"Rin, kamu masak apa? Mas lapar! Mau makan!" perintahku pada Rina saat aku pulang dari kantor.
Nasib sial, entah karena dosa pada Rina atau kebetulan lagi apes saja, dompetku hilang dicopet orang di warung Ampera tempat aku makan siang tadi. Jadilah aku tak jadi makan siang dan terpaksa menahan lapar hingga pulang dari kantor sore ini. Padahal uang itu masih cukup banyak jumlahnya, masih dua juta lebih. Uang yang sedianya akan aku pakai untuk beli BBM ke kantor dan untuk makan siang. Tapi sekarang uang itu sudah hilang berikut dompet dan kartu identitas lainnya yang ada di dalamnya. Aku sudah melaporkan kehilangan itu ke kantor polisi tak lama setelah aku menyadari dompetku itu dicopet orang, akan tetapi polisi tak bisa langsung bergerak cepat mencari tahu siapa pelaku yang telah mencuri dompetku itu sebab pengunjung warung saat itu memang ramai, sementara CCTV tak ada. Tak cukup bukti untuk menangkap siapa pelakunya yang telah mencuri dompetku itu. Benar benar sial memang! "Aku masak seperti biasa, Mas! Aku harus bayar air dan beli token listrik, makanya cuma bisa beli tempe sama kangkung," jawab Rina sambil buru buru menyiapkan menu itu di meja makan. Mendengar jawabannya itu aku mendengkus kesal. Sudah aku duga menu di rumah ini tak akan pernah ada enak enaknya. Rina bukan Naya, istri Ilham yang pandai cari uang sendiri untuk bantu suami sehingga bisa masak enak seperti bekal yang diberikan Naya untuk Ilham. Tapi mau bagaimana lagi. Dari pada aku tumbang karena perut keroncongan lebih baik aku makan masakan Rina itu walau pun tak selera. Melihat istriku itu sudah menghidangkan makanan aku pun segera makan agar perut tak lagi melilit sakit. Usai makan langsung aku fokus pada rencana yang ada di kepala sedari tadi. "Rin, mana uang yang mas kasih kemarin? Dompet mas tadi dicopet orang waktu makan siang di warung. Semua uang mas hilang. Jadi kesini kan uang yang mas kasih kemarin karena mas butuh buat ongkos ke kantor!" ucapku pada Rina. Mendengar kata kataku, Rina terlihat kaget dan membelalakkan matanya. Mungkin tak menyangka aku akan meminta uang itu. Tapi aku tak punya pilihan lain. Kalau tidak begitu, aku mau dapat uang dari mana? Minta ke ibu percuma. Uang kalau sudah masuk ke kantong beliau, haram bisa keluar lagi. Jadi lebih baik aku minta Rina. Kalau diirit irit bisalah sampai gajian bulan depan. "Tapi, mas ... uang itu kan buat belanja! Gimana mau makan kalau uang itu mas minta lagi!" Rina berkata dengan suara sedikit keras mendengar permintaanku itu. Tapi aku tak peduli. "Sudahlah jangan banyak omong! Daripada mas nggak bisa ke kantor lebih susah lagi! Jadi ke sini kan uang itu!" hardikku lagi. "Kenapa nggak minta ibumu saja, Mas! Ibu kamu kasih lima juta, sementara aku cuma tujuh ratus ribu! Zalim kalau masih kamu minta lagi, Mas!" suara Rina bergetar. Mungkin menahan emosi yang ada dalam dadanya. Tapi aku tak peduli. Salah siapa jadi perempuan bisanya cuma menadahkan tangan ke suami! Nggak ada kreatif kreatifnya sama sekali. Nggak ada guna dan manfaatnya sama sekali! Cuma jadi beban! Coba kalau dia bekerja dan punya penghasilan sendiri, dia pasti bisa membantuku saat aku kesulitan begini dan tak perlu minta nafkah dariku lagi. Aku tak perlu pusing menyisihkan sebagian penghasilanku untuknya setiap bulan. Dasar wanita lemah memang si Rina! "Apa? Zalim? Kamu yang zalim kalau nyuruh aku minta uang ke Ibu! Uang udah dikasih diminta lagi, kamu pake otak nggak!" "Sudah! Jangan banyak omong! Sini dompet kamu! Biar aku ambil sendiri uang itu!" hardikku lagi. Lalu setelah itu tanpa memperdulikan keberatan dari Rina, aku gegas masuk ke dalam kamar dan mengambil tas tangan Rina yang biasanya disimpan di lemari. Tanpa ba-bi-bu lagi segera aku keluarkan dompet dan mengambil sisa uang yang kemarin aku berikan pada Rina. Uang itu masih tersisa lima ratus lima puluh ribu rupiah. Cukup lah untuk ongkos dua minggu ke depan. Dua minggu ke depannya lagi mungkin aku bisa pinjam ke Ilham atau teman yang lain. Jadi sementara aman. Berpikir begitu, aku pun gegas menyimpan uang itu ke dalam kantong dan meninggalkan kamar dengan tergesa. "Mas ... kembalikan uang itu! Jangan kamu ambil semuanya, Mas! Kamu nggak kasihan sama Aldi? Kamu boleh nggak kasian sama aku, tapi jangan sama Aldi, Mas! Gimana dia mau makan kalau uangnya kamu ambil semua ...!" pekik Rina sembari menangis. Tapi aku tak peduli. Tanpa mengindahkan perkataannya aku gegas menuju motor dan menaikinya. Aku ingin ke rumah Ibu karena sore ini belum minum kopi. Sementara mau minta Rina membuatkannya, mood ku sudah hilang. Dari pada aku kalap mendengar rengekannya, lebih baik aku minta kopi sama ibu. Dasar istri tidak peka kesulitan suami memang. Tahu uangku hilang dicopet orang, bukannya buru-buru memberi uang yang dia punya, malah sibuk beralasan Aldi segala! Aldi kan masih kecil. Makannya tidak banyak, apa yang harus direpotkan! Sementara hingga menunggu bulan depan, dia kan bisa dikasih ASI sama bubur saja. Gitu saja repot! Benar benar istri menyebalkan! Sampai di rumah ibu ... "Kamu kenapa? Kok datang datang, muka kusut kayak baju nggak disetrika? Ada masalah apa?" sambut Ibu begitu aku datang. "Paling paling capek pulang kerja cuma dimasakin tumis kangkung sama goreng tempe apa goreng telor, Bu, makanya muka Mas Rama kusut! Ha ... ha ... ha ...!" celetuk Dewi yang kulihat tengah duduk di sofa sembari bermain ponsel. "Iya. Palingan juga gitu, Bu. Kalau nggak tumis kangkung sama goreng tempe, ya goreng telor ha ... ha ... ha... . Kalau aku jadi Mas Rama aku juga pusing punya istri kayak Mbak Rina. Bisanya cuma masak itu doang tiap hari! Apa nggak bosan tiap hari makan itu melulu! Udah kayak sapi Mas Rama tiap hari cuma dikasih makan sayur sama tempe doang!" timpal Vita pula sambil tertawa keras. Mendengar perkataan dua adikku itu, Ibu pun tertawa lebar, mengiyakan. "Iya. Apes banget kamu punya istri kayak Rina, Ram. Bisanya cuma masak kangkung dan minta uang sama suami doang. Nggak punya keahlian lain sama sekali!" "Udah! Kalau gitu bulan depan nggak usah kamu kasih uang lagi! Mending uang itu buat Ibu saja dari pada buat ngasih istri nggak berguna itu lagi!" "Eh ... gimana kalau kamu nikah lagi aja, Ram? Itu si Yuni, dia kan janda sekarang. Suaminya meninggal dunia tiga bulan lalu. Sebentar lagi masa iddahnya selesai. Jadi udah bisa nikah lagi. Gimana kalau kamu kepek aja dia, Ran? Lumayan lho, dia punya warung nasi. Kalau kamu nikah sama dia, kamu nggak perlu repot-repot ngasih uang belanja, udah bisa makan enak tiap hari di warungnya. Ibu dan adik-adik mu juga bisa ikutan makan gratis. Gimana, Ram?" "Dari pada kamu sama Rina terus, sampai kiamat hidup juga kamu nggak bakal ada kemajuan! Cuma dijadikan sapi perah tiap bulan harus ngasih dia nafkah! Jadi mending kamu sama si Yuni aja, Ram. Bukan hanya kamu yang bisa hidup enak nanti, tapi juga ibu dan adik adikmu!" ucap Ibu tiba tiba. Mendengar perkataan Ibu itu, aku mendongak kaget. Tak menyangka Ibu akan menyuruhku menikah lagi. Walau pun bukan suami yang baik, tapi jujur aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Tapi kalau ibu merestui bahkan menyuruh langsung, sepertinya boleh juga. Siapa tahu ini solusi dari kesulitan hidupku selama ini, punya istri yang tidak bisa bantu suami cari nafkah. Benak pun langsung mencoba mengingat ingat sosok Yuni. Yuni? Oh iya aku ingat sekarang. Dia adalah pemilik warung nasi ampera yang ada di ujung gang. Tiga bulan lalu suaminya meninggal karena kecel4kaan. Boleh juga sih kalau aku jadikan istri kedua, aku bisa numpang makan gratis tiap hari. Tapi mau nggak ya dia? Wajahku sih lumayan tampan dan penampilanku pun tak kalah dengan bujangan. Tapi kalau aku jadikan istri kedua, apa mau dia? Jujur aku tak tega menceraikan Rina karena ada Aldi yang masih kecil. Takut dia jadi korban perceraian kedua orang tuanya. Berpikir begitu, aku pun buka mulut. "Memangnya Yuni mau, Bu dijadikan istri kedua? Soalnya kalau harus menceraikan Rina aku nggak tega, Bu karena ada Aldi," ucapku ragu. Namun, Ibu malah tertawa lebar mendengar pertanyaanku itu. "Ya pasti maulah. Janda kayak si Yuni pasti nggak keberatan dijadikan istri kedua. Hidupnya sudah mapan. Usaha udah jalan, makan sehari hari nggak pusing lagi. Rumah ada, kendaraan ada. Yang nggak ada cuma suami." "Makanya dia pasti mau lah jadi istri kedua. Mau cari apa dia? Bujangan? Duda kaya? Duda kaya dan bujangan ya nyarinya yang masih gadis! Apalagi kamu tampan dan pekerjaan juga bonafid . Pasti maulah Yuni dijadiin istri kedua, Ram. Kamu nggak usah khawatir," ucap ibu menyemangatiku. Mendengar perkataan Ibu itu, aku pun menjadi lega. Perkataan Ibu benar juga. Kalau mau cari bujangan atau duda kaya, mau sampai lebaran kuda juga si Yuni nggak bakalan dapat. Kalau begitu, mulai besok pagi aku akan mencoba mendekati wanita itu. Semoga saja perkataan ibu benar, dia mau aku jadikan istri kedua. Kalau dia mau, selesai lah masalah dalam hidupku. Urusan makan sehari hari pasti aman karena Yuni punya rumah makan sendiri. Jadi aku nggak perlu tiap hari makan tumis kangkung dan goreng tempe doang karena punya istri yang tidak bisa diandalkan seperti Rina. Ya, hidupku pasti aman dan bahagia jika aku punya istri kedua seperti Yuni."Apa, Rid? Laila ditangkap kejaksaan karena kasus korupsi? Yang benar saja, Rid! Kok bisa? Memangnya Laila beneran korupsi di kantornya kok bisa ditangkap? Gawat kalau iya! Gawat, Rid!" Bu Marni meremas rambutnya dengan perasaan gundah dan kesal.Namun, Farid justru menyeringai kecil."Biar aja deh, Bu. Biar kapok! Gara-gara Mbak Laila, Farid jadi nikah sama Sinta yang Ibu tahu sendiri kan, matrenya luar biasa! Kalau nggak gara-gara dia, sampai saat ini gaji Farid masih utuh, Bu. Tapi gara-gara dia, sekarang kita jadi susah begini," jawab Farid tiba-tiba enteng.Bu Marni meremas rambutnya semakin kesal."Rid, ini bukan sekedar gaji kamu yang diambil Sinta, tapi mengenai rumah ini, Rid! Kalau Laila ditangkap kejaksaan dan dipenjara terus dipecat dari pekerjaan, bagaimana dengan rumah ini? Rumah ini juga akan disita bank karena surat tanah dan rumah ini kemarin dipinjam Laila untuk mengajukan pinjaman di bank, Rid! Kita mau tinggal di mana kalau rumah ini disita bank?" ujar Bu Marni lag
"Nadira, sini kamu!" panggil Bu Marni esok harinya pada Nadira yang tengah menyiapkan sarapan pagi.Hari ini rencananya Nadira akan keluar rumah agar bisa bekerja kembali seperti biasanya dengan lebih tenang dan bebas. Akan tetapi baru saja hendak bersiap pergi usai menghidangkan sarapan pagi di meja makan, ibu mertuanya sudah lebih dulu datang memanggilnya.Nadira mendekat lalu membuka mulutnya."Ada apa, Bu?" tanyanya."Nadira, mana gaji kamu bekerja selama ini? Ini kan sudah sebulan lebih kamu kerja! Nggak mungkin kan belum gajian! Sini! Ibu minta gaji kamu!" ujar Bu Marni tanpa perasaan sambil menatap tajam ke arahnya.Nadira menghela napas. Sudah mendapat karma dari perbuatannya yang tega menikahkan suaminya dengan menantu baru yang ternyata tak sesuai ekspektasi nya, akan tetapi bukannya sadar, justru ibu mertuanya masih saja berusaha menindasnya.Padahal tadinya dia berpikir, ibu mertuanya sudah mulai insyaf dan bertaubat dari kesalahan dan sikap buruknya. Buktinya kalau tak sa
"Iya, Bu. Farid akan segera mengurus perceraian dengan Sinta. Pernikahan ini nggak bisa dilanjutkan lagi. Ibu tahu nggak, kalau ke depannya Sinta bukannya mau separuh gaji Farid aja, tapi semuanya, Bu! Dia bilang Farid harus seperti Mas Ari dan Mas Doni, memberikan semua gaji Farid ke dia. Sinta juga nyuruh Farid ngasih tau Ibu supaya Ibu, Dina dan Rara cari kerja dan cari duit sendiri supaya nggak perlu ganggu gaji Farid lagi. Dia cuma akan ngasih Ibu lima ratus ribu rupiah setiap bulan seperti Mbak Niken dan Mbak Laila, Bu.""Jadi, sudah sepantasnya Sinta, Farid ceraikan kan, Bu? Farid izin soalnya kemarin Ibu yang maksa Farid menikahi dia. Betul kan dugaan Farid kemarin, Sinta ternyata nggak seperti yang kita harapkan, Bu," sahut Farid lagi.Bu Marni menganggukkan kepalanya gundah."Iya. Ibu juga menyesal berat, Rid. Kalau tahu Sinta begini kelakuannya, nggak mungkin Ibu maksa kamu nikah sama dia, sampai bela belain jual mobil segala!""Jadi dia nyuruh Ibu dan adik adik kamu cari k
"Bu, ini uang gajiku bulan ini. Aku hanya bisa kasih empat juta ya, Bu, karena yang enam juta diminta sama Sinta," ujar Farid pada Bu Marni.Bu Marni mendelik kaget, menatap tak percaya putranya."Apa? Ibu cuma dapat empat juta! Gila! Jadi sisanya kamu berikan semua pada Sinta? Bahkan lebih besar punya dia dari pada punya Ibu? Kok bisa begini gimana ceritanya sih, Rid! Ini nggak masuk akal sama sekali! Ini ... ini ...!" Bu Marni kehilangan kata-kata sehingga tak mampu lagi bicara. Mulutnya menganga tapi tak ada satu kata pun yang mampu dia ucapkan karena rasa shock dan tak percaya yang membuatnya tak sanggup untuk meneruskan ucapannya.Farid menghela napas berat lalu duduk di samping ibunya dengan tubuh lunglai. Benar-benar semua ini di luar ekspektasinya. Tadinya dia berharap hidupnya dan keluarganya akan semakin baik dengan dia menikah lagi dengan Sinta yang bekerja di bank ternama, tapi bukannya hidupnya semakin baik, justru semakin gulung tikar! Arrgh!"Sekarang Sinta mana? Panggi
"Apa kamu bilang? Kamu ngancem Mas?" Farid berkata gusar sembari berkacak pinggang mendengar ancaman dari Sinta.Sinta tersenyum tipis lalu kembali membuka suaranya."Aku nggak cuma ngancem, Mas, tapi juga akan membuktikannya kalau kamu berani macam-macam sama aku. Jadi mending kamu kasih uangnya sekarang juga ke aku daripada kamu aku laporin ke atasan kamu. Oke? Sini! Mana uangnya? Jangan bikin aku habis kesabaran minta hakku karena percayalah, itu nggak akan baik buat karir kamu di kantor ini!" ucap Sinta lagi sembari mengulurkan tangannya ke arah Farid.Farid menelan ludah mendengar perkataan Sinta. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Haruskah dia memberikan semua gajinya pada Sinta dengan resiko dirinya dan keluarganya pasti akan kelaparan tak bisa makan, atau ... karirnya di kantor mungkin akan terhambat jika Sinta beneran melaporkannya pada atasannya?Dua-duanya cukup berat baginya resikonya. Akhirnya setelah berpikir panjang, Farid pun mencoba untuk bernegosiasi. Dia akan mint
"La, tunggu! Ibu belum selesai ngomong! Jangan ditutup dulu teleponnya!" ujar Bu Marni saat Laila menutup telepon, tapi telat karena menantunya tersebut telah mematikan sambungan. Ketika ditelpon ulang, Laila tak mengangkat justru mematikan data internetnya sehingga panggilan Bu Marni tak bisa tersambung. Mendapati hal tersebut, Bu Marni pun seketika merasa kesal. Diremasnya ponsel kuat-kuat untuk menyalurkan rasa kecewanya. Sial Laila ternyata, pikirnya. Bukannya membantu masalah ekonomi keluarganya dengan mencarikan menantu baru yang bersedia memberikan sebagian gajinya untuk mertua, justru mencarikan menantu baru yang ikut memoroti gaji anaknya! Arrgh! "Rid, gimana ini? Laila ternyata salah omong ke Sinta, bukannya bilang Sinta nggak boleh minta nafkah lagi dari kamu malah bilang kalau dia harus ngasih sebagian uang kamu buat Ibu! Kan asem! Percuma dong Ibu nyari menantu baru kalau gitu! Bukannya ikut bantuin mertua malah tambah nyusahin!" seru Bu Marni kesal saat telepon ke F