POV ILHAMWanita idolaku itu selalu berdiam diri di sudut sekolah, entah bagaimana ceritanya dia masuk SMK yang sama denganku, aku dan dia mengambil jurusan yang berbeda, aku mengambil Desain. Sementara, dia mengambil teknik. Semua laki-laki di sekolaku memujinya, meski bar-bar dia tetap santun sesuai kodratnya sebagai perempuan. Itu yang membuat satu sekolah sungkan dengannya. Sampai menjelang kuliah tak ada laki-laki yang dekat dengannya. Aku menyukainya karena dia apa adanya, walau tak pernah kulihat dia dandan sedikit pun. Siapa lagi kalau bukan Alya Putri.Berkali-kali kudekat dengannya selalu ditolak entah apa salahku padanya. Segala hal kulakukan hanya demi dekat dengannya selalu dia buang muka.“Jangan pernah dekat denganku Ilham!” aku ditolak berkali-kali tanpa ampun sedikit pun.Apa aku begitu memuakkan baginya hingga dia sama sekali tidak melirikku. Aku begitu insecure dengannya.“Bagaimana, Bro. Apa dia bisa ditaklukkan?” tanya Fondy sahabatku. Hanya dia yang tahu bagaim
Aku selalu yakin jika takdir itu selalu pada orang yang tepat. Selalu pada orang yang dipilih. Semesta seperti turut mendukung karena Tuhan selalu menggariskan pada orang yang tepat menurut-Nya. Iham langsung memberikan hasil tes DNA nya. Respon Alya seperti biasa. Dia tipe orang yang tidak begitu euforia terhadap sesuatu. Beda jauh denganku yang suka heboh sendiri. Apalagi kali ini takdirku dengannya tetap bersatu. "Kenapa bisa sekandung?" tanyaku penasaran."Aku dan Alya memiliki ayah yang sama." Alya tetap tenang tak ada sama sekali guratan terkejut di wajahnya."Ibunya Alya adalah cinta pertama ayahku."Lagi, aku memandang Alya yang nampak tenang. Dia sama sekali tak terkejut mendengar penuturan Ilham.“Al, kenapa kamu bisa setenang itu?”tanyaku lagi.“Karena waktu tes DNA aku dan papanya Ilham ke rumah sakit bersamaan," jawabnya santai. Astgafirullah, kembali aku elus dada. Ilham juga Nampak terkejut. Bisa-bisanya dia lebih tahu duluan.“Siapa yang mengarahkanmu untuk tes DNA
Alya begitu sibuk di dapur menyiapkan si kecil makanan. Kadang dia menggendongnya sambil menggoreng. Bukan tak mau cari asisten rumah tangga, Alya ingin memberikan yang terbaik untuk laki-laki kecil kami yang bernama Althaf itu. "Duduk di sini, dulu, sayang." Alya begitu sibuk, kadang dia suka lupa makan. Itu yang membuatku tak tega melihatnya. "Sudah makan?" tanyaku. Dia menggeleng pelan. Aku langsung mengambiil Althaf, kesehatan Alya yang paling utama. Seringkali aku menegurnya agar tidak lupa untuk makan. "Jangan tidak makan, tubuh kita juga butuh nutrisi." Selama ada Althaf, Alya memang begitu sibuk. Tak jarang dia bisa hanya sekedar makan. Bayi yang beranjak semakin besar itu terlihat semakin sehat diasuh Alya. Semakin hari dia semakin menggemaskan. Kami dibuat semakin menyanyanginya. "Dia sudah berceloteh, Bang." "Alhamdulillah, apakah melelahkan, sayang?" tanyaku. Aku begitu menyanyangi Alya, hingga khawatir dia sakit atau tidak makan. Alya fokus menjaga kami, dia memili
"Alya, aku ingin menikah lagi," ucapku tegas padanya. Baru kali ini kami duduk bersama selama satu minggu pernikahan kami. "Alasannya apa?" tanyanya. Tak lupa dia memilin jilbab yang dikenakannya. Aku bahkan muak hanya sekedar menatapnya."Aku butuh angin segar, melihatmu membuatku tak ada nafsu," jawabku. Kulihat dia istigfar berkali-kali."Kita baru menikah satu minggu, itu artinya mas belum tahu secara detail kepribadianku seperti apa.""Itu karena kamu tidak pernah dandan. Baju tak menarik dipandang belum lagi jilbab yang kamu kenakan begitu lusuh, membuatku tak niat hanya sekedar menatapmu." Lagi, dia menghembuskan nafas kasar. Dia mengucapkan istighfar lebih banyak."Aku memang tidak suka dandan, dan juga aku hanya di rumah saja selama satu minggu ini. Selain itu, wudhu aku bisa batal jika hanya di rumah lalu berdandan. Jika mas hanya memintaku berdandan kalau begitu mulai besok cari asisten rumah tangga agar aku fokus merawat diri.""Gajiku tak cukup untuk membayar asisten," u
Alya duduk manis membuat napasku tercekat, mataku tak bisa lepas darinya. Aku tak menyangka wanita yang kunikahi satu minggu ini begitu memesona. Namun, segera kutepis mengingat wajahnya yang masih kusam tak menarik itu. Mungkin dikira bisa memikatku, oh no!Dia cuek lalu berbaring. Mata lapar dan perut lapar benar-benar menyiksaku. Gengsi rasanya sekedar makan masakan dia yang menurut ibu sangat enak. Aku tidur di tempat biasa. Kasur yang sudah kusiapkan di kamar ini. Aneh saja melihat wanita wonder woman berubah manis seperti itu. Geli rasanya. Kupejamkan mataku secepat mungkin agar tak tergoda dengan mahluk yang tak jelas di sebelah sana. Dia dengan santai sebelum tidur makan buah dan segelas susu. Aku semakin gigit jari.Akhirnya aku bisa tertidur pulas.****Bangun tidur perutku sakit, tapi aku gengsi hanya sekedar menyapanya. "Ini susu dan rotinya, Bang." Aku mendelik. Kemarin dia manggil mas, sekarang kenapa dia manggil abang. Memang aku abang gorengan!"Mulai hari ini aku p
Aku jadi tak ada selera bekerja siang ini. Gara-gara berita viral nafkah tiga puluh ribu. Apa mungkin itu kerjaan si Alya, memangnya dia sehebat apa sampai cepat viral seperti itu. Rasanya ingin segera pulang menanyakan ini semua ke Alya. "Bro, semoga bukan ente, ya, berita viral hari ini. Ngeri ...." Fery seperti curiga padaku."Gak mungkin, lah, traktir kamu tiap hari saja aku tak pernah pelit. Masak kasih istri cuma tiga puluh rebu.""Aku juga percaya, lah, sama Pak Dave Abimanyu walau tiap hari keluhin istri kusam, tapi kalau nafkah pasti ngasih banyak, lah.""Tu, kan. Ente sadar sendiri." Walau hatiku diliputi gelisah. Duh, semoga itu bukan postingan Alya. Reputasi ini bisa semakin hancur.Jam menunjukkan pukul 17.00 rasanya ingin segera langsung melabrak si Alya. Tak sabar melihat ekspresinya bagaimana di rumah.Namun, langkahku sedikit tercegat karena telpon bertubi-tubi dari ibu. Pasti ibu menanyakan keviralan berita hari ini. Satu-satunya orang yang pasti tahu bagaimana kela
Tak kupedulikan dia yang menyediakan aku satu bungkus mie dan satu buah telur. Benar-benar sudah diperhitungkan olehnya. Aku sampai gigit jari. Apa dia dulu mahasiswi tercerdas sampai begitu detailnya menyiapkan nota tiga puluh ribu padaku.Lama kelamaan aku bisa mati mendadak dibuatnya. Ting! Satu notifikasi pesan dari Fery.[Bro, jangan lupa kita ke lamaran Danu malam ini.] Aku bahkan sampai lupa jika ada undangan malam ini. Lumayan menghindari mie instan dan satu buah telur."Bang, aku mau keluar malam ini," ucapnya. Tak lupa dia meniup-niup jilbabnya. Benar-benar tidak ada feminimnya si Alya ini. Bahkan celana training tak pernah lepas dari tubuhnya. "Keluar saja, pakai izin segala.""Sudah kewajiban istri izin jika keluar, terima kasih sudah mengizinkan," sambungnya lagi sambil memasang wajah imut. Pen mual lihatnya. Dia terlihat berkemas menyiapkan diri. Sekarang aku yang bingung tidak ada makanan apa pun di rumah ini. Padahal sebelumnya cemilan selalu Alya siapkan setiap sor
Namaku Alya putri lulusan tekhnik sipil. Hidup lebih banyak di panti asuhan. Sejak umur 13 tahun ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan tunggal. Saat itu mama bertengkar hebat dengan papa. Pekerjaan mama sebagai model tentu membuatnya selalu tampil menarik di depan semua orang hingga mama kedapatan selingkuh oleh papa. Entah bagaimana ceritanya kecelakaan itu terjadi. Sejak saat itu aku tidak tertarik dengan yang namanya make up. Rasa trauma menderaku. Umur tiga belas tahun aku sudah paham tentang banyak rasa seperti kerisauan papa yang melihat istrinya selalu berpenampilam menor dan glamour setiap harinya. Mama dan papa bukan orang kalangan bawah. Harta yang mereka titipkan sangat cukup untuk hidupku sebagai anak tunggal. Namun, aku memilih untuk tinggal di panti asuhan dengan jarak tidak jauh dari rumahku. Papa yang sibuk, dan mama yang tak kalah sibuknya membuatku lebih sering bermain disana. Entah mengapa aku lebih dekat dengan ibu panti daripada mama sendiri."Alya ini wasia