangkatan yang lain, sambil sesekali mengacungkan jempol  ke arah kami. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa mendapat dukungan dari Dono. Mungkin Don Juan itu berniat menjadikan aku seperti dirinya juga, biar ada teman yang setipe.

Hampir pukul 12 malam saat keseluruhan acara berakhir. Panitia berhasil mengumpulkan lebih dari dua ratus juta. Panitia merencanakan dana itu untuk membantu dana pembuatan sanggar seni di kawasan sekolah dan sebagian lain untuk menyantuni beberapa pensiunan guru yang sakit-sakitan di masa tuanya.

"Ayok, Yun. Aku antar kamu sekalian. Gak ada yang marah, kan?" Aku mengerlingkan mata kepadanya. Perempuan itu mengulum senyum dan menggeleng. Dengan beriringan, kami menuju mobilku, eh mobil Astuti tepatnya.

"Emang istrimu gak marah kalau tahu kamu nganterin perempuan lain malam-malam begini?" Di dalam perjalanan, Yuni menanyaiku.

"Marah? Mana bisa dia marah. Dia terlalu cinta mati sama aku, Yun," jawabku PD sambil tertawa lebar. Kubayangkan raut wajah Astuti yang tak berdaya meski apapun yang terjadi.

"Beruntungnya kamu, Busro. Nggak ada bedanya sama bujangan, bebas ...." Yuni menatapku takjub. Duduknya semakin mendekat ke arahku meski masih dibatasi tuas gigi mobil.

"Makanya ... yuk kita nikah. Aku janji akan selalu membuatmu bahagia." Bibir ini mulai menebar jerat. Aku harus bisa mendapatkan dia sebelum keduluan lelaki lain.

"Hmmm ... percaya ... percaya!" Yuni mengangguk-anggukkan kepala sambil memandang dengan tatapan penuh arti. Tampaknya ia sangat terkesan dengan seluruh tampilanku yang sekarang. Sikapnya berbanding terbalik dengan masa sekolah dulu. Berulangkali dia mencuri pandang.

"Yakin kamu pengen nikahin aku, Bus? Anakku ada tiga, loh." Yuni bertanya sambil menatapku serius.

"Ya seriuslah ... jangankan tiga, selusin juga aku jabanin," jawabku bombastis. Bagaimana realitanya, itu urusan nanti, yang penting bagaimana bisa segera mendapatkan janda cantik di sebelahku. Janda seksi dengan tubuh sangat terawat.

Kulihat Yuni tersenyum simpul, beberapa kali melirik ke arahku dengan pipi merah.

"Eh, Bus. Berhenti dulu, aku mau beli oleh-oleh untuk anak-anakku." Yuni memberi isyarat agar aku menghentikan mobil.

Tenyata kami melintasi area kuliner yang cukup ramai. Setelah Yuni turun, aku mengekor di belakangnya. Setelah melihat-lihat, Yuni tampak memesan dua kotak martabak manis. Aku berinisiatif membayar sebelum Yuni mengeluarkan dompet.

"Makasih, Bus. Kamu pengertian   banget, deh," pujinya seketika.

"Sudah biasa kok, Yun. Oh ya, kamu mau apalagi? Ayo ambil aja jangan sungkan-sungkan," tawarku jumawa. Ini pertemuan pertama, harus mengesankan, dong.

Tanpa perlu menawari dua kali, Yuni bergerak lincah. Di sebuah kedai kuliner  dengan beragam menu, ia menyebutkan beberapa pesanan. Kudengar ia memesan nasi goreng, sop iga, beberapa box keripik, dan makanan lainnya.

"Berapa semua?" tanyaku berlagak santai pada sang kasir.

"285 ribu, Pak." Pemuda tadi menunjukkan struk pesanan. Aku sedikit kaget karena ternyata pesanan Yuni cukup banyak, sementara sebelum pergi tadi Astuti hanya memberi uang dua lembar merah saja.

"Uang cash-ku nggak cukup. Kamu tunggu bentar, ya." Langkahku menuju gerai ATM bersama yang letaknya cukup jauh dari situ. Beberapa menit kemudian aku kembali dengan napas ngos-ngosan karena berlari. Ternyata repot juga urusan bayar belanja, karena biasanya aku tahu beres saja karena semua pasti  istriku yang membayar. Namun ya sudahlah, ini kan jurus pedekate yang jitu.  Beberapa hari lagi akan datang tanggal satu, dan itu berarti Astuti akan gajian. Aku akan minta jatah sekaligus, tidak dicicil perhari seperti biasanya. Beres, kan?!

&&&

Jelang dinihari baru aku tiba di rumah. Dengan setengah mengantuk kupencet bel pintu. Astuti membuka pintu cepat, tampaknya dia sengaja belum tidur. 

"Itu koper siapa?" tanyaku heran karena sebuah koper kecil berwarna biru teronggok di sebelah sofa tamu.

"Aku, Mas." Sebuah suara menyahut disusul munculnya Erin dari dalam. Loh, kok bisa tiba-tiba dia ada di sini?

"Erin menghadiri acara reuni sekolah kita, Mas. Tumben kok kamu gak diundang, ya?" Astuti menatap heran seolah bertanya, sementara wajah Erin menatap ke arahku tajam. Ah, kenapa aku sampai lupa jika adik Astuti yang galak itu juga satu salah satu alumni SMU yang sama denganku? Apa tadi dia sempat melihatku bersama Yuni?

"Buatkan aku secangkir kopi, As," perintahku berusaha menghalau Astuti, sebab ingin memastikan apa yang dilihat Erin. Soal Astuti aku tak begitu khawatir, tapi berurusan dengan si Galak ini yang bikin bete.

"Teganya diam-diam datang ke reuni dan berbohong pada Mbak Astuti!" Bibir tipis milik Erin langsung menyerangku. Matanya sungguh membuat hati ini ciut.

"Tadinya memang mau meeting, tapi batal. Jadinya berubah arah ikut reunian. Kok gitu saja jadi masalah?" gerutuku dengan suara pelan. 

"Tumben mau datang, Mas? Biasanya kalau lelaki belum sukses gak berani unjuk diri. Reuni kan ajangnya pamer kesuksesan," sindir Erin lagi sambil tersenyum sinis.

"Terserahlah apa pendapatmu. Gak enak sama panitia yang ngundang langsung ke sini." Aku masih berusaha mengelak.

"Asal jangan ada maksud tertentu saja, Mas. Kalau sampai menyakiti Mbak Astuti, aku tidak akan tinggal diam!" ancamnya ketus.

Untung tak lama Astuti datang dengan secangkir kopi, dan si Galak itu pamit untuk tidur karena besok akan langsung pulang ke kotanya. Baguslah, lama-lama di sini nanti bisa membuat Astuti terpengaruh sikap membangkangnya, pikirku gelisah.

&&&

Masih pagi buta ketika suara Panji dan Rara yang tengah berceloteh dengan tantenya mengusik telingaku. 

"Panji, Rara nanti lagi ngobrolnya. Salat Subuh dulu, gih. Rajin salat itu pintu rejeki,  loh!" seru Erin dengan suara sengaja dikeraskan, seolah ingin menyindirku yang masih bermalas-malasan di tempat tidur. Dengan bersungut dan menahan kantuk aku pun mengambil wudhu

dan mendirikan salat subuh. Salat yang entah kapan terakhir kali kulaksanakan.

"Eh, Mbak, jangan angkat-angkat galon gitu, nanti bisa turun perut, lho!"

"Biar Mas Busro aja yang belanja. Aku masih kangen ngobrol sama kamu, Mbak."

Beberapa kalimat dari Erin berhasil membuatku tak berkutik di pagi hari minggu ini. Setelah memaksaku mengangkat galon air yang selama ini hampir tak pernah kulakukan, ia juga membuatku pergi berbelanja ke pasar tumpah yang becek dan bau. Mana tidak sempat pula minta uang ke Astuti, terpaksa merogoh kocek sendiri. Tekor! Tekor! 

Untung menjelang siang, mobil travel langganan Erin datang menjemputnya. Bye bye ipar judes ... aku bersorak kegirangan.

&&&

[Bang, kapan kamu kenalin aku sama istrimu? Love you.] 

Sebuah pesan dari Yuni langsung muncul begitu aku membuka ponsel. Sejak bertemu di reuni itu, hubungan kami memang semakin dekat. Hampir setiap hari aku menemui perempuan itu setelah mengantar anak-anak ke sekolah. Kini tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan Astuti.

Di kepalaku hanya terisi wajah Yuni seorang, tak sabar rasanya membawa dia masuk ke dalam kehidupanku. Entah bagaimana caranya menyampaikan ini, aku belum menemukan jalan keluar.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, Astuti masih belum keluar dari ruang kerjanya di bawah. Berjingkat aku mendatanginya. Kulihat tumpukan berkas dan layar laptop yang masih menyala ada di hadapan, tetapi mata lelahnya justru menatap lurus ke depan. Seakan hendak menembus tebalnya dinding. 

Tiba-tiba sebuah ide melintas, kenapa tidak kugunakan saja kesibukannya sebagai alasan bahwa dia tidak lagi  bisa membahagiakan suaminya.

"Astuti, sampai jam berapa kamu akan terus di sini dan mengabaikan suamimu?!" tanyaku ketus, dan menampilkan wajah garang andalanku. Sepertinya ia terkejut akan kedatangan dan kata-kata suaminya, tetapi cepat ia menguasai diri.

"Maaf, Mas. Ini kerjaan tanggung jawabku, harus segera diselesaikan  secepatnya. Mas ada perlu apa?"

"Aku merasa kamu tidak lagi perhatian dengan suami dan anak-anak. Pagi hingga sore si luar rumah. Sampai di rumah pun selalu ada kerjaan!" Aku menekannya. Berharap dia merasa punya kesalahan.

"Lalu aku harus bagaimana, Mas? Aku sudah berusaha mengatur waktu sedemikian rupa agar semua baik-baik saja." Astuti membela diri.

"Tapi kenyataannya kamu tidak ada waktu yang cukup untukku dan anak-anak, kan? Coba ingat, kapan terakhir kali kamu melayaniku?" sergahku. Wajah tirus itu menatap tajam, raut tenangnya berubah memerah. Dia yang biasanya hanya diam saat ribut, kini berani menantang mataku.

"Aku juga lelah seperti ini, Mas. Di luar aku harus berhadapan dengan ratusan siswa, puluhan guru, pihak dinas pendidikan serta mitra kerja yang lain. Harus menghadiri rapat, supervisi dan sebagainya. Harusnya kamu yang ada di luar rumah, bukan aku!" Ia setengah menjerit. 

"Maksudmu? Bukankah kita sudah sering membicarakan ini, belum ada pekerjaan yang cocok buatku!" balasku sengit. 

"Tapi ini sudah 12 tahun, Mas. Kapan kamu mau mengambil alih tugas ini? Aku juga ingin selalu di rumah seperti istri-istri yang lain. Hanya mengerjakan tanggung jawab istri, tanpa khawatir soal uang. Sudah ada suami yang mencukupi semua kebutuhan rumah tangga!"

"Jadi kamu mau mengungkit keadaanku? Nggak ikhlas selama ini penghasilanku untuk kebutuhan keluarga?!" Aku membentak. Air mata sudah memenuhi pipi Astuti. Ia membereskan berkas-berkas dan mematikan laptopnya.

"Terserah apa katamu saja, Mas. Aku sudah berusaha yang terbaik, tapi masih saja salah di matamu. Sekarang terserah kamu, Mas." Ia beranjak dari duduknya, meninggalkanku sendiri. Sial, aku yang harusnya marah, kenapa jadi dia yang ngamuk? Ini tidak bisa dibiarkan.

"Astuti!" Aku mengejarnya dengan kalap 

....

Di kamar, Astuti sudah membaringkan diri dengan selimut yang menutup hingga ke kepala. Namun dadanya yang terlihat turun naik, menandakan ia tengah menangis. Yes, artinya dia pasti merasa bersalah dan aku punya alasan untuk menikahi Yuni. Siiip?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status